Anda di halaman 1dari 16

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

MODUL: BATUK

ASMA BRONKIAL

TINGKAT KEMAMPUAN SKDI 2006: 4

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


2011
PANDUAN PRESEPTOR
ASMA BRONKIAL

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 14


Pendahuluan
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara maju.
Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalens asma meningkat pada
anak maupun dewasa. Prevalens total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada
dewasa dan 10% pada anak). Prevalens tersebut sangat bervariasi. Terdapat
perbedaan prevalens antar negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah
di dalam suatu negara. WHO memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian
akibat asma.
Serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan mengancam
kehidupan. Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma,
antara lain adalah olahraga (exercise), alergen, infeksi, perubahan suhu udara yang
mendadak, atau pajanan terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain-
lain. Selain itu, berbagai faktor turut mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens
asma di suatu tempat, misalnya usia, jenis kelamin, ras, sosio-ekonomi, dan faktor
lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi prevalens asma, derajat
penyakti asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan dan kematian
akibat penyakit asma.

Definisi
Asma adalah mengi berulang dan/ atau batuk persisten dengan karakteristik
sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam/ dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwayat asma atau
atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya.

Klasifikasi
Dalam GNAA 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit
asma, serta pola obsruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai usaha
telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena terdapat
kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien.
Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan 2-agonis untuk mengatasi gejala, dan
pemeriksaan fungsi paru pada awal evaluasi awal pasien.

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 15


Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut:
1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali/ minggu
Serangan singkat
Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/ bulan (kurang samadengan 2 kali)
- FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai terbaik individu
- Variabilitas PEF atau FEV1 <20%
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/ minggu tapi kurang dari 1 kali/ hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal >2 kali/bulan
- FEV1 80% predicted atau PEF 80% nilai terbaik individu
- Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal >1 kali dalam seminggu
- FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
- Variabilitas PEF atau FEV1 >30%
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari
Serangan sering terjadi
Gejala asma nokturnal sering terjadi
- FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai terbaik individu
- Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

Pembagian lain derajat penyakit asma membagi derajat asma menjadi 3


(tiga), yaitu sebagai berikut:
1. Asma episodik jarang
Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode
<1x tiap 4-6 minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di
antara episode serangan, dan fungsi paru normal di antara serangan. Terapi
profilaksis tidak dibutuhkan pada kelompok ini.

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 16


2. Asma episodik sering
Merupakan 20% populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang
lebih sering dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat
dicegah dengan pemberian 2-agonis. Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu
dan fungsi paru di antara serangan normal atau hampir normal. Terapi
profilaksis biasanya dibutuhkan.
3. Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut,
mengi pada aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan 2-
agonis lebih dari 3 kali/minggu karena anak terbangun di malam hari atau
dada terasa berat di pagi hari. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.

Faktor Risiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma,
berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor
tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam
penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi,
alergen, infeksi, atopi, lingkungan, dan lain-lain.
1. Jenis kelamin
Prevalens asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2
kali lipat anak perempuan.
2. Usia
Umumnya, pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma
pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama
kehidupan. Dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat
serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi
pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten
terbebas dari gejala asma pada usia 28-35 tahun, 60% tetap menunjukkan
gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan
meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak.
3. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan
beratnya asma. Beberapa laporan menunjukkan bahwa sensitasi alergi
terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama
kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma.

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 17


4. Lingkungan
Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit
asma. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah
serpiha kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.
5. Ras
Prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
daripada kulit putih.
6. Asap Rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah
dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah
anak dilahirkan, dan menyebabkan meningkatkan risiko. Pada anak yang
terpajan asap rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi, anak lebih sering tidak
masuk sekolah, dan umumnya fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak
yang tidak terpajan.
7. Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida,
karbon monoksida, atau SO2, diduga berperan pada penyakit asma,
meningkatkan gejala asma, tetapi belulm didapatkan bukti yang disepakati.
8. Infeksi respiratorik
Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi
(termasuk asma) dengan infeksi respiratorik. Suatu penelitian di jerman,
mendapatkan adanya penurunan prevalens asma sebanyak 50% pada anak
usia 7 tahun yang saat bayi sering mengalami rinitis. Infeksi respiratory
syncytial virus (RSV) merupakan faktor risiko yang bermakna untuk
terjadinya mengi di usia 6 tahun. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan
bahwa infeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi respiratorik
bawah dapat memberikan anak proteksi terhadap asma.

Patofisiologi
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan nafas secara luas
yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa
karena sumbatan mukus dan inflamasi saluran nafas. Sumbatan jalan nafas yang
terjadi tidak merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau sub segmental
dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 18


nafas, terperangkapnya udara (air trapping), dan distensi paru yang berlebih
(hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan
bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-
perfusion mismatch).
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga
terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang
diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat makin
meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal
mungkin dapat mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung
yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoks.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal
serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar
PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi
jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar
yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu
dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang
normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas.
Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
produksi laktat oleh otot nafas dan masukan kalori yang kurang.
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun
jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat
merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan
meningkatkan risiko terjadinya atelektasis.

Penilaian Derajat Serangan Asma


Dalam tatalaksana asma jangka panjang, KNAA membagi derajat penyakit asma
berdasarkan frekuensi serangan, gejala dan tanda di luar serangan, serta obat yang
digunakan sehari-hari, menjadi tiga: yaitu asma episodik jarang, asma episodik
sering, dan asma persisten. Selain klasifikasi derajat penyakit asma, asma juga
dapat dinilai berdasarkan derajat serangan yang terbagi atas serangan ringan,

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 19


sedang dan berat. Jadi perlu dibedakan di sini antara derajat penyakit asma dengan
derajat serangan asma.
Setiap derajat penyakit asma dapat mengalami derajat serangan yang mana
saja. Sebagai contoh, seorang penderita asma persisten dapat mengalami serangan
ringan saja. Sebaliknya bisa saja seorang pasien yang tergolong asma episodik
jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti nafas
yang dapat menyebabkan kematian. Dengan kata lain derajat serangan asma tidak
tergantung pada derajat penyakit asma.
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Global
initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Butir penilaian di bagian awal merupakan penilaian klinis yang
sifatnya cenderung subyektif. Penilaian yang objektif adalah pemeriksaan PEFR
atau FEV1 dengan spirometer, serta pemeriksaan saturasi oksigen. Kendalanya
adalah faktor ketersediaan, dan kesulitan jurus (manuver) pemeriksaan, terlebih
pada anak dengan serangan asma berat. Butir-butir penilaian dalam lampiran
tersebut tidak harus lengkap ada pada setiap pasien. Aplikasi penggunaan
penilaian derajat serangan asma seperti tercantum pada tabel tersebut bersifat
prediksi awal untuk tindakan selanjutnya. Penilaian tingkat serangan yang lebih
tinggi harus diberikan jika pasien memberi respons yang kurang terhadap terapi
awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi.
Pasien tertentu mempunyai risiko tinggi untuk mengalami serangan berat
yang dapat menyebabkan henti nafas dan mengancam nyawa. Diantaranya adalah
pasien dengan riwayat:
- Serangan asma yang mengancam nyawa
- Serangan asma yang memerlukan intubasi
- Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
- Serangan asma yang berlangsung lama
- Penggunaan steroid sistemik (belum lama atau baru lepas)
- Kunjungan ke instalasi gawat darurat (IGD) atau rawatan RS karena asma
dalam setahun terakhir
- Tidak teratur berobat sesuai rencana
- Berkurangnya persepsi tentang sesak nafas
- Penyakit psikiatri atau masalah psikososial

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 20


Pasien dengan risiko tinggi di atas bila mengalami serangan perlu
penanganan yang lebih agresif, yaitu dengan memasukkan derajat serangan
asmanya satu tingkat lebih tinggi.

Tujuan tatalaksana serangan


- Meredakan penyempitan jalan nafas secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan

Tatalaksana Serangan
KNAA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah
dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang
tuanya) sendiri di rumah. Hal in dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya
telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup.
Penanganan di rumah sakit dapat dilihat pada gambar berikut.

Tabel 7. Penilaian Derajat Serangan Asma


Parameter Ringan Sedang Berat Ancaman Henti
klinis, fungsi Nafas
paru, lab
Aktivitas Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi: menangis Bayi: tangis Bayi: berhenti
keras pendek dan makan
lemah,
kesulitan
makan
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Kewaspadaan Mungkin Biasanya Biasanya Pusing/bingung
teragitasi teragitasi teragitasi
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Ada, nyata
Mengi Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengar tanpa terdengar (silent

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 21


akhir ekspirasi ekspirasi stetoskop chest)
inspirasi
Sesak nafas Minimal Sedang Berat
Otot bantu Biasanya tidak Biasanya ya ya Gerakan
nafas paradok torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hilang
retraksi ditambah ditambah nafas
interkostal retraksi cuping hidung
suprasternal
Laju nafas Meningkat Meningkat + Meningkat ++ Menurun

Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar:


Usia laju nafas normal
<2 bulan <60x/menit
2-12 bulan <50x/menit
1-2 tahun <40x/menit
6-8 tahun <30x/menit
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak:
Usia laju nadi normal
2-12 bulan <160x/menit
1-2 tahun <120x/menit
3-8 tahun <110x/menit

Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi


Pulsus Tidak ada <10 Ada Ada Tidak ada
paradoksus mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg (tanda
(pemeriksaanny kelelahan otot
a tidak praktis) nafas)
PEFR atau FEV1 (%nilai (% nilai
-Pra dugaan) terbaik) <40%
bronkodilator >60% 40-60% <60%,
-Pasca >80% 60-80% Respons <2
bronkdilator jam
SaO2 (%) >95% 91-95% 90%
PaO2 Normal >60 mmHg <60 mmHg
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
Sumber: Supriyatno, 2002

Penanganan di Rumah
Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan terapi awal berupa inhalasi -
agonis kerja pendek hingga 3 kali dalam satu jam. Kemudian pasien atau

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 22


keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat
serangan yang kemudian ditindak lanjuti sesuai derajatnya.
Untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di atas
belum sepenuhnya dilakukan karena belum memasyarakatnya kepemilikan alat
nebulasi, kemampuan melakukan melakukan penilaian juga masih dipertanyakan.
Melihat keadaan di atas, untuk tatalaksana di rumah kepada pasien perlu
ditekankan ketersediaan obat pereda (-agonis atau teofilin) baik dalam bentuk
obat minum ataupun obat hirupan yang setiap saat dapat digunakan.
Penanganan di rumah dapat dilakukan untuk pasien yang sudah menjalani
tatalaksana jangka panjang dengang teratur. Kepada pasien atau keluarganya dapat
dipesankan jika mendapat serangan asma ringan, berikan persediaan obat pereda.
Bila dengan bronkodilator saja belum membantu, tambahkan steroid oral. Bila hal
ini juga tidak berhasil, bawa segera ke klinik atau rumah sakit. Bila serangannya
sedang, langsung berikan bronkodilator dan steroid. Sedangkan jika serangannya
berat, langsung bawa ke rumah sakit.
Perlu ditekankan bahwa obstruksi jalan nafas pada serangan asma bukan
hanya disebabkan oleh spasme otot bronkus, tapi juga oleh edem mukosa jalan
nafas, sekresi mukus berlebihan, dan inflamasi. Hal ini yang mendasari
pentingnya penggunaan steroid sistemik dalam penanggulangan serangan asma,
karena steroid dapat meredakan inflamasi, mengurangi sekresi, dan mengurangi
edem mukosa, bahkan secara tidak langsung ikut menurunkan spasme otot
bronkus.

Penanganan di Klinik atau IGD


Seorang anak asma jika mengalami serangan biasanya akan dibawa mencari
pertolongan ke rumah sakit yang kemungkinan datang melalui klinik rawat jalan
atau IGD. Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan, langsung dinilai
derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang
tersedia. Di samping pemeriksaan klinis dan analisis gas darah, maka pemeriksaan
uji fungsi paru (spirometri atau peak flow meter) merupakan bagian intergral
penilaian penanganan serangan asma. Namun di Indonesia penggunaan spirometri
belum memasyarakat, karena terbatasnya alat tersebut.

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 23


Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian -agonis secara
nebulisasi. Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan
nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada
pemberian ke-tiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Beberapa peneliti
menganjurkan pemberian antikolinergik bersama-sama dengan -agonis
mempunyai hasil yang cukup baik. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam
jumlah pasien yang dirawat, peningkatan fungsi paru, dan perbaikan klinis antara
pemberian antikolinergik (ipratropium bromida) dengan -agonis bersama-sama
sebanyak tiga kali dibandingkan dengan bila pemberiannya hanya pada saat ke-
tiga saja. Tetapi penggunaan bersama tersebut haya dilakukan pada keadaan
serangan yang berat saja. Untuk hal tersebut KNAA lebih menganjurkan
penggunaan langsung secara bersama antara ipratropiium bromida dan -agonis
hanya pada kasus serangan yang diduga berat.
Jika menurut penilaian awal pasien jelas dalam serangan berat, langsung
berikan nebulisasi -agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan
serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan
refrakter (respons yang kurangan baik) terhadap nebulisasi -agonis. Pasien
seperti ini cukup dinebulisasi satu kali kemudian secepatnya dirawat untuk
mendapat obat intravena (steroid dan aminofilin) selain diatasi masalah dehidrasi
dan asidosisnya.
Skema Penanganan Asma di Klinik/IGD
Nilai derajat serangan

Tatalaksana awal
Nebulisasi -agonis 1-2x, selang 20 menit
Nebulisasi kedua + antikolinergik
Jika serangan sedang/berat, nebulisasi langsung dengan 2-agonis + antikolinergik

Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat


(nebulisasi 1x, respons (nebulisasi 2x, respons (nebulisasi 3x, respons
baik) Catatan
parsial) buruk )
Jika menurut
Observasi 1-2 jam penilaian serangannya
Berikanberat,oksigen
nebulisasi Sejak awal berikan
cukup 1xpulang
langsung dengan -agonis Ruang Rawat Sehari
+ antikolinergik
JikaBoleh
efek bertahan, Nilai kembali derajat oksigen saat/di luar
Bekali
Jika tidak
obatada alatnya, nebulisasiserangan,
boleh pulang
dapat diganti dengan
jika sesuai nebulisasi
adrenalin 1/1000 subkutan 0,01 ml/kgBB/kali
Oksigen diteruskan
maksimal
bronkdilator
Jika gejala timbul lagi, dengan serangan sedang, Pasang jalur parenteral
0,3 ml/kali
(hirupan/oral) Berikan steroid oral
perlakan sebagai observasi di Ruang Nilai ulang klinisnya,
Jika
Untuk serangan
sudah ada
serangan sedang obat Rawat
sedang dan terutama berat,
Nebulisasi
Seharioksigen 2-
tiap 2 jam
jika sesuai dengan
4L/menit diberikan
pengendali, teruskan sejak awal,
termasuk saat8-12
Bila dalam
Berikan steroid nebulisasi
jam
oral serangan berat, rawat di
Jika
Jikaperlu,
pasiendapat
mempunyai
diberi riwayat serangan
perbaikan sedang/berat,
klinis stabil, Ruang Rawat Inap
dan diduga
steroid oral infeksi virus sebagai pencetus
boleh pulang Foto rontgen toraks
Dalam
Penenang,
24-48antitusif,
jam Jikatidak
dan antihistamin dalamboleh
12 jamIlmu Kesehatan Anak FK UNISBA 24
diberikan
kontrol ke Klinik klinis tetap belum
rawat
Untukjalan,
srangan
untukringan dan sedang membaik,
nebulisasi alih
dapatrawat
diganti
dengan obat hirupan (MDI) dibantu
reevaluasi ke spacer
Ruang Rawat Inap
Ruang Rawat Inap
Oksigen diteruskan
Atasi dehidrasi dan
asidosis jika ada
Steroid IV tiap 6-8 jam
Nebulisasi tiap 1-2jam
Aminofilin IV awal,
lanjutkan rumatan
Jika membaik dalam
4-6x nebulisasi,
interval jadi 4-6 jam
Jika dalam 24 jam
perbaikan klinis stabil,
boleh pulang
Jika dengan steroid
dan aminofilin
parenteral tidak
membaik, bahkan
timbul ancaman henti
nafas, alih rawat ke
Ruang Rawat Intensif

Serangan Ringan
Jika dengan satu kali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete
response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam,
jika respons tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien dapat dipulangkan. Pasien
dibekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika
pencetus serangannya adalah infeksi virus, dan ada riwayat serangan asma
sedang/berat, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien
kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksananya. Obat controller (pengendali) harus tetap diberikan pada
saat pasien pulang. Namun jika setelah obsrvasi 2 jam gejala timbul kembali,
pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.

Serangan Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang.
Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di atas. Jika serangannya

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 25


memang termasuk serangan sedang, berikan oksigen 2L/menit, kemudian pasien
diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Walaupun mungkin tidak
diperlukan, namun untuk persiapan keadaan darurat, makan sejak di IGD pasien
yang akan diobservasi di RRS langsung dipasangi jalur parenteral.
Apabila alat nebuliser tidak tersedia, maka sebagai alternatif lain dapat
digunakan spacer yang dihubungkan dengan obat inhaler (MDI= metered dose
inhaler). Pada serangan asma ringan dan sedang, metode ini sama efektifnya
dengan pemberian nebulisasi, sedangkan pada serangan berat nebuliser masih
lebih unggul. Dengan bantuan spacer, deposit obat di paru lebih besar bila
dibandingkan dengan MDI tanpa spacer maupun dengan DPI (dry powder
inhaler).

Serangan Berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons
(poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai
pedoman) maka pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Oksigen 2-4L/menit
diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parental dan lakukan
foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi
cukup diberikan sekali langsung dengan -agonis dan antikolinergik (ipratropium
bromida). Dahulu keadaan ini dikenal dengan istilah status asmatikus. Pada
keadaan ini harus dicari penyebab kegagalan tatalaksana yang biasanya adalah
keadaan dehidrasi, asidosis, dan adanya gangguan ventilasi akibat atelektasis.
Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti nafas,
pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan
serangan erat dan ancaman henti nafas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna
mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
Pada tatalaksana di atas, peran nebulisasi sangat penting pada saat serangan
asma. Namun mengingat sampai saat ini belum semua dokter memiliki alat
nebulisasi di tempat praktek maupun di klinik/rumah sakitnya, maka penggunaan
obat adrenalin sebagai alternatif dapat digunakan. Adrenalin diberikan secara
subkutan, dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali, dengan dosis maksimal 0,3 ml/kali.

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 26


Sesuai dengan panduan tatalaksana di IGD, adrenalin dapat diberikan 3 kali
berturut-turut dengan selang 20 menit.

Penanganan di Ruang Rawat Sehari


Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan steroid sistemik
oral berupa prednisolon, prednison, atau triamsinolon. Setelah di IGD menjalani
nebulisasi 3 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan dengan
nebulisasi -agonis antikolinergik tiap 2 jam. Bila responsnya baik, frekuensi
nebulisasi dikurangi tiap 4 jam, kemudian tiap 6 jam. Jika dalam 12-24 jam klinis
tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan
ringan yang dipulangkan dari klinik/IGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap
tidak baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap untuk mendapat steroid
dan aminofilin parenteral.

Penanganan di Ruang Rawat Inap


Pemberian oksigen dilanjutkan
Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan dikoreksi asidosisnya
Steroid diberikan tiap 6-8 jam, secara bolus IV/IM/oral
Nebulisasi -agonis antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2
jam, jika dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam
Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
- bila pasien belum mendapaat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose
atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit
- selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam
- jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 6-8 jam), dosis
awal aminofilin diberikan 1/2nya

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 27


- sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga
24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti dengan pemberian peroral
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat -agonis (hirupan atau oral) atau kombinasi dengan teofilin
yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid dilanjutkan
secara oral hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam
untuk re-evaluasi tatalaksana. Jika pasien sebselumnya sudah mendapat obat
pencegahan atau rumatan, obat tersebut juga diteruskan
Jika dengan tatalaksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan
tanda ancaman henti nafas, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat
intensif.

Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif


Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah memperlihatkan tanda-tanda
ancaman henti nafas (sesuai gambar), langsung dirawat di ruang rawat intensif.
Secara ringkas kriterianya adalah sebagai berikut:
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau
perburukan asma yang cepat
Adanya kebingungan, pusing, dan tanda lain ancaman henti nafas, atau
hilangnya kesadaran
Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap
Ancaman henti nafas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberik
oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >60 mmHg, walaupun
tentu saja gagal nafas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi
atau lebih rendah).

Sumber Pustaka

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 28


1. Nataprawira HMD. Diagnosis asma pada anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi
pertama. Jakarta: Balai penerbit IDAI; 2008. hlm. 105-19.
2. Supriyanto B. Tatalaksana serangan asma pada anak. Dalam: Trihono PP,
Syarif DR, Hegar B, penyunting. Hot topics in pediatrics II. Jakarta: Balai
penerbit FKUI; 2002. hlm. 262-73.

Ilmu Kesehatan Anak FK UNISBA 29

Anda mungkin juga menyukai