Anda di halaman 1dari 19

Jual Beli Dalam Islam | Pengertian, Hukum, Syarat, Riba

a. Pengertian Jual Beli


Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara
terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan
membeli yaitu menerimanya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa jual beli adalah suatu akad
yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli.
b. Dasar Hukum
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT
berfirman: Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
c. Klasifikasi Jual Beli
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun
pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan uang.
Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang.
2. Berdasarkan Standardisasi Harga
a) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak
memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang
dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis:
1 Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
2 Jual beli wadhiah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian
yang diketahui.
3 Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga
modal, tanpa keuntungan atau kerugian.
d. Cara Pembayaran
Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi empat macam:
4 Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung (jual beli
kontan).
5 Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasiah).
6 Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
7 Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.
e. Syarat Sah Jual Beli
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus
dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini terbagi dalam dua
jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang
berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan.
Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi
untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta
berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh
anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan
milik penuh salah satu pihak.
Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak
terhindar faktor ketidaktahuan atau menjual kucing dalam karung karena hal
tersebut dilarang.
Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka
waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.
f. Sebab-sebab dilarangnya jual beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
1. Berkaitan dengan objek
2. Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual
anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih
dalam tulang dada induknya (madhamin).
3. Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual
barang najis, haram dan sebagainya.
4. Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual, seperti jual
beli fudhuly.
g. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
1. Jual beli yang mengandung riba
2. Jual beli yang mengandung kecurangan.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas seperti
adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih
dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim,
monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti
berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jumat.
h. Jual Beli yang Bermasalah
1. Jual Beli yang Diharamkan
a) Menjual tanggungan dengan tanggungan
Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana
tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu Umar Ra. Yaitu menjual harga yang ditangguhkan
dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada
pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang
pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah bentuk riba yang
paling jelas dan paling jelek sekali.
b) Jual beli disertai syarat
Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah menganggap
syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli seperti agar
pembeli tidak menjualnya kembali atau menggunakannya.
Hambaliyah memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan akad, seperti adanya
bentuk usaha lain, seperti jual beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat
jual beli menjadi bergantung, seperti Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.
Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk dalam
konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut tapi
bermanfaat bagi salah satu pihak.
c) Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi, namun terdapat
perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:
8 Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih mahal.
Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan ketentuan, sebelum berpisah,
pembeli telah menetapkan pilihannya apakah kontan atau kredit.
9 Jual beli Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu si penjual
membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.
10 Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar
barang yang masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih mengharamkan jual beli
ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim,
Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain.
11 Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Masud, Rasulullah telah melarang mengambil
untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun (HR. Bukhari)
2. Jual Beli yang Diperdebatkan
Jual beli Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan
lebih banyak (riba).
Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan
pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli
mengembalikan barang.
Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka
(urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu
dimasukkan ke dalam harganya.
Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara bertahap, selang
beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan
bisa jadi lebih menyenangkan bagi pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar
wa ahallallahul baya wa harramar riba
yaa ayyuhaa alladziina aamanuu laa ta/kuluu amwaalakum baynakum bialbaathili illaa an
takuuna tijaaratan an taraadin minkum walaa taqtuluu anfusakum inna allaaha kaana
bikum rahiimaan
Etika Jual Beli
jika mereka merusak (melanggar) perjanjian-perjanjian sesudah mereka buat serta
mencela (menjelek-jelekkan) agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang
kafir itu. Sebenarnya mereka itu tidak ada harganya (nilainya). Semoga mereka berhenti
dari kekafiran (Q.S At-Taubah : 12)
Jika mereka merusak atau melanggar perjanjian (seperti perjanjian Hudaibiah), yang telah
dibuatnya, mencela dan memperolok-olok agamamu, serta menghambat manusia
mengikuti jalan Allah, maka mereka itu wajib diperangi, agar kembali insaf. Merekalah
gembong-gembong kufur dan pemimpin-pemimpinnya.
Mereka memang telah mencacat Al-Quran dan memburuk-burukkan Nabi seperti apa
yang telah dilakukan oleh ahli-ahli syair dari kelompoknya, sehingga karenanya mereka
menjadi bingung. Perjanjian-perjanian yang mereka buat itu tidak ada harganya. Sebab
perjanjian itu bersifat tipuan semata. Mereka tidak bermaksud menepatinya. Perangilah
mereka dengan pengharapan supaya menghentikan kekafirannya, dan tidak lagi suka
melanggar perjanjian, ini memberi pengertian bahwa memerangi mereka bukanlah atas
dasar mengikuti hawa nafsu atau untuk mencari keuntungan dunia.[7]
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu
beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu
yang basah.Maka beliaupun bertanya, Apa ini wahai pemilik makanan?Dia
menjawab, Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.Beliau bersabda,
Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?!
Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.(HR. Muslim no. 102)
Dari Hakim bin Hizam radhiallahuanhu dari Nabi Shallallu alaihi wa sallam beliau
bersabda:


