Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Enterobiasis atau penyakit cacing kremi merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Oxyuris vermicularis (Enterobius vermicularis) yang ditemukan kosmopolit dan tersebar luas
di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara berkembang. Cacing Enterobius
vermicularis ini tidak hanya tersebar pada daerah yang memiliki iklim tropis saja melainkan
juga terdapat pada daerah yang beriklim dingin (Hadhijaja dan Margono, 2011).
Enterobiasis menyebabkan infeksi sekitar 200 juta orang di seluruh dunia (Ali et al,
2014). Prevalensi enterobiasis cenderung lebih tinggi pada anak usia 5- 12 tahun dan masih
menjadi masalah kesehatan yang penting pada anak-anak usia sekolah dasar (Celizsoz et al.,
2010).Penelitian yang dilakukan di Ragama Sri Langka, melaporkan insidensi enterobiasis
mencapai 38%pada anak sekolah dasar dengan insidensi pada anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan anak perempuan (Gunawardena et al, 2013). Presentase penderita enterobiasis
pada anak di Thailand tahun 2011 dilaporkan mencapai 19,9% (Bunchu et al, 2011), di
Sokoto Nigeria 15,98% (Bala et al, 2012), di Turki 5,1% (Artan et al, 2008) dan studi yang
dilakukan di kota Al Najaf Iraq ditemukan tingkat infeksi enterobiasis yang tinggi pada anak
yaitu hingga 37,98% (Al-Shadood, 2015).
Infeksi enterobiasis menjadi salah satu penyebab kecacingan yang paling sering
menyerang pada anakanak di negara berkembang, seperti Indonesia (Lubis et al, 2008).
Survei pada siswa Sekolah Dasar di Indonesia pada tahun 2013 di 175 Kabupaten/Kota
menunjukan prevalensi cacingan pada anak Sekolah Dasar antara 0 85,9 % dengan rata-rata
28,12 % (angka nasional) (Dinkes Kab Probolinggo, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh
Satriyo pada siswa SD Negeri Pondokrejo 4 Jember, menemukan prevalensi siswa yang
menderita enterobiasis yaitu sebanyak 34 anak (51,52%) dari 66 anak yang diperiksa
(Satriyo, 2011). Penyebaran penyakit enterobiasis lebih luas dibandingkan dengan infeksi
cacing lain. Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup
dalam suatu lingkungan yang sama. Telur cacing dapat diisolasi dari debu yang terdapat di
ruangan sekolah atau kantin sekolah, dan mungkin menjadi sumber infeksi pada anak-anak
sekolah (Gandahusada et al, 2004). Infeksi cacing kremi atau cacing Enterobius vermicularis

1
pada anak usia sekolah memnberi efek yang buruk dalam pertumbuhan fisik anak dan
mempengaruhi prestasi belajar sekolah anak terutama pada anak-anak kelas pertama sekolah
dasar (Celizsoz et al., 2010).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi enterobiasis yaitu
hygiene diri yang buruk, sosial ekonomi rendah, faktor penularan pada keluarga, sanitasi
yang jelek, pola asuh yang kurang, pengalaman orang tua tentang kecacingan yang kurang,
pekerjaan orang tua, dan pengetahuan orang tua akan kecacingan yang minim akan
kecacingan serta tingkat pendidikan ibu yang rendah berkaitan dengan prevalensi kejadian
infeksi enterobiasis (Cho et al, 2013; Li et al, 2015; Mohammadi et al, 2014).
Hasil Riskesdas (2013) menunjukan bahwa proporsi nasional rumah tangga dengan
PHBS baik yaitu sebesar 32,3% dengan proporsi tertinggi di oleh DKI Jakarta, sedangkan
untuk provinsi Jawa Tengah menempati urutan ke lima setelah Bali, DIY dan Sulawesi Utara.
Presentasi nilai PHBS yang mencakup sehat utama dan paripurna di Jawa Tengah yaitu
apabila mencapai nilai lebih dari 74,67%, terdapat 5 Kabupaten yang memiliki PHBS dengan
nilai diatas 90% di provinsi Jawa Tengah, kabupaten tersebut yaitu Kota Semarang (90,1%),
Sukoharjo (91,5%), Karanganyar (92,5%), Kota Surakarta (92,0%) dan yang tertinggi adalah
Kota Pekalongan (93,9%) (Dinkes Jateng, 2013).
Personal hygiene atau kebersihan diri pribadi merupakan cara dan tindakan untuk
merawat kebersihan diri dan mempertahankan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik
dan psikisnya. Personal hygiene menjadi bagian yang penting dalam menjaga kesehatan
individu karena dengan personal hygiene yang baik akan meminimalkan masuknya
mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit (Hidayat dan Uliyah, 2012). Penelitian
yang dilakukan Perdana (2013) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara
hygiene tangan dan kuku dengan kejadian enterobiasis. Seseorang yang memiliki personal
hygiene buruk mempunyai potensi lebih tinggi untuk terinfeksi cacing Enterobius
vermicularis penyebab penyakit enterobiasis (Suraweera et al, 2015).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah tersebut, makalah ini
dirumuskan permasalahannya bagaimana pencegahan, pengobatan dan pengendalian dari
Enterobius vermicularis
1.3 Tujuan
Tujuan pengkajian materi ini adalah :
1. Mengetahui bagaiamana pencegahan dari Enterobius vermicularis
2. Mengetahui bagaiamana pengobatan dari Enterobius vermicularis

2
3. Mengetahui bagaiamana pengendalian dari Enterobius vermicularis
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat yang dapat diambil, baik manfaat teoritis
maupun manfaat praktis yang timbul.
1.4.1 Manfaat Penulis
Penelitian ini merupakan suatu pengalaman yang berharga dalam rangka
pembangunan ilmu pengetahuan, selain itu dapat mengetahui bagaimana pencegahan,
pengobatan dan pengendalian dari Enterobius vermicularis.
1.4.2 Manfaat Pembaca
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pembaca terutama pada materi
pencegahan, pengobatan dan pengendalian dari Enterobius vermicularis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Enterobiasis

3
Enterobiasis / penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang
disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis. Enterobiasis merupakan infeksi cacing
yang terbesar dan sangat luas dibandingkan dengan infeksi cacing lainnya. Hal ini
disebabkan karena adanya hubungan yang erat antara parasit ini dengan manusia dan
lingkungan sekitarnya. Parasit ini lebih banyak didapatkan diantara kelompok dengan
tingkat sosial yang rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pada orang-orang dengan tingkat
sosial yang tinggi. Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang
berarti dan dapat sembuh dengan sendirinya.(Soedarto, 1995)

Enterobiasis juga merupakan penyakit keluarga yang disebabkan oleh mudahnya


penularan telur baik melalui pakaian maupun alat rumah tangga lainnya. Anak berumur 5-14
tahun lebih sering mengalami infeksi cacing Enterobius vermicularis dibandingkan dengan
orang dewasa yang lebih bisa menjaga kebersihan.(Depkes RI, 1989)

Penyebaran Enterobius vermicularis lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat
terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup pada dalam satu
lingkungan yang sama. Dari hasil penelitian di daerah Jakarta timur melaporkan bahwa
kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia antara 5-10
tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa. (Gandahusada,2003)

Diagnosa dibuat dengan menemukan cacing dewasanya atau telurnya. Sering tanda-
tanda infeksi pertama adalah ditemukannya cacing dewasa didalam tinja setelah enema atau
didaerah sekitar anus. Telurnya jarang ditemukan didalam tinja hanya dalam 5% orang-
orang yang menderita infeksi ini. Telur paling mudah ditemukan dengan menghapus daerah
sekitar anus dengan Scotch adhesive tape swab menurut Graham memberi hasil positif
dengan presentase tertinggi dan jumlah telur terbesar. Dengan cara ini sepotong Scotch
tape ditempelkan pada daerah sekitar anus, diambil dan diratakan di atas kaca sediaan
untuk diperiksa. Swab untuk menemukan telur sebaiknya dibuat pada pagi hari sebelum
mandi atau sebelum defekasi (Onggowaluyo, 2001).

