Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Baku
2.1.1 Rumput Laut

Kondisi perairan Indonesia yang luas dan subur mencerminkan


potensi hasil laut yang cukup tinggi. Salah satu komoditi sumber daya laut
yang ekonomis adalah rumput laut (Zatmika dan Istini, 2000). Rumput laut
tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat
tertentu, menyerupai thallus Pertumbuhan dan penyebarannya sangat
tergantung faktor-faktor oseanografi (fisik, kimia, dan dinamika air laut) serta
jenis substrat dasarnya. Perkembangbiakan rumput laut dapat secara generatif
dan dapat juga secara vegetatif. Rumput laut disebut sebagai sumber gizi
karena memiliki kandungan karbohidrat (gula atau vegetable-gum), protein,
sedikit lemak dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium
dan kalium, oleh karena itu rumput laut banyak diolah dalam penggunaan obat,
bahan makanan dan bahan-bahan industri (Anggadireja dkk, 2006).
Rumput Laut juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan mentah
pembuatan agar-agar, karagenan, dan algin. Semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan, pemanfaatan rumput laut tidak hanya terbatas untuk dibuat
makanan saja, tetapi juga digunakan sebagai bahan baku industri obat-obatan,
minuman, kosmetik, pasta gigi dan lain-lain (Aslan, 1998). Salah satu jenis
rumput laut yang sering digunakan adalah rumput laut Eucheuma spinosum.
Rumput laut Eucheuma spinosum dapat hidup di perairan payau.
Rumput laut Eucheuma spinosum ini adalah jenis rumput laut yang bersifat
agarofit atau jenis rumput laut penghasil agar-agar. Perkembangan budidaya
rumput laut jenis ini sama halnya budidaya rumput laut jenis Eucheuma
cottoni. Sentra penghasil Eucheuma spinosum banyak terletak di Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, seperti halnya di daerah Cirebon,
Madura, Solor, dan Selat Sunda yang menjadi daerah penghasil rumput laut di
Indonesia (Atmadja et al. 1996).
Eucheuma spinosum dikenal dengan nama ilmiah Eucheuma
muricatum dan Eucheuma denticulatum merupakan penghasil utama iota
karagenan, merupakan jenis alga merah yang dapat dijumpai hampir di semua

4
perairan tropik. Berperan besar dalam bidang industri dan farmasi diantaranya
adalah pembuatan agar-agar. Banyak dijumpai pada kedalaman kurang lebih 3-
12 m. Ciri fisik Eucheuma spinosum mempunyai bentuk thallus bulat tegak,
dengan ukuran panjang 5-30 cm, transparan, warna coklat kekuningan sampai
merah kekuningan. Permukaan thallus tertutup oleh tonjolan yang berbentuk
seperti duri-duri runcing yang tidak beraturan, duri tersebut ada yang
memanjang seolah berbentuk seperti cabang. Tanaman tegak karena
percabangannya yang rimbun dapat membentuk rumpun. Percabangan thallus
tumbuh pada bagian yang tua ataupun muda tidak beraturan.
Eucheuma spinosum adalah salah satu jenis rumput laut dari kelas
Rhodophyceae (ganggang merah). Klasifikasi Eucheuma spinosum menurut
Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma spinosum

Gambar 2.1 Rumput laut


Eucheuma spinosum

Sebagai organisme hidup


Eucheuma spinosum memiliki kemampuan beradaptasi terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti:

1. Cahaya
Kemampuan adaptasi Eucheuma spinosum terhadap cahaya sangat
baik. Cahaya yang masuk ke dalam perairan baik dalam jumlah banyak

5
atau sedikit dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhannya. Pada
pertumbuhan Eucheuma spinosum memiliki toleransi yang tinggi
terhadap cahaya berlebihan dan biasa tumbuh pada kedalaman 5-10cm
sehingga dapat menyerap sinar matahari berwarna kuning dengan
panjang gelombanh 580-630 nm yang dapat memberikan pengaruh
positif terhadap pertumbuhannya.
Pertumbuhan Eucheuma spinosum akan semakin baik apabila
berada pada perairan yang jernih, karena pada umumnya kekeruhan
akan menutupi tanaman sehingga proses fotosintesa akan terganggu.
Sebagaimana diketahui bahwa penetrasi sinar matahari ke dalam air
yang keruh akan sangat cepat menurun dibandingkan dengan perairan
jernih, hal ini akan menyebabkan daya produksi Eucheuma spinosum
menurun karena pada kondisi perairan yang semakin keruh proses
fotosintesa tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan identifikasi
masalah tersebut di atas maka tingkat sedimentasi di perairan tambak
perlu dikaji sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana pengaruh
tingkat sedimantasi terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan
Eucheuma spinosum.

2. Suhu
Selain beradaptasi dengan cahaya, Eucheuma spinosum juga
memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap suhu.
Kemampuan ini sangatlah bervariasi tergantung pada tempat dimana
tumbuhan tersebut hidup. Eucheuma spinosum yang hidup di Atlantik
Utara dapat bertahan pada suhu 7C di musim dingin dan 30C di
musim panas. Akan tetapipertumbuhan alga ini akan terhambat apabila
suhu air dibawah 8C. Untuk budidaya Eucheuma spinosum temperatur
optimum yang diperlukan adalah 20-25C. Sedangkan di Indonesia,
salah satu persyaratan untuk membudidayakan Eucheuma spinosum,
suhu air sebaiknya berkisar antara 20-28C.