Kedua orang yang bertransaksi jual beli berhak melakukan khiyar selama keduanya
belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan
keberkahan dalam jual beli. Tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka
keberkahan jual beli antara keduanya akan dihapus.(HR. Al-Bukhari no. 1937 dan
Muslim no. 1532)
Abu Hurairah radhiallahuanhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:

Sumpah itu (memang biasanya) melariskan dagangan jual beli namun bisa
menghilangkan berkahnya.(HR. Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1606)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang
biasanya) dapat melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan
(keberkahannya).(HR. Muslim no. 1607)
Salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam bahkan sering tersebut dalam Al-Qur`an
dan As-Sunnah adalah profesi petani dan pedagang. Karenanya banyak sekali sahabat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berprofesi menjadi petani atau pedagang. Hanya
saja, di dalam Islam setiap profesi yang dibenarkan untuk ditempuh tujuannya bukan
semata-mata untuk menghasilkan uang atau meraih kekayaan. Akan tetapi yang jauh
lebih penting daripada itu adalah untuk mendapatkan keberkahan dari hasil jerih
payahnya. Dan keberkahan dari harta bukan dinilai dari kuantitasnya akan tetapi dinilai
dari kualitas harta tersebut, darimana dia peroleh dan kemana dia belanjakan.
Karenanya, dalam perdagangan dan jual beli, Islam menuntunkan beberapa etika
diantaranya:
1. Tidak boleh curang dalam jual beli.
2. Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para pembeli.
3. Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan kekurangan barang yang dia
jual.
4. Tidak boleh terlalu banyak bersumpah (walaupun sumpahnya benar) dengan tujuan
melariskan dagangannya. Karena terlalu sering menyebut nama Allah pada jual beli atau
pada hal-hal sepele menunjukkan kurangnya pengagungan dia kepada Allah.
5. Haramnya bersumpah dengan sumpah dusta, hanya untuk melariskan dagangannya.
[8]
D. Akad Transaksi dalam Etika Jual Beli
Hai orang-orang yang beriman.Sempurnakanlah segala rupa akad yang telah kamu
lakukan. Telah dihalalkan bagimu binatang-binatang berkaki empat (unta, sapi, kerbau,
kambing, biri-biri dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan (akan deterangkan
satu persatu) tentang keharamannya pada waktu kamu tidak hala berburu dan kamu
dalam keadaan ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan apa yang dikehendaki(Q.S Al-
Maidah : 1)
Sempurnakanlah berbagai bentuk akad (janji, kontrak) yang telah kamu akadkan dengan
Allah, atau antara kamu dengan dirimu sendiri, atau antara kamu dengan sesama manusia.
Baik berupa perintah maupun larangan syara atau akad diantara kamu, seperti jual beli
dan pernikahan.
Dasar semua akad dalam islam adalah firman aufu bil uqudi yang artinya
sempurnakanlah semua rupa akad. Maka wajib bagi tiap mukmin menyempurnakan akad
dan menepati janji, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.Yang penting, akad
tidak berlawanan dengan kehendak syara.[9]
Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang
atau lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga macam
Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap orang
yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya sedang
berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.
Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar.
Sehingga setiap orang tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia
mengetahui bahwa lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah
terjalin dengannya. Syariat Islam pada prinsipnya membenarkan bagi siapa saja untuk
mencari keuntungan melalui akad macam ini.
Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang,
penggarapan tanah (musaqaah), dll.
Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik atau
uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan mencari
keuntungan non materi.
Biasanya yang menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan
atau sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad
ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini,
guna mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan.
Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syariat Islam tidak
membenarkan bagi siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.


Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (Qs. Al-Baqarah: 276)
Pada ayat ini Allah Taala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan
dengan menyebutkan ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini
adalah isyarat bagi kita bahwa praktek riba adalah lawan dari shadaqah. Isyarat ini
menjadi semakin kuat bila kita mencermati ayat-ayat selanjunya:
Hai orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang berhutang
itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui. (Qs. Al-Baqarah: 278-280)
Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih:

Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.
Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan, peminjaman,
shadaqah, hadiyah, pernikahan, dll.
Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang. Dengan demikian,
akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak dibenarkan bagi
pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan
kepadanya. Bila kreditur mendapatkan manfaat atau
keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana
ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas.
Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak
ada seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari
pemiliknya.
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.
(Riwayat Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu
Hajar dan Al Albany)
Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika
akad jual beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya [2] yang dilakukan
dengan pembayaran dihutang. (Baca Majmu Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 14/176-177,
fatwa no: 20244)
Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan dibayarkan
setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad penjualan sedang
berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga
tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A dibenarkan untuk
menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut. Karena dengan cara seperti ini,
sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos
sewa rumah tersebut selama satu tahun.
Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A
untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila ia
memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu
adalah riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di atas.
Diantara akad yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu),
jaminan (kafalah), persaksian (syahadah) dll.
Allazina yakulunar riba la yakumuna illa kama yakumullazi yatahabbatuhus saytanu
minal mass(massi), zalika bi annahum kalu innamal bayu mislur riba, wa ahallallahul
baya wa harramar riba fa man jaahu mawizatun min rabbihi fantaha fa lahu ma
salaf(salafa), wa amruhu ilallah(ilallahi), wa man ada fa ulaika ashabun nar(nari), hum
fiha halidun(haliduna).
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya. [QS. AL BAQARAH 2:275]

yaa ayyuhaa alladziina aamanuu laa ta/kuluu amwaalakum baynakum bialbaathili illaa an
takuuna tijaaratan an taraadin minkum walaa taqtuluu anfusakum inna allaaha kaana
bikum rahiimaan

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.

yaa ayyuhaa alladziina aamanuu idzaa nuudiya lilshshalaati min yawmi aljumuati
faisaw ilaa dzikri allaahi wadzaruu albaya dzaalikum khayrun lakum in kuntum
talamuuna

PEMBAHASAN
A. Macam-Macam Jual Beli yang Dilarang dan yang Sah

Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah sebagian dari kamu memakan


(mengambil) harta milik sebagian di antaramu dengan cara yang tidak benar
(batil), kecuali jika dengan jalan perniagaan yang didasarkan atas kerelaan antara
kedua belah pihak diantara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri,
sesungguhnya Allah Maha Kekal rahmat-Nya.( An-Nisa' : 29 )
Jual beli dalam bahasa arab disebut bai yang secara bahasa adalah tukar
menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan
dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara atau
menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan
melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua
belah pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh ( )atau () , sesuai dengan
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:
@ymr&ur !$# yt79$# tPymur (#4qt/h9$#
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Dan hadist Nabi yang berasal dari Rufah bin Rafi menurut riwayat al-Bazar
yang disahkan oleh al-Hakim:

