A12rpr PDF
A12rpr PDF
REYNA PRACHMAYANDINI
A14070005
RINGKASAN
PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI
MENGGUNAKAN CITRA MODIS
(STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN)
REYNA PRACHMAYANDINI
A14070005
Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. Ir. Bambang H Trisasongko, MSc.
19620305 198703 1 002 19700903 200812 1 001
Mengetahui,
Tanggal Lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 1 Juni 1989 sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Rochman Djaja dan Ibu Dian Gamajanti. Penulis
menyelesaikan pendidikan formal di TK Chandra (1995), SD Mutiara Indonesia
(2001), SMP Tunas Jakasampurna (2004), dan SMA Tunas Jakasampurna (2007).
Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mulai aktif belajar
di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB pada
tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis memiliki pengalaman sebagai
Teacher of EXPRESS (External and Exchange Program IAASers Smart Course)
periode 2008-2009, dan juga aktif di beberapa organisasi yaitu Bina Desa BEM
KM IPB sebagai staf divisi PSDM periode 2009-2010, dan Himpunan Mahasiswa
Ilmu Tanah (HMIT) sebagai sekretaris periode 2010-2011. Selain itu, penulis
pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Tanah (2010/2011),
Geomorfologi dan Analisis Lansekap (2010/2011), Sistem Informasi Geografi dan
Kartografi (2010/2011), dan Morfologi dan Klasifikasi Tanah (2011/2012).
Beberapa prestasi yang pernah diraih oleh penulis selama menjalani masa
pendidikannya antara lain Juara II Soil Judging Contest dalam Pekan Ilmiah
Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional pada tahun 2009 di Yogyakarta, Juara I Theory
Capability dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional Wilayah II pada
tahun 2011 di Bandung, dan Juara IV Mahasiswa Berprestasi Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor 2011.
Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul Perhitungan
Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS (Studi Kasus: DAS Cimadur,
Banten) dibawah bimbingan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. dan Ir. Bambang
H Trisasongko, MSc.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas rahmat dan
hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
yang berjudul Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS (Studi
Kasus: DAS Cimadur, Banten) merupakan salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi
berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna,
oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya
ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Tujuan ...................................................................................... 3
1.3. Manfaat Penelitian ....................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Evapotranspirasi Potensial Standar (ETo) ................................ 5
2.2. Perhitungan Evapotranspirasi Potensial : Blaney-Criddle ........
6
2.3. Potensi Land Surface Temperature (LST) pada Moderate
Imaging Spectroradiometer (MODIS) ................................... 8
KESIMPULAN ................................................................................ 58
SARAN ............................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 60
xii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan
untuk berbagai lintang .......................................................... 7
2. Indeks ONI (Oceanic Nino Index) sebagai Salah Satu
Parameter Terjadinya El Nino dan La Nina ......................... 28
3. Persentase Ketersediaan Data pada Hasil Perhitungan
Evapotranspirasi Potensial .................................................... 36
4. Hasil Perbaikan Data Tmean MODIS ................................. 50
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta DAS Cimadur, Banten dan Lokasi Pengamatan
Lapang .................................................................................. 11
2. Hasil Pengamatan Lapang, Citra ALOS AVNIR-2, dan
Citra Google Earth ............................................................... 14
3. Ilustrasi Kombinasi Data Sebelum Perbaikan ...................... 19
4. Ilustrasi Kombinasi Data Setelah Perbaikan ........................ 20
5. Diagram Alir Penelitian ........................................................ 21
6. Kenampakan Visual LST MODIS day dan night ................. 25
7. Kualitas Data LST MODIS dibandingkan dengan data T
Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun 2008-2010 ... 27
8. Fluktuasi Suhu Harian Stasiun Klimatologi Darmaga
Bogor Tahun 2008-2010 ..................................................... 30
9. Alat Ukur Suhu Pada Stasiun Klimatologi ........................... 32
10. Grafik Perbandingan LST MODIS day dan Suhu Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian .... 33
11. Nilai R2 antara LST MODIS day dan T stasiun pada
Berbagai Ketinggian ............................................................ 33
12. Grafik Perbandingan LST MODIS night dan Suhu Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian .... 34
13. Nilai R2 antara LST MODIS night dan T stasiun pada
Berbagai Ketinggian ............................................................ 35
14. Distribusi Evapotranspirasi Potensial Secara Spasial dan
Temporal pada Tahun 2008-2011 ........................................ 38
15. Peta Topografi dan Penggunaan Lahan pada DAS
Cimadur, Hasil dari Interpretasi Citra Google Earth dan
16. ALOS AVNIR-2 .................................................................. 41
17. Hubungan antara Elevasi dan LSTmean pada Berbagai
Penggunaan Lahan di DAS Cimadur ................................... 43
18. Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan panci
evaporasi A ........................................................................... 45
19. Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan
Lysimeter .............................................................................. 45
20. Perbaikan Distribusi Spasial dan Temporal
Evapotranspirasi Potensial di DAS Cimadur, Banten .......... 52
21. Nilai R2 pada perbaikan data ETo MODIS .......................... 56
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu masukan data utama yang terdapat dalam metoda Blaney-
Criddle adalah suhu udara. Data tersebut bisa didapatkan di stasiun meteorologi
dan klimatologi terdekat dengan wilayah penelitian. Data kemudian dikumpulkan
sebagai titik-titik contoh dengan distribusi yang jarang menjangkau wilayah
dengan kondisi iklim yang bervariasi (Vancutsem et al., 2010), sehingga,
informasi spasial tentang suhu udara seringkali menjadi terbatas. Metode
interpolasi diantara wilayah-wilayah yang memiliki informasi suhu udara sering
digunakan untuk mengisi kekurangan informasi tersebut (Anderson, 2002).
