Ganda TB-MDR-FIX
Ganda TB-MDR-FIX
PENYUSUN:
NAJIBAH BT YA 030.07.308
PEMBIMBING:
BAB I
1
PENDAHULUAN
Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika,
khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang amat
tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis
sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah sakit dan
penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang
menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten.
Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti
detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten terhadap
sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat macam obat 2,8%.
2
Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%,
14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara
resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan
bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%. 5
Banyak negara sudah menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan TB hal ini
tenyata sangat bermanfaat untuk meningkatkan angka kesembuhan sehingga mengurangi angka
resitensi termasuk resitensi ganda.
BAB II
3
2.1. DEFINISI
Resistensi ganda adalah M. tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting
pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara umum resitensi terhadap obat
anti tuberkulosis dibagi menjadi :2
Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT
atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat
pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1
bulan
Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu
4
6. Pemberian obat TB yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu stop, lalu setelah dua bulan berhenti lalu berpindah dokter mendapat obat kembali
untuk dua atau tiga bulan lalu stop lagi, dan demikian seterusnya.
2.2. EPIDEMIOLOGI
WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008 menyatakan bahwa resisitensi ganda
kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin
telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis
khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya. 7
Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika,
khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang amat
tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis
sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah sakit dan
penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang
menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten.
Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti
detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten terhadap
sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat macam obat 2,8%.
Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%,
14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara
resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan
bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%.
2.3. ETIOLOGI
5
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan
akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat
pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak
OAT yang resisten ( The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten
karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksious
1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK
Resisten yang natural
Resisten yang didapat
Ampli fier effect
Virulensi kuman
Tertular galur kuman MDR
2. FAKTOR KLINIK
A. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
6
Pengobatan tidak mengikuti guideline
Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau
karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang
digunakan misal rifampisin atau INH
Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang
telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada
paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang
daftar obat yang resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai
selesai gagal
Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada
diare
Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana
bioavibiliti rifampisinnya berkurang
7
Masalah sosial
Gangguan penyerapan obat
3. FAKTOR PROGRAM
Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
Ampli fier effect
Tidak ada program DOTS-PLUS
Program DOTS belum berjalan dengan baik
Memerlukan biaya yang besar
4. FAKTOR AIDSHIV
Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
Gangguan penyerapan
Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. FAKTOR KUMAN
Kuman M. tuberculosis super strains
Sangat virulen
Daya tahan hidup lebih tinggi
Berhubungan dengan TB-MDR
8
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu
obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)
5. Total Drug Resistance : resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada
kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai
2.6. PATOFISIOLOGI
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R)
dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus baru
dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur M. Tb
resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat
antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang
telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati
sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb
sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat tetapi
selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder
(acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat
tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri menghasilkan
resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak terpajan. Diantara
populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih 1 OAT
jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat.
Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan
diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar
populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah
kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan
meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat
menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat
resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi
9
obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb
menjadi penyakit dan peningkatan penularan MDR Tb.
Pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan mutu
eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.
10
pengenalan kegagalan obat secara dini
uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasi
Pengenalan kegagalan pengobatan secara dini :
Batuk tidak membaik yang seharusnya membaik dalam waktu 2 minggu pertama setelah
pengobatan
Tanda kegagalan : sputum tidak konversi , batuk tidak berkurang , demam , berat badan
menurun atau tetap
Hasil uji kepekaan diperlukan :
Untuk diagnosis resistensi
Sebagai acuan pengobatan
Bila kecurigaan resistensi sangat kuat kirim sampel sputum ke laborstorium untuk uji
resitensi kemudian rujuk ke pakar.
1. Obat dengan aktiviti bakterisid : amnoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja
pada pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah : fluorokuinolon
3. Obat dengan aktiviti bakteriostatik : etambutol, cycloserin, dan PAS
Fluorokuinolon
Resistensi silang
Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis
OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang
berpotensi terjadi resistensi silang.
11
* Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid
dengan tiosetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif dengan
etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamaid dan proteonamid biasanya
juga resisten terhadap tiosetason pada lebih dari 70% kasus.
* Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan
amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap
amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisisn dan amikasin juga menimbulkan resisten
terhadap steptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya
masih sensitif terhadap kapreomisin.