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa yang
paling baik; nabi berkata: Usaha seseorang dengan tangannya dan jual beli yang
mabrur.
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat
macam :
1. Jual beli salam (pesanan)
Yaitu jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya
diantar belakangan.
2. Jual beli Muqayyadah (barter)
Yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang.
3. Jual beli Muthlaq
Yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat penukaran.
4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Yaitu jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar
lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.[1]

"Orang-orang yang makan (bertransaksi dengan) riba, tidak dapat berdiri


malainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak
tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya). Keadaan mereka yang demikian itu
disebabkn karena mereka berkata 'jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka barang
siapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari tuhannya (menyangkut riba),
lalu berhenti (dari praktik riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (kembali) kepada allah. Adapun yang
kembali (bertransaksi riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya"(Q.S. Al-Baqarah : 275)
Dalam ayat ini tidak hanya melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela
pelakunya, bahkan mengancam mereka. Orang-orang yang makan, yakni bertransaksi
dengan riba, baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, tidak dapat berdiri,
yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdrinya orang yang dibingungkan
oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya).
Tidak menutup kemungkinan mamahaminya sekarang dalam kehidupan
dunia.Mereka yang melakukan praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak
tentram, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian disebabkan pikiran mereka
yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Lihatlah keadaan manusia dewasa
ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat, tetapi
lihat juga kehidupan masyarakat, lebih-lebih yang mempraktikkan riba. Di sana
mereka hidup dalam kegelisahan, tidak tahu arah, bahkan aktivitas yang tidak rasional
mereka lakukan.
Bagaimana dengan perumpamaan yang dilukiskan sebagai sentuhan setan
terhadap mereka ?Ada dua ulama yang memahami ayat ini sebagai berbicara tentang
manusia yang kesurupan sambil menguatkan pandangannya dengan berbagai ayat dan
hadits yang intinnya menyatakan bahwa ada setan yang selalu mendampingi manusia.
Tidakkah Anda pernah melihat kata mereka seseorang yang menjadi demikian
kuat berbicara dengan berbagai bahasa asing, tetapi dalam keadaan normalnya lemah
dan tidak mengerti, kecuali bahasa ibunya ? Apakah yang menjadikan dia mampu
kalau bukan jin yang telah merasuk kedalam tubuhnya ?
Ibn 'Abbas meriwayatkan bahwa seseorang wanita membawa anaknya kepada
Rasulullah saw seraya berkata, "Sesungguhnya putraku menderita gangguan ( gila )
yang menimpanya setiap kami makan siang dan malam," maka Rasulullah saw
mengusap dadanya, dan berdoa untuk kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan
keluarlah sesuatu seperti anjing hitam. Dan sembuhlah ia" ( HR. Ad-Daruquthni dan
Al-Baihaqi)
Kalau air dan makanan dapat masuk kedalam tubuh manusia, sedang tingkat
kehalusan jin, apa yang menghalangi jin masuk ? Bukankah angin pun dapat masuk
ke tubuh manusia ?Demikian dalil atau dalih mereka yang memahami ayat dan
hadits-hadits di atas dalam arti hakiki.[2]
Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah banyak. Jumhur ulama tidak
membedakan antara fasid dan batal. Dengan kata lain, menurut Jumhur Ulama,
hukum jual-beli terbagi menjadi dua, yaitu jual beli shahih dan jual beli fasid.
Jual beli yang diharamkan dalam islam adalah sebagai berikut :
1. Menjual barang yang sudah dibeli oleh orang lain.
2. Menjual minuman keras dan yang sejenisnya (narkoba).
3. Menjual barang najis.
4. Gharar, yaitu jual beli yang tidak jelas, mengandung unsur ketidak pastian/spekulasi
dan penipuan. Diantaranya :
a. Hashat, jual beli tanah yang tidak jelas luasnya
b. Nitaj, jual beli hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil
c. Mulamasah dan Munabadzah
d. Muhaqolah dan Muzabanah
e. Mukhadarah
f. Habalil Habalah, jual beli anak unta yang masih dalam perut induknya
g. Talqi Jabal, petani membawa hasil panen kekota, kemudian orang kota
menjual dengan harga yang ditetapkan sendiri
h. Hadir al-Ibad, monopoli dengan tujuan harga yang tinggi
i. Najsy, menjual barang karena mendengar akan naik lalu dijual dengan
harga yang tinggi ketika harga sudah naik.
j. Ikhtikar, penimbunanbaranghanyauntukmenaikkanhargadengansengaja.[3]
5. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan
6. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul)
7. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual
8. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar[4]
9. Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
10. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain
11. Berjualan ketika adzan jumat dikumandangkan
12. Berdagang alat-alat musik dan hiburan[5]