Namun demikian, teknik interpolasi berbasis data stasiun dirasakan masih sulit
dilakukan untuk kondisi stasiun iklim yang berjauhan dan sering mengalami
kurangnya ketersediaan data (Lennon et al., 1995).
Saat ini, kebutuhan akan informasi suhu secara spasial dengan akses data
yang mudah dapat dibangun dengan metode yang berbasis penginderaan jauh.
Menurut Vancutsem et al. (2010), kemampuan untuk mendapatkan informasi
suhu secara spasial dengan data temporal (harian) dan resolusi spasial (1 km)
yang tinggi mulai muncul dengan diluncurkannya Advanced Very High
Resolution Radiometer (AVHRR) yang merupakan bagian dari satelit National
Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada tahun 1981, kemudian
diluncurkan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang
dibawa oleh satelit Aqua dan Terra.
Sensor MODIS (Justice et al., 2002) diluncurkan pada tahun 1999 dan
2002. MODIS memiliki sensor multispektral yang terdiri dari 36 kanal, dengan
resolusi spasial, 250, 500, dan 1000 m. MODIS merupakan salah satu bagian dari
program The United States National Aeronautics and Space Administration
(NASA), yang memungkinkan untuk mengamati, meneliti, dan menganalisa
daratan, lautan, dan atmosfer.
Salah satu produk turunan data MODIS adalah suhu permukaan MODIS
MYD11A2 dan MOD11A2 merupakan produk Land Surface Temperature (LST)
yang diakuisisi pada pukul 13.30 dan 01.30 untuk Aqua dan 10.30 dan 22.30
untuk Terra pada semua waktu lokal solar. Produk ini termasuk produk dengan
resolusi temporal yang tinggi (harian) dengan resolusi spasial 1 km. Produk
lainnya adalah maksimum komposit 8 harian LST dengan resolusi spasial 1 km.
xvi3
1.2 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
p merupakan rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk
berbagai lintang.
Tmax =
Tmin =
Tmean =
Tabel 2.2.a Rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk berbagai
lintang.
(Sumber:http://www.fao.org/docrep/)
pada semua kanal) dengan panjang gelombang 0,4 m-14,4 m. Selain itu,
MODIS memiliki resolusi spasial 250 m untuk kanal 1 dan 2, 500 m untuk kanal
3-7, dan 1 km untuk kanal 8-36. MODIS merupakan sensor multispektral yang
dapat menangkap panjang gelombang tampak, infra merah dekat, dan gelombang
thermal. Dalam aplikasinya, MODIS dapat digunakan dalam kajian indeks
tumbuhan, kelembaban tanah, kadar aerosol di udara, suhu permukaan laut, dan
kandungan klorofil laut. MODIS merupakan bagian dari program jangka panjang
National Aeronatics and Space Administration (NASA) untuk mengamati,
meneliti, dan menganalisa lahan, lautan, atmosfer bumi, dan interaksi antara
faktor-faktor tersebut.