3. Salinitas dan pH
Kemampuan adaptasi Eucheuma spinosum terhadap salinitas juga
sangat tinggi. Alga ini dapat hidup pada kisaran salinitas 5-43 per mil.
Secara umum untuk budidaya Eucheuma spinosum kisaran salinitas

6
yang baik adalah 15-20 per mil serta kisaran pH antara 6-9 dengan pH
optimum 8.2-8.7. Untuk usaha budidaya Eucheuma spinosum di
Indonesia, kisaran salinitas adalah 18-32 per mil dengan salinitas
optimum 25 per mil, sedangkan pH berkisar antara 8-8.5.

Sampai saat ini di Indonesia, hanya Eucheuma spinosum dan


Eucheuma cottoni yang perkembangan budidayanya sangat menjajikan.
Sampai dengan tahun 2009 produksi rumput laut kedua jenis tersebut masing-
masing sebesar 2.791.688 ton dan 171.868 ton per tahunnya (Anggadireja dkk,
2006). Karena besarnya jumlah produksi rumput laut jenis Eucheuma
spinosum, memungkinkan untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai
jual.
a. Sifat Fisika
a) Berbentuk lancip dan agak transparan
b) Dinding thallusnya terdapat lendir yang liat
c) Berwarna thallus putih bercampur merah muda
d) Terkadang bertekstur seperti lem
b. Sifat Kimia
Komposisi senyawa organik dari rumput laut Eucheuma spinosum
yang tumbuh di Indonesia adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1. Komposisi senyawa organik Eucheuma spinosum sp.


Komponen Jumlah
Air (%) 12,9
Protein Kasar (%) 5,12
Lemak (%) 0,13
Karbohidrat (%) 13,38
Serat Kasar (%) 1,39
Abu (%) 14,21
Kalsium (ppm) 52,85
Besi
(ppm) 0,108
Tembaga (ppm) 0,768
Vitamin B1
(mg/100g) 0,21
Vitamin B2
(mg/100g) 2,26
Vitamin C (mg/100g) 43
Karagenan (%) 65,75

7
Sumber: Yunizal (2008)

Dari data tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar karagenan yang
cukup tinggi dalam rumput laut dapat dijadikan sebagai bahan baku
karagenan atau agar-agar yang memiliki kualitas yang cukup baik.

2.1.2 Natrium Hidroksida


Natrium Hidoksida (NaOH), juga dikenal sebagai soda kaustik, soda
api, atau sodium hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium
Hidroksida terbentuk dari oksida basa Natrium Oksida dilarutkan dalam air.
Natrium Hidroksida membentuk larutan alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke
dalam air, digunakan di berbagai macam bidang industri, kebanyakan
digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas, tekstil,
air minum, abun dan deterjen. Natrium hidroksida adalah basa yang paling
umum digunakan dalam laboratorium kimia.
Natrium Hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersdia dalam bentuk
pellet, serpihan, butiran, ataupun larutan jenuh 50% yang biasa disebut larutan
Sorensen. Ia bersifat lemnbab cair dan secara spontan menyerap karbon
dioksida dari udara bebas. Ia sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas
ketika dilarutkan, karena pada proses pelarutannya dalam air bereaksi secara
eksotermis. Ia juga larut dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan NaOH
dalam kedua cairan ini lebih kecil daripada kelarutan KOH. Ia tidak larut
dalam dietil eter dan pelarut non-polar lainnya. Larutan natrium hidroksida
akan meninggalkan noda kuning pada kain dan kertas.

Gambar 2.5 Struktur Kimia


Natrium Hidroksida
a. Sifat Fisika
a) Keadaan fisik : Solid, pellet

8
b) Warna : Putih
c) Bau : Tidak berbau.
d) Molekul Berat : 40 g / mol
e) pH (1% soln / air) : 13,5
f) Titik Didih : 1388C (2530,4F)
g) Titik Leleh : 323C (613,4F)
h) Spesifik Gravity : 2.13 (Air = 1)
i) Massa molar : 39,8871 g/mol
j) Densitas : 2,1 g/cm3, padat
k) Titik Lebur : 318 0C (591 K)
l) Kelarutan dalam air: 111 g/100 ml (200C)
m) Kebasaan : -2,43
b. Sifat Kimia
Natrium hidroksida didominasi ion, mengandung kation natriumhid
roksida dan anion. Anion hidroksida natrium hidroksidamembuat dasar
yang kuat yang bereaksi dengan asam membentuk air dan garam yang
sesuai.
a) Natrium Hidroksida bereaksi dengan asam protik untuk
memberikan air dan garam yang sesuai asam klorida, natrium
klorida terbentuk.
NaOH (aq) + HCl (aq) NaCl (aq) + H2O (l)
Secara umum reaksi netralisasi tersebut diwakili oleh satu
persamaan ionih sederhana bersih.
OH-(aq) + H + (aq) H2O (l)
b) Natrium Hidroksida bereaksi dengan oksida asam, seperti sulfur
dioksida
Reaksi ini sering digunakan untuk menggosokgas asam
berbahaya seperti SO2 dan H2S yang dihasilkan dalam
pembakaran batubara dan dengan demikian mencegah pelepasan
mereka ke atmosfer. Sebagai contoh:
2 NaOH + CO2 + H2O Na2CO3
Elektrolisa di laboraturium, dengan kontrol hati0hati kondisi,
logam natrium dapat diisolasi dari elektrolisis dari monohidrat
cair dalam versi suhu rendah dari proses castner. Sesuai dengan
reaksi berikut
4 NaOH H2O (l) 4 Na (l) + O2 (g) + H2O 6 (g)