Kesimpulan :
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua
fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon
yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn ofloksasin di masa
datang.
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang
dengan obat golongan lain.
* Hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR TB.
Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor mode, bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif.
12
* Obat lini-2 yang digunakan yaitu golongan fluorokuinolon,aminoglikosida, etionamid,
sikloserin, klofazimin, amoksilin + as klavulanat.
* Saat ini panduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2-3 OAT lini 1
ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000-1500 mg atau ofloksasin
600-800 (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari).
* Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama
yaitu minimal 18 bulan.
* Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR TB.
Serum
terhadap MIC
(etionamid
Protinamid)
Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan
OAT dinegara tersebut. Dibawah ini beberapa strategi pengobatan TB-MDR
Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang
representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil
uji kepekaan indivisual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang
sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan
TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya
regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB
sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Pilihan berdasarkan :
Ketersediaan OAT lini kedua (second-line)
Pola resistensi setempat dan riwayat penggunaan OAT lini kedua
Uji kepekaan obat lini pertama dan kedua
Klasifikasi obat anti tuberkulosis dibagi atas 5 kelompok berdasarkan potensi dan
efikasinya, yaitu :
Kelompok 1: Sebaiknya digunakan karena kelompok ini paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik (Pirazinamid, Etambutol)
14
Kelompok 2: Bersifat bakterisidal (Kanamisin atau kapreomisin jika alergi terhadap
kanamisin)
Kelompok 3: Fluorokuinolon yang bersifat bakterisidal tinggi (Levofloksasin)
Kelompok 4: Bersifat bakteriostatik tinggi (PAS, Ethionamid, Sikloserin)
Kelompok 5: Obat yang belum jelas efikasinya. Tidak disediakan dalam program ini.
15
2.11. PRINSIP PADUAN PENGOBATAN TB-MDR
1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4 macam obat dengan efektifitas yang
pasti atau hampir pasti.
2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir dipastikan ada pada
fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila terbukti resisten kanamisin.
3. Dosis obat berdasarkan berat badan.
Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan sekurangkurangnya
selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Periode ini dikenal sebagai
fase intensif. Lama fase intensif: Pemberian obat suntik atau fase intensif yang
direkomendasikan adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-
kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur yang pertama
menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil kultur, sputum, foto thorax dan
keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan menghentikan pemakaian obat
suntik.
16
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau
kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
Menilai keadaan pasien secara cermat
Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
Tidak ditemukan efek samping
Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman
pengobatan TB MDR
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan dengan
disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya
pada libur
II. Fase pengobatan lanjutan
Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat
setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan
PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB
menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons
pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh
setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan
setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:
Penilaian klinis termasuk berat badan
Penilaian segera bila ada efek samping
17
Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan
Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan
Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan
Kapreomisin)
Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid
Konversi dahak
definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama dari sediaan apus dahak
dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan untuk
menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama pengobatan).
Lama pengobatan
Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur
Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18 bulan
setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama
pengobatan
Hasil pengobatan TB MDR (atau kategori IV)
Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program dan
telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak yang
diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif
18
dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya
keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif tersebut diikuti
dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang diambil sampelnya berselang
sekurangnya 30 hari
Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol
program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis
Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB
MDR.
Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12 bulan
terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir hasilnya
positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk
menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek
samping.
Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-turut dua
bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik
Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil
pengobatan tidak diketahui
19
Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal harus tercatat dalam
pencatatan dan pelaporan
B. Tempat penatalaksanaan efek samping
RS rujukan TB MDR dan UPK satelit menjadi tempat penatalaksanaan efek samping
tergantung berat ringan gejala.
Dokter Puskesmas akan menatalaksana efek samping ringan dan sedang. Tim klinis TB
MDR di RS rujukan TB MDR akan mendapat laporannya
Pasien dengan efek samping berat atau serius dan pasien yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus segera dirujuk ke
Tim Klinis RS rujukan MDR dengan transportasi dari Puskesmas
Efek samping berat atau serius:
Pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk dengan didampingi ke RS rujukan TB
MDR Contoh
kulit dan mata pasien nampak kuning
Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung
mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, bingung
Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema, harus segera ditangani
oleh dokter puskesmas sesuai standard penanganan syok sebelum segera dirujuk ke RS
rujukan TB-MDR
Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa (selaput lendir) seperti
mulut, mata dan dapat mengenai seluruh tubuh berupa pengelupasan kulit (Steven
Johnsons Syndrome)
20
Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR tetapi sampai saat ini
keamanannya belum diketahui
Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini
Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama sehingga pengobatan bisa
ditangguhkan sampai trimester kedua
Pengobatan TB MDR pada ibu menyusui
Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB MDR harus mendapat
pengobatan penuh
Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan konsentrasi yang lebih
kecil
Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu sampai BTA nya menjadi
negatif atau ibu menggunakan masker N-95
Pengobatan TB MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi hormon
Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral dengan rejimen yang tidak
mengandung riyfamycin
Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral sementara mendapat pengobatan dengan
rifampycin bisa memilih salah satu metode berikut: gunakan kontrasepsi oral yang
mengandung dosis oestrogen yang lebih besar (50 g) atau menggunakan kontrasepsi
bentuk lain
Pengobatan pasien TB MDR dengan diabetes mellitus
Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama gangguan ginjal dan
neuropati perifer
Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi selama pengobatan TB
MDR, tetapi mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan
khusus
Penggunaan ethionamida lebih sulit penanganannya
Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan
selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan ginjal
21
Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan ginjal harus dilakukan dengan
hati hati
Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan
selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus disesuaikan dengan tabel diatas
(jika terjadi gangguan ginjal).
Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan hati
OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini pertama
Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat pengobatan TB MDR jika tidak ada
bukti klinis penyakit hati kronis, karier virus hepatitis, riwayat akut hepatitis dahulu atau
pemakaian alkohol berlebihan.
Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas sehingga harus lebih diawasi
Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan Pirazinamid
Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim meningkat, OAT
harus dihentikan dan dilaporkan kepada tim therapeutic advisory
Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama hepatitis akut, kombinasi
empat OAT yang tidak hepatotoksis merupakan pilihan yang paling aman
Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan kejang-kejang (epilepsi)
Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat anti kejang
Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian pengobatan anti kejang
diperlukan sebelum mulai pengobatan
Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini
Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus diatasi
Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan tidak
cukup terkontrol dengan pengobatan
dengan gangguan psikiatris
22
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sana dengan strategi DOT ,
dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan TB MDR
Strategi DOTS plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR/XDR.
2. Strategi penemuan kasussecara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan
pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang
terjaminmutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang
ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku
Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih
banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan
memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.
Prosedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB-MDR. Dari hasil beberapa
penelitian pembedahan efektif dan relatif aman. Pembedahan tidak diindikasikan pada penderita
dengan gangguan paru luas bilateral. Pembedahan dilakukan pada kasus awal-awal seperti
kelainan suatu lobus atau paru dan setelah pemberian pengobatan selama 2 bulan untuk
menurunkan infeksi bakteri dalam paru. Setelah pembedahan, pengobatan tetap diberikan selama
12-24 bulan.
23
BAB III
KESIMPULAN
Harus diakui bahwa pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini amat
sulit dan memerlukan waktu yang amat lama dan pada beberapa keadaan bahkan sampai 24
bulan lamanya. Ada yang menganjurkan agar pasien dirawat di rumah sakit untuk mencegah
penularan dan mengontrol pengobatannya dengan lebih baik. Obat yang dapat digunakan antara
lain adalah golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin,
kanamisin, dan kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin + as klavulanat dan
lain-lain. Pemberian pengobatannya pada dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji
24
kepekaan. Untuk mereka yang resisten terhadap SM misalnya Iseman menganjurkan pemberian
PZA, EMB, kuinolon dan amikasin selama 18 sampai 24 bulan.
Resistensi ganda terhadap obat tuberkulosis adalah masalah besar dalam penanggulangan
tuberkulosis dewasa ini. Pemberian obat tuberkulosis yang benar dan terawasi secara baik
merupakan salah satu kunci penting untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Konsep
Direcly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam
menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah tuberkulosis khususnya
resistensi ganda ini. Perkembangan obat baru mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal
ini.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
5. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP
Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis ; 2000
6. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia ; 2006.
7. World Health Organization. Guideline for the programmatic management of
drugresistant tuberculosis . Emergency Update 2008
10. Rabia J, Elizabeth MS, Gail EL, Warren RM, Paul DH, Thomas CV . Drug Resistance in
Mycobacterium tuberculosis. Curr. Issues Mol.Biol.8:97-112
27