B. Asas-Asas Jual Beli


Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang
ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, ataupun
kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan.
Dalam buku Ensiklopedia Islam jilid 3, halaman 246 dijelaskan bahwa dalam
setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan oleh Syara'(hukum islam),
yaitu :
1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan
transaksi. Kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara'
misalnya adalah memperdagangkan barang haram. Pihak-pihak yang
bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh
saling mengkhianati. (Dalam Q.S. Al-Ma'idah, 5: 1)

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan


bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendaki-Nya .
2. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi
penuh dengan tanggung jawab, dan tidak menyimpang dari hukum syara' dan
adab sopan santun.
3. Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak
manapun. (Dalam Q.S. An-Nisa' 4: 29)
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
4. Islam mewajibkan agar setiap transaksi dilandasi denagn niat yang baik dan
ikhlas karena Allah SWT, shingga terhindar dari segala bentuk penipuan dan
kecurangan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa:
Aku (Raslullah) melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.(H.R
Muslim)
5. 'Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara' boleh
digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi.
Misalnya dalam akad sewa-menyewa rumah. Menurut kebiasaan setempat,
kerusakan rumah sewaan merupakan tanggung jawab penyewa. Maka dari
itu,pihak yang menyewakan boleh menuntut penyewa untuk memperbaiki
rumah sewaannya. Tapi, pada saat transaksi atau terjadinya akad, kedua belah
pihak telah sama-sama mengetahui kebiasaan tersebut dan menyepakatinya.
[6]

C. Etika Jual Beli

jika mereka merusak (melanggar) perjanjian-perjanjian sesudah mereka buat


serta mencela (menjelek-jelekkan) agamamu, maka perangilah pemimpin-
pemimpin orang kafir itu. Sebenarnya mereka itu tidak ada harganya (nilainya).
Semoga mereka berhenti dari kekafiran (Q.S At-Taubah : 12)
Jika mereka merusak atau melanggar perjanjian (seperti perjanjian
Hudaibiah), yang telah dibuatnya, mencela dan memperolok-olok agamamu, serta
menghambat manusia mengikuti jalan Allah, maka mereka itu wajib diperangi, agar
kembali insaf. Merekalah gembong-gembong kufur dan pemimpin-pemimpinnya.
Mereka memang telah mencacat Al-Quran dan memburuk-burukkan Nabi
seperti apa yang telah dilakukan oleh ahli-ahli syair dari kelompoknya, sehingga
karenanya mereka menjadi bingung. Perjanjian-perjanian yang mereka buat itu tidak
ada harganya. Sebab perjanjian itu bersifat tipuan semata. Mereka tidak bermaksud
menepatinya. Perangilah mereka dengan pengharapan supaya menghentikan
kekafirannya, dan tidak lagi suka melanggar perjanjian, ini memberi pengertian
bahwa memerangi mereka bukanlah atas dasar mengikuti hawa nafsu atau untuk
mencari keuntungan dunia.[7]
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata:





Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu
beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh
sesuatu yang basah.Maka beliaupun bertanya, Apa ini wahai pemilik
makanan?Dia menjawab, