Anda di halaman 1dari 76

PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI

MENGGUNAKAN CITRA MODIS


(STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN)

REYNA PRACHMAYANDINI
A14070005

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ii

RINGKASAN

REYNA PRACHMAYANDINI. A14070005. Perhitungan Evapotranspirasi


Menggunakan Citra MODIS ( Studi Kasus: Das Cimadur, Banten ). Dibimbing
oleh SURIA DARMA TARIGAN dan BAMBANG H TRISASONGKO.
Evapotranspirasi (ET) merupakan komponen neraca air terpenting setelah
curah hujan. Saat ini, pengukuran evapotranspirasi dapat dilakukan dengan
menggunakan input data yang berbasis penginderaan jauh. Penelitian ini mengkaji
persamaan empirik perhitungan evapotranspirasi, yaitu Blaney-Criddle, dengan
memanfaatkan nilai Land Surface Temperature (LST) yang diekstrak melalui citra
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) sebagai masukan
dalam komponen suhu dalam persamaan tersebut. Pada penelitian ini juga
dilakukan validasi antara nilai LST MODIS (day dan night), dengan nilai T
Stasiun Iklim Darmaga, pada berbagai ketinggian (5 cm, 100 cm, 120 cm) dan
waktu (07.00, 07.10, 13.00, dan 13.50 WIB).
Pada LST day, temperatur yang diestimasi oleh MODIS, lebih mendekati
pengukuran temperatur stasiun iklim pada ketinggian 5 cm, dengan nilai R2
sebesar 0,362. Sedangkan LST night, memiliki hubungan yang cukup kuat dengan
T stasiun pada ketinggian 120 cm. Namun demikian, nilai R2 tertinggi didapatkan
pada hubungan antara LST night dengan T stasiun pada ketinggian 100 cm,
dengan nilai R2 sebesar 0,567.
Secara umum, nilai evapotranspirasi potensial yang berada pada DAS
Cimadur berada pada rentang 4,45-5,65 mm/hari (mendekati kondisi sebenarnya).
Dengan berbasis penginderaan jauh, nilai evapotranspirasi dapat disajikan secara
spasial maupun temporal. Namun demikian, terdapat kendala terkait ketersediaan
data yang menyebabkan nilai evapotranspirasi hanya tersedia pada bulan-bulan
kering. Penelitian ini menunjukkan bahwa jika hal ini diperbaiki dengan
mengkombinasikan ketersediaan data LST terbaik dalam 1 bulan, ketersediaan
data dalam satu bulan dapat meningkat >50% dari kondisi awal 0%.
Hasil validasi antara nilai evapotranspirasi yang dihasilkan pada
perhitungan (ETm) dengan nilai evaporasi panci A dan lysimeter, ternyata
memberikan nilai ETm yang lebih mendekati nilai evaporasi panci A dengan
perbedaan nilai antara keduanya, sebesar 0,82-1,32 mm (untuk 1x1 pixel) dan
0,62-1,34 mm (untuk 3x3 pixel).

Kata kunci : evapotranspirasi, Blaney-Criddle, DAS Cimadur, LST MODIS


SUMMARY

REYNA PRACHMAYANDINI. A14070005. Evapotranspiration Calculation


Using MODIS Image (Case Study: Cimadur Watershed). Supervised by SURIA
DARMA TARIGAN and BAMBANG H TRISASONGKO.

Evapotranspiration (ET) is the most important component of water balance


after precipitation. Currently, measurement of evapotranspiration can be
conducted with the input data based on Remote Sensing data. This research
analyzed empiric equation of evapotranspiration, the Blaney-Criddle, using Land
Surface Temperature (LST) value, extracted from Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer (MODIS), as an temperature input in this equation. In this
research validation was made between LST MODIS (day and night) and
temperature of climatology station of Darmaga, at various height (5 cm, 100 cm,
120 cm) and times (07.00, 07.10, 13.00, 13.50 WIB).
On LST day, temperature estimated by MODIS, closer to the temperature
measurement on climatology station at a height 5 cm, with a R2 value 0,362.
While the LST night have a fairly strong relationship with the T station at a height
120 cm. However, the highest R2 value obtained on the relationship between LST
night with the T station at a height of 100 cm with a R2 value of 0,567.
Generally, the evapotranspiration potential value in Cimadur watershed
ranged from 4,45-5,65 mm/day (close to actual condition). With remote sensing
based, evapotranspiration value can be presented spatially and temporally.
However, there are constraints related the availability of data that caused the
evapotranspiration value is only available in the dry months. This study shows
that if this condition is corrected by combining the best availability of LST within
a month, the availability of data in one month can be increased more than 50%
from the initial condition 0%.
The validation result between evapotranspiration value which is resulted
by the Blaney-Criddle (ETm) and evapotranspiration value from evaporation pan
A and Lysimeter, was giving the ETm value closer to the evapotranspiration value
from pan A with a different value between ETm and pan A ranged from 0,82-1,32
mm (for 1x1 pixel) and 0,62-1,34 mm (for 3x3 pixel).

Key word : evapotranspiration, Blaney-Criddle, Cimadur Watershed, LST


MODIS
iv

PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI
MENGGUNAKAN CITRA MODIS
(STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN)

REYNA PRACHMAYANDINI
A14070005

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian


pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul : Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra
MODIS (Studi Kasus: Das Cimadur, Banten)
Nama Mahasiswa : Reyna Prachmayandini
Nomor Pokok : A14070005

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. Ir. Bambang H Trisasongko, MSc.
19620305 198703 1 002 19700903 200812 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc


19621113 198703 1 003

Tanggal Lulus:
vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbilalamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat


dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada :
1. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. dan Ir. Bambang H Trisasongko, MSc.
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, bantuan,
arahan, dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Khursatul Munibah, MSc. selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi.
3. Orang tua dan keluarga, atas doa, kasih sayang, dan dukungannya baik
moril maupun materi selama penulis menjalani masa kuliah hingga
selesainya skripsi ini.
4. Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MSc., Dr. Boedi Tjahjono, dan Tovan atas
kesempatannya kepada penulis untuk berpartisipasi dalam survei lapang di
DAS Ciambulawung, Banten.
5. Keluarga besar kampung adat Lebak Picung, Banten yang telah membantu
dalam proses pengambilan data lapang di DAS Ciambulawung, Banten.
6. Ika Puspita Sari, Deuis Nur Fadhilah, Herdian Priambodo, dan Rhoma
Purnanto atas kerjasama, dukungan, dan motivasi selama kegiatan survei
lapang, penelitian maupun penulisan skripsi.
7. M. Nizar Khoerudin atas bantuannya selama pengambilan data sekunder,
serta motivasi dan dukungan yang tak henti mengalir selama masa
penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.
8. Keluarga kecilku Hanna Aditya Januarisky, Astria Hernisa, Juniska Muria,
dan Setia Wahyu untuk motivasi, kebersamaan, kekeluargaan dan hari-hari
yang telah dilalui selama menjalani masa kuliah, hingga selesainya skripsi
ini.
9. Keluarga Hexa Mushroom.Co Hadi Nuryadi, Dwi Rama Nugraha, Irfan
Nursyifa, Ahmad Fariz, dan M. Nizar atas dukungan, kerja sama dan
motivasinya.
10. Keluarga besar Soil Scaper 44 IPB atas motivasi, dukungan, pengalaman,
kebersamaan, dan kekeluargaan yang telah dilalui selama penulis
menjalani masa kuliah hingga selesainya penulisan skripsi.
11. Keluarga besar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB atas
segala pengalaman, kesempatan, dukungan, dan kebersamaan yang telah
diberikan kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan hingga
selesainya penulisan skripsi.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 1 Juni 1989 sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Rochman Djaja dan Ibu Dian Gamajanti. Penulis
menyelesaikan pendidikan formal di TK Chandra (1995), SD Mutiara Indonesia
(2001), SMP Tunas Jakasampurna (2004), dan SMA Tunas Jakasampurna (2007).
Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mulai aktif belajar
di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB pada
tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis memiliki pengalaman sebagai
Teacher of EXPRESS (External and Exchange Program IAASers Smart Course)
periode 2008-2009, dan juga aktif di beberapa organisasi yaitu Bina Desa BEM
KM IPB sebagai staf divisi PSDM periode 2009-2010, dan Himpunan Mahasiswa
Ilmu Tanah (HMIT) sebagai sekretaris periode 2010-2011. Selain itu, penulis
pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Tanah (2010/2011),
Geomorfologi dan Analisis Lansekap (2010/2011), Sistem Informasi Geografi dan
Kartografi (2010/2011), dan Morfologi dan Klasifikasi Tanah (2011/2012).
Beberapa prestasi yang pernah diraih oleh penulis selama menjalani masa
pendidikannya antara lain Juara II Soil Judging Contest dalam Pekan Ilmiah
Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional pada tahun 2009 di Yogyakarta, Juara I Theory
Capability dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional Wilayah II pada
tahun 2011 di Bandung, dan Juara IV Mahasiswa Berprestasi Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor 2011.
Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul Perhitungan
Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS (Studi Kasus: DAS Cimadur,
Banten) dibawah bimbingan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. dan Ir. Bambang
H Trisasongko, MSc.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas rahmat dan
hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
yang berjudul Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS (Studi
Kasus: DAS Cimadur, Banten) merupakan salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi
berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna,
oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya
ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2012

Penulis
x

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Tujuan ...................................................................................... 3
1.3. Manfaat Penelitian ....................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Evapotranspirasi Potensial Standar (ETo) ................................ 5
2.2. Perhitungan Evapotranspirasi Potensial : Blaney-Criddle ........
6
2.3. Potensi Land Surface Temperature (LST) pada Moderate
Imaging Spectroradiometer (MODIS) ................................... 8

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1. Lokasi dan Waktu ..................................................................... 11
3.2. Alat dan Bahan .......................................................................... 11
3.3. Jenis dan Teknik Pengambilan Data ......................................... 12
3.3.1. Data Spasial .................................................................... 12
3.3.2. Data Atribut .................................................................... 13
3.4. Tahapan Penelitian .................................................................... 13
3.4.1. Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur ............................. 13
3.4.2. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan DAS Cimadur ....... 14
3.4.3. Koreksi Geometrik, Ekstraksi Data LST dan Layer
Stacking.......................................................................... 15
3.4.4. Validasi data LST MODIS dan Suhu Stasiun Iklim ....... 16
3.4.5. Perhitungan Tmean dan P ............................................... 16
3.4.6. Perhitungan Evapotranspirasi dengan Metode Blaney-
Criddle .......................................................................... 17
3.4.7. Validasi Estimator Evapotranspirasi ............................... 17
3.4.8. Perbaikkan Data Evapotranspirasi pada Citra MODIS.... 18
3.5. Diagram Alir Penelitian ............................................................ 21

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN


4.1. Batas Administrasi Kabupaten Lebak, Banten .......................... 22
4.2. Kondisi Topografi Wilayah ....................................................... 22
4.3. Kondisi Hidrologi Wilayah ....................................................... 22
4.4. Permasalahan Hidrologi Pada DAS Cimadur ........................... 23

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS
pada Wilayah Penelitian ........................................................... 24
5.1.1. Gambaran Umum Data Land Surface Temperature
(LST) MODIS ................................................................ 24
ix

5.1.2. Kualitas dan Ketersediaan Data LST MODIS Tahun


2008-2010 Secara Spasial dan Temporal ...................... 25
5.2. Hasil Validasi Nilai LST MODIS dengan Nilai Suhu (T) pada
Stasiun Iklim ............................................................................. 28
5.2.1. Pola Suhu Harian Darmaga Tahun 2008-2010 ............... 28
5.2.2. Hasil Validasi Data LST MODIS Tahun 2011 dan Data
Suhu (T) Stasiun Klimatologi pada Berbagai
Ketinggian dan Waktu ................................................... 30
5.2.2.1. Hasil Validasi Data LST MODIS day Tahun
2011 dan Data Suhu (T) Stasiun Klimatologi
pada Berbagai Ketinggian ................................... 31
5.2.2.2. Hasil Validasi Data LST MODIS night Tahun
2011 dan Data Stasiun Klimatologi pada
Berbagai Ketinggian ............................................ 33
5.3. Perhitungan Evapotranspirasi dengan Metode Blaney-Criddle.
5.3.1. Ketersediaan Data Evapotranspirasi Secara Spasial dan
Temporal ....................................................................... 35
5.3.2. Pola Evapotranspirasi secara Spasial dan Temporal ........ 41
5.4. Validasi Nilai Estimator Evapotranspirasi ................................ 43
5.4.1. Validasi Data ETm dan Panci Evaporasi A ..................... 44
5.4.2. Validasi Data ETm dan Lysimeter ................................... 45
5.4.3. Perbandingan Nilai ETm dengan Panci Evaporasi A dan
Lysimeter ......................................................................... 46
5.5. Perbaikkan Data LST Mean MODIS ........................................ 47
5.5.1.Pengaruh Perbaikan Data Tdan dan Tnight Terhadap
Ketersediaan Data Evapotranspirasi Potensial Secara
Spasial dan Temporal ...................................................... 47
5.5.2 Validasi Data Hasil Perbaikan ......................................... 56

KESIMPULAN ................................................................................ 58
SARAN ............................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 60
xii

DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan
untuk berbagai lintang .......................................................... 7
2. Indeks ONI (Oceanic Nino Index) sebagai Salah Satu
Parameter Terjadinya El Nino dan La Nina ......................... 28
3. Persentase Ketersediaan Data pada Hasil Perhitungan
Evapotranspirasi Potensial .................................................... 36
4. Hasil Perbaikan Data Tmean MODIS ................................. 50
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Peta DAS Cimadur, Banten dan Lokasi Pengamatan
Lapang .................................................................................. 11
2. Hasil Pengamatan Lapang, Citra ALOS AVNIR-2, dan
Citra Google Earth ............................................................... 14
3. Ilustrasi Kombinasi Data Sebelum Perbaikan ...................... 19
4. Ilustrasi Kombinasi Data Setelah Perbaikan ........................ 20
5. Diagram Alir Penelitian ........................................................ 21
6. Kenampakan Visual LST MODIS day dan night ................. 25
7. Kualitas Data LST MODIS dibandingkan dengan data T
Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun 2008-2010 ... 27
8. Fluktuasi Suhu Harian Stasiun Klimatologi Darmaga
Bogor Tahun 2008-2010 ..................................................... 30
9. Alat Ukur Suhu Pada Stasiun Klimatologi ........................... 32
10. Grafik Perbandingan LST MODIS day dan Suhu Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian .... 33
11. Nilai R2 antara LST MODIS day dan T stasiun pada
Berbagai Ketinggian ............................................................ 33
12. Grafik Perbandingan LST MODIS night dan Suhu Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian .... 34
13. Nilai R2 antara LST MODIS night dan T stasiun pada
Berbagai Ketinggian ............................................................ 35
14. Distribusi Evapotranspirasi Potensial Secara Spasial dan
Temporal pada Tahun 2008-2011 ........................................ 38
15. Peta Topografi dan Penggunaan Lahan pada DAS
Cimadur, Hasil dari Interpretasi Citra Google Earth dan
16. ALOS AVNIR-2 .................................................................. 41
17. Hubungan antara Elevasi dan LSTmean pada Berbagai
Penggunaan Lahan di DAS Cimadur ................................... 43
18. Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan panci
evaporasi A ........................................................................... 45
19. Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan
Lysimeter .............................................................................. 45
20. Perbaikan Distribusi Spasial dan Temporal
Evapotranspirasi Potensial di DAS Cimadur, Banten .......... 52
21. Nilai R2 pada perbaikan data ETo MODIS .......................... 56
xiv

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam siklus hidrologi, evapotranspirasi merupakan komponen neraca air


terpenting setelah curah hujan. Evapotranspirasi (ET) merupakan jumlah air total
yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi
oleh adanya pengaruh faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi (Asdak, 2010).
Beberapa faktor iklim yang cukup dominan dalam mempengaruhi terjadinya
evapotranspirasi antara lain suhu, radiasi matahari, kelembaban atmosfer, dan
angin. Sementara faktor lainnya antara lain faktor vegetasi dan kelembaban tanah.
Menurut Asdak (2010), evapotranspirasi potensial lebih dipengaruhi oleh faktor-
faktor iklim. Sedangkan evapotranspirasi aktual lebih dipengaruhi oleh faktor
fisiologi tanaman dan unsur tanah.
Pengetahuan mengenai evapotranspirasi penting dalam manajemen
sumberdaya air, pendugaan hasil tanaman, dan dalam mempelajari hubungan
antara perubahan penggunaan lahan dan iklim. Dalam bidang manajemen dan
perencanaan irigasi, misalnya, pengetahuan mengenai evapotranspirasi sangat
penting terkait kebutuhan konsumtif air oleh tanaman, sehingga berkaitan pula
terhadap produksi.
Pada perkembangannya, terdapat beberapa cara pengukuran/perhitungan
evapotranspirasi (potensial) secara sederhana, misalnya dengan menggunakan
panci evaporasi, atau dengan menggunakan alat ukur Lysimeter. Selain itu,
terdapat beberapa persamaan empiris yang sering digunakan dalam perhitungan
evapotranspirasi (aktual dan potensial), antara lain metoda Thornthwaite, Blaney-
Criddle, Penman, dan lain sebagainya.
Metode Blaney-Criddle merupakan metoda evapotranspirasi yang pada
awalnya dikembangkan untuk memperkirakan besarnya konsumsi air irigasi di
Amerika Serikat (Dunne dan Leopold, 1978). Dalam metode ini, besarnya suhu
dan persentase harian (lama waktu penyinaran matahari) merupakan suatu
masukan utama. Wang et al. (2007) menjelaskan bahwa metode Blaney-Criddle
merupakan salah satu metode empiris yang tergolong sederhana dan memiliki
akurasi yang cukup baik, serta membutuhkan sedikit data masukan.
2

Salah satu masukan data utama yang terdapat dalam metoda Blaney-
Criddle adalah suhu udara. Data tersebut bisa didapatkan di stasiun meteorologi
dan klimatologi terdekat dengan wilayah penelitian. Data kemudian dikumpulkan
sebagai titik-titik contoh dengan distribusi yang jarang menjangkau wilayah
dengan kondisi iklim yang bervariasi (Vancutsem et al., 2010), sehingga,
informasi spasial tentang suhu udara seringkali menjadi terbatas. Metode
interpolasi diantara wilayah-wilayah yang memiliki informasi suhu udara sering
digunakan untuk mengisi kekurangan informasi tersebut (Anderson, 2002).
Namun demikian, teknik interpolasi berbasis data stasiun dirasakan masih sulit
dilakukan untuk kondisi stasiun iklim yang berjauhan dan sering mengalami
kurangnya ketersediaan data (Lennon et al., 1995).
Saat ini, kebutuhan akan informasi suhu secara spasial dengan akses data
yang mudah dapat dibangun dengan metode yang berbasis penginderaan jauh.
Menurut Vancutsem et al. (2010), kemampuan untuk mendapatkan informasi
suhu secara spasial dengan data temporal (harian) dan resolusi spasial (1 km)
yang tinggi mulai muncul dengan diluncurkannya Advanced Very High
Resolution Radiometer (AVHRR) yang merupakan bagian dari satelit National
Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada tahun 1981, kemudian
diluncurkan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang
dibawa oleh satelit Aqua dan Terra.
Sensor MODIS (Justice et al., 2002) diluncurkan pada tahun 1999 dan
2002. MODIS memiliki sensor multispektral yang terdiri dari 36 kanal, dengan
resolusi spasial, 250, 500, dan 1000 m. MODIS merupakan salah satu bagian dari
program The United States National Aeronautics and Space Administration
(NASA), yang memungkinkan untuk mengamati, meneliti, dan menganalisa
daratan, lautan, dan atmosfer.
Salah satu produk turunan data MODIS adalah suhu permukaan MODIS
MYD11A2 dan MOD11A2 merupakan produk Land Surface Temperature (LST)
yang diakuisisi pada pukul 13.30 dan 01.30 untuk Aqua dan 10.30 dan 22.30
untuk Terra pada semua waktu lokal solar. Produk ini termasuk produk dengan
resolusi temporal yang tinggi (harian) dengan resolusi spasial 1 km. Produk
lainnya adalah maksimum komposit 8 harian LST dengan resolusi spasial 1 km.
xvi3

LST diperoleh dengan menggunakan sensor yang bisa menangkap kisaran


panjang gelombang Thermal Infrared (TIR) pada band 31 (10,78-11,28 m) dan
32 (11,77-12,27 m) (Tomlinson et al., 2011).
Maeda et al. (2011) menggunakan data LST MODIS sebagai masukan
utama dalam pengembangan model empirik untuk menghitung evapotranspirasi.
Penggunaan data penginderaan jauh sebagai masukan data utama dalam
pendugaan evapotranspirasi, dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi
wilayah-wilayah dengan ketersediaan data minim karena dapat memberikan
tambahan informasi, seperti albedo, indeks area daun, dan suhu permukaan lahan
(Wan, 2008). Suhu permukaan lahan sangat berkaitan dengan vegetasi atau
tutupan lahan, albedo, dan kelembaban permukaan yang terdapat di suatu wilayah
kajian.
Penelitian ini mencoba mengembangkan metode empirik dengan
menggunakan data LST MODIS sebagai masukan utama, pada wilayah dengan
ketersediaan data minim. Kajian mengenai evapotranspirasi di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Cimadur dirasakan cukup penting karena banyaknya areal
persawahan yang terdapat pada DAS Cimadur. Selain itu, terdapat beberapa
permasalahan hidrologi pada DAS Cimadur yang diakibatkan oleh ketidak
seimbangan neraca air yang terdapat dalam wilayah kajian. Misalnya, kondisi
kekeringan yang terjadi di wilayah DAS Ciambulawung, yang merupakan sub
DAS dari DAS Cimadur, yang mengakibatkan kekeringan pada sejumlah areal
persawahan dan juga tidak berfungsinya mikrohidro pada wilayah tersebut.

1.2 Tujuan

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk :


1. Mengkaji model empirik perhitungan evapotranspirasi dengan
menggunakan LST MODIS sebagai masukan utama.
2. Mengetahui kapan dan dalam kondisi apa data MODIS dapat digunakan
sebagai masukan dalam perhitungan evapotranspirasi.
3. Melihat pola penyebaran evapotranspirasi secara spasial dan temporal di
DAS Cimadur.
4

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai


hubungan keterkaitan antara data LST MODIS dengan T stasiun klimatologi pada
berbagai ketinggian dan waktu pengukuran, serta dapat memberikan informasi
terkait kapan dan dalam kondisi apa data penginderaan jauh dapat digunakan
sebagai masukan utama perhitungan evapotranspirasi. Selain itu, dengan
dikembangkannya model empirik pada perhitungan evapotranspirasi dengan data
penginderaan jauh, diharapkan dapat melihat pola penyebaran evapotranspirasi
secara spasial dan temporal di wilayah kajian.
xviii

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke


atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh adanya pengaruh
faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi. Evapotranspirasi merupakan gabungan
antara proses-proses evaporasi, intersepsi, dan transpirasi. Evapotranspirasi
dibedakan menjadi evapotranspirasi potensial (PET) dan evapotranspirasi aktual
(AET). PET umumnya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi,
sedangkan AET dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah
(Asdak, 2010).
Beberapa faktor yang cukup dominan dalam mempengaruhi PET, antara
lain radiasi matahari dan suhu, kelembaban atmosfer dan angin, dan secara umum
PET akan meningkat ketika suhu, radiasi matahari, kelembaban, dan kecepatan
angin bertambah besar. Menurut FAO, evapotranspirasi potensial dibagi menjadi
tiga, yaitu evapotranspirasi standard (Eto), evapotranspirasi tanaman standard
(Etc), dan evapotranspirasi tanaman dibawah kondisi yang tidak standard (Etc
adj).
Pada penelitian ini, evapotranspirasi yang digunakan adalah
evapotranspirasi potensial standar (Eto). Menurut FAO, evapotranspirasi potensial
standard merupakan evapotranspirasi potensial dari tanaman pendek/rumput
dengan asumsi ketinggian 0,12 m, resistensi permukaan 70 s/m, dan albedo 0,23.
Kondisi ini menyerupai tanaman pendek seragam yang menutupi tanah secara
sempurna, tinggi seragam, dan dalam keadaan cukup air. Konsep evapotranspirasi
potensial standard (Eto) diperkenalkan untuk mempelajari kebutuhan evaporasi
yang berasal dari atmosfer dan terpisah dari tipe tanaman, pertumbuhan tanaman,
dan manajemen tanaman. Eto bertujuan untuk menyatakan kekuatan evaporasi
pada atmosfer pada lokasi dan waktu yang spesifik dengan tidak
mempertimbangkan karakteristik tanaman dan faktor tanah.
6

2.2 Perhitungan Evapotranspirasi Potensial : Blaney-Criddle


Pada perkembangannya, perhitungan evapotranspirasi potensial dapat
dilakukan dengan cara sederhana, maupun dengan menggunakan persamaan
empiris. Secara sederhana, perhitungan evapotranspirasi potensial dapat
didekatkan dengan perhitungan nilai evaporasi yang berasal dari Panci evaporasi
A, maupun Lysimeter. Pada pengukuran dengan menggunakan panci evaporasi A,
diperlukan angka koefisien panci yang harus dievaluasi tingkat ketepatannya.
Menurut Kantor Cuaca Nasional Amerika Serikat, standard panci yang umum
digunakan adalah Panci Evaporasi Klas A dengan ukuran diameter 122 cm dan
kedalaman 25 cm (Lee, 1980). Pada teknik pengukuran evapotranspirasi
menggunakan lysimeter, profil tanah, perkembangan akar tanaman, dan kondisi
kelembaban tanah harus diusahakan sama antara keadaan di dalam dan di luar
lysimeter. Jika kelembaban tanah terus dijaga dalam keadaan basah, maka
evapotranspirasi yang diperoleh adalah dalam laju potensial (PET), namun jika
dikehendaki evapotranspirasi aktual (AET), maka kelembaban tanah harus
dibiarkan berfluktuasi seperti yang terdapat dalam tanah sekelilingnya. Terdapat
dua tipe lysimeter yang sering digunakan, yaitu tipe drainase dan tipe timbang
(Asdak, 2010).
Menurut Rosenberg et al. (1983), metode persamaan empirik dapat dibagi
menjadi tiga, berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu
berdasarkan suhu, berdasarkan suhu dan radiasi, serta berdasarkan kombinasi
berbagai faktor. Metode empirik berdasarkan suhu, antara lain persamaan Blaney-
Criddle, Thornthwaite, dan Samani-Hargreaves. Berdasarkan suhu dan radiasi,
yaitu Jensen Haise. Sedangkan metode kombinasi, antara lain Penman, Priestley
Taylor, dan Penman-Monteith. Berdasarkan standard FAO, metode
evapotranspirasi standard yang dapat digunakan sebagai referensi, merupakan
metode Penman-Monteith. Namun, apabila hanya terdapat masukan data yang
minim pada suatu wilayah pengamatan (data suhu saja), maka Blaney-Criddle
dapat digunakan untuk perhitungan evapotranspirasi.
Pada metode Blaney-Criddle, besarnya suhu dan persentase harian (lama
penyinaran matahari) merupakan masukkan utama. Bentuk persamaan yang
digunakan adalah, Doorenbos&Pruit (1977) :
xx
7

Eto = p (0,46 Tmean + 8,13) (2.11)

p merupakan rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk
berbagai lintang.

Pada persamaan tersebut, Perhitungan Tmean dilakukan dengan mencari rata-


rata Tmax dan Tmin dalam satu bulan, kemudian merata-ratakan Tmax dan Tmin
tersebut, untuk kemudian dinyatakan sebagai Tmean/hari dalam satu bulan.


Tmax =

Tmin =


Tmean =

Sementara, nilai p diperoleh berdasarkan tabel (%) persentase harian yang


didapatkan dari FAO.

Tabel 2.2.a Rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk berbagai
lintang.