2.1.3 Kalium Hidroksida


Kalium hidroksida (KOH) adalah senyawa kimia yang merupakan
besi logam yang sangat basa. Senyawa ini terkadang juga dikenal sebagai

9
potasium kaustik, dan kalium hidrat. Dalam bidang pertanian, kalium
hidroksida digunakan untuk memperbaiki pH larutan asam. Senyawa ini juga
bisa digunakan sebagai fungisida atau juga herbisida. Kalium hidroksida adalah
salah satu bahan kimia industri besar yang digunakan sebagai besi dalam
berbagai proses kimia, termasuk:
a. Kopolimer ester akrilat
b. Agen penyabunan yang digunakan untuk pembuatan kertas
c. Minyak-minyak penyabunan untuk sabun cair
d. Bahan pembantu pembuatan makanan
e. Agen penjaga pH
f. Damar-damar polietilen
g. Pengolahan tekstil
h. Katalis untuk reaksi seperti produksi biodiesel

Penggunaan-penggunaan lain termasuk:


a. obat hewan: untuk menghancurkan tanduk-tanduk anak sapi yang baru
berkembang, dan untuk melarutkan sisik dan bulu;
b. medis manusia: untuk mendiagnosa infeksi jamur
c. Senyawa jenis ini juga digunakan untuk bubuk-bubuk pencuci,
beberapa pembersih gigi palsu, deterjen bukan fosfat, serta bahan-bahan
pencuci parit atau pipa.
d. Bagi orang biasa, salah satu penggunaan KOH yang sangat penting
adalah untuk baterai alkali yang menggunakan larutan KOH sebagai
elektrolit. Jadi, kalium hidroksida membantu memasok listrik untuk
lampu senter, detektor asap, dan barang-barang keperluan rumah.

a. Sifat Fisika

a) Pemerian : Serbuk warna putih tidak berbau

b) Rumus molekul : KOH

c) Berat molekul : 56,10564 gr/mol

d) Titik lebur : 360C

e) Titik didih : 1320 o C

10
f) Densitas : 2,044 gr/cm 3

g) Hf o Kristal : -114,96 kj/kmol

h) Kapasitas panas : 0,75 J/kmol

i) Kelarutan (air) : 1109 g/L

b. Sifat Kimia

a) Membuat kalium hidroksida dari logam. Meskipun bukan cara


yang baik secara komersial dalam mempersiapkan kalium
hidroksida, logam kalium dapat dikombinasikan dengan air (ini
berbahaya) untuk bereaksi hingga menghasilkan kalium
hidroksida dan hidrogen.

2 K + 2 H O > 2 KOH + H

b) Membuat kalium hidroksida dari abu kayu. . Kalium karbonat,


jika dipanaskan kuat, mengeluarkan gas karbon dioksida,
memproduksi oksida kalium. Mereaksikan oksida dengan air
menghasilkan kalium hidroksida.

K CO >K O + CO

K O + H O >2 KOH

c) Elektrolisis larutan kalium klorida sehingga menghasilkan gas


klor pada satu elektroda dan kalium hidroksida pada yang lain.
Gas dibiarkan hingga lepas ke atmosfer. Reaksi adalah:

2 KCl + 2 H O ->2 KOH + Cl + H

d) Kalium hidroksida dapat dibuat (meskipun tidak praktis) dari


hidrida, acetylide, azida, dan sejumlah senyawa lainnya.

11
Misalnya, azida , KN bereaksi dengan air untuk membentuk
hidroksida kalium, gas amoniak, dan panas:

2 K N + 6 H2O >6 KOH + 2 NH3 + panas

2.1.4 Natrium Klorida


Natrium klorida juga dikenal dengan garam dapur, atau halit, adalah
senyawa kimia dengan rumus molekul NaCl. Senyawa ini adalah garam yang
paling memengaruhi salinitas laut dan cairan ekstraselular pada banyak
organisme multiselular. Sebagai komponen utama pada garam dapur, natrium
klorida sering digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan.
Sodium Chlorida atau Natrium Chlorida (NaCl) yang dikenal sebagai
garam adalah zat yang memiliki tingkat osmotik yang tinggi. Zat ini pada
proses perlakuan penyimpanan benih recalsitran berkedudukan sebagai
medium inhibitor yang fungsinya menghambat proses metabolisme benih
sehingga perkecambahan pada benih recalsitran dapat terhambat. Dengan
kemampuan tingkat osmotik yang tinggi ini maka apabila NaCl terlarut di
dalam air maka air tersebut akan mempunyai nilai atau tingkat konsentrasi
yang tinggi yang dapat mengimbibisi kandungan air (konsentrasi rendah)/low
concentrate yang terdapat di dalam tubuh benih sehingga akan diperoleh
keseimbangan kadar air pada benih tersebut. Hal ini dapat terjadi karena H2O
akan berpindah dari konsentrasi yang rendah ke tempat yang memiliki
konsentrasi yang tinggi. Hal ini merupakan hal yang sangat menguntungkan
bagi benih recalsitran, karena sebagaimana kita ketahui benih recalsitran yaitu
benih yang memiliki tingkat kadar air yang tinggi dan sangat peka terhadap
penurunan kadar air yang rendah. Kadar air yang tinggi menyebabkan benih
recalsitran selalu mengalami perkecambahan dan berjamur selama masa
penyimpanan atau pengiriman ketempat tujuan. Namun dengan perlakuan
konsentrasi sodium chlorida (NaCl) maka hal ini dapat teratasi.
a. Sifat Fisika
a) Keadaan fisik : Solid (Bubuk kristal padat)
b) Bau : Sedikit.
c) Rasanya : Asin.
d) Berat Molekul : 58,44 g / mol

