MODUL: BATUK
ASMA BRONKIAL
Definisi
Asma adalah mengi berulang dan/ atau batuk persisten dengan karakteristik
sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam/ dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwayat asma atau
atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya.
Klasifikasi
Dalam GNAA 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit
asma, serta pola obsruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai usaha
telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena terdapat
kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien.
Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan 2-agonis untuk mengatasi gejala, dan
pemeriksaan fungsi paru pada awal evaluasi awal pasien.
Faktor Risiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma,
berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor
tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam
penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi,
alergen, infeksi, atopi, lingkungan, dan lain-lain.
1. Jenis kelamin
Prevalens asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2
kali lipat anak perempuan.
2. Usia
Umumnya, pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma
pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama
kehidupan. Dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat
serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi
pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten
terbebas dari gejala asma pada usia 28-35 tahun, 60% tetap menunjukkan
gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan
meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak.
3. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan
beratnya asma. Beberapa laporan menunjukkan bahwa sensitasi alergi
terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama
kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma.
Patofisiologi
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan nafas secara luas
yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa
karena sumbatan mukus dan inflamasi saluran nafas. Sumbatan jalan nafas yang
terjadi tidak merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau sub segmental
dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan
Tatalaksana Serangan
KNAA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah
dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang
tuanya) sendiri di rumah. Hal in dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya
telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup.
Penanganan di rumah sakit dapat dilihat pada gambar berikut.
Penanganan di Rumah
Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan terapi awal berupa inhalasi -
agonis kerja pendek hingga 3 kali dalam satu jam. Kemudian pasien atau
Tatalaksana awal
Nebulisasi -agonis 1-2x, selang 20 menit
Nebulisasi kedua + antikolinergik
Jika serangan sedang/berat, nebulisasi langsung dengan 2-agonis + antikolinergik
Serangan Ringan
Jika dengan satu kali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete
response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam,
jika respons tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien dapat dipulangkan. Pasien
dibekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika
pencetus serangannya adalah infeksi virus, dan ada riwayat serangan asma
sedang/berat, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien
kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksananya. Obat controller (pengendali) harus tetap diberikan pada
saat pasien pulang. Namun jika setelah obsrvasi 2 jam gejala timbul kembali,
pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.
Serangan Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang.
Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di atas. Jika serangannya
Serangan Berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons
(poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai
pedoman) maka pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Oksigen 2-4L/menit
diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parental dan lakukan
foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi
cukup diberikan sekali langsung dengan -agonis dan antikolinergik (ipratropium
bromida). Dahulu keadaan ini dikenal dengan istilah status asmatikus. Pada
keadaan ini harus dicari penyebab kegagalan tatalaksana yang biasanya adalah
keadaan dehidrasi, asidosis, dan adanya gangguan ventilasi akibat atelektasis.
Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti nafas,
pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan
serangan erat dan ancaman henti nafas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna
mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
Pada tatalaksana di atas, peran nebulisasi sangat penting pada saat serangan
asma. Namun mengingat sampai saat ini belum semua dokter memiliki alat
nebulisasi di tempat praktek maupun di klinik/rumah sakitnya, maka penggunaan
obat adrenalin sebagai alternatif dapat digunakan. Adrenalin diberikan secara
subkutan, dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali, dengan dosis maksimal 0,3 ml/kali.
Sumber Pustaka