(Sumber:http://www.fao.org/docrep/)

Dalam aplikasinya, persamaan empirik bersifat sangat spesifik pada suatu


lokasi tertentu. Sehingga, pada satu lokasi dapat memberikan korelasi yang kuat
terhadap validator yang digunakan (panci evaporasi, lysimeter, atau FAO
Penman-Monteith), namun pada lokasi yang lain, tidak memberikan korelasi yang
kuat. Xu et al. (2001) pada penelitiannya di Kanada, menunjukkan bahwa metode
Blaney-Criddle merupakan metode yang memiliki korelasi yang kuat terhadap
8

hasil pengukuran evapotranspirasi pada panci evaporasi A. Metode ini juga


direkomendasikan sebagai metode pengukuran evapotranspirasi pada wilayah
penelitiannya, khususnya pada metode yang berbasis suhu.
Sementara, Lee et al. (2004) menunjukkan adanya keterkaitan antara
metode Blaney-Criddle dan Penman-Monteith sebagai validator. Pada penelitian
Lee et al. (2004), kedua metode tersebut berkorelasi cukup kuat dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,55. Wang et al. (2007) juga menyebutkan bahwa,
pada musim hujan, pendugaan nilai evapotranspirasi dengan data yang minim
(suhu), dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu Blaney-Criddle dan Hagreaves.
Keduanya menunjukkan korelasi yang dekat dengan metode Penman-Monteith.
Namun, Castaneda et al. (2005) menunjukkan bahwa diantara keempat metode
yang ditelitinya (Makkink, Turc, Thronthwaite, dan Blaney-Criddle), Blaney-
Criddle bukanlah metode terbaik yang berkorelasi dengan metode Penman
Monteith.

2.3 Potensi Land Surface Temperature (LST) pada Moderate Resolution


Imaging Spectroradiometer (MODIS)
Land Surface Temperature (LST) merupakan parameter kunci
keseimbangan energi pada permukaan dan variabel klimatologis utama. Suhu
permukaan lahan mengendalikan flux energi gelombang panjang yang melalui
atmosfer. Besar suhu permukaan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
albedo, kelembaban permukaan, dan tutupan/kondisi vegetasi. Data suhu
permukaan merupakan input bagi evapotranspirasi, kelembaban udara, kelengasan
tanah, neraca energi, dan sebagainya (Prasasti et al., 2007).
Pada perkembangannya, penginderaan jauh untuk mendeteksi suhu
permukaan lahan, telah dikembangkan pada beberapa satelit dan sensor, antara
lain Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), Landsat TM dan
ETM+, Geostationary Operational Enviromental Satellite (GOES), Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), dan Advanced Spaceborne
Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) (Tomlinson et al., 2011).
MODIS merupakan salah satu sensor yang dibawa oleh satelit Terra dan
Aqua yang diluncurkan pada tahun 2000 dan 2002, dengan wilayah cakupan 2330
km dan memiliki resolusi spektral yang cukup tinggi (36 kanal dengan 12 bit data
xxii
9

pada semua kanal) dengan panjang gelombang 0,4 m-14,4 m. Selain itu,
MODIS memiliki resolusi spasial 250 m untuk kanal 1 dan 2, 500 m untuk kanal
3-7, dan 1 km untuk kanal 8-36. MODIS merupakan sensor multispektral yang
dapat menangkap panjang gelombang tampak, infra merah dekat, dan gelombang
thermal. Dalam aplikasinya, MODIS dapat digunakan dalam kajian indeks
tumbuhan, kelembaban tanah, kadar aerosol di udara, suhu permukaan laut, dan
kandungan klorofil laut. MODIS merupakan bagian dari program jangka panjang
National Aeronatics and Space Administration (NASA) untuk mengamati,
meneliti, dan menganalisa lahan, lautan, atmosfer bumi, dan interaksi antara
faktor-faktor tersebut.
Salah satu produk MODIS yang dapat mendeteksi suhu permukaan
lahan/LST adalah MOD11A2 (dari satelit Terra untuk pengukuran data suhu 8
harian) dan MYD11A2 (dari satelit Aqua untuk pengukuran data suhu 8 harian)
(modis.gsfc.nasa.gov). Dalam mendeteksi suhu permukaan lahan/LST, MODIS
menggunakan thermal infrared yang terdapat pada kanal 31 (10,78-11,28 m) dan
32 (11,77-12,27 m). Pada penggunaannya, terdapat keterbatasan yang cukup
serius dari satelit thermal infrared, yaitu pengambilan area bebas awan untuk
menghasilkan hasil yang akurat, sehingga citra komposit dari berbagai lintasan
sering digunakan untuk membangun citra tanpa keterbatasan tutupan awan, atau
algoritma juga dapat digunakan untuk pendugaan pixel. Efek dari hal tersebut
adalah perbedaan musim yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan citra dan
akurasi (meningkatnya tutupan awan dan hujan menyebabkan basahnya
permukaan sehingga membuat pengukuran LST tidak masuk akal) (Tomlinson et
al., 2011).
Secara umum, nilai LST MODIS lebih akurat pada malam hari
dibandingkan siang hari (Tomlinson et al., 2011; Vancutsem et al., 2010). Pada
malam hari, mendapatkan nilai min T udara lebih sederhana sebagai radiasi solar
yang tidak mempengaruhi sinyal thermal infrared. Sementara, pada siang hari
perbedaan antara nilai LST dan Tmax stasiun terutama dikontrol oleh
keseimbangan energi permukaan, yang merupakan sistem kompleks yang
bergantung pada informasi yang sulit tersedia (radiasi matahari, penutupan awan,
kecepatan angin, kelembaban tanah, kekasaran permukaan). Menurut Vancutsem
10

et al. (2010), terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan


antara nilai LST dengan nilai Tmin pada stasiun, yaitu kontaminasi awan, efek
angular anistropi, dan perbedaan skala spasial (titik vs rataan areal).
xxiv

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juli hingga Januari 2012.


Pengamatan lapang dilakukan pada tanggal 25-26 Juli 2011 di DAS
Ciambulawung, yang merupakan sub DAS dari DAS Cimadur, Banten.
Pengamatan lapang, lebih difokuskan pada pengamatan penggunaan lahan sebagai
salah satu unit analisis. Setelah itu, dilakukan pengolahan data di Laboratorium
Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.

a). Peta DAS Cimadur, Banten b). Lokasi Pengamatan Lapang

Gambar 3.1.a Peta DAS Cimadur, Banten (a) dan Lokasi Pengamatan Lapang (b).

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian adalah alat tulis, kamera, Global
Positioning System (GPS) dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan
software ArcGIS 9.3 serta ENVI 4.5.
12

Bahan yang digunakan berupa data-data spasial dan data atribut. Data
spasial berupa peta batas wilayah DAS Cimadur, peta penggunaan lahan DAS
Cimadur, peta digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) skala 1:25.000, citra Google
Earth, citra ALOS AVNIR-2, serta citra MODIS tahun 2008, 2009, 2010 dan
2011. Sedangkan data atribut yang digunakan adalah data suhu udara di Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor dalam berbagai ketinggian dan waktu pengukuran;
data lysimeter tahun 2011 di Stasiun Klimatologi Darmaga; data panci evaporasi
A di Stasiun Iklim Baranangsiang.

3.3 Jenis dan Teknik Pengambilan Data

3.3.1 Data Spasial

Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra MODIS
tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011 yang didapatkan dari
http://ladsweb.nascom.nasa.gov. Citra MODIS yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan citra MODIS dari satelit Terra MOD11A2 yang mengukur suhu
permukaan lahan dengan resolusi spasial 1 km pada akuisisi 8 harian. MODIS
dipilih sebagai masukan utama pengukuran suhu karena memiliki resolusi spasial,
spektral dan temporal yang cukup baik dibandingkan sensor lainnya. Akuisisi data
MODIS yang dilakukan dua kali sehari dapat memberikan masukan pengganti
nilai Tmax dan Tmin untuk perhitungan Tmean, pada persamaan evapotranspirasi
yang digunakan. Selain itu, penggunaan citra MODIS dilakukan sebagai
optimalisasi dari tujuan diluncurkannnya satelit MODIS, yaitu penyedia data
untuk proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan, dan lautan.
Batas wilayah DAS Cimadur ditentukan berdasarkan aliran sungai utama
dan batas-batas topografi yang diturunkan dari peta kontur digital RBI skala
1:25.000. Peta batas DAS Cimadur tersebut selanjutnya digunakan sebagai batas
dalam pembuatan peta penggunaan lahan dan penyajian peta evapotranspirasi.
Peta penggunaan lahan DAS Cimadur dibuat berdasarkan citra tahun 2008,
2009, dan 2010 yang telah diunduh dari google earth dan juga ALOS AVNIR-2.
Citra ALOS AVNIR-2 berfungsi sebagai citra komposit apabila terdapat citra
yang tidak tersedia atau mengalami kerusakan pada citra google earth. Adapun
klasifikasi penggunaan lahan di dalam peta penggunaan lahan tersebut dibedakan
xxvi
13

menjadi sawah, pemukiman, semak/tegalan, kebun campuran, hutan, dan tanah


terbuka. Hasil pengamatan lapang, disesuaikan dengan penampakan pada citra,
untuk memudahkan proses klasifikasi penggunaan lahan tersebut.

3.3.2 Data Atribut

Data atribut yang diambil dalam penelitian ini berupa data suhu udara
yang didapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun
Klimatologi Darmaga Bogor. Data suhu yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rataan suhu harian stasiun klimatologi Darmaga, Bogor pada berbagai
tahun pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010), suhu harian stasiun klimatologi
Darmaga, Bogor tahun 2011 dengan waktu pengamatan pukul 07.00, 07.10,
13.00, dan 13.50 WIB; dan berbagai ketinggian (5 cm, 100 cm, dan 120 cm).
Selain itu, sebagai validator, digunakan data lysimeter pada tahun 2009 yang
didapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun
Klimatologi Darmaga Bogor, dan data panci evaporasi A yang didapatkan dari
Stasiun Klimatologi Baranangsiang FMIPA IPB, sejak tahun 2008-2010.

3.4 Tahapan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur

Peta batas DAS Cimadur dibuat dengan menggunakan software ArcGIS


9.3 dengan mempertimbangkan sungai utama yang mengalir pada wilayah
pengamatan lapang, yaitu DAS Ciambulawung. Selain itu, diperhatikan pula
batas-batas topografi yang terdapat di sekitar sungai utama tersebut. Hal tersebut
dilakukan sesuai dengan definisi DAS yang merupakan suatu hamparan
wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang
menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut
atau danau.
Peta DAS Cimadur tersebut, merupakan salah satu kebutuhan dasar dalam
penelitian, terkait peranannya sebagai peta batas DAS pada pembuatan peta
penggunaan lahan dan peta evapotranspirasi potensial standar.
14

3.4.2 Pembuatan Peta Penggunaan Lahan DAS Cimadur

Peta penggunaan lahan dibuat dengan menggunakan software ArcGIS 9.3


dengan melakukan digitasi terhadap citra google earth dan citra ALOS AVNIR-2,
yang berfungsi sebagai citra komposit apabila kenampakan pada citra google earth
tertutup awan. Adapun klasifikasi penggunaan lahan di dalam peta penggunaan
lahan tersebut dibedakan menjadi sawah,
sawah, pemukiman, semak/tegalan, kebun
campuran, hutan, dan tanah terbuka. Proses klasifikasi dari penampakan citra
tersebut, kemudian disesuaikan dengan hasil pengamatan lapang agar memberikan
tingkat ketepatan yang lebih baik terhadap peta penggunaan lahan
lahan yang dibuat.

a). Pengamatan Lapang

b). Citra ALOS AVNIR-2

c). Citra Google Earth

Gambar 3.4.2.a Hasil Pengamatan Lapang (a), Citra ALOS AVNIR -2 (b), dan
Citra Google Earth (c).
xxviii
15

3.4.3 Koreksi Geometrik, Ekstraksi Data LST dan Layer Stacking

Seluruh proses analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan


menggunakan software Envi 4.5, diawali dengan melakukan download data
MODIS MOD11A2 yang didapatkan dari http://ladsweb.nascom.nasa.gov.
MOD11A2 merupakan salah satu produk Land Surface Temperature (LST) yang
dimiliki oleh MODIS. Produk tersebut merupakan periode komposit 8 harian,
yang merupakaan rataan 8 hari dari produk MOD11A1 (produk harian LST
MODIS). Pada penggunaannya, untuk periode analisis selama 1 tahun,
membutuhkan sedikitnya 3 hingga 4 data LST MOD11A2.
Hasil download produk LST MODIS tersebut tersimpan dalam format data
Hierarchical Data Format-Earth Observing System (HDF-EOS). Selanjutnya,
dengan tool tambahan berupa MODIS Conversion Toolkit, format file tersebut
kemudian diubah menjadi format (img), sekaligus dilakukan tahap koreksi
geometrik sistematik. Koreksi geometrik sistematik merupakan proses proyeksi
koordinat citra agar sesuai dengan koordinat peta dunia yang sesungguhnya. Pada
tahap ini, koordinat citra diubah menjadi Geographic Lat/Lon WGS 84 dengan
unit degree.
Selain mengubah referensi geometrik, perubahan format data juga
mengubah nilai pada pixel yaitu dari nilai emisivitas 31 dan 32 (rentang 0-1)
menjadi nilai suhu (K). Sehingga, data dalam format (img) tersebut, dapat
langsung digunakan sebagai data LST. Dalam hal ini, ekstrak data dilakukan dua
kali dalam citra yang sama, yaitu ekstrak data LST day dan LST night.
Selanjutnya, data-data yang telah diekstrak tersebut dikumpulkan menjadi 1 tahun
pengamatan (terdiri dari 3-4 data LST), dan dilakukan proses layer stacking untuk
mengubah kumpulan 3-4 layer data LST tersebut menjadi 1 layer. Pada proses ini,
dalam waktu 1 tahun analisis, akan memiliki 2 layer, yaitu 1 layer LST day dan 1
layer LST night. Sehingga, total layer yang dimiliki adalah 8 layer data, yaitu data
tahun 2008 (2), 2009 (2), 2010 (2), dan 2011 (2). Selanjutnya, nilai-nilai yang
terkandung pada layer tersebut diekstrak dalam bentuk ASCII Output, yang
merupakan format data yang dapat dibaca pada Notepad. Format data tersebut
juga dapat dibaca oleh Microsoft Excel, sehingga analisis data dapat disajikan
dalam bentuk grafik atau tabel.
16

3.4.4 Validasi Data LST MODIS dan Suhu Stasiun Iklim

Validasi data LST MODIS dilakukan untuk mengetahui bagaimana


hubungan antara suhu yang terukur pada LST MODIS dengan suhu udara yang
terukur pada stasiun klimatologi, serta pada ketinggian berapa data LST MODIS
dapat mengestimasi suhu udara stasiun iklim. Pada tahap awal validasi, dianalisis
juga kualitas dan ketersediaan data LST MODIS pada tahun 2008-2010 (gambar
5.1.2.a). Pada tahap ini, dibandingkan nilai Tmean stasiun iklim pada ketinggian
120 cm dengan nilai LST mean (rataan LST day dan LST night). Selanjutnya,
hasil analisis tersebut menjadi acuan bulan pada validasi data LST MODIS tahun
2011.
Validasi suhu dilakukan pada berbagai ketinggian sangkar meteo (5 cm,
100 cm, dan 120 cm) dan juga pada jam pengamatan tertentu (pukul 07.00, 07.10,
13.00 dan 13.50 WIB). Hasil validasi ditampilkan dalam grafik hubungan data
LST MODIS dengan data stasiun klimatologi pada berbagai ketinggian dan waktu
(sub bab 5.2.2.1).