12
e) Warna : Putih.
f) pH (1% soln / air) : Netral 7
g) Titik Didih : 1413C (2575,4F)
h) Melting Point : 801 C (1473,8F)
i) Spesifik Gravity : 2.165 (Air=1)
j) Kelarutan : Mudah larut dalam air dingin, air panas.
Larut dalam gliserol, dan amonia. Sangat
sedikit larut dalam alkohol. tidak larut
dalam Asam klorida.
b. Sifat Kimia
a) Proses atomisasi natrium. Pada tahap ini padatan Na diubah
menjadi atom-atom Na dalam fasa gas. Tahap ini berlangsung
secara endotermik karena diperlukan sejumlah energi untuk
memutuskan ikatan logam antara atom antara atom-atom Na
yang terdapat dalam logam natrium.energi yang menyertai
tahap ini disebut energi atomisasi, HA. Pada tahap ini gas Cl2
tidak mengalami perubahan. Reaksi yang terjadi dapat
dituliskan sebagai berikut:
Na(s) + 1/2Cl2(g) Na(g) + 1/2Cl2 HA = 108,4 kJ/mol
b) Pembentukan kisi kristal NaCl. Pada tahap ini pasangan ion
Na+Cl berubah menjadi kristal NaCl. tahap ini berlangsung
secara eksotermik karena terjadi gaya tarik antara pasangan-
pasangan ion untuk membentuk kisi kristal. Energi yang
menyertai tahap ini disebut energi kisi, U. Reaksi yang terjadi
dapat dituliskan sebagai berikut:
Na+Cl(g) NaCl(s) U = -336,8 kJ/mol
Pembentukan kristal NaCl dari unsur-unsurnya dapat
ditunjukan dengan persamaan reaksi berikut:
Na(s) + 1/2Cl2(g) NaCl Hf = -410,8 kJ/mol
2.1.5 Air
Air mempunyai rumus kimia H2O, yang berarti satu molekul air
terdiri dan dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Sering digunakan sebagai
pelarut Air merupakan senyawa kimia yang paling aman dan paling dibutuhkan
seluruh makhluk hidup karena tanpa air makhluk hidup tidak akan dapat
bertahan hidup. Ilmu yang mempelajari tentang kandungan, sifat-sifat, proses
penyebaran, dan kebiasaan alami air dikenal dengan hidrologi. Hidrologi
merupakan induk ilmu untuk percabangan teknik sipil, dan hidrologi

13
mempelajari masalah persediaan air dan penyaluran kotoran, sistem pengaliran
air dan irigasi, peraturan navigasi dan sungai, dan pengendalian banjir dan
tenaga air.
Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi
standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) and temperatur 273,15 K (0 C).
Zat kimia ini merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki
kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam-garam,
gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam molekul organik.
Air merupakan suatu larutan yang bersifat universal (Linsley, 1991).
Air merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan bagi kehidupan
Manusia, karena air diperlukan untuk bermacam-macam kegiatan seperti
minum, pertanian, industri dan perikanan. Air yang dapat diminum adalah air
yang bebas dari bakteri berbahaya dan ketidak murnian secara kimiawi. Air
minum harus bersih dan jernih, tidak berbau dan tidak berwarna, dan tidak
mengandung bahan tersuspensi atau kekeruhan (Adiono, 1987).
Manusia sejak dahulu kala sudah menyadari betapa pentingnya peranan
air. Secara global tubuh manusia dewasa mengandung air sebanyak 50 70 %
dari bobot tubuhnya. Bila tubuh air kehilangan air sebanyak 15 % dari bobot
tubuhnya akan mengakibatkan kematian. Dalam tubuh manusia air diperlukan
untuk melarutkan berbagai jenis zat yang diperlukan tubuh. Sebagai contoh,
oksigen perlu dilarutkan dahulu, sebelum dapat memasuki pembuluh-pembuluh
darah yang ada disekitar alveoli. Demikian pula dengan zat makanan yang
hanya dapat diserap apabila dapat larut dalam cairan yang meliputi selaput
lendir usus. Air sebagai bahan pelarut, membawa segala jenis makanan
keseluruh tubuh dan mengambil kembali segala buangan untuk dikeluarkan
dari tubuh (Soemirat, 1994).
Air adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Bahkan dapat dipastikan tanpa pengembangan sumberdaya air secara konsisten
peradaban manusia tidak akan mencapai tingkat yang dinikmati sampai saat
ini. Oleh karena itu pengembangan dan pengolahan sumber daya air
merupakan dasar peradaban manusia (Sunaryo, dkk, 2005).

14
Air merupakan sumber daya yang sangat diperlukan oleh makhluk
hidup baik untuk memenuhi kebutuhannya maupun menopang hidupnya secara
alami. Kegunaan air yang bersifat universal atau menyeluruh dari setiap aspek
kehidupan menjadi semakin berharganya air baik jika dilihat dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Semakin tinggi taraf kehidupan seseorang, maka
kebutuhannya akan air pun akan meningkat (Unus S,1996).
a. Sifat fisika
a) Rumus molekul : H2O
b) Berat molekul : 18,016 g/mol
c) Titik lebur : 0 C (1 atm)
d) Titik didih : 100 C (1 atm)
e) Densitas : 1 g/ml (4C)
f) Specfic gravity : 1,0 (4 C)
g) Viskositas : 0,8949 cp
h) Indeks bias : 1,333 (20 C)
i) Kapasitas panas : 1 kal/g
j) Panas pembentukan : 80 kal/g
k) Panas penguapan : 540 kal/g
l) Temperatur kritis : 374 C
m) Tekanan kritis : 217 atm
b. Sifat Kimia
a) Pembakaran gas propana C3H8 dengan gas Oksigen berlebih
menghasilkan gas karbon dioksida dan uap air.
C3H8(g) + 5 O2(g) --> 3 CO2(g) + 4 H2O(g)
b) Elektrolisis air adalah peristiwa penguraian senyawa air (H2O)
menjadi oksigen (O2) dan hidrogen gas (H2) dengan menggunakan
arus listrik yang melalui air tersebut.Secara kimia, reaksi
pemecahan molekul air menjadi hidrogen dan oksigen mengikuti
persamaan reaksi sebagai berikut.
Katoda : H2O(g) > 2e- + H2 (g) + O2-
Anoda : O2- > O2 (g) + 2e-
Total : H2O(l) > H2(g) + O2(g)
c) jika air direaksikan dengan asam klorida (HCl) membentuk
ion hidronium, H3O+, sesuai dengan reaksi sebagai berikut:
HCl + H2O H3O+ + Cl

d) Kebanyakan asam asetat murni dihasilkan melalui karbonilasi.


Dalam reaksi ini,metanol dan karbon monoksida bereaksi
menghasilkan asam asetat sesuai persamaan:

15
Proses ini melibatkan iodometana sebagai zat antara, di mana
reaksi itu sendiri terjadi dalam tiga tahap. Diperlukan
suatukatalis karbonil logam untuk karbonilasi (tahap 2).

CH3OH + HI CH3I + H2O

CH3I + CO CH3COI

CH3COI + H2O CH3COOH + HI

Dua proses terkait dengan karbonilasi metanol adalah: proses


Monsanto dengan katalis rodium, dan proses Cativa dengan katalis
iridium. Proses Cativa lebih ramah lingkungan dan lebih efisien dan
telah banyak menggantikan proses sebelumnya. Jumlah katalisis air
yang digunakan dalam kedua proses cukup banyak, tetapi proses
Cativa memerlukan lebih sedikit air, sehingga reaksi pergeseran air-
gas dapat ditekan dan produk sampingan yang dihasilkan juga lebih
sedikit.

e) Selain dengan cara fermentasi etanol dapat pula diproduksi hidrasi


etilena menggunakan katalis asam fosfat pada suhu 300C. Sesuai
dengan reaksi berikut:

C2H4 + H2O CH3CH2OH

2.2 Produk
2.2.1 Karagenan
Karagenan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil
ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air atau larutan alkali pada
suhu yang tinggi (Pebrianata, 2005 dalam Gliksman, 1982).
Karagenan yaitu senyawa hidrokoloid yang merupakan senyawa
polisakarida rantai panjang yang diekstraksi dari rumput laut jenis-jenis

16
karaginofit, seperti Eucheuma sp., Chondrus sp., Hypnea sp., dan Gigartina
sp (Anggadiredja dkk, 2006).
Didasarkan pada stereotipe struktur molekul dan posisi ion sulfatnya,
karagenan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu iota-carrageenan, kappa-
carrageenan, dan lambda-carrageenan. Ketiganya berbeda dalam sifat gel dan
reaksinya terhadap protein (Anggadiredja dkk, 2006).
1. Iota-carrageenan
Iota karagenan (-karagenan) adalah jenis yang banyak jumlahnya
di alam, dapat ditemukan di Eucheuma spinosum (rumput laut) dan
merupakan karagenan yang paling stabil pada larutan asam dserta
membentuk gel yang kuat pada larutan yang mengandung garam
kalsium.

Gambar 2.2 Struktur Kimia iota-carrageenan


2. Kappa-carrageenan
Kappa karagenan (-karagenan) merupakan jenis yang paling
banya terdapat di alam (menyusun 60% dari karagenan pada Chondrus
crispus dan mendominasi pada Eucheuma cottonii). Karagenan jenis
iniakan terputus pda larutan asam, namun setelah gel terbentuk,
kargenan ini akan resisten terhadap degradasi. Kappa karagenan
membentuk gel yang kuat pada larutan yang mengandung garam
kalium.

Gambar 2.3 Struktur Kimia kappa carrageenan


3. Lambda-carrageenan
Lambda karagenan (-karagenan) adalah jenis karagenan kedua
terbanyak di alam serta merupakan komponen utama pada Gigartina

17
acicularis dan Gigatina pistillata dan menyusun 40% dari karagenan
pada Chondrus crispus. Selain itu, lambda karagenan adalah yang
kedua paling stabil setelah iota karagenan pada larutan asam, namun
pada larutan garam, karagenan ini tidak larut.

Gambar 2.4 Struktur Kimia lambda-carrageenan

Karagenan berdasarkan proses pembuatannya, karagenan terbagi


menjadi 2 macam yaitu
1. Semi Refine Carrageenan
Rumput laut dapat diolah menghasilkan karagenan dengan cara
tertentu. Karagenan yang dihasilkan dimanfaatkan dalam berbagai
industri, terutama industri makanan dan kosmetika. Semi Refine
Carrageenan (SRC) merupakan salah satu produk karagenan dengan
tingkat kemurnian lebih rendah dibandingkan refine carrageenan,
karena masih mengandung sejumlah kecil selulosa yang ikut
mengendap bersama karagenan. Semi Refine Carrageenan secara
komersial diproduksi dari rumput laut Eucheuma cottoni dan
Eucheuma spinosum melalui proses ekstraksi menggunakan larutan
alkali (KOH atau NaOH) (Minghou diacu dalam Parwata 2007).
2. Refine Carrageenan
Refine carrageenan atau karagenan murni merupakan hasil dari
Semi Refine Carrageenan yang memiliki kemurnian yang tinggi dan
tentunya juga memiliki spesifikasi yang lebih tinggi karena memiliki
jauh lebih banyak kandungan selulosa yang terkandung didalamnya.
Refine carrageenan didapatkan dari hasil pemurnian Semi Refine

18
Carrageenan yang diekstrak kembali menggunakan sejumlah pelarut
organik seperti halnya alkohol hingga didapatkan rendemen murni yang
disebut sebagai refine carrageenan

Karagenan berdasarkan kandungan sulfatnya dibedakan menjadi dua


fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat kurang dari 28% dan
iota karagian jika lebih dari 30% . Kappa karagenan dihasilkan dari rumput
laut jenis Eucheuma cottonii, iota-karagenan dihasilkan dari Eucheuma
spinosum sedangkan lamda karagenan dari Chondrus crispus (Winarno, 1996).
Tipe karagenan yang banyak dalam aplikasi pangan diantaranya adalah
iota dan kappa karagenan. Sifat-sifat fisik-kimia karagenan meliputi kelarutan,
viskositas, pembentukan gel dan stabilitas pH (Samsuari, 2006).

1. Kelarutan
Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya tipe karagenan, temperatur, pH, kehadiran jenis ion
tandingan dan zat-zat terlarut lainnya. Gugus hidroksil dan sulfat pada
karagenan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa
lebih hidrofobik. Lambda karagenan mudah larut pada semua kondisi
karena tidak memiliki unit 3,6-anhidro-D-galaktosa dan mengandung
gugus sulfat yang tinggi. Karagenan jenis iota bersifat lebih hidrofilik
karena adanya gugus 2-sulfat yang dapat menetralkan 3,6-anhidro-D-
galaktosa yang bersifat kurang hidrofilik. Karagenan jenis kappa
kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6-anhidro-D-
galaktosa (Imeson 2010).
Karakteristik daya larut karagenan juga dipengaruhi oleh bentuk
garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah
larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Karagenan memiliki
kemampuan membentuk gel pada saat larutan panas menjadi dingin.
Proses pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel dapat
mencair pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat
pendinginan (Gliksman 1983; Imeson 2000).
2. Viskositas
Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan.
Viskositas suatu hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

19
konsentrasi karagenan, temperatur, jenis karagenan, berat molekul dan
adanya molekul-molekul lain. Jika konsentrasi karagenan meningkat
maka viskositasnya akan meningkat secara logaritmik. Viskositas
larutan karagenan terutama disebabkan oleh sifat karagenan sebagai
polielektrolit. Gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negatif
sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai
molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut
dikelilingi oleh molekul-molekul air yang termobilisasi, sehingga
menyebabkan larutan karagenan bersifat kental.
Adanya garam-garam yang terlarut dalam karagenan akan
menurunkan muatan bersih sepanjang rantai polimer. Penurunan
muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar
gugus-gugus sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah
dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Viskositas larutan
karagenan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga
terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi
karagenan.
3. Pembentukan Gel
Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena
penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga
terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini
menangkap atau mengimobilisasikan air didalamnya dan membentuk
struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari
satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel
mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.
Kappa-karagenan dan iota-karagenan merupakan fraksi yang
mampu membentuk gel dalam air. Karagenan memiliki kemampuan
membentuk gel pada saat larutan panas menjadi dingin. Proses
pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair
pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat
pendinginan (Gliksman 1983; Imeson 2000).
Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu
pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karagenan dalam larutan
menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan

20
membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan
suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara
kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk
agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat.
Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus
terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini
disebut sineresis (Fardiaz 1989).
Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan
terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena
mengandung gugus 3,6 -anhidrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah,
tipe dan posisi gugus sulfat akan mempengaruhi proses pembentukan
gel. Kappa karagenan dan iota karagenan akan membentuk gel hanya
dengan adanya kation-kation tertentu seperti K+, Rb+ dan Cs+. Potensi
membentuk gel dan viskositas larutan karagenan akan menurun dengan
menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan
glikosidik pada molekul karagenan (Angka dan Suhartono 2000).
Konsistensi gel dipengaruhi beberapa faktor antara lain: jenis dan tipe
karagenan, konsistensi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat
pembentukan hidrokoloid.
4. Stabilitas pH
Karagenan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan
akan terhidrolisis pada pH dibawah 3,5. Kondisi proses produksi
karagenan dapat dipertahankan pada pH 6 atau lebih. Hidrolisis asam
akan terjadi jika karagenan berada dalam bentuk larutan, hidrolisis akan
meningkat sesuai dengan peningkatan suhu. Larutan karagenan akan
menurun viskositasnya jika pHnya diturunkan dibawah 4,3 (Imeson
2000). Kappa dan iota karagenan dapat digunakan sebagai pembentuk
gel pada pH rendah, tetapi tidak mudah terhidrolisis sehingga tidak
dapat digunakan dalam pengolahan pangan. Penurunan pH
menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang
mengakibatkan kehilangan viskositas. Hidrolisis dipengaruhi oleh pH,
temperatur dan waktu.

21
Tabel 2.2 Standar mutu karagenan komersial : FAO (Food
Agriculture Organizatio), FCC (Food Chemicals Codex), dan EEC
(European Economic Community)

Sumber: Dr. Tri Yuni Hendrawati, ST, Msi (2013)

Tabel 2.3 Standar mutu iota karagenan (Eucheuma spinosum)

Sumber: Andarini Dirhami (2011) Karagenan isolasi perairan


Sumenep-Madura
Derajat kekentalan karagenan dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu dan
molekul lain yang larut dalam campuran tersebut. Kekentalan larutan
karagenan akan berkurang dengan cepat seiring meningkatnya suhu.
Kemampuan karagenan dalam membentuk gel (menjedal) dibedakan dari yang
kuat sampai rapuh (britle) dengan tipe yang lembut dan elastik. Tekstur
tersebut tergantung dari jenis karagenan, konsentrasi, keberadaan ion-ion lain,
keberadaan larutan lain, serta senyawa hidrokoloid yang tidak membentuk gel
(Anggadiredja dkk, 2006).

22
2.3 Proses
Dalam proses pembuatan karagenan terdapat tahapan awal perolehan
bahan baku utama berupa rumput laut dengan rangkaian proses yang berlangsung
secara bertahap. Berikut gambaran umum proses pengolahan tersebut

2.3.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan
pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur
untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain.
Seringkali campuran bahan padat dan cair (misalnya bahan alami) tidak dapat
atau sukar dipisahkan dengan metode pemisahan mekanis atau termis yang
telah dibicarakan. Misalnya saja, karena komponennya saling bercampur secara
sangat erat, peka terhadap panas, beda sifat fisikanyta terlalu kecil, atau
tersedia dalam konsentrasi yang terlalu rendah.
Dalam hal semacam ini sering kali ekstraksi adalah satu-satunya
proses yang dapat digunakan atau mungkin paling ekonomis. Proses ekstraksi
dapat berlangsung pada:
1. Ekstraksi unruk mendapatkan komponen dari bahan yang memiliki aroma
wangi
2. Ekstraksi untuk memisahkan dua komponen cair yang biasa disebut
ekstraksi solvent
3. Ekstraksi untuk memisahkan suatu senyawa kimia dari matriks padatan
kedalam cairan yang biasa disebut leaching
Sebagai contoh pembuatan ester (essence) untuk bau-bauan dalam
pembuatan sirup atau minyak wangi, pengambilan kafein dari daun teh, biji
kopi atau biji cokelat dan yang dapat dilihat sehari-hari ialah pelarutan
komponen-komponen kopi dengan menggunakan air panas dari biji kopi yang
telah dibakar atau digiling.
Faktor yang mempengaruhi ekstraksi antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Selektivitas
Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan
komponen-komponen lain dari bahan ekstraksi. Dalam praktik, terutama
pada ekstraksi bahan alami, sering juga bahan lain (misalnya lemak, resin)
ikut dibebaskan bersama-sama demhan ekstrak yang diinginkan. Dalam

23
hal itu larutan ekstrak tercemar yang diperoleh harus dibersihkan,
misalnya diekstrak kembali dengan pelarut kedua
2. Kelarutan
Pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan ekstrak
yang besar (kebutuhan pelarut lebih sedikit)
3. Kemampuan tidak saling bercampur
Pada proses ekstraksi pelarut tidak boleh (atau hanya secara terbatas)
larut dalam bahan ekstraksi.
4. Kerapatan
Pada proses ekstraksi, sedapat mungkin terdapat perbedaan kerapatan
yang besar antara pelarut dan bahan ekstraksi. Hal ini dimaksudkan agar
kedua fase dapat dengan mudah dipisahkan kembali setelah pencampuran
(pemisahan dengan gaya berat). Bila beda kerapatannya kecil, seringkali
pemisahan harus dilakukan dengan menggunakan gaya sentrifugal
(misalnya dalam ektraktor sentrifugal).
5. Reaktivitas
Pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara
kimia pada komponen-komponen bahan ekstraksi. Sebaliknya, dalam hal-
hal tertentu diperlukan adanya reaksi kimia (misalnya pembentukan
garam) untuk mendapatkan selektivitas yang tinggi. Seringkali ekstraksi
juga disertai dengan reaksi kimia. Dalam hal ini bahan yang akan
dipisahkan mutlak harus berada dalam bentuk larutan
6. Titik didih
Karena ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara
penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua bahan itu tidak
boleh terlalu dekat. Ditinjau dari segi ekonomi, akan menguntungkan jika
pada proses ekstraksi titik didih pelarut tidak terlalu tinggi (seperti juga
halnya dengan panas penguapan yang rendah