Salah satu produk MODIS yang dapat mendeteksi suhu permukaan
lahan/LST adalah MOD11A2 (dari satelit Terra untuk pengukuran data suhu 8
harian) dan MYD11A2 (dari satelit Aqua untuk pengukuran data suhu 8 harian)
(modis.gsfc.nasa.gov). Dalam mendeteksi suhu permukaan lahan/LST, MODIS
menggunakan thermal infrared yang terdapat pada kanal 31 (10,78-11,28 m) dan
32 (11,77-12,27 m). Pada penggunaannya, terdapat keterbatasan yang cukup
serius dari satelit thermal infrared, yaitu pengambilan area bebas awan untuk
menghasilkan hasil yang akurat, sehingga citra komposit dari berbagai lintasan
sering digunakan untuk membangun citra tanpa keterbatasan tutupan awan, atau
algoritma juga dapat digunakan untuk pendugaan pixel. Efek dari hal tersebut
adalah perbedaan musim yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan citra dan
akurasi (meningkatnya tutupan awan dan hujan menyebabkan basahnya
permukaan sehingga membuat pengukuran LST tidak masuk akal) (Tomlinson et
al., 2011).
Secara umum, nilai LST MODIS lebih akurat pada malam hari
dibandingkan siang hari (Tomlinson et al., 2011; Vancutsem et al., 2010). Pada
malam hari, mendapatkan nilai min T udara lebih sederhana sebagai radiasi solar
yang tidak mempengaruhi sinyal thermal infrared. Sementara, pada siang hari
perbedaan antara nilai LST dan Tmax stasiun terutama dikontrol oleh
keseimbangan energi permukaan, yang merupakan sistem kompleks yang
bergantung pada informasi yang sulit tersedia (radiasi matahari, penutupan awan,
kecepatan angin, kelembaban tanah, kekasaran permukaan). Menurut Vancutsem
10
BAB III
METODE PENELITIAN
Gambar 3.1.a Peta DAS Cimadur, Banten (a) dan Lokasi Pengamatan Lapang (b).
Alat yang digunakan selama penelitian adalah alat tulis, kamera, Global
Positioning System (GPS) dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan
software ArcGIS 9.3 serta ENVI 4.5.
12
Bahan yang digunakan berupa data-data spasial dan data atribut. Data
spasial berupa peta batas wilayah DAS Cimadur, peta penggunaan lahan DAS
Cimadur, peta digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) skala 1:25.000, citra Google
Earth, citra ALOS AVNIR-2, serta citra MODIS tahun 2008, 2009, 2010 dan
2011. Sedangkan data atribut yang digunakan adalah data suhu udara di Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor dalam berbagai ketinggian dan waktu pengukuran;
data lysimeter tahun 2011 di Stasiun Klimatologi Darmaga; data panci evaporasi
A di Stasiun Iklim Baranangsiang.
Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra MODIS
tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011 yang didapatkan dari
http://ladsweb.nascom.nasa.gov. Citra MODIS yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan citra MODIS dari satelit Terra MOD11A2 yang mengukur suhu
permukaan lahan dengan resolusi spasial 1 km pada akuisisi 8 harian. MODIS
dipilih sebagai masukan utama pengukuran suhu karena memiliki resolusi spasial,
spektral dan temporal yang cukup baik dibandingkan sensor lainnya. Akuisisi data
MODIS yang dilakukan dua kali sehari dapat memberikan masukan pengganti
nilai Tmax dan Tmin untuk perhitungan Tmean, pada persamaan evapotranspirasi
yang digunakan. Selain itu, penggunaan citra MODIS dilakukan sebagai
optimalisasi dari tujuan diluncurkannnya satelit MODIS, yaitu penyedia data
untuk proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan, dan lautan.
Batas wilayah DAS Cimadur ditentukan berdasarkan aliran sungai utama
dan batas-batas topografi yang diturunkan dari peta kontur digital RBI skala
1:25.000. Peta batas DAS Cimadur tersebut selanjutnya digunakan sebagai batas
dalam pembuatan peta penggunaan lahan dan penyajian peta evapotranspirasi.
Peta penggunaan lahan DAS Cimadur dibuat berdasarkan citra tahun 2008,
2009, dan 2010 yang telah diunduh dari google earth dan juga ALOS AVNIR-2.
Citra ALOS AVNIR-2 berfungsi sebagai citra komposit apabila terdapat citra
yang tidak tersedia atau mengalami kerusakan pada citra google earth. Adapun
klasifikasi penggunaan lahan di dalam peta penggunaan lahan tersebut dibedakan
xxvi
13
Data atribut yang diambil dalam penelitian ini berupa data suhu udara
yang didapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun
Klimatologi Darmaga Bogor. Data suhu yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rataan suhu harian stasiun klimatologi Darmaga, Bogor pada berbagai
tahun pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010), suhu harian stasiun klimatologi
Darmaga, Bogor tahun 2011 dengan waktu pengamatan pukul 07.00, 07.10,
13.00, dan 13.50 WIB; dan berbagai ketinggian (5 cm, 100 cm, dan 120 cm).