3.4.5 Perhitungan Tmean dan P

Suhu rata-rata (Tmean) yang terdapat pada rumus Blaney Criddle


merupakan suhu rata-rata maksimum dan minimum harian selama satu bulan.
Perhitungan Tmean dilakukan dengan mencari rata-rata Tmax dan Tmin dalam
satu bulan, kemudian merata-ratakan Tmax dan Tmin tersebut, untuk kemudian
dinyatakan sebagai Tmean/hari dalam satu bulan.


Tmax =

Tmin =

Tmean =

Dalam proses ini, dihitung nilai rata-rata untuk Tmax (yang diwakili oleh
LST day) selama satu bulan, yaitu rataan 3-4 data LST day. Kemudian dilakukan
pula rata-rata nilai Tmin (yang diwakili oleh LST night) selama satu bulan, yang
terdiri dari 3-4 data LST night. Selanjutnya, kedua rataan LST day dan LST night
tersebut dirata-ratakan sehingga didapatkan nilai LST mean atau T
xxx
17

mean/hari/bulan. Pada tahapan ini, proses kalkulasi setiap pixel dilakukan dengan
fitur Band Math dalam software Envi 4.5.
P merupakan rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan yang
terdapat pada berbagai lintang. Nilai P didapatkan berdasarkan tabel yang
didapatkan dari FAO (tabel 2.2.a).

3.4.6 Perhitungan Evapotranspirasi dengan metode Blaney Criddle

Setelah nilai Tmean dan nilai P didapatkan, selanjutnya, dilakukan


perhitungan menurut persamaan Blaney-Criddle. Persamaan umum yang
digunakan adalah Doorenbos&Pruit (1977) :

Eto = p (0,46 Tmean + 8,13) (3.3.3.4.a)

Persamaan tersebut diatas merupakan persamaan dalam perhitungan


evapotranspirasi potensial standar (ETo), sehingga nilai evapotranspirasi yang
dihasilkan adalah nilai evapotranspirasi dimana faktor iklim (suhu) mendominasi
terhadap hasil perhitungan, dan dengan asumsi tanaman dalam kondisi standar
(pertumbuhan seragam, sempurna dengan tinggi antara 8-15 cm, dan dalam
kondisi air, tanah, lingkungan yang mendukung terhadap pertumbuhan tanaman
tersebut).
Seperti pada tahapan sebelumnya, kalkulasi matematis dilakukan dengan
menggunakan Band Math yang terdapat dalam fitur Basic Tools. Selanjutnya,
dilakukan proses pemotongan citra dengan melakukan masking citra berdasar peta
batas DAS Cimadur yang telah dikonversi dari format (shp) menjadi (evf), yaitu
format yang dapat dibaca oleh Envi 4.5.

3.4.7 Validasi Estimator Evapotranspirasi

Validasi data estimator evapotranspirasi dilakukan terhadap data panci


evaporasi A dan lysimeter yang didapatkan dari stasiun iklim. Validasi dilakukan
untuk melihat hubungan antara data estimator evapotranspirasi dengan data
validator yang didapatkan dari stasiun iklim. Pada proses validasi ini, dilakukan
validasi terhadap 1x1 pixel dan 3x3 pixel. Hal ini bertujuan untuk menambah
ketersediaan data estimator berdasarkan rataan 3x3 pixel, serta meninjau distribusi
evapotranspirasi wilayah pada jangkauan 3 km x 3 km di seputar titik stasiun.
18

3.4.8 Perbaikan Data Evapotranspirasi pada citra MODIS

Perbaikan data evapotranspirasi yang dihasilkan berdasarkan perhitungan


LST MODIS, dilakukan untuk memperbaiki kondisi pixel-pixel yang
mengandung cukup banyak missing data. Perbaikan data evapotranspirasi
dilakukan dengan menyeleksi data LST MODIS 8 harian yang memiliki
ketersediaan data LST day dan LST night yang lebih baik dibandingkan data
lainnya. Sehingga, kombinasi data-data tersebut dapat memberikan ketersediaan
data untuk LST mean yang lebih baik. Apabila dilakukan seleksi terhadap data-
data tersebut, maka kebutuhan untuk kombinasi data dengan ketersediaan terbaik,
bisa terdiri dari 1-4 data (Gambar 3.4.8.a dan 3.4.8.b). Selanjutnya, nilai
evapotranspirasi kembali dihitung dengan menggunakan rumus Blaney-Criddle.
Validasi data evapotranspirasi (dengan perbaikan dan tanpa perbaikan), dilakukan
untuk mengetahui nilai R2 dan hubungan kedua data tersebut.
xxxii
19

Gambar 3.4.8.a. Ilustr.asi Kombinasi Data Sebelum Perbaikan


20

Gambar 3.4.8.b. Ilustrasi Kombinasi Data Setelah Perbaikan.


34
21

3.5. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.5.a. Diagram Alir Penelitian.


50

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Batas Administrasi Kabupaten Lebak, Banten

Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di


provinsi Banten dengan Ibukota Rangkasbitung. Kabupaten Lebak terletak antara
6018-7000LS dan 105025-106030BT dengan luas wilayah 304.472 Ha (3.044,72
Km2) yang terdiri dari 28 Kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Berikut
merupakan batas administratif Kabupaten Lebak :
Sebelah utara : Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang
Sebelah Selatan : Samudra Hindia
Sebelah Barat : Kabupaten Pandeglang
Sebelah Timur : Jawa Barat
(http://www.lebakkab.go.id).

4.2 Kondisi Topografi Wilayah

Kabupaten Lebak secara topografi memiliki 3 (tiga) karakteristik ketinggian dari


permukaan laut, yaitu:
1. 0 - 200 Meter, untuk wilayah sepanjang Pantai Selatan.
2. 201 - 500 Meter, untuk wilayah Lebak Tengah.
3. 501 - 1000 Meter, untuk wilayah Lebak Timur dengan puncaknya yaitu Gn.
Sanggabuana dan Gn. Halimun.
Ketinggian dari permukaan laut setiap Ibu Kota Kecamatan di Kabupaten
Lebak sangat beragam, yang tertinggi adalah Kecamatan Muncang dan Sobang
(260 meter), yang terendah Kecamatan Bayah dan Cihara (3 meter)
(http://www.lebakkab.go.id).

4.3 Kondisi Hidrologi Wilayah

Aspek hidrologi suatu wilayah sangat diperlukan dalam pengendalian dan


pengaturan tata air wilayah tersebut, berdasarkan hidrogeologinya, aliran-aliran
sungai besar di wilayah Kabupaten Lebak bersama anak-anak sungainya
membentuk pola Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dapat digolongkan terdiri 2
(dua) DAS yaitu (1) DAS Ciujung yang meliputi Sungai Ciujung, Sungai Cilaki,
51
23

Sungai Ciberang, dan Sungai Cisimeut, (2) DAS Ciliman dan Cimadur yang
meliputi Sungai Ciliman dengan anak sungainya, Sungai Cimadur, Sungai
Cibareno, Sungai Cisiih, Sungai Cihara, Sungai Cipager, dan Sungai Cibaliung
(http://www.lebakkab.go.id).

4.4 Permasalahan Hidrologi pada DAS Cimadur

Sebagai bagian dari Kabupaten Lebak, DAS Cimadur juga turut


berkontribusi terhadap kejadian banjir yang berlangsung selama musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau, yang terjadi di wilayah tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan kondisi kekeringan yang terjadi pada wilayah pengamatan
lapang, yaitu DAS Ciambulawuung, yang merupakan sub DAS Cimadur, yang
mengalami kekeringan sehingga menghambat pengairan pada areal persawahan
serta tidak berfungsinya mikrohidro di wilayah tersebut. Selain permasalahan
banjir dan kekeringan, di Sungai Cimadur (Kecamatan Bayah), ribuan ikan
ditemukan mati akibat pencemaran sungai oleh limbah pengolahan lumpur emas
yang terdapat pada wilayah tersebut.
52

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS pada


Wilayah Penelitian
5.1.1 Gambaran Umum Data Land Surface Temperature (LST) MODIS
LST MODIS merupakan suatu rangkaian produk yang melewati berbagai
proses yang meliputi transformasi secara spasial dan temporal, untuk kemudian
menjadi suatu produk data global harian, 8 harian, serta bulanan. LST MODIS
memiliki 7 produk data LST yang memiliki resolusi spasial sebesar 1 km arah
nadir dan tutupan nominal 2030 atau 2040 garis (sepanjang track, sekitar 5 menit
perekaman MODIS) dengan 1354 pixel tiap garisnya. Level data produk LST
antara lain : Level 1B (L1B) merupakan scene data MODIS yang bergeolokasi di
sekitar pusat lintang dan bujur dengan resolusi pixel 1 km; Produk level 2 (L2)
yaitu produk geofisik dengan lintang dan bujur sebagai orientasi, dan tidak
digunakan secara spasial dan temporal; dan produk level 3 (L3) yang merupakan
produk geofisik yang digunakan secara spasial dan temporal, dan biasanya
merupakan format jaringan proyeksi peta dalam bentuk tiles (Wan, 2007).
Pada penelitian ini, MOD11A2 merupakan produk level 3 (L3) LST
MODIS, dengan resolusi spasial 1 km, resolusi temporal 8 harian, dan proyeksi
peta sinusoidal. MOD11A2 tersebut merupakan produk LST 8 harian yang
didapat dengan merata-ratakan dua hingga delapan harian produk MOD11A1.
Menurut Vancutsem et al. (2010), produk MOD11A2 lebih baik apabila
digunakan sebagai parameter suhu permukaan daratan karena variabilitasnya yang
lebih rendah terhadap data stasiun, jika dibandingkan dengan variabilitas pada
MOD11A1. Sehingga, pada penelitian ini, parameter suhu permukaan daratan
didapatkan dari data LST MOD11A2.
Secara visual, citra LST MODIS memiliki kenampakan seperti pada
Gambar 5.1.1.a. Pada gambar tersebut, masing-masing pixel memiliki nilai suhu
permukaan daratan (K). Pada penggunaannya, nilai suhu tersebut diubah dalam
bentuk 0C dengan menggunaan fitur Band Math pada software Envi 4.5. Semakin
putih kenampakan pixel pada citra, menunjukkan semakin tingginya suhu
53
25

permukaan daratan yang diestimasi oleh MODIS. Sementara, warna hitam


menunjukkan kondisi no data area. Kondisi no data area akan tercapai apabila
suatu wilayah tertentu merupakan wilayah lautan, atau wilayah yang
terkontaminasi oleh tutupan awan dan kondisi cuaca yang buruk.

a). LST day MODIS

b). LST night MODIS


Gambar 5.1.1.a Kenampakan Visual LST MODIS day (a) dan night (b).

5.1.2 Kualitas dan Ketersediaan Data LST MODIS tahun 2008-2010 Secara
Spasial dan Temporal
Ketersediaan dan kualitas data LST MODIS tahun 2008-2010 dianalisis
dengan membandingkan nilai LST rata-rata dan nilai rataan suhu harian Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor. Nilai LST MODIS diambil menurut koordinat
lokasi yang sama dengan lokasi Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. Selain
ketersediaan dan kelengkapan datanya, Bogor dipilih karena lokasinya tidak
terlalu jauh dengan wilayah pengamatan. Pada tahapan ini, diasumsikan bahwa
54
26

dengan dilakukannya perbandingan pada stasiun klimatologi Darmaga, Bogor


maka hasil perbandingan tersebut juga akan memberikan korelasi yang sama
terhadap wilayah penelitian.
Nilai LST mean (rata-rata) didapatkan dengan merata-ratakan nilai LST
day dan LST night delapan harian. Selanjutnya, nilai suhu (T) rataan delapan
harian dari stasiun klimatologi (Staklim), dibandingkan dengan nilai LST rataan
delapan harian MODIS dan disajikan dalam Gambar 5.1.2.a.
Berdasarkan Gambar 5.1.2.a, terlihat bahwa data LST MODIS umumnya
tersedia cukup baik pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan Mei hingga
September. Ketersediaannya pada awal tahun dan akhir tahun umumnya semakin
buruk. Diantara ketiga data tahun tersebut, terlihat bahwa tahun 2008 memberikan
korelasi yang cukup baik antara data LST MODIS dan data suhu stasiun iklim.
Namun, pada bulan dan hari tertentu, terdapat data LST MODIS yang
menyimpang hingga hampir 20C dibandingkan data stasiun iklim. Perbedaan
tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh fluktuasi cuaca serta faktor perbedaan
skala (titik vs areal).
Tahun 2009 memberikan pola data LST mean yang cenderung lebih
rendah dari data suhu stasiun pada bulan Mei hingga Juli. Namun, pada bulan
Agustus hingga Oktober, data LST mean menunjukkan kondisi sebaliknya, yaitu
data LST menjadi lebih tinggi dibandingkan data suhu stasiun. Ketersediaan data
yang terdapat pada tahun 2009 tergolong cukup baik dibandingkan ketersediaan
data pada tahun 2008 dan 2010. Tahun 2010 merupakan tahun dengan
ketersediaan dan kualitas data LST paling buruk dibandingkan ketiga tahun
lainnya. Gambar 5.1.2.a menunjukkan bahwa hanya terdapat beberapa titik LST
yang tersedia sepanjang tahun 2010.
Apabila pola tersebut kemudian dikaitkan dengan fenomena iklim yang
terjadi pada tahun 2008-2010, maka fenomena El Nino dan La Nina turut
berkontribusi terhadap fluktuasi nilai suhu udara seperti yang ditampilkan pada
tabel 5.1.2.b. Pada tabel tersebut, indeks ONI (Oceanic Nino Index) merupakan
indeks yang digunakan sebagai salah satu parameter terjadinya fenomena El Nino
dan La Nina. Warna merah menunjukkan terjadinya fenomena El Nino,
sedangkan warna biru menunjukkan terjadinya fenomena La Nina. Adapun nilai
55
27

kekuatan El Nino dan La Nina dibagi menjadi 3, yaitu lemah (antara 0,5 sampai
0,9), sedang (1-1,4), dan kuat ( 1,5).