2.3.2 Alkali Treatment


Proses pengolahan rumput laut menjadi Semi Refine Carrageenan
pada prinsipnya sangat sederhana, yaitu dengan merebusnya dalam
larutan alkali seperti KOH atau NaOH. Rumput laut kemudian
dinetralkan kembali dengan pencucian berulang ulang, setelah itu
dipotong-potong dan dikeringkan sehingga diperoleh rumput laut yang
sudah berbentuk chip.

24
Semi Refine Carrageenan dibuat dengan memanfaatkan proses
pemanasan dalam larutan alkali. Eucheuma spinosum dipanaskan
selama 2-3 jam pada suhu 85C, jika suhu pemanasan berada dibawah
suhu tersebut maka rumput laut tidak akan larut dan konversi iota tidak
akan terjadi. Bagian hidroksi dari reagen akan menurunkan jumlah
sulfat pada karagenan, meningkatkan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang
menyebabkan kekuatan gel karagenan pada rumput laut meningkat.
Bagian potassium pada reagenbercampur denagn karagenan untuk
membuat gel dan mencegah karagenan larut pada larutan panas. Residu
yang masih terlihat seperti rumput laut disusi beberapa kali untuk
menghilangkan alkali dan kotoran yang dapat larut dalam air. Alkali
panas dan pencucian akan menghilangkan residu mineral, protein, dan
lemak, serta meninggalkan karagenan yang dikonversi dan beberapa
residu selulosa dari dinding sel (Bixler dan Johndro 2000 diacu dalam
Febrina 2008)
Perebusan rumput laut dalam larutan alkali dimaksudkan untuk
meningkatkan titik leleh karagenan di atas suhu pemasaknya sehingga
tidak mudah larut menjadi pasta, dan untuk meningkatkan kekuatan gel
dari karagenan tersebut. Biasanyanya hasil akhir yang berupa Semi
Refine Carrageenan ini selain dapat digunakan bahan baku untuk
pengolahan refine carrageenan, juga dapat diproses lebih lanjut sebagai
bahan pengikat dan penstabil dalam industri makanan baik tipe food
grade ataupun pet food untuk pasar Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik
(BKRP 2003 diacu dalam Sukri 2006).

2.4 Penelitian Terdahulu


Penelitian tentang karagenan telah dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya antara lain
a. Dr. Tri Yuni Hendrawati,ST,Msi dan Dede Rukmayadi,ST,MSi melakukan
penelitian yang berjudul Perancangan dan Optimasi Produksi Alkali
Treated Cotonii (ATC) Chips Dari Rumput Laut (Eucheuma Cottonii)
Skala IKM dan Studi Kelayakannya Kesimpulan dari penelitian ini adalah

25
(1). Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil untuk waktu perendaman
dengan KOH yang semakin lama dan Konsentrasi KOH yang dinaikkan
dari 0, 1 N, 0,3 N dan 0,5 N maka didapatkan viskositas dan gel stregth
yang makin tinggi, (2).Viskositas dan Gel Stregth tertinggi dari karagenan
yang dihasilkan dari ATC Chips didapatkan pada waktu perendaman 180
menit dan konsentrasi KOH 0,5 N. Spesifikasi karagenan yang dihasilkan
sesuai dengan karagenan komersial jenis food grade dan kosmetik.(3). Dari
hasil pengujian dengan spektoskopi FTIR didapatkan bahwa karagenan
yang dihasilkan adalah jenis kappa.
b. Andarini Diharmi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, dan Endang Sri
Heruwati melakukan penelitian yang berjudul Karakteristik Karagenan
Hasil Isolasi Eucheuma spinosum (Alga Merah) Dari Perairan Sumenep
Madura. Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut adalah karagenan
diekstrak dalam CaOH dengan perbandingan 1:50 pada suhu 90-95C
selama 3 jam. Ekstrak endapan didapat dari ekstraksi dengan ethanol 96%
perbandingan 1:1. Parameter yang diuji adalah yield sebesar 34.85%,
moisture 11.09%, sulfat 27.76%, abu 26.32%, asam terlarut 0.3%,
kekuatan gel 43.70gf, viskositas dan struktur molekul. Pengujian
identifikasi dan struktur molekul pada karagenan dilakukan menggunakan
FTIR untuk menunjukkan gugus spesifik Iota-Karagenan.

2.5 Hipotesa
Hipotesa dalam penelitian ini adalah semakin besar konsentrasi larutan
alkali yang ditambahkan dalam proses pemasakan akan meningkatkan angka
viskositas dan kekuatan gel yang dianggap sebagai nilai kualitas karagenan.

26

Anda mungkin juga menyukai