Selain itu, sebagai validator, digunakan data lysimeter pada tahun 2009 yang
didapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun
Klimatologi Darmaga Bogor, dan data panci evaporasi A yang didapatkan dari
Stasiun Klimatologi Baranangsiang FMIPA IPB, sejak tahun 2008-2010.
Gambar 3.4.2.a Hasil Pengamatan Lapang (a), Citra ALOS AVNIR -2 (b), dan
Citra Google Earth (c).
xxviii
15
Tmax =
Tmin =
Tmean =
Dalam proses ini, dihitung nilai rata-rata untuk Tmax (yang diwakili oleh
LST day) selama satu bulan, yaitu rataan 3-4 data LST day. Kemudian dilakukan
pula rata-rata nilai Tmin (yang diwakili oleh LST night) selama satu bulan, yang
terdiri dari 3-4 data LST night. Selanjutnya, kedua rataan LST day dan LST night
tersebut dirata-ratakan sehingga didapatkan nilai LST mean atau T
xxx
17
mean/hari/bulan. Pada tahapan ini, proses kalkulasi setiap pixel dilakukan dengan
fitur Band Math dalam software Envi 4.5.
P merupakan rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan yang
terdapat pada berbagai lintang. Nilai P didapatkan berdasarkan tabel yang
didapatkan dari FAO (tabel 2.2.a).
BAB IV
Sungai Ciberang, dan Sungai Cisimeut, (2) DAS Ciliman dan Cimadur yang
meliputi Sungai Ciliman dengan anak sungainya, Sungai Cimadur, Sungai
Cibareno, Sungai Cisiih, Sungai Cihara, Sungai Cipager, dan Sungai Cibaliung
(http://www.lebakkab.go.id).
BAB V
5.1.2 Kualitas dan Ketersediaan Data LST MODIS tahun 2008-2010 Secara
Spasial dan Temporal
Ketersediaan dan kualitas data LST MODIS tahun 2008-2010 dianalisis
dengan membandingkan nilai LST rata-rata dan nilai rataan suhu harian Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor. Nilai LST MODIS diambil menurut koordinat
lokasi yang sama dengan lokasi Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. Selain
ketersediaan dan kelengkapan datanya, Bogor dipilih karena lokasinya tidak
terlalu jauh dengan wilayah pengamatan. Pada tahapan ini, diasumsikan bahwa
54
26
kekuatan El Nino dan La Nina dibagi menjadi 3, yaitu lemah (antara 0,5 sampai
0,9), sedang (1-1,4), dan kuat ( 1,5).
Gambar 5.1.2.a Kualitas Data LST MODIS dibandingkan dengan data T Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun 2008-2010.
Pada tabel 5.1.2.b terlihat bahwa pada awal tahun 2009, kondisi iklim
cenderung normal. Sementara menuju akhir tahun 2009, terdapat fenomena El
Nino yang semakin menguat. Fenomena El Nino yang identik dengan kekeringan,
akan berpengaruh terhadap estimasi data LST MODIS. Pengambilan data LST
MODIS yang dilakukan pada siang hari (LSTday) umumnya memiliki akurasi
yang lebih rendah dibandingkan pada malam hari (LSTnight). Sehingga, nilai LST
yang diestimasi MODIS dapat menjadi lebih tinggi dibandingkan kondisi
sebenarnya.
Puncak El Nino mengakibatkan akurasi LSTday menjadi lebih rendah. Hal
ini kemungkinan dipengaruhi oleh kontribusi atmosfer lokal seperti iradiasi, dan
lain-lain. Sementara, pada pengukuran LST night, hanya terdapat pancaran
iradiasi dengan gangguan atmosfer yang minimum. Akibatnya, terdapat perbedaan
nilai LSTday yang cukup besar dan akhirnya mempengaruhi nilai rata-rata LST.
56
28
Ketersediaan data yang minim pada tahun 2010, dapat pula dikaitkan
dengan fenomena El Nino dan La Nina. Pada Tabel 5.1.2.b, terlihat bahwa
sepanjang tahun 2010, terjadi fenomena El Nino pada awal tahun, yang kemudian
diikuti dengan fenomena La Nina pada akhir tahun. Sehingga, hal tersebut
memberikan kontribusi terhadap minimnya ketersediaan data LST yang diestimasi
oleh MODIS.
Tabel 5.1.2.b. Indeks ONI (Oceanic Nino Index) sebagai Salah Satu Parameter
Terjadinya El Nino dan La Nina.
Sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/ensoyears.shtml
Namun secara umum, ketersediaan data yang minim pada awal tahun dan
akhir tahun sepanjang 2008-2010, diduga terkait oleh perbedaan musim. Menurut
Tomlinson et al. (2011) perbedaan musim akan berpengaruh terhadap
ketersediaan citra (meningkatnya tutupan awan) dan akurasi (meningkatnya hujan
akan menyebabkan basahnya permukaan sehingga membuat pengukuran LST
menjadi bias).
5.2 Hasil Validasi Nilai LST MODIS dengan Nilai Suhu (T) pada Stasiun
Iklim
5.2.1 Pola Suhu Harian Darmaga pada Tahun 2008-2010
Tahapan validasi data MODIS diawali dengan melihat pola suhu harian
yang terdapat pada stasiun klimatologi Darmaga. Hal ini bertujuan untuk melihat
pola suhu udara Bogor pada tahun 2008-2010 dan peristiwa iklim yang mungkin
terjadi pada tahun-tahun tersebut. Berdasarkan grafik yang ditampilkan pada
Gambar 5.2.1.a, terlihat bahwa suhu udara pada tahun 2008-2010 memiliki pola
yang berbeda-beda setiap tahunnya.
Tahun 2008, misalnya, memiliki suhu udara yang tergolong cukup rendah
dibandingkan suhu udara pada tahun 2009 dan 2010, khususnya pada bulan
Februari hingga Maret. Tahun 2009, bulan-bulan dengan suhu tertinggi berada
sekitar bulan Agustus hingga November. Sedangkan pada tahun 2010, suhu
tertinggi terdapat pada bulan April hingga Mei.
Jika Gambar 5.2.1.a tersebut kemudian dibandingkan kembali dengan
Tabel 5.1.2.a, terlihat bahwa penurunan suhu udara yang terjadi pada awal-awal
tahun pada tahun 2008, terjadi akibat fenomena La Nina yang berlangsung dengan
kekuatan sedang. Curah hujan tinggi yang berlangsung pada awal tahun 2008
menyebabkan suhu udara harian yang terukur menjadi lebih rendah dibandingkan
bulan-bulan lainnya pada tahun tersebut.
Untuk tahun 2009, terlihat bahwa ketika fenomena El Nino berlangsung
semakin menguat pada akhir-akhir tahun, maka suhu udara kemudian meningkat
menjadi lebih tinggi pada akhir tahun tersebut. Hal ini juga ditunjukkan dengan
pengaruh El Nino yang terjadi pada tahun 2010 (April-Mei). Tahun 2010
merupakan tahun yang cukup kompleks pada terjadinya fenomena El Nino dan La
Nina. Terlihat bahwa suhu udara yang semakin menurun pada akhir tahun 2010,
disebabkan oleh munculnya fenomena La Nina yang kemudian semakin menguat.
Secara umum, Gambar 5.2.1.a menunjukkan bahwa walaupun fluktuasi
suhu udara yang terjadi pada setiap tahun pengamatan memiliki pola yang
berbeda-beda, masih terdapat korelasi yang cukup stabil diantara ketiga tahun
tersebut pada bulan-bulan tertentu. Grafik menunjukkan bahwa korelasi yang
cukup stabil umumnya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Sementara, pada
bulan-bulan lainnya cenderung bervariasi akibat kemarau yang cukup tinggi
ataupun puncak musim hujan.
58
30
TAHUN
27.0 2008
TAHUN
26.0 2009
TAHUN
25.0 2010
24.0
23.0
Ja F M A M Ju Ju A Sep O Nov De
Bulan
5.2.2.1 Hasil Validasi Data LST MODIS day Tahun 2011 dan Data Suhu (T)
Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian.
Stasiun klimatologi Darmaga, Bogor memiliki beberapa stasiun agroklimat
yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban udara pada berbagai
ketinggian. Stasiun AGM-1C tersebut terutama diperuntukkan untuk keperluan
data terkait bidang pertanian. Beberapa ketinggian yang diukur pada stasiun
AGM-1C antara lain adalah 5 cm, 10 cm, 15 cm, 30 cm, 50 cm, 150 cm, dan 200
cm. Pada stasiun ini, pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan
termometer Physchrometer Assman. Pengukuran dilakukan dua kali dalam sehari,
yaitu pada pukul 07.10 dan 13.50 WIB.
Sedangkan pengukuran suhu harian rata-rata yang umum digunakan dan
diberikan kepada pengguna, merupakan pengukuran suhu rata-rata harian yang
berasal dari sangkar meteo, dengan menggunakan termometer bola kering (sesuai
dengan standar World Meteorology Organization). Suhu harian rata-rata tersebut
diukur pada ketinggian sangkar meteo 120 cm dan pada rataan pengukuran waktu
tertentu yaitu pukul 07.00 (dua kali), 13.00, dan 18.00 WIB.