Gambar 5.1.2.a Kualitas Data LST MODIS dibandingkan dengan data T Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun 2008-2010.

Pada tabel 5.1.2.b terlihat bahwa pada awal tahun 2009, kondisi iklim
cenderung normal. Sementara menuju akhir tahun 2009, terdapat fenomena El
Nino yang semakin menguat. Fenomena El Nino yang identik dengan kekeringan,
akan berpengaruh terhadap estimasi data LST MODIS. Pengambilan data LST
MODIS yang dilakukan pada siang hari (LSTday) umumnya memiliki akurasi
yang lebih rendah dibandingkan pada malam hari (LSTnight). Sehingga, nilai LST
yang diestimasi MODIS dapat menjadi lebih tinggi dibandingkan kondisi
sebenarnya.
Puncak El Nino mengakibatkan akurasi LSTday menjadi lebih rendah. Hal
ini kemungkinan dipengaruhi oleh kontribusi atmosfer lokal seperti iradiasi, dan
lain-lain. Sementara, pada pengukuran LST night, hanya terdapat pancaran
iradiasi dengan gangguan atmosfer yang minimum. Akibatnya, terdapat perbedaan
nilai LSTday yang cukup besar dan akhirnya mempengaruhi nilai rata-rata LST.
56
28

Ketersediaan data yang minim pada tahun 2010, dapat pula dikaitkan
dengan fenomena El Nino dan La Nina. Pada Tabel 5.1.2.b, terlihat bahwa
sepanjang tahun 2010, terjadi fenomena El Nino pada awal tahun, yang kemudian
diikuti dengan fenomena La Nina pada akhir tahun. Sehingga, hal tersebut
memberikan kontribusi terhadap minimnya ketersediaan data LST yang diestimasi
oleh MODIS.

Tabel 5.1.2.b. Indeks ONI (Oceanic Nino Index) sebagai Salah Satu Parameter
Terjadinya El Nino dan La Nina.

Sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/ensoyears.shtml

Namun secara umum, ketersediaan data yang minim pada awal tahun dan
akhir tahun sepanjang 2008-2010, diduga terkait oleh perbedaan musim. Menurut
Tomlinson et al. (2011) perbedaan musim akan berpengaruh terhadap
ketersediaan citra (meningkatnya tutupan awan) dan akurasi (meningkatnya hujan
akan menyebabkan basahnya permukaan sehingga membuat pengukuran LST
menjadi bias).

5.2 Hasil Validasi Nilai LST MODIS dengan Nilai Suhu (T) pada Stasiun
Iklim
5.2.1 Pola Suhu Harian Darmaga pada Tahun 2008-2010

Validasi data LST MODIS merupakan tahapan yang menggambarkan


hubungan keterkaitan antara nilai LST MODIS dengan nilai suhu udara yang
terdapat pada stasiun klimatologi. Pada tahapan ini, terdapat kendala terkait
kelengkapan dan ketersediaan data suhu harian pada stasiun klimatologi yang
terdapat di wilayah DAS Cimadur, sehingga validasi data LST MODIS dilakukan
pada stasiun klimatologi Darmaga, Bogor yang memiliki ketersediaan dan
kelengkapan data suhu harian yang cukup baik. Diharapkan dengan dilakukannya
validasi pada stasiun klimatologi Darmaga, Bogor maka hasil validasi tersebut
juga akan memberikan korelasi yang sama terhadap wilayah penelitian.
57
29

Tahapan validasi data MODIS diawali dengan melihat pola suhu harian
yang terdapat pada stasiun klimatologi Darmaga. Hal ini bertujuan untuk melihat
pola suhu udara Bogor pada tahun 2008-2010 dan peristiwa iklim yang mungkin
terjadi pada tahun-tahun tersebut. Berdasarkan grafik yang ditampilkan pada
Gambar 5.2.1.a, terlihat bahwa suhu udara pada tahun 2008-2010 memiliki pola
yang berbeda-beda setiap tahunnya.
Tahun 2008, misalnya, memiliki suhu udara yang tergolong cukup rendah
dibandingkan suhu udara pada tahun 2009 dan 2010, khususnya pada bulan
Februari hingga Maret. Tahun 2009, bulan-bulan dengan suhu tertinggi berada
sekitar bulan Agustus hingga November. Sedangkan pada tahun 2010, suhu
tertinggi terdapat pada bulan April hingga Mei.
Jika Gambar 5.2.1.a tersebut kemudian dibandingkan kembali dengan
Tabel 5.1.2.a, terlihat bahwa penurunan suhu udara yang terjadi pada awal-awal
tahun pada tahun 2008, terjadi akibat fenomena La Nina yang berlangsung dengan
kekuatan sedang. Curah hujan tinggi yang berlangsung pada awal tahun 2008
menyebabkan suhu udara harian yang terukur menjadi lebih rendah dibandingkan
bulan-bulan lainnya pada tahun tersebut.
Untuk tahun 2009, terlihat bahwa ketika fenomena El Nino berlangsung
semakin menguat pada akhir-akhir tahun, maka suhu udara kemudian meningkat
menjadi lebih tinggi pada akhir tahun tersebut. Hal ini juga ditunjukkan dengan
pengaruh El Nino yang terjadi pada tahun 2010 (April-Mei). Tahun 2010
merupakan tahun yang cukup kompleks pada terjadinya fenomena El Nino dan La
Nina. Terlihat bahwa suhu udara yang semakin menurun pada akhir tahun 2010,
disebabkan oleh munculnya fenomena La Nina yang kemudian semakin menguat.
Secara umum, Gambar 5.2.1.a menunjukkan bahwa walaupun fluktuasi
suhu udara yang terjadi pada setiap tahun pengamatan memiliki pola yang
berbeda-beda, masih terdapat korelasi yang cukup stabil diantara ketiga tahun
tersebut pada bulan-bulan tertentu. Grafik menunjukkan bahwa korelasi yang
cukup stabil umumnya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Sementara, pada
bulan-bulan lainnya cenderung bervariasi akibat kemarau yang cukup tinggi
ataupun puncak musim hujan.
58
30

Fluktuasi Suhu Harian


Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor
Tahun 2008-2010
29.0
28.0
Temperature (C)

TAHUN
27.0 2008
TAHUN
26.0 2009
TAHUN
25.0 2010
24.0
23.0
Ja F M A M Ju Ju A Sep O Nov De
Bulan

Gambar 5.2.1.a. Fluktuasi Suhu Harian Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor


Tahun 2008-2010.
5.2.2 Hasil Validasi Data LST MODIS Tahun 2011 dan Data Suhu (T)
Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian dan Waktu
Berdasarkan hasil analisis pola suhu harian Stasiun Darmaga, Bogor dan
analisis ketersediaan serta kualitas data LST MODIS tahun 2008-2010, terlihat
bahwa data LST MODIS tersedia cukup baik pada bulan-bulan kering (musim
kemarau), yaitu sekitar bulan April hingga September. Sementara, pada bulan
lainnya, terutama bulan-bulan basah, ketersediaan data MODIS cenderung minim
dan bahkan tidak ada. Dengan demikian, validasi data LST MODIS hanya
dilakukan pada bulan April hingga September.
Tahun 2011 dipilih sebagai tahun validasi karena belum tersedianya data
suhu pada berbagai ketinggian pada tahun 2008-2010. Validasi yang dilakukan
pada berbagai ketinggian bertujuan untuk mengkaji sensitivitas nilai LST yang
MODIS terhadap nilai stasiun iklim, dan pada ketinggian berapa nilai LST
tersebut bersesuaian dengan suhu permukaan lahan.
Validasi yang dilakukan pada berbagai waktu bertujuan untuk mencari
hubungan antara LSTday dan LSTnight pada MODIS, dengan Tmax dan Tmin
yang terukur pada stasiun klimatologi. Sebelumnya, penelitian Maeda et al.
(2011) di Kenya dan Vancutsem et al. (2010) di Afrika, menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang cukup dekat antara LST night yang terukur pada MODIS
dengan T min pada stasiun klimatologi, dan juga LST day pada MODIS dengan
Tmax pada stasiun klimatologi.
59
31

5.2.2.1 Hasil Validasi Data LST MODIS day Tahun 2011 dan Data Suhu (T)
Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian.
Stasiun klimatologi Darmaga, Bogor memiliki beberapa stasiun agroklimat
yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban udara pada berbagai
ketinggian. Stasiun AGM-1C tersebut terutama diperuntukkan untuk keperluan
data terkait bidang pertanian. Beberapa ketinggian yang diukur pada stasiun
AGM-1C antara lain adalah 5 cm, 10 cm, 15 cm, 30 cm, 50 cm, 150 cm, dan 200
cm. Pada stasiun ini, pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan
termometer Physchrometer Assman. Pengukuran dilakukan dua kali dalam sehari,
yaitu pada pukul 07.10 dan 13.50 WIB.
Sedangkan pengukuran suhu harian rata-rata yang umum digunakan dan
diberikan kepada pengguna, merupakan pengukuran suhu rata-rata harian yang
berasal dari sangkar meteo, dengan menggunakan termometer bola kering (sesuai
dengan standar World Meteorology Organization). Suhu harian rata-rata tersebut
diukur pada ketinggian sangkar meteo 120 cm dan pada rataan pengukuran waktu
tertentu yaitu pukul 07.00 (dua kali), 13.00, dan 18.00 WIB.
Berdasarkan hal tersebut, maka suhu harian yang dibandingkan dengan
data LST MODIS merupakan suhu yang berasal dari stasiun AGM-1C pada
ketinggian 5 cm dan 100cm, serta suhu yang berasal dari sangkar meteo 120 cm
(sebagai sumber data yang umum digunakan oleh pengguna). Sedangkan, waktu
pengambilan data dilakukan pada Tmax (pukul 13.00 WIB untuk T pada sangkar
meteo, dan pukul 13.50 WIB untuk T pada stasiun AGM 1-C), untuk kemudian
dibandingkan dengan LST MODIS day yang diukur pada waktu lokal solar 10.30.
60
32

a). Sangkar Meteo b). Termometer Bola Basah-Kering

Sumber: www.jsec.com.sg
c). Phsychrometer Assman
Gambar 5.2.2.1.a Alat Ukur Suhu Pada Stasiun Klimatologi.

Gambar 5.2.2.1.b menunjukkan bahwa pada berbagai ketinggian stasiun


iklim, pengukuran suhu pada siang hari ternyata memiliki fluktuasi yang berbeda-
beda walaupun membentuk pola yang cenderung mirip satu sama lain. Garis antar
stasiun yang ditunjukkan pada gambar 5.2.2.1.b, cenderung sejajar/berhimpit
hanya pada Julian Days awal. Jika garis antar stasiun iklim tersebut kemudian
dibandingkan dengan garis LST,
LST, terlihat bahwa garis LST, hanya sejajar atau
berhimpit pada bulan-bulan tertentu saja. Sedangkan fluktuasinya di beberapa
bulan terlihat masih menyimpang cukup jauh ( 2 hingga 30C). Seperti yang telah
disebutkan pada sub bab sebelumnya, bahwa penyimpangan
penyimpangan nilai LST dan
stasiun, dapat terjadi akibat kondisi cuaca, faktor skala, dan juga efek angular
anistropi yang bisa menyebabkan tingginya nilai pantulan, bauran, serta efek
bayangan pada pengukuran di siang hari (Tomlinson et al., 2011; Vancutsem et
al., 2010).
61
33

Gambar 5.2.2.1.b Grafik Perbandingan LST MODIS day dan Suhu Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian.
Gambar 5.2.2.1.c juga menunjukkan bahwa hubungan terdekat antara LST
MODIS day dengan T stasiun, diperoleh T stasiun pada ketinggian 5 cm dengan
nilai R2 sebesar 0,362. Sementara itu, R2 antara LST MODIS day dan T stasiun
100 cm adalah 0,304. Sedangkan nilai R2 terkecil didapatkan dari hubungan antara
LST MODIS day dan T stasiun 120 cm, yaitu 0,277. Terlihat bahwa nilai LST day
pada data MODIS lebih erat kaitannya pada T stasiun dengan ketinggian 5 cm,
walaupun secara umum, perbedaan antara ketiga ketinggian tersebut tidak
menghasilkan nilai R2 yang jauh berbeda.

a). LSTday-T5 b). LSTday-T100 c). LSTday-T120


Gambar 5.2.2.1.c Nilai R2 antara LST MODIS day dan T stasiun pada Berbagai
Ketinggian.
5.2.2.2 Hasil Validasi Data LST MODIS night Tahun 2011 dan Data Stasiun
Klimatologi pada Berbagai Ketinggian.
Proses validasi MODIS night dilakukan pada bulan Mei hingga September
2011. Hal ini disebabkan oleh data MODIS night yang tidak tersedia pada bulan
April. Secara umum, data LST night lebih sulit tersedia dibandingkan dengan data
LST day. Validasi LST MODIS night dilakukan dengan membandingkan T
62
34

stasiun pada ketinggian 5, 100, dan 120 cm pada pukul 07.00 WIB (untuk
pengukuran T sangkar meteo) dan 07.10 WIB (untuk pengukuran T pada stasiun
AGM-1C), dengan LST MODIS night pada waktu akuisisi 22.30 waktu lokal
solar.

Gambar 5.2.2.2.a Grafik Perbandingan LST MODIS night dan Suhu Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian.
Gambar 5.2.2.2.a menunjukkan bahwa pada pengukuran suhu minimum,
terdapat hubungan yang cukup dekat antara stasiun pada ketinggian 5 cm dan 100
cm. Sementara itu, pada stasiun dengan ketinggian 120 cm, terdapat perbedaan
pengukuran suhu hingga mencapai 20C jika dibandingkan dengan kedua nilai suhu
lainnya. Hal tersebut mengindikasikan adanya perbedaan nilai yang disebabkan
oleh perbedaan alat ukur pengukuran suhu udara.
Jika dibandingkan antara nilai LST night dengan nilai T stasiun, terlihat
bahwa garis LST night cenderung berhimpit pada pengukuran T stasiun 120 cm.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi pada LST day, yang cenderung mendekati
nilai Tstasiun pada ketinggian 5 cm. Terdapat dua asumsi terkait perbedaan nilai
tersebut. Asumsi pertama, jika nilai LST MODIS berada pada ketinggian 5 cm,
maka perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan waktu akuisisi data dan
pengambilan data T stasiun. Pada LST MODIS night, pengambilan data
dilakukan pada pukul 22.30 waktu lokal solar. Sementara, pada T stasiun,
pengambilan data dilakukan pada pukul 07.00 WIB. Dengan demikian, nilai Tmin
yang dimaksud pada LST MODIS night, menjadi terlihat lebih setara dengan
pengukuran T stasiun pada ketinggian 120 cm.
Asumsi kedua adalah nilai LST memang berada di sekitar ketinggian 120
cm dari permukaan lahan. Sehingga, LST night tepat mendekati nilai stasiun iklim
63
35

pada ketinggian 120 cm. Sementara, hubungan antara nilai LST day yang tidak
terlalu erat dengan T stasiun pada ketinggian 120 cm, lebih disebabkan oleh
besarnya bias yang terjadi pada pengukuran siang hari oleh sensor MODIS. Pada
asumsi kedua ini, bias waktu kurang dipertimbangkan.

a). LSTnight-T5 b). LSTnight-T100 c). LSTnight-T120


2
Gambar 5.2.2.2.b Nilai R antara LST MODIS night dan T stasiun pada Berbagai
Ketinggian.
Sementara, analisis regresi (Gambar 5.2.2.2.b) menunjukkan bahwa R2
terbesar ditunjukkan pada ketinggian 100 cm. Nilai R2 pada ketinggian tersebut
adalah 0,567. Selanjutnya, nilai R2 terbesar kedua didapatkan dari ketinggian 5
cm, yaitu 0,442. Pada ketinggian 120 cm, yang justru terlihat lebih dekat dengan
LST MODIS night, ternyata hanya memiliki nilai R2 sebesar 0,283. Hal ini
disebabkan oleh fluktuasi nilai LST MODIS night yang pada beberapa titik
cenderung lebih tinggi atau lebih rendah. Sehingga, walaupun garis LST MODIS
night cenderung berhimpitan dengan T pada ketinggian 120 cm, nilai R2 yang
dihasilkannya akan menjadi lebih kecil.

5.3 Perhitungan Evapotranspirasi dengan metode Blaney-Criddle

5.3.1 Ketersediaan Data Evapotranspirasi Secara Spasial dan Temporal

Hasil perhitungan evapotranspirasi potensial dengan menggunakan metode


Blaney-Criddle disajikan secara spasial dan temporal pada gambar 5.3.1.a. Nilai
evapotranspirasi potensial tersebut dibagi menjadi delapan kelas dengan rentang
0,2 mm. Sehingga memiliki nilai evapotranspirasi potensial antara 4,45 sampai
5,65 mm dan No Data area. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa ketersediaan
data evapotranspirasi potensial yang dibangun dengan basis data penginderaan
jauh, mengalami kendala dalam hal ketersediaan data. Secara umum, pada awal
64
36

dan akhir tahun dari keempat tahun pengamatan, memiliki 0% ketersediaan data
pada wilayah penelitian (tabel 5.3.1.a).
Pada tahun 2008, terdapat 0% ketersediaan data pada bulan Januari,
Februari, Maret, April, Oktober, November, dan Desember. Ketersediaan data
pada tahun 2008 dimulai pada bulan Mei dengan 24,2% ketersediaan data.
Selanjutnya, menurun menjadi 22,6% pada bulan Juni dan meningkat menjadi
33,5% pada bulan Juli. Sementara, pada bulan Agustus dan September,
ketersediaannya semakin menurun dari 8,9% menjadi 2,4%.
Tahun 2009 memiliki ketersediaan data yang jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan tahun 2008. Namun, ketersediaan data pada tahun 2009,
baru tersedia sejak bulan Juni hingga Oktober. Pada bulan Juni 2009, ketersediaan
data sebesar 18,5% dan meningkat pada bulan Juli menjadi 99,2%. Selanjutnya,
ketersediaannya kembali menurun pada bulan Agustus menjadi 81% dan
meningkat kembali menjadi 95,2% pada bulan September. Pada bulan Oktober,
data tersedia hanya mencapai 0,4%.

Tabel 5.3.1.a Persentase Ketersediaan Data pada Hasil Perhitungan


Evapotranspirasi Potensial.

Jumlah Data Tersedia % Data Tersedia


Bulan
2008 2009 2010 2011 2008 2009 2010 2011
Januari 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%
Februari 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%
Maret 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%
April 0 0 13 0 0% 0% 5,2% 0%
Mei 60 0 0 143 24,2% 0% 0% 57,7%
Juni 56 46 0 0 22,6% 18,5% 0% 0%
Juli 83 246 69 228 33,5% 99,2% 27,8% 91,9%
Agustus 22 201 31 207 8,9% 81% 12,5% 83,5%
September 6 236 0 210 2,4% 95,2% 0% 84,7%
Oktober 0 1 0 0 0% 0,4% 0% 0%
November 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%
Desember 0 0 0 - 0% 0% 0% -
Total Data/Pixel 248

Tahun 2010 memiliki ketersediaan data yang paling buruk jika


dibandingkan dengan ketiga tahun pengamatan lainnya. Pada tahun 2010, data
mulai tersedia pada bulan April dengan ketersediaan sebesar 5,2%. Kemudian,
65
37

kembali menjadi 0% pada bulan Juni. Ketersediaan data tertinggi terdapat pada
bulan Juli dengan ketersediaan sebesar 27,8% dan kembali menurun pada bulan
Agustus menjadi 12,5%. Selanjutnya, pada bulan-bulan berikutnya,
ketersediaannya menjadi 0%.
Tahun 2011, kualitas ketersediaan data hampir sama dengan ketersediaan
data pada tahun 2009. Ketersediaan data pada tahun 2011 dimulai pada bulan Mei
dengan 57,7% ketersediaan data. Selanjutnya, data kembali tersedia pada bulan
Juli sebesar 97,9% dan menurun pada bulan Agustus menjadi 83,5% dan sedikit
meningkat menjadi 84,7% pada bulan September.
Selain faktor anomali iklim, faktor error internal juga sangat berpengaruh
terhadap minimnya ketersediaan data. Faktor error tersebut antara lain
dipengaruhi oleh jumlah hari hujan dan hari kering pada satu bulan pengamatan.
Dalam satu bulan pengamatan, dibutuhkan data LST MODIS 8 harian sebanyak 3-
4 data. Diantara 3-4 data tersebut, tentunya ada beberapa data yang memiliki hari
hujan, yang sangat berpotensi pada timbulnya missing data. Dalam kalkulasi
Tmean pada penelitian, hasil akhir Tmean sangat ditentukan oleh 3-4 data
tersebut. Prinsip perhitungan pada kalkulasi band adalah apabila available data
dikalkukalsikan dengan not avilable data, maka hasil akhir proses tersebut akan
menghasilkan not available data. Sehingga, walaupun hanya terdapat satu data
missing yang terdistribusi cukup merata pada wilayah penelitian, data missing
tersebut menjadi sangat potensial untuk memberikan hasil akhir data dengan 0%
ketersediaan data. Sehingga, saat dilakukan perhitungan evapotranspirasi
potensial, ketersediaan datanya menjadi sangat minim bahkan mencapai 0%.
66
38

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten


2008 2009 2010 2011

Keterangan : Evapotranspirasi dalam satuan mm/hari


67
39

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten


2008 2009 2010 2011

Keterangan : Evapotranspirasi dalam satuan mm/hari


40
68

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten


2008 2009 2010 2011

Keterangan : Evapotranspirasi dalam satuan mm/hari

Gambar 5.3.1.a Distribusi Evapotranspirasi Potensial Secara Spasial dan


Temporal pada Tahun 2008-2011.
69
41

5.3.2 Pola Evapotranspirasi Secara Spasial dan Temporal

Pola distribusi evapotranspirasi potensial standar (ETo) secara spasial dan


temporal belum bisa dilakukan secara optimal, akibat tidak lengkapnya data dalam
satu tahun pengamatan. Namun, jika dilihat secara umum pada setiap tahun
pengamatan, wilayah bagian selatan pada DAS Cimadur umumnya memiliki nilai
evapotranspirasi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah tengah DAS Cimadur,
dan berangsur-angsur kembali meningkat pada bagian utara. Pola tersebut nampak
sangat jelas pada bulan September 2009.
Menurut kondisi topografi wilayah penelitian (Gambar 5.3.2.a), wilayah-
wilayah pada bagian utara DAS Cimadur memang memiliki topografi dan elevasi
yang lebih tinggi dan cenderung bergunung dibandingkan wilayah pada bagian
selatan DAS Cimadur. Pada bagian tengah wilayah utara juga terlihat terdapat
suatu cekungan. Kondisi ini diduga merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan tingginya suhu permukaan pada bagian selatan (sehingga
mempengaruhi nilai evapotranspirasi) dan semakin rendahnya suhu udara menuju
ke utara wilayah DAS Cimadur.

a). Peta Topografi b). Peta Penggunaan Lahan


Gambar 5.3.2.a Peta Topografi (a) dan Penggunaan Lahan (b) pada DAS
Cimadur, Hasil dari Interpretasi Citra Google Earth dan ALOS
AVNIR-2.
70
42

Jika pola tersebut dikaitkan dengan penggunaan lahan yang terdapat pada
DAS Cimadur (gambar 5.3.2.a), terlihat bahwa pada bagian selatan dari DAS
Cimadur didominasi oleh sawah, semak/tegalan, dan kebun campuran. Kemudian,
semakin menuju ke arah utara, hutan mulai mendominasi penggunaan lahan pada
DAS Cimadur. Pada bagian utara DAS Cimadur, terlihat bahwa dibagian tengah
wilayah tersebut, mulai didominasi kembali oleh sawah dan semak/tegalan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa nilai evapotranspirasi potensial
yang didapatkan pada penelitian ini, sangat terkait dengan masukan data suhu dari
LST MODIS. Sehingga, jika terdapat pola evapotranspirasi potensial yang
terdapat pada gambar 5.3.2.a, besar kemungkinan bahwa pola tersebut
dipengaruhi oleh suhu udara.
Secara umum, suhu permukaan akan meningkat seiring dengan
berkurangnya vegetasi yang menutupi permukaan tanah/lahan. Penelitian Hung et
al. (2005) dan Sandholt et al. (2002) menunjukkan bahwa hubungan antara LST
dan NDVI adalah negatif, yang berarti semakin tinggi suhu permukaan, maka
indeks vegetasinya menurun. Sehingga, hal tersebut sesuai dengan apa yang
ditampilkan pada Gambar 5.3.1.a, bahwa suhu permukaan jauh lebih tinggi pada
bagian selatan DAS Cimadur (dengan menganalogikan bahwa nilai
evapotranspirasi yang terdapat pada gambar tersebut, berbanding lurus dengan
suhu permukaan), akibat pola penggunaan lahannya yang cenderung dipenuhi
oleh sawah, semak/tegalan, dan pemukiman. Pada wilayah utara, vegetasi hutan
cenderung memiliki suhu/suhu yang lebih rendah. Pada wilayah tengah di sebelah
utara DAS Cimadur, kenaikan suhu disebabkan oleh terdapatnya pola penggunaan
lahan berupa semak/tegalan dan persawahan pada wilayah tersebut (gambar
5.3.2.a).
Gambar 5.3.2.b menunjukkan hubungan antara elevasi dan LSTmean
terhadap penggunaan lahan yang terdapat di DAS Cimadur. Hutan dan sawah
dipilih sebagai pembanding terkait dengan karakteristik penggunaan lahan yang
sangat berbeda diantara keduanya. Pada analisis tersebut, diambil 6 titik contoh
untuk elevasi dan penggunaan lahan yang berbeda. Berdasarkan gambar 5.3.2.b,
terlihat bahwa penggunaan lahan sawah memberikan nilai suhu yang lebih tinggi
71
43

dibandingkan hutan. Bahkan pada elevasi yang relatif sama, sawah masih
memiliki nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan hutan.
Gambar 5.3.2.b juga menunjukkan bahwa, pada penggunaan lahan yang
relatif sama, topografi juga berkontribusi terhadap perubahan suhu yang
diestimasi oleh LST MODIS. Hal ini dapat diamati pada penggunaan lahan sawah
dan hutan, yang memiliki nilai suhu yang semakin meningkat seiring dengan
rendahnya elevasi pada wilayah penelitian.

Gambar 5.3.2.b Hubungan antara Elevasi dan LSTmean pada Berbagai


Penggunaan Lahan di DAS Cimadur.
Kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa suhu yang diestimasi oleh
MODIS relatif sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan dan juga topografi.
Dengan demikian, nilai LST tersebut akan mempengaruhi nilai evapotranspirasi
yang dihasilkan dalam penelitian. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa
persamaan Blaney-Criddle yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
persamaan evapotranspirasi potensial dalam keadaan standard. Asumsi yang
digunakan adalah kondisi tanaman pendek/rumput, tinggi seragam, menutupi
tanah sempurna, dan dalam kondisi cukup air. Dengan demikian, nilai
evapotranspirasi yang didapat, tidak spesifik secara langsung untuk jenis
penggunaan lahan tertentu. Namun, pola penggunaan lahan dan topografi tetap
akan memberikan kontribusi terhadap nilai suhu permukaan lahan, yang
merupakan data masukan utama dalam perhitungan nilai ETo.

5.4 Validasi Nilai Estimator Evapotranspirasi

Validasi nilai estimator evapotranspirasi dilakukan untuk mengetahui


seberapa jauh perbedaan antara nilai evapotranspirasi yang didapatkan dari hasil
72
44

penelitian (ETm), dengan nilai evapotranspirasi yang diukur pada panci evaporasi
yang berasal dari stasiun klimatologi Baranangsiang FMIPA IPB (sejak tahun
2009-2010) dan data Lysimeter (tahun 2009) yang didapatkan dari stasiun
klimatologi Darmaga. Panci evaporasi A dan Lysimeter merupakan suatu metode
sederhana dalam perhitungan Evapotranspirasi. Validasi diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai keterkaitan data evapotranspirasi hasil
perhitungan pada penelitian, dengan dua metode evapotranspirasi sederhana yang
juga umum digunakan sebagai standar perhitungan evapotranspirasi.
Pada tahap validasi, dilakukan perbandingan antara nilai ETm dengan nilai
validator evapotranspirasi (panci evaporasi A dan lysimeter) dengan
membandingkan nilai estimator evapotranspirasi rataan dari 1x1 pixel dan 3x3
pixel, dengan nilai yang ditunjukkan oleh validator. Hal ini bertujuan untuk
melihat pengaruh spasial nilai evapotranspirasi antara 1x1 pixel dan 3x3 pixel, dan
juga untuk menambah ketersediaan data validasi.

5.4.1 Validasi Data ETm dan Panci Evaporasi A

Validasi Data ETm dan panci evaporasi A memiliki kendala terkait


ketersediaan data ETm. Nilai ETm tidak bisa didapatkan untuk setiap bulannya
karena pengaruh pixel yang mengandung no data area. Pada tahun 2008 dan
2009, data ETm yang tersedia pada titik stasiun Baranangsiang, hanya terdapat
pada 1 bulan pengamatan. Bahkan, pada tahun 2010, tidak ada data yang tersedia
(Gambar 5.4.a (a dan b))).
Namun, validasi terhadap rataan pixel 3x3 pada titik stasiun iklim
Baranangsiang ternyata mampu menambah ketersediaan data untuk validasi,
walaupun tidak cukup banyak data yang bertambah. Sehingga, pada validasi data
ETm, hanya didapatkan total 2 bulan nilai evapotranspirasi pada tahun 2008 dan
2009 (untuk nilai evapotranspirasi 1x1 pixel) dan juga total 5 bulan nilai
evapotranspirasi pada tahun 2008 dan 2009 (untuk nilai evapotranspirasi 3x3
pixel). Sedangkan tahun 2010, data tetap tidak tersedia.
73
45

a). 1x1 pixel b). 3x3 pixel

Gambar 5.4.1.a Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan panci


evaporasi A.
Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada gambar 5.4.a (a dan b), terlihat
bahwa perbandingan nilai evapotranspirasi antara 1x1 pixel dengan 3x3 pixel,
tidak menghasilkan nilai yang berbeda jauh. Hal ini terlihat dari titik-titik pada
pengamatan 1x1 pixel dengan 3x3 pixel, yang tidak mengalami pergeseran yang
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pada luasan 9 km2, nilai evapotranspirasi
masih memberikan korelasi yang kuat dengan nilai evapotranspirasi pada luasan
wilayah 1 km2 pada titik pengamatan stasiun. Sementara, perbandingan antara
nilai ETm dan nilai evaporasi panci A sendiri, memiliki perbedaan dalam rentang
0,82-1,32 mm (untuk 1x1 pixel) dan 0,62-1,34 mm (untuk 3x3 pixel).

5.4.2 Validasi Data ETm dan Lysimeter

a). 1x1 pixel b). 3x3 pixel

Gambar 5.4.2.a Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan


Lysimeter.

Pada validasi data ETm dan Lysimeter, hanya didapatkan 3 bulan


ketersediaan data ETm dari satu tahun pengamatan. Selain kendala yang terdapat
pada area no data di titik stasiun iklim Darmaga, minimnya ketersediaan data
74
46

juga dipengaruhi oleh terbatasnya distribusi lysimeter dan data tahun lysimeter.
Validasi dengan ketersediaan nilai ETm yang minim pada satu stasiun dapat
dihindari apabila terdapat beberapa stasiun yang memiliki lysimeter atau memiliki
beberapa tahun lysimeter, sehingga titik-titik validasi menjadi lebih tersedia dan
akurat untuk dilakukan.
Pada grafik yang ditunjukkan pada Gambar 5.4.2.a (a dan b), terlihat
bahwa pada validasi ETm dan lysimeter, perbandingan nilai evapotranspirasi
antara 1x1 pixel dengan 3x3 pixel tidak menghasilkan nilai yang berbeda jauh.
Sementara, pada perbandingan antara ETm dan lysimeter, terlihat bahwa pada
bulan Juni dan Juli terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara nilai ETm dengan
nilai evapotranspirasi yang berasal dari lysimeter (berbeda 4,12 mm untuk 1x1
pixel dan 4,13 mm untuk 3x3 pixel pada bulan Juni, dan 3,70 mm untuk 1x1
pixel dan 3,69 mm untuk 3x3 pixel pada bulan Juli). Sementara, pada bulan
September, nilai estimator evapotranspirasi cukup dekat dengan nilai lysimeter
(nilai lysimeter lebih tinggi 0,45 mm untuk 1x1 pixel dan 0,46 mm untuk 3x3
pixel).

5.4.3 Perbandingan Nilai ETm dengan Panci Evaporasi A dan


Lysimeter

Hasil validasi ETm terhadap kedua validator menunjukkan bahwa terdapat


korelasi yang cukup baik antara nilai ETm dengan panci evaporasi A karena
memiliki rentang perbedaan nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan rentang
nilai pada lysimeter. Walaupun demikian, pada bulan September beda nilai antara
ETm dan lysimeter tidak terlalu besar. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai ET
yang dihasilkan berdasarkan perhitungan ternyata lebih mendekati nilai
evapotranspirasi potensial yang diukur melalu panci evaporasi A.
Besar kemungkinan hal ini disebabkan oleh masukan data pada persamaan
Blaney Criddle yang hanya mempertimbangkan faktor iklim seperti suhu dan rata-
rata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk berbagai lintang, sehingga
menghasilkan nilai ET yang cenderung mendekati nilai panci evaporasi A. Pada
perhitungan evapotranspirasi dengan menggunakan lysimeter terdapat faktor lain
yang harus dipertimbangkan, yaitu curah hujan dan simpanan air tanah. Sehingga,
75
47

korelasi lysimeter dengan nilai ET berdasarkan rumus Blaney-Criddle,


memberikan perbedaan rentang nilai yang cukup tinggi.
Pengaruh faktor iklim terhadap nilai evapotranspirasi, dapat terlihat dari
variabilitas nilai evapotranspirasi yang ditunjukkan pada hasil pengukuran panci
evaporasi A dan Lysimeter. Panci evaporasi A, yang nilai evapotranspirasinya
lebih kuat dipengaruhi oleh faktor iklim, cenderung memberikan nilai
evapotranspirasi dengan keragaman yang tidak terlalu besar pada setiap bulannya.
Pola yang hampir sama dengan keragaman pada nilai evapotranspirasi yang
dihasilkan oleh ETm terjadi di setiap bulannya. Kondisi ini berbeda dengan
keragaman yang ditunjukkan pada Lysimeter, dimana terdapat angka
evapotranspirasi yang berfluktuasi pada setiap bulan yang berbeda. Hal tersebut
menunjukkan bahwa selain faktor iklim, kondisi tanah dan tanaman turut
berkontribusi terhadap nilai evapotranspirasi yang dihasilkan.
Faktor penting lainnya terkait perbedaan nilai antara ETm dan kedua
validator adalah faktor skala. Nilai ETm pada penelitian ini merupakan nilai
evapotranspirasi dengan resolusi 1 km, sementara, titik validasi pengamatan hanya
berupa petak seluas 1 m x 1 m (pada lysimeter) dan berdiameter 120 cm (pada
panci evaporasi A). Sehingga, nilai yang diduga oleh lysimeter dan panci
evaporasi A merupakan salah satu bentuk keragaman data evapotranspirasi yang
terdapat dalam luasan 1 km x 1 km.
Secara umum, beberapa kendala yang terdapat dalam validasi nilai ETm
merupakan ketersediaan data ETm itu sendiri. Tidak tersedianya data ETm pada
kedua validasi disebabkan oleh lokasi titik validasi (Bogor), yang merupakan
salah satu daerah dengan curah hujan tinggi. Sehingga, ketersediaan data MODIS
untuk wilayah Bogor, tidak cukup baik. Selain itu, minimnya data validator (baik
berupa data bulan, tahun, maupun stasiun) menyebabkan sulitnya melihat pola
variabilitas yang terdapat pada setiap tahun validasi.

5.5 Perbaikan data LSTmean MODIS


5.5.1 Pengaruh Perbaikan Data Tdan dan Tnight Terhadap Ketersediaan
Data Evapotranspirasi Potensial Secara Spasial dan Temporal
Perbaikan data evapotranspirasi potensial dilakukan dengan
mengkombinasikan data 8 harian terbaik pada data LSTday dan LSTnight pada
76
48

MODIS, sehingga akan memberikan perbaikan terhadap data LSTmean yang


digunakan dalam persamaan Blaney-Criddle. Pada proses perbaikan ini, dilakukan
kombinasi 1 hingga 4 data LST 8 harian yang memberikan ketersediaan data
terbaik pada wilayah penelitian. Perbaikan data tersebut diperlukan untuk
menambah ketersediaan data evapotranspirasi potensial pada DAS Cimadur,
sehingga memberikan informasi distribusi evapotranspirasi potensial secara
spasial dan temporal dengan lebih lengkap.
Tabel 5.5.1.a menunjukkan bahwa berbagai kombinasi data 8 harian
dilakukan pada data LST day dan night. Kombinasi tersebut bersifat sangat
spesifik dan berbeda untuk masing-masing bulan pada setiap tahun. Beberapa data
LST juga menunjukkan hasil yang cukup baik, sehingga tidak perlu dilakukan
perbaikan data (menggunakan 3-4 data 8 harian yang terdapat dalam satu bulan).
Namun, terdapat pula beberapa data yang bersifat tidak tersedia (100% missing),
sehingga tidak dapat diperbaiki dan menghasilkan 0% data tersedia.
Pada kombinasi data LSTday, terlihat bahwa untuk beberapa bulan yang
dianggap masih cukup baik ketersediaan datanya, kombinasi bisa dilakukan
sebanyak 3 hingga 4 data (tanpa perbaikan). Namun pada awal dan akhir bulan,
biasanya memiliki kombinasi data sekitar 1 hingga 2 data saja. Dengan demikian,
bulan tersebut tidak memiliki data yang cukup baik pada setiap rataan 8 harian
akuisisi data.
Pada kombinasi LSTnight, tidak banyak data yang bisa dikombinasikan
dari 3-4 data 8 harian pada setiap bulan. Secara umum, hanya terdapat sekitar 1
hingga 2 kombinasi data LSTnight yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
ketersediaan data. Hanya pada bulan Juni 2011, kombinasi LSTnight dapat
dilakukan untuk 3 data akuisisi 8 harian. Bahkan, pada beberapa bulan di tahun
2008, 2010, dan 2011, data LSTnight tidak tersedia untuk wilayah penelitian.
Kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap ketersediaan data Tmean yang
merupakan rata-rata dari nilai Tday dan Tnight. Dalam perhitungan, apabila suatu
pixel dengan available data dirata-ratakan dengan pixel yang mengandung not
available data, maka hasil akhir pixel tersebut akan menghasilkan not available
data area. Sehingga, bila nilai Tmean dimasukkan dalam persamaan Blaney-
77
49

Cridlle, ketersediaan nilai evapotranspirasi potensial tersebut besar kemungkinan


menjadi 0% ketersediaannya.
Berdasarkan perbaikan yang telah dilakukan, pemilihan kombinasi data
dengan ketersediaan terbaik dalam satu bulan pengamatan, dapat meningkatkan
kualitas ketersediaan data hingga mencapai lebih dari 50% dari kondisi awal yang
bernilai 0%. Tahun 2008, ketersediaan data meningkat dari 5 bulan data tersedia
menjadi 11 bulan data tersedia. Tahun 2009, ketersediaan data meningkat dari 5
bulan data tersedia menjadi 12 bulan data tersedia. Tahun 2010, ketersediaan data
meningkat dari 3 bulan data tersedia menjadi 10 bulan data tersedia. Sedangkan
pada tahun 2011, ketersediaan data meningkat dari 4 bulan data tersedia menjadi 9
bulan data tersedia.
78
50

Tabel 5.5.1.a Hasil Perbaikan Data Tmean MODIS.

Kombinasi Julian Days* % Data


% Data Tersedi
Tah Bul Tersedia a
un an Tday Tnight (Tanpa (Dengan
Perbaikan) Perbaik
an)
001-01, 009-09,
Jan 017-17 0,0% 79,0%
017-17
Data Tidak
Feb 057-26 0,0% 0,0%
Tersedia
065-05, 081-21,
Mar 081-21, 089-29 0,0% 89,5%
089-29
097-06, 113-22,
Apr 121-30 0,0% 41,5%
121-30
Tanpa
Mei 129-08, 145-24 24,2% 99,2%
Perbaikan
2008 Tanpa
Jun 169-17, 177-26 22,6% 99,2%
Perbaikan
Tanpa
Jul 185-03, 201-19 33,5% 98,0%
Perbaikan
Agu Tanpa
217-04, 225-12 8,9% 73,0%
st Perbaikan
Sept 257-13, 265-21 257-13, 265-21 2,4% 99,6%
Okt 285-15 297-23 0,0% 80,2%
Nov 329-24 329-24 0,0% 78,2%
Des 353-18 353-18 0,0% 4,8%
Jan 017-17 017-17 0,0% 100,0%
Feb 057-26 033-02 0,0% 0,4%
Tanpa 065-06, 073-14,
Mar 0,0% 91,9%
Perbaikan 089-30
Apr 105-15, 113-23 105-15 0,0% 72,6%
121-01, 137-17,
Mei 145-25 0,0% 98,8%
145-25
Tanpa
Jun 169-18, 177-26 18,5% 99,6%
Perbaikan
2009
Tanpa Tanpa
Jul 99,2% 99,2%
Perbaikan Perbaikan
Agu Tanpa Tanpa
81,0% 81,0%
st Perbaikan Perbaikan
Tanpa Tanpa
Sept 95,2% 95,2%
Perbaikan Perbaikan
Okt 281-08, 289-17 289-17, 297-24 0,4% 70,2%
Nov 305-01 305-01 0,0% 67,7%
Des 345-11, 353-19 353-19 0,0% 98,0%
79
51

Kombinasi Julian Days* % Data


% Data Tersedi
Tah Bul Tersedia a
un an Day Night (Tanpa (Dengan
Perbaikan) Perbaik
an)
Jan 001-01, 017-7 009-09 0,0% 4,8%
033-02, 049-18,
Feb 057-26 0,0% 4,0%
057-26
Tanpa
Mar 089-30 0,0% 36,3%
Perbaikan
Apr 097-07, 113-23 113-23 5,2% 81,9%
121-01, 137-17,
Mei 137-17 0,0% 65,7%
145-25
Jun 161-10, 169-18 169-18 0,0% 75,4%
2010 Tanpa
Jul 201-20, 209-28 27,8% 85,9%
Perbaikan
Agu 225-13, 233-21,
233-21, 241-29 12,5% 83,5%
st 241-29
Sept 249-06, 273-30 265-22 0,0% 13,3%
Okt 281-08, 289-16 281-08 0,0% 96,4%
Data Tidak
Nov 305-01 0,0% 0,0%
Tersedia
Data Tidak
Des 353-19 0,0% 0,0%
Tersedia
Data Tidak
Jan 017-17 0,0% 0,0%
Tersedia
Feb 041-10, 049-18 057-26 0,0% 19,4%
Data Tidak
Mar 073-14, 089-30 0,0% 0,0%
Tersedia
Apr 105-15, 113-23 105-15 0,0% 5,6%
Tanpa
Mei 129-09, 137-17 57,7% 95,2%
Perbaikan
Tanpa 153-02, 161-10,
Jun 0,0% 97,6%
2011 Perbaikan 169-18
Tanpa Tanpa
Jul 91,9% 91,9%
Perbaikan Perbaikan
Agu Tanpa Tanpa
83,5% 83,5%
st Perbaikan Perbaikan
Tanpa Tanpa
Sept 84,7% 84,7%
Perbaikan Perbaikan
Tanpa
Okt 281-08 0,0% 41,5%
Perbaikan
Nov 313-09 313-09 0,0% 47,6%
*Julian days-Tanggal/XXX-XX
152

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten


2008 2009 2010 2011

Keterangan : Eto dalam satuan mm/hari.


253

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten


2008 2009 2010 2011

Keterangan : Eto dalam satuan mm/hari.


354

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten


2008 2009 2010 2011

Keterangan : Eto dalam satuan mm/hari.


Gambar 5.5.1.a Perbaikan Distribusi Spasial dan Temporal Evapotranspirasi
Potensial di DAS Cimadur, Banten.
455

Gambar 5.5.1.a menunjukkan pola spasial dan temporal data


evapotranspirasi setelah mengalami perbaikan, dengan melakukan kombinasi
LSTday dan LSTnight dari ketersediaan data-data terbaik. Pola yang ditunjukkan
pada gambar tersebut secara umum, lebih dipengaruhi oleh kualitas beberapa data
pada satu bulan pengamatan. Sehingga, pola iklim pada data-data tersebut tidak
terlihat cukup kuat seperti pola iklim yang ditunjukkan pada Gambar 5.3.1.a.
Dengan mempertimbangkan data kombinasi yang terdapat pada tabel
5.5.1.a, terlihat bahwa pada bulan-bulan awal (Januari hingga Maret), proses
perbaikan belum mampu menambah ketersediaan data yang berarti. Diantara
ketiga bulan tersebut, bulan Februari merupakan bulan yang memiliki
ketersediaan data yang minim dan berlangsung konstan dari tahun ke tahun.
Sementara, pada bulan Januari dan Maret (terutama tahun 2010 dan 2011),
perbaikan belum memberikan pengaruh yang berarti terhadap ketersediaan data.
Pola ini tampak berbeda dengan tahun 2008 dan 2009 yang sudah
memiliki data yang cukup baik pada bulan Januari dan Maret. Pada tahun 2010,
ketersediaan data yang minim, diduga akibat pengaruh iklim yang kuat, seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya. Sementara pada tahun 2011, keminiman data
ternyata lebih disebabkan oleh tidak tersedianya data LST night MODIS (Tabel
5.5.1.a).
Pada akhir tahun (bulan Oktober-Desember), juga menunjukkan
ketersediaan data terlihat tidak cukup baik. Namun, hasil perbaikan yang
dilakukan masih lebih baik bila dibandingkan perbaikan data pada awal-awal
tahun. Tidak tersedianya data LST night pada awal tahun, menyebabkan tidak
banyak perbaikan yang dapat dilakukan untuk menambah ketersediaan data.
Perbaikan data yang lebih baik pada akhir tahun dibandingkan perbaikan pada
awal tahun (Gambar 5.5.1.a), disebabkan oleh adanya 1-2 data dengan
ketersediaan baik pada tiap bulannya, sehingga menghasilkan angka ketersediaan
yang cukup tinggi. Sementara untuk data lainnya menghasilkan missing yang
cukup tinggi, dibuktikan dengan 0% ketersediaan data pada akhir tahun sebelum
diperbaiki.
Kuatnya kaitan antara pola iklim dengan suhu dan evapotranspirasi ini
menunjukkan bahwa perhitungan evapotranspirasi hanya layak dilakukan pada
5
56

bulan-bulan kering atau ketika musim kemarau berlangsung. Pada musim hujan,
umumnya perhitungan suhu permukaan akan terganggu dengan tutupan awan
ataupun kurang validnya nilai perhitungan (akibat basahnya permukaan lahan).
Selain itu, jika data tersebut diusahakan untuk diperbaiki, nilai suhu yang
didapatkan hanya mewakili kondisi setengah bulan dari satu bulan yang diamati.
Sehingga, akan sangat berpengaruh terhadap rataan evapotranspirasi harian
selama satu bulan.

5.5.2 Validasi Data Hasil Perbaikan


Validasi data evapotranspirasi potensial sebelum dan sesudah dilakukannya
perbaikan bertujuan untuk mengetahui nilai akurasi perbaikan yang telah
dilakukan pada data evapotranspirasi ini, dan juga apakah metode tersebut dapat
diterima sebagai suatu alternatif dalam pengisian missing data dalam penelitian.
Pada tahap validasi, dilakukan pengambilan beberapa titik contoh dalam setiap
bulannya, untuk kemudian dibandingkan nilai evapotranspirasinya, pada saat
sebelum dan setelah dilakukannya perbaikan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
secara langsung perbedaan nilai evapotranspirasi sebelum dan sesudah
dilakukannya perbaikan.

Gambar 5.5.2.a Nilai R2 pada perbaikan data ETo MODIS.

Pada Gambar 5.2.2.a terlihat bahwa validasi dilakukan pada 5 bulan


pengamatan dengan tahun yang berbeda, yaitu bulan Mei 2008, Juni 2008, Juli
2008, Juli 2010, dan Mei 2011. Pada kelima bulan tersebut, semua titik umumnya
mendekati garis linear seperti yang ditunjukan pada gambar. Bahkan, nilai R2
pada hasil analisis regresi tersebut mencapai angka 0,901 sehingga dapat
6
57

disimpulkan bahwa metode perbaikan yang telah dilakukan untuk pengisian


missing data, layak dilakukan (R2 mendekati 1).
7

KESIMPULAN

1. Kajian mengenai pengembangan perhitungan evapotranspirasi dengan metode


empirik (dalam penelitian ini Blaney-Criddle), memberikan rentang nilai
evapotranspirasi (ETm) 4,45-5,65 mm/hari di wilayah penelitian. Nilai dugaan
evapotranspirasi tersebut ternyata lebih mendekati nilai evaporasi panci A.
Perbedaan rentang nilai antara panci A dan ETm tersebut sebesar 0,82-1,32
mm (untuk 1x1 pixel) dan 0,62-1,34 mm (untuk 3x3 pixel).
2. Pada validasi data LST MODIS dengan data T stasiun, didapatkan bahwa nilai
LST day MODIS memiliki keterkaitan yang cukup dekat dengan nilai T
stasiun pada ketinggian 5 cm, dengan nilai R2 sebesar 0,362. Sedangkan LST
night, memiliki hubungan yang cukup kuat dengan T stasiun pada ketinggian
120 cm. Namun demikian, nilai R2 tertinggi diperoleh pada hubungan antara
LST night dengan T stasiun pada ketinggian 100 cm, dengan nilai R2 sebesar
0,567. Perbedaan tersebut disebabkan oleh fluktuasi cuaca/iklim, dan juga
perbedaan waktu akuisisi data MODIS.
3. Sebagai salah satu masukan pada perhitungan evapotranspirasi, LST MODIS
memberikan ketersediaan data yang baik pada musim-musim kering/ musim
kemarau, dan pada kondisi cuaca baik (tidak hujan atau berawan). Penelitian
ini juga membuktikan bahwa tidak semua bulan dalam satu tahun memiliki
ketersediaan data MODIS yang diharapkan.
4. Distribusi evapotranspirasi secara temporal sepanjang tahun agak sulit untuk
dilakukan mengingat ketersediaan data MODIS yang cukup minim pada
bulan-bulan yang basah. Namun demikian, secara spasial terlihat bahwa nilai
evapotranspirasi dapat diduga dengan menggunakan LST MODIS. Suhu yang
diestimasi oleh LST MODIS, erat kaitannya dengan topografi dan penggunaan
lahan di suatu wilayah.
8

SARAN

1. Validasi antara nilai LST MODIS dengan nilai T stasiun, sebaiknya


mencakup data-data stasiun dengan jumlah titik stasiun yang lebih
banyak, serta tahun pengamatan yang lebih panjang. Sehingga, hal ini
akan membantu dalam proses analisis hasil validasi data, untuk
memperoleh kesimpulan secara luas terhadap kajian-kajian LST MODIS
di Indonesia.

2. Pada perhitungan nilai evapotranspirasi, perbandingan berbagai metode


perhitungan evapotranspirasi, penting untuk dilakukan agar mengetahui
persamaan yang lebih tepat untuk diterapkan pada wilayah kajian.

3. Pada proses validasi ETm dan ETvalidator, perlu ditingkatkan jumlah


titik dan tahun stasiun. Selain itu, validasi juga dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan Penman-Monteith (sebagai referensi, sesuai
saran FAO), apabila tidak terdapat nilai Panci Evaporasi A dan
Lysimeter yang memadai.
9

DAFTAR PUSTAKA

Allen R G, Pereira L S, Raes D, Smith M. 1998. Crop Evaporation (Guidelines for


Computing Crop Water Requirements). FAO Irrigation and Drainage
Paper No. 56. Rome: FAO.
Anderson S. 2002. An Evaluation of Spatial Interpolation Methods on Air
Temperature in Phoenix, Arizona State: Department of Geography,
Arizona State University dalam Vancutsem C, Ceccato P, Dinku T,
Connor S J. 2010. Evaluation of MODIS Land Surface Temperature Data
to Estimate Air Temperature in Different Ecosystem Over Africa. Remote
Sensing of Environment 114 : 449-465.
Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Castaneda L, Rao P. 2005. Comparison of Methods For Estimating Reference
Evapotranspiration in Southern California. Journal of Enviromental
Hydrology 13 paper 14.
Doorenbos J, Pruitt W O. 1977. Guidelines for Predicting Crop Water
Requirements. FAO Irrigation and Drainage Paper. No 56. Rome:FAO.
Dunne T, Leopold L B. 1978. Water in Enviromental Planning. W E Freeman
Company. New York dalam Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
FAO. 1986. Irrigation Water Management: Irrigation Water Needs.
www.fao.org/docrep/S2022E/s2022e07.htm#3.3%20calculation%20of%20
the%20crop%20watr%20need. [2 Desember 2011].
Hung T, Yoshifumi Y. 2005. MODIS Application in Enviromental Change
Researches inthe Southeast-Asian Region. International Journal of
Geoinformatics. Vol 1 (1).
Johnson S C P. 2005. Assman Phsychrometer, Small Type (JH-MR-59).
www.jsec.com.sg/product_info.php?products_id=1650&osCsid=8e8b48b
d072a8b78504a94762832dc46. [2 Desember 2011].
Justicea C O, Giglio L, Korontzi S, Owens J, Morisette J T, Roy D, Descloitre J,
Alleaume S, Petitcolin F, Kaufman Y. 2002. The MODIS Fire Product.
Remote Sensing of Enviroment 83: 244-262.
Lebak K. 2011. Kondisi Geografis. www.lebakkab.go.id. [8 Januari 2012].
Lee R. 1980. Forest Hydrology. New York: Columbia University Press dalam
Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Lee T S, Najim M M M, Aminul M H. 2004. Estimating Evapotranspiration of
Irrigated Rice at the West Coast of the Peninsular of Malaysia. Journal of
Applied Irrifation Science 39 (1): 103-117.
Lennon J J, Tunner J R G.1995. Predicting the Spatial Distribution of Climate:
Temperature in Great Britain. Journal of Animal Ecology 64 (3): 370-392.
10
61

Maeda E E, Wiberg D A, Pellikka P K E. 2011. Estimating Reference


Evapotranspiration Using Remote Sensing and Empirical Models in a
Region with Limited Ground Data Availability in Kenya. Applied
Geography 31: 251-258.
NASA. About MODIS. www. modis.gsfc.nasa.gov. [8 Januari 2012].
Prasasti I, Sambodo K A, Carolita I. 2007. Pengkajian Pemanfaatan Data Terra
MODIS untuk Ekstraksi Data Suhu Permukaan Lahan (SPL)
Berdasarkan Beberapa Algoritma. Jurnal Penginderaan Jauh 4 (1): 1-8.
Rosenberg N J, Blad B L. Verma S B. 1983. Microclimate : The Biological
Environment. 2nd Ed John Wiley and Sons, Inc. USA.
Sandholt I, Rasmussen K, Andersen J. 2002. A Simple Interpretation of The
Surface Temperature/Vegetation Index Space for Assessment of Surface
Moisture Status. Remote Sensing of Environment. Vol 79: 213-224.
Team CPCI. 2012. Cold and Warm Episodes by Season.
www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/ensoyea
rs.shtml. [8 Januari 2012].
Tomlinson C J, Chapman L, Thornes J E, Baker C. 2011. Remote Sensing Land
Surface Temperature for Meteorology and Climatology : a review.
Meteorological Applications 18: 296-306.
Vancutsem C, Ceccato P, Dinku T, Connor S J. 2010. Evaluation of MODIS Land
Surface Temperature Data to Estimate Air Temperature in Different
Ecosystem Over Africa. Remote Sensing of Environment 114 : 449-465.
Wan Z. 2007. Collection-5 MODIS Land Surface Temperature Products Users
Guide. ICESS, University of California, Santa Barbara.
Wang Y, Traore S, Kerh T. 2007. Determination of a Reference Model for
Estimating Evapotranspiration in Burkina Faso. Proceedings of the 6th
WSEAS Int. Conf. On Artificial Intelligence, Knowledge Engineering
and data Bases, Corfu Island, Greece.
Xu C Y, Singh V P. 2001. Evaluation and Generalization of Temperature Based
Methods for Calculating Evaporation. Hydrol. Process 15: 305-319.

Anda mungkin juga menyukai