2.2 Klasifikasi

Kingdom : Animalia

4
Filum : Nematoda
Kelas : Rhabditea
Ordo : Oxyurata
Famili : Oxyuridae
Genus : Enterobius
Spesie : vermicularis
Nama lain : Oxyuris vermicularis, cacing kremi, cacing kerawit, pinworm, seatworm.

2.3 Hospes dan Nama Penyakit


Manusia dianggap satu-satunya hospes. Penyakitnya disebut enterobiasis atau
oksiuriasis. Masyarakat awam biasa menyebutnya kremi-an.

2.4 Distribusi Geografik


Seluruh dunia, dengan infeksi lebih sering pada anak usia sekolah atau prasekolah
dan dalam pemukiman padat. Enterobiasis tampaknya lebih umum di daerah dingin
dibandingkan di negara-negara beriklim tropis. Merupakan infeksi cacing yang paling
umum di Amerika Serikat (sekitar 40 juta orang yang terinfeksi).

5
2.5 Habitat
Sejak berbentuk telur hingga menetas, cacing ini tinggal di usus 12 jari kemudian
setelah berubah menjadi larva akan berpindah ke usus tengah (usus halus dekat seikum)
yang merupakan bagian atas sistem penyerapan nutrisi. Setelah dewasa di rongga seikum
atau di usus besar, cacing betina gravid akan bermigrasi ke perianal pada malam hari untuk
meletakkan telur.

2.6 Morfologi
1 Cacing dewasa
(jantan): 2-5 mm0,1-0,2 mm. bentuk seperti tanda tanya, pada anterior terdapat
pelebaran seperti sayap (cephalic alae), ujung posterior tumpul, spikulum jarang
ditemukan.
(betina): 8-13 mm0,3-0,5 mm. pada anterior terdapat pelebaran seperti sayap (cephalic
alae), ujung posterior panjang dan runcing, cacing betina gravid mengandung 11.000-
15.000 telur.

2 Telur
Ukuran telur Enterobius vermicularis 50-60 m 20-30 m. Telur berbentuk lonjong dan
lebih datar pada satu sisi (asimetris). Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari
dinding telur cacing tambang. 11

6
2.7 Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Enterobiasis vermicularis dan tidak
diperlukan hospes perantara. Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam
hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke daerah : perianal dan perinium. Di
daerah perineum tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara uterus, kemudian telur
melekat didaerah tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada tempat tersebut, terutama
pada temperatur 23-260C dalam waktu 6 jam(Soedarto, 1995)
7
Bila telur infektif tertelan, larva stadium pertama menetas di duodenum. Larva
rabditiform yang dikeluarkan berubah menjadi dewasa di jejunum dan bagian atas ileum.
Kopulasi mungkin terjadi didalam coecum. Lama siklus, mulai telur sampai menjadi cacing
dewasa dibutuhkan waktu 2-4 minggu (Jeffry dan Leach, 1993)
Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui 3 jalan :
a. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (autoinfeksi) atau pada orang
sesudah memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur
atau pakaian dalam penderita.
b. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur cacing infektif.
c. Penularan secara retroinfektifyaitu penularan yang terjadi pada penderita sendiri,
oleh karena larva yang menetas didaerah perianal mengadakan migrasi kembali ke
usus penderita dan tumbuh menjadi cacing dewasa (Soedarto, 1995)

2.8 Gejala Klinis


Enterobiasis sering asimptomatik. Gejala yang paling khas adalah pruritus perianal
(rasa gatal pada anus), terutama pada malam hari, yang dapat menyebabkan superinfeksi
bakteri (iritasi). Kadang-kadang, invasi pada saluran kelamin wanita dengan peradangan
vulvovagina dan pelvis atau granuloma peritoneal dapat terjadi. Gejala lain termasuk sakit
perut, anoreksia, insomnia, lemah, lekas marah dan masturbasi

8
2.9 Diagnosis Laboratorium
Cara memeriksa Enterobiasis yaitu dengan menemukan adanya cacing dewasa atau
telur dari cacing Enterobius vermicularis. Adapun caranya adalah sebagai berikut :

9
a. Cacing dewasa
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam feses, dengan syarat harus dilakukan onema
terlebih dahulu, yaitu memasukkan cairan kedalam rectum agar cacing dewasa keluar dari
rectum (Soejoto dan Soebari, 1996) Cacing dewasa yang ditemukan dalam feses, dicuci
dalam larutan Nacl agak panas, kemudian dikocok sehingga menjadi lemas, selanjutnya
diperiksa dalam keadaan segar atau dimatikan dengan larutan fiksasi untuk
mengawetkan. Nematoda kecil seperti Enterobius vermicularis dapat juga difiksasi
dengan diawetkan dengan alkohol 70% yang agak panas (Harold W.Brown, 1979)
b. Telur cacing
Telur Enterobius vermicularis jarang ditemukan didalam feses, hanya 5% yang positif
pada orang-orang yang menderita infeksi ini. (Soejoto dan Soebari, 1996) Telur cacing
Enterobius vermicularis lebih mudah ditemukan dengan teknik pemeriksaan Scotch
adhesive tape swab(Lynne dan David, 1996)
c. Teknik Pemeriksaan Laboratoroium Enterobiasis
Dalam pelaksanaan diagnostik untuk infeksi cacing kremi terdapat bermacam-macam
metode menurut cara pengambilan specimen :
1) Metode N-I-H (National Institude of Health)
Pengambilan sampel menggunakan kertas selofan yang dibungkuskan pada ujung
batang gelas dan diikat dengan karet pada bagian sisi kertas selofan. Kemudian
batang gelas pada ujung lainnya dimasukkan ke dalam tutup karet yang sudah ada
lubang di bagian tengahnya. Bagian batang gelas yang mengandung selofan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang kemudian ditutup karet. Hal ini
dimaksudkan agar bahan pemeriksaan tidak hilang dan tidak terkontaminasi.
(Hadidjaya Pinardi, 1994)
2) Metode pita plastik perekat (cellophane tape atau adhesive tape)
Pengambilan sampel menggunakan alat berupa spatel lidah atau batang gelas yang
ujungnya dilekatkan adhesive tape, kemudian ditempelkan di daerah perianal.
Adhesive tape diratakan di kaca objek dan bagian yang berperekat menghadap ke
bawah. Pada waktu pemeriksaan mikroskopis, salah satu ujung adhesive tape
ditambahkan sedikit toluol atau xylen pada perbesaran rendah dan cahayanya
dikurangi. (Gracia & Bracker, 1996)
3) Metode Anal Swab
Pengambilan sampel menggunakan swab yang pada ujungnya terdapat kapas telah
dicelupkan pada campuran minyak dengan paraffin

10
2.10 Epidemiologi dan Faktor Risiko
1. Epidemiologi
Infeksi cacing kremi lebih umum dalam keluarga dengan anak usia sekolah, terutama
pengasuh anak yang terinfeksi dan anak yang hidup dalam lingkungan yang sama (asrama,
panti asuhan).11
Seseorang yang terinfeksi cacing kremi karena menelan telur infektif secara langsung
atau tidak langsung. Telur-telur ini diletakkan di sekitar anus oleh cacing betina dan dapat
terbawa ke permukaan (tangan, mainan, kasur/seprai, pakaian dan tempat duduk toilet).
Dengan meletakkan tangan siapun yang terkontaminasi (termasuk tangan penderita sendiri)
di sekitar daerah mulut atau meletakkan mulut pada permukaan yang biasa terkontaminasi,
seseorang dapat menelan telur cacing kremi dan menjadi terinfeksi parasit cacing kremi.
Karena telur cacing kremi sangat kecil, hal itu memungkinkan untuk tertelan saat bernapas.11
Sesudah seseorang menelan telur cacing kremi, terdapat masa inkubasi 1-2 bulan atau
lebih bagi cacing betina untuk dewasa. Sesudah dewasa, cacing betina bermigrasi untuk
bertelur disekitar anus pada malam hari, ketika banyak dari hospes sedang tidur. Orang yang
terinfeksi cacing kremi dapat menularkan parasit tersebut ke orang lain selama masih
terdapat cacing betina yang meletakkan telurnya pada kulit perianal. Seseorang juga dapat
terinfeksi kembali karena dirinya sendiri (autoinfeksi) atau terinfeksi kembali karena telur
dari orang lain.11

2. Faktor Risiko
Faktor resiko yang berhubungan dengan enterobiasis adalah sebagai berikut:
a. Iklim
Enterobiasis lebih umum di daerah dingin. Pada daerah tropis insiden lebih sedikit
karena cukupnya sinar matahari dan udara panas. Telur menjadi rusak karena sinar
matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Telur cacing kremi dapat bertahan pada
lingkungan di dalam rumah/gedung selama 2-3 minggu.
b. Hygiene dan sanitasi
Menurut data Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2010, persentase
rumah tangga yang memenuhi kriteria Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan

11
katergori baik rata-rata secara nasional hanya 35,88 persen. Ketua umum Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Prijo Sidipraptomo, SpRad(K), menuturkan
terdapat empat faktor pencetus seseorang menderita sakit. Sekitar 40% karena perilaku,
30% lingkungan, 20% kelainan bawaan dan sisanya 10% karena minimnya akses ke
tempat kesehatan. Adapun yang dapat diintervensi dengan perubahan pola hidup adalah
karena perilaku dan lingkungan.13 Kondisi sanitasi lingkungan, kebersihan pribadi yang
buruk dan kesadaran akan kebersihan yang masih rendah merupakan faktor risiko
enterobiasis.
c. Kelompok umur
Menurut Prof. Tjandra, cacingan pada umumnya menyerang pada anak-anak karena
daya tahan tubuhnya masih rendah. Anak-anak Prevalensi terbanyak yang cacingan
adalah anak berusia di atas 2 tahun (usia sekolah SD)," papar Prof. Saleha. Namun
infeksi cacing kremi dapat terjadi pada siapa saja khususnya yang kurang menjaga
kebersihan diri.
d. Kepadatan penduduk
Daerah pemukiman yang padat memudahkan terjadinya penularan penyakit
enterobiasis melalui debu yang diterbangkan oleh angin dan memungkinkan terjadinya
infeksi pada suatu institusi/keluarga.9
e. Kondisi sosial ekonomi
Kecacingan banyak terdapat di daerah miskin/kondisi sosial ekonomi yang rendah.

2.11 Cara Penginfeksian


1. Auto-infection
Proses infeksi dikarenakan telur cacing kremi yang matur tertelan oleh manusia melalui
makanan (faktor kebersihan tangan dan makanan), atau tangan sesudah menggaruk
daerah perianal yang terdapat telur Enterobius vermicularis, tanpa sengaja atau tidak,
masuk kedalam mulut.

12
2. Retrofeksi

Proses infeksi ini terjadi tat kala larva dari telur yang menetas di sekitar anus kembali
masuk ke usus.

3. Melalui debu

13
Debu merupakan sumber infeksi kerena mudah diterbangkan oleh angin, sehingga
telur Enterobius vermicularis melalui debu dapat tertelan.

2.12 Daya tahan telur Enterobius vermicularis


Telur Enterobius vermicularis tidak tahan pada tempat yang panas dengan suhu 360C
sampai 370C dan kelembaban 38 sampai 41% kurang daripada 10% jumlah telur dapat hidup
atau morfologinya rusak selama 3 hari. Sedangkan pada suhu kamar biasa (20 sampai
24.50C) dan kelembaban 30 sampai 54% jumlah telur hanya dapat hidup selama 2 hari.
(Brown, HW. 1982)

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pencegahan
Sanitasi yang baik dapat mengurangi penularan. Penyuluhan mengenai kebersihan
pribadi sangat penting dalam menunjang keberhasilan pengobatan. Kuku hendaknya selalu
dipotong pendek dan tangan dicuci bersih sebelum makan. Anak yang terinfeksi sebaiknya
tidur memakai celana panjang supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat
menggaruk daerah perianal. Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang
mengandung parasite. Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih setiap hari. Hal ini
merupakan cara yang bermanfaat untuk membatasi penularan telur (Lubis, 2008)
14
3.2 Pengobatan
Pengobatan infeksi cacing ini sebaiknya dilaksanakan pada seluruh anggota keluarga,
oleh karena mudahnya penularan cacing (Lubis, 2008). Enterobius Vermicularis rentan
terhadap sejumlah obat cacing dengan keberhasilan pengobatan >90%.
Pyrantel pamoate, mebendazole dan albendazole memiliki efektivitas tinggi dalam
mengobati infeksi cacing ini (28) Albendazole diberikan dengan dosis 400 mg per oral dosis
tunggal pada anak >2 tahun. Anak yang berumur <2 tahun diberikan 100 mg. mebendazole
diberikan dengan dosis 100 mg per oral dosis tunggal. Pryantel pamote diberikan dengan
dosis 10 mg/kgBB. Keseluruhan obat jika diperlukan dapat diulangi 2-4 minggu kemudian.
Albendazole
Albendazole merupakan benzimidazole, obat cacing berspektrum luas yang
mempunyai aktivitas poyen terutama terhadap berbagai nematode usus dan jaringan tetapi
juga terhadap bentuk larva dari cestoda tertentu, diberikan secara oral dan sudah digunakan
sejak tahun 1979 (Tracy, 2001). Bebrapa bukti menunjukan bahwa albendazole tidak hanya
membunuh cacing dewasa yang hidup di usus tetapi juga membunuh telur (Mainsonneuve
dkk, 1985) dan juga larva (Cline dkk,1984) dikutip (Lubis, 2008).
Pada pemberian oral obat ini diserap dengan cepat oleh usus. Proses absorpsi
meningkat dengan adanya makanan berlemak dan garam empedu. Albendazole cepat di
metabolism di hati dan usus menjadi albendazole sulfoxide, yang mempunyai aktifitas poten
sebagai obat cacing. Total sulfoxide mencapai konsentrasi puncak plasma berkisar 300
ng/mL, tetapi hal ini bervariasi antar individu. Albendazole sulfoxide 70% berikatan
dengan plasma protein dan waktu taruh di plasma berkisar 4-15 jam. Metabolitnya terutama
dikeluarkan lewat urin dan sedikit saja yang lewat feses.
Obat ini bekerja dengan cara memblokir pengambilan glukosa oleh larva maupun
cacing dewasa, sehingga persediaan glikogen menurun dan pembentukan ATP berkurang,
akibatnya parasite (cacing) akan mati. Efek samping berupa nyeri ulu hati, diare, sakit
kepala, mual, lemah, dizziness, insomnia, frekuensinya sebanyak 6%. Tetapi pada salah satu
penelitian dilaporkan bahwa insiden efek samping ini sama untuk golongan placebo
dibandingkn dengan golongan obat (Sukarban, 1995). Albendozole bersifat tertogenik dan
embriotoksik pada percobaan hewan, oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan pada wanita
hamil (Tracy, 2011).
3.3 Pengendalian
Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk mengendalikan infeksi cacing
kremi adalah:

15
1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
3. Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
4. Mencuci jamban setiap hari
5. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari tangan dan
setiap benda yang dipegang/disentuhnya
6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut.
Jika dilihat dari beberapa langkah langkah umu dalam mengendalian infeksi cacing
kremi atau Enterobius Vermicularis yang paling penting yakni mengenai PHBS (Pola Hidup
Bersih dan Sehat) suatu keluarga. Maka dari itu, hal yang perlu untuk dikontrol yakni
mengenai pola hidup suatu masyarakat yang sadar akan kebersihan dan kesehatan sehingga
meminimalisir angka kesakitan bahkan angka kematian yang ada di masyarakat.
Personal hygiene yang buruk pada anak seperti jarang mandi, tidak membersihkan
kaki dan tangan setelah bermain, tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan
setelah buang air besar serta kuku kotor akan mempengaruhi kesehatan anak, sehingga jika
ada telur cacing Enterobius vermicularis yang terhirup bersama debu ataupun telur cacing
yang masuk ke dalam tubuh anak melalui tangan anak yang kotor akan menyebabkan anak
tersebut terinfeksi enterobiasis. Kebersihan diri yang kurang akan menjembatani masuknya
telur cacing Enterobius vermicularis penyebab enterobiasis (Perdana dan Setjajadi, 2013;
Kim et al , 2010)
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi enterobiasis yaitu
hygiene diri yang buruk, sosial ekonomi rendah, faktor penularan pada keluarga, sanitasi
yang jelek, pola asuh yang kurang, pengalaman orang tua tentang kecacingan yang kurang,
pekerjaan orang tua, dan pengetahuan orang tua akan kecacingan yang minim akan
kecacingan serta tingkat pendidikan ibu yang rendah berkaitan dengan prevalensi kejadian
infeksi enterobiasis (Cho et al , 2013; Li et al , 2015; Mohammadi et al , 2014).
Kebersihan perorangan (personal hygiene) adalah cara perawatan diri manusia
sebagai upaya untuk memelihara kesehatan. Kebersihan perorangan sangat penting untuk
diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu,
keamanan dan kesehatan (Potter dan Perry, 2005). Kebersihan perorangan dalam kehidupan
sehari-hari harus diperhatikan dan dijaga karena dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan
psikis. Perilaku personal hygiene dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu seperti nilai dan
kebiasaan individu, kebudayaan yang dianut, sosial ekonomi, tingkat pendidikan, keluarga,

16
tingkat perkembangan dan persepsi seseorang terhadap kesehatan(Tarwoto dan Wartonah,
2010).
Enterobiasis pada umumnya berparasit pada anak-anak (Irianto, 2013). Penyakit
enterobiasis menjadi salah satu penyebab kecacingan yang paling sering menyerang pada
anakanak di negara berkembang, seperti Indonesia (Lubis et al , 2008). Terbukti dari hasil
penelitian yaitu 45 sampel yang diteliti masih terdapat 8 anak yang terinfeksi enterobiasis
yang membuktikan bahwa enterobiasis masih menjadi satu masalah pada anak sekolah dasar
karena angka kejadiannya yang masih tinggi.
Menurut penelitian yang dilakukan Suraweera et al (2015) di Sri Langka
memaparkan bahwa personal hygiene seperti mencuci tangan sebelum makan dan setelah
defekasi memiliki kaitan yang erat terhadap infeksi enterobiasis pada anak di negara tersebut
dengan hasil nilai signifikansi p < 0,001. Penelitian lain yang dilakukan oleh Satriyo tahun
2011 pada siswa SD Negeri Pondokrejo 4 Jember, mengungkapkan bahwa anak sekolah
dasar yang cenderung masih suka bermain dan kurang memahami tentang kebersihan diri
sehingga angka kejadian enterobiasis cukup tinggi. Menjaga personal hygiene atau
kebersihan diri seperti membiasakan mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air
dapat dilakukan sebagai upaya dalam pencegahan penyakit kecacingan atau pada
enterobiasis (Yudhastuti dan Lusno, 2012).
Menurut Odigwe (2015) seseorang yang memiliki personal hygiene yang baik
merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk melindungi dirinya dari berbagai
serangan penyakit. Personal hygiene yang baik akan meminimalkan pintu masuk (port de
entry) dari organisme yang terdapat dimana saja, hingga dapat mengurangi risiko seseorang
untuk terserang penyakit. Personal hygiene yang buruk menjadi salah satu faktor
mempermudah masuknya infeksi ke dalam tubuh termasuk infeksi enterobiasis (Listautin,
2012).

17
BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Enterobiasis juga merupakan penyakit keluarga yang disebabkan oleh mudahnya
penularan telur baik melalui pakaian maupun alat rumah tangga lainnya. Anak berumur 5-14
tahun lebih sering mengalami infeksi cacing Enterobius vermicularis dibandingkan dengan
orang dewasa yang lebih bisa menjaga kebersihan

4.2 Saran
Selalu menjaga kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan serta kebersihan
makanan merupakan cara paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan enterobiasis,
dan hygiene tangan juga penting untuk pencegahan. Kuku hendaknya selalu dipotong
pendek, tangan dicuci bersih sebelum makan. Anak yang mengandung cacing kremi
sebaiknya memakai celana panjang, jika hendak tidur supaya alas kasur yang terkontaminasi
dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. Tempat tidur selalu dibersihkan karena

18
mudah sekali terkontaminasi oleh telur cacing Enterobius vermicularis infektif. Usahakan
sinar matahari langsung dapat memasuki kamar tidur oleh karena telur Enterobius
vermicularis akan dapat terbunuh oleh sinar matahari tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Shadood, H.A.S., 2015. Study the Association Between Enterobius vermicularis Infection and
Enuresis Among Children in Al-Najaf City. ALQadisiyah Journal of Vet.Med.Sci.Vol.14
No.1.
Bala, A.Y., Sule, H., 2012. Vectorial Potential of Cockroachesin Transmiting Parasites of
Medical Importance in Arkilla, Sakoto, Nigeria.Nigerian Journal of Basic and Aplicated
Science. 28(2):111-115.
Bunchun, N., Apichat, V., Damrongpan ,T., Supaporen, L., Urat, P., Puangphet, W., Jintana, W.,
Boonruang, K., Rattiya, C., Siriwan, W., Tusanee, M., Aree, T., Sittud, S., Charunan, B.,
Palprecha, C., Raxsina, P., 2011. Enterobius vermicularis Infection Among Children in
Lower North Thailand. J Trop Med Parasitol. 34:36-40.
Celiksoz, A., Mehmet, A., Serpil, D., Yasemin, A.O., Ahmed, A., 2010. Effect of Enterobiasis on
Primary School Children.African Journal of Microbiology Reserch Vol.4, p.634-639.
Cho, M.K., Kim, D.H., Park, M.K., Kang, S.E., Bo, Y.K., Sang, K.P., Hak, S.Y., 2013.
Enviromental Factor Related to Enterobiasis in a Southeast Region of Korea. Korean J
Parasitol Vol. 51, No. 1: 139-142.

19
Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2013. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012.
Jawa Tengah: Dinas Kesehatan Jateng
Gandahusda, S., Herry, D.H., Wita P., 2004. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Gunawardena, N.K., Chandrasena, T.N., Desilva, N.R., 2013. Prevalence of Enterobiasis Among
Primary School Childern in Ragama, Sri Langka. Ceylon Medical Journal58: 106-110.
Hadidjaja, P., dan Margono, S.S., 2011. Dasar Parasitologi Klinik . Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
Listautin, 2012.Pengaruh Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah, Personal hygiene dan
Indeks Massa Tubuh (IMT) Terhadap Keluhan Kesehatan pada Pemulung di Kelurahan
Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2012. (Tesis). Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Sumatra Utara.
Lubis, S.M., Syahril, P., Choiruddin P.L., 2008. Enterobiasis pada Anak. Sari Pediatri. 9(5):314-
8.
Perdana, A.S., dan Sedjajadi, K., 2013. Hubungan Higene Tangan dan Kuku dengan Kejadian
Enterobiasis Pada Siswa SDN Kenjeran No. 248 Kecamatan Bulak Surabaya.Jurnal
Kesehatan Lingkungan Vol.7, No.1: 7- 13.
Satriyo, D.R., 2011. Prevalensi Enterobius vermicularispada Siswa SDN Pondokrejo 4 Jember.
(Skripsi). Fakultas Kedokteran. Universitas Jember.
Sukarban S, Santoso SO. Antelmintik. Dalam : Gnaiswarna SG, Srtiabudy R, Frans DS,
Purwantyastuti, Nafrialdi, Penyunting. Farmakologi dan terapi. Edisi Ke-4. Jakarta : gaya
Bary ; 1995. H. 533-4
Suraweera, O.S.A., Lahiru, S.G., Devika, I., Susiji, W., 2015. Prevalence and Associate Factor of
Enterobius vermicularis Infection in Childern from a Poor Urban Community in Sri
Langka: A Cross-Sectional Study. International Journal of Reserch in Medical Science.
3(8): 1994-1999.
Tracy JW, Webster LT. Drugs used in the chemotherapy of helmininthiasis Dalam; Goodman &
Gilmans the pharmacological basic of therapeutics. Edisi ke-10. New York ; Mc Graw-
Hill; 2011.h.1122-3

20
JURNAL YANG MENDUKUNG

21

Anda mungkin juga menyukai