Berdasarkan hal tersebut, maka suhu harian yang dibandingkan dengan
data LST MODIS merupakan suhu yang berasal dari stasiun AGM-1C pada
ketinggian 5 cm dan 100cm, serta suhu yang berasal dari sangkar meteo 120 cm
(sebagai sumber data yang umum digunakan oleh pengguna). Sedangkan, waktu
pengambilan data dilakukan pada Tmax (pukul 13.00 WIB untuk T pada sangkar
meteo, dan pukul 13.50 WIB untuk T pada stasiun AGM 1-C), untuk kemudian
dibandingkan dengan LST MODIS day yang diukur pada waktu lokal solar 10.30.
60
32
Sumber: www.jsec.com.sg
c). Phsychrometer Assman
Gambar 5.2.2.1.a Alat Ukur Suhu Pada Stasiun Klimatologi.
Gambar 5.2.2.1.b Grafik Perbandingan LST MODIS day dan Suhu Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian.
Gambar 5.2.2.1.c juga menunjukkan bahwa hubungan terdekat antara LST
MODIS day dengan T stasiun, diperoleh T stasiun pada ketinggian 5 cm dengan
nilai R2 sebesar 0,362. Sementara itu, R2 antara LST MODIS day dan T stasiun
100 cm adalah 0,304. Sedangkan nilai R2 terkecil didapatkan dari hubungan antara
LST MODIS day dan T stasiun 120 cm, yaitu 0,277. Terlihat bahwa nilai LST day
pada data MODIS lebih erat kaitannya pada T stasiun dengan ketinggian 5 cm,
walaupun secara umum, perbedaan antara ketiga ketinggian tersebut tidak
menghasilkan nilai R2 yang jauh berbeda.
stasiun pada ketinggian 5, 100, dan 120 cm pada pukul 07.00 WIB (untuk
pengukuran T sangkar meteo) dan 07.10 WIB (untuk pengukuran T pada stasiun
AGM-1C), dengan LST MODIS night pada waktu akuisisi 22.30 waktu lokal
solar.
Gambar 5.2.2.2.a Grafik Perbandingan LST MODIS night dan Suhu Stasiun
Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian.
Gambar 5.2.2.2.a menunjukkan bahwa pada pengukuran suhu minimum,
terdapat hubungan yang cukup dekat antara stasiun pada ketinggian 5 cm dan 100
cm. Sementara itu, pada stasiun dengan ketinggian 120 cm, terdapat perbedaan
pengukuran suhu hingga mencapai 20C jika dibandingkan dengan kedua nilai suhu
lainnya. Hal tersebut mengindikasikan adanya perbedaan nilai yang disebabkan
oleh perbedaan alat ukur pengukuran suhu udara.
Jika dibandingkan antara nilai LST night dengan nilai T stasiun, terlihat
bahwa garis LST night cenderung berhimpit pada pengukuran T stasiun 120 cm.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi pada LST day, yang cenderung mendekati
nilai Tstasiun pada ketinggian 5 cm. Terdapat dua asumsi terkait perbedaan nilai
tersebut. Asumsi pertama, jika nilai LST MODIS berada pada ketinggian 5 cm,
maka perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan waktu akuisisi data dan
pengambilan data T stasiun. Pada LST MODIS night, pengambilan data
dilakukan pada pukul 22.30 waktu lokal solar. Sementara, pada T stasiun,
pengambilan data dilakukan pada pukul 07.00 WIB. Dengan demikian, nilai Tmin
yang dimaksud pada LST MODIS night, menjadi terlihat lebih setara dengan
pengukuran T stasiun pada ketinggian 120 cm.
Asumsi kedua adalah nilai LST memang berada di sekitar ketinggian 120
cm dari permukaan lahan. Sehingga, LST night tepat mendekati nilai stasiun iklim
63
35
pada ketinggian 120 cm. Sementara, hubungan antara nilai LST day yang tidak
terlalu erat dengan T stasiun pada ketinggian 120 cm, lebih disebabkan oleh
besarnya bias yang terjadi pada pengukuran siang hari oleh sensor MODIS. Pada
asumsi kedua ini, bias waktu kurang dipertimbangkan.
dan akhir tahun dari keempat tahun pengamatan, memiliki 0% ketersediaan data
pada wilayah penelitian (tabel 5.3.1.a).
Pada tahun 2008, terdapat 0% ketersediaan data pada bulan Januari,
Februari, Maret, April, Oktober, November, dan Desember. Ketersediaan data
pada tahun 2008 dimulai pada bulan Mei dengan 24,2% ketersediaan data.
Selanjutnya, menurun menjadi 22,6% pada bulan Juni dan meningkat menjadi
33,5% pada bulan Juli. Sementara, pada bulan Agustus dan September,
ketersediaannya semakin menurun dari 8,9% menjadi 2,4%.
Tahun 2009 memiliki ketersediaan data yang jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan tahun 2008. Namun, ketersediaan data pada tahun 2009,
baru tersedia sejak bulan Juni hingga Oktober. Pada bulan Juni 2009, ketersediaan
data sebesar 18,5% dan meningkat pada bulan Juli menjadi 99,2%. Selanjutnya,
ketersediaannya kembali menurun pada bulan Agustus menjadi 81% dan
meningkat kembali menjadi 95,2% pada bulan September. Pada bulan Oktober,
data tersedia hanya mencapai 0,4%.
kembali menjadi 0% pada bulan Juni. Ketersediaan data tertinggi terdapat pada
bulan Juli dengan ketersediaan sebesar 27,8% dan kembali menurun pada bulan
Agustus menjadi 12,5%. Selanjutnya, pada bulan-bulan berikutnya,
ketersediaannya menjadi 0%.
Tahun 2011, kualitas ketersediaan data hampir sama dengan ketersediaan
data pada tahun 2009. Ketersediaan data pada tahun 2011 dimulai pada bulan Mei
dengan 57,7% ketersediaan data. Selanjutnya, data kembali tersedia pada bulan
Juli sebesar 97,9% dan menurun pada bulan Agustus menjadi 83,5% dan sedikit
meningkat menjadi 84,7% pada bulan September.
Selain faktor anomali iklim, faktor error internal juga sangat berpengaruh
terhadap minimnya ketersediaan data. Faktor error tersebut antara lain
dipengaruhi oleh jumlah hari hujan dan hari kering pada satu bulan pengamatan.
Dalam satu bulan pengamatan, dibutuhkan data LST MODIS 8 harian sebanyak 3-
4 data. Diantara 3-4 data tersebut, tentunya ada beberapa data yang memiliki hari
hujan, yang sangat berpotensi pada timbulnya missing data. Dalam kalkulasi
Tmean pada penelitian, hasil akhir Tmean sangat ditentukan oleh 3-4 data
tersebut. Prinsip perhitungan pada kalkulasi band adalah apabila available data
dikalkukalsikan dengan not avilable data, maka hasil akhir proses tersebut akan
menghasilkan not available data. Sehingga, walaupun hanya terdapat satu data
missing yang terdistribusi cukup merata pada wilayah penelitian, data missing
tersebut menjadi sangat potensial untuk memberikan hasil akhir data dengan 0%
ketersediaan data. Sehingga, saat dilakukan perhitungan evapotranspirasi
potensial, ketersediaan datanya menjadi sangat minim bahkan mencapai 0%.
66
38
Jika pola tersebut dikaitkan dengan penggunaan lahan yang terdapat pada
DAS Cimadur (gambar 5.3.2.a), terlihat bahwa pada bagian selatan dari DAS
Cimadur didominasi oleh sawah, semak/tegalan, dan kebun campuran. Kemudian,
semakin menuju ke arah utara, hutan mulai mendominasi penggunaan lahan pada
DAS Cimadur. Pada bagian utara DAS Cimadur, terlihat bahwa dibagian tengah
wilayah tersebut, mulai didominasi kembali oleh sawah dan semak/tegalan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa nilai evapotranspirasi potensial
yang didapatkan pada penelitian ini, sangat terkait dengan masukan data suhu dari
LST MODIS. Sehingga, jika terdapat pola evapotranspirasi potensial yang
terdapat pada gambar 5.3.2.a, besar kemungkinan bahwa pola tersebut
dipengaruhi oleh suhu udara.
Secara umum, suhu permukaan akan meningkat seiring dengan
berkurangnya vegetasi yang menutupi permukaan tanah/lahan. Penelitian Hung et
al. (2005) dan Sandholt et al. (2002) menunjukkan bahwa hubungan antara LST
dan NDVI adalah negatif, yang berarti semakin tinggi suhu permukaan, maka
indeks vegetasinya menurun. Sehingga, hal tersebut sesuai dengan apa yang
ditampilkan pada Gambar 5.3.1.a, bahwa suhu permukaan jauh lebih tinggi pada
bagian selatan DAS Cimadur (dengan menganalogikan bahwa nilai
evapotranspirasi yang terdapat pada gambar tersebut, berbanding lurus dengan
suhu permukaan), akibat pola penggunaan lahannya yang cenderung dipenuhi
oleh sawah, semak/tegalan, dan pemukiman. Pada wilayah utara, vegetasi hutan
cenderung memiliki suhu/suhu yang lebih rendah. Pada wilayah tengah di sebelah
utara DAS Cimadur, kenaikan suhu disebabkan oleh terdapatnya pola penggunaan
lahan berupa semak/tegalan dan persawahan pada wilayah tersebut (gambar
5.3.2.a).
Gambar 5.3.2.b menunjukkan hubungan antara elevasi dan LSTmean
terhadap penggunaan lahan yang terdapat di DAS Cimadur. Hutan dan sawah
dipilih sebagai pembanding terkait dengan karakteristik penggunaan lahan yang
sangat berbeda diantara keduanya. Pada analisis tersebut, diambil 6 titik contoh
untuk elevasi dan penggunaan lahan yang berbeda. Berdasarkan gambar 5.3.2.b,
terlihat bahwa penggunaan lahan sawah memberikan nilai suhu yang lebih tinggi
71
43
dibandingkan hutan. Bahkan pada elevasi yang relatif sama, sawah masih
memiliki nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan hutan.
Gambar 5.3.2.b juga menunjukkan bahwa, pada penggunaan lahan yang
relatif sama, topografi juga berkontribusi terhadap perubahan suhu yang
diestimasi oleh LST MODIS. Hal ini dapat diamati pada penggunaan lahan sawah
dan hutan, yang memiliki nilai suhu yang semakin meningkat seiring dengan
rendahnya elevasi pada wilayah penelitian.
penelitian (ETm), dengan nilai evapotranspirasi yang diukur pada panci evaporasi
yang berasal dari stasiun klimatologi Baranangsiang FMIPA IPB (sejak tahun
2009-2010) dan data Lysimeter (tahun 2009) yang didapatkan dari stasiun
klimatologi Darmaga. Panci evaporasi A dan Lysimeter merupakan suatu metode
sederhana dalam perhitungan Evapotranspirasi. Validasi diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai keterkaitan data evapotranspirasi hasil
perhitungan pada penelitian, dengan dua metode evapotranspirasi sederhana yang
juga umum digunakan sebagai standar perhitungan evapotranspirasi.
Pada tahap validasi, dilakukan perbandingan antara nilai ETm dengan nilai
validator evapotranspirasi (panci evaporasi A dan lysimeter) dengan
membandingkan nilai estimator evapotranspirasi rataan dari 1x1 pixel dan 3x3
pixel, dengan nilai yang ditunjukkan oleh validator. Hal ini bertujuan untuk
melihat pengaruh spasial nilai evapotranspirasi antara 1x1 pixel dan 3x3 pixel, dan
juga untuk menambah ketersediaan data validasi.
juga dipengaruhi oleh terbatasnya distribusi lysimeter dan data tahun lysimeter.
Validasi dengan ketersediaan nilai ETm yang minim pada satu stasiun dapat
dihindari apabila terdapat beberapa stasiun yang memiliki lysimeter atau memiliki
beberapa tahun lysimeter, sehingga titik-titik validasi menjadi lebih tersedia dan
akurat untuk dilakukan.
Pada grafik yang ditunjukkan pada Gambar 5.4.2.a (a dan b), terlihat
bahwa pada validasi ETm dan lysimeter, perbandingan nilai evapotranspirasi
antara 1x1 pixel dengan 3x3 pixel tidak menghasilkan nilai yang berbeda jauh.
Sementara, pada perbandingan antara ETm dan lysimeter, terlihat bahwa pada
bulan Juni dan Juli terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara nilai ETm dengan
nilai evapotranspirasi yang berasal dari lysimeter (berbeda 4,12 mm untuk 1x1
pixel dan 4,13 mm untuk 3x3 pixel pada bulan Juni, dan 3,70 mm untuk 1x1
pixel dan 3,69 mm untuk 3x3 pixel pada bulan Juli). Sementara, pada bulan
September, nilai estimator evapotranspirasi cukup dekat dengan nilai lysimeter
(nilai lysimeter lebih tinggi 0,45 mm untuk 1x1 pixel dan 0,46 mm untuk 3x3
pixel).
bulan-bulan kering atau ketika musim kemarau berlangsung. Pada musim hujan,
umumnya perhitungan suhu permukaan akan terganggu dengan tutupan awan
ataupun kurang validnya nilai perhitungan (akibat basahnya permukaan lahan).
Selain itu, jika data tersebut diusahakan untuk diperbaiki, nilai suhu yang
didapatkan hanya mewakili kondisi setengah bulan dari satu bulan yang diamati.
Sehingga, akan sangat berpengaruh terhadap rataan evapotranspirasi harian
selama satu bulan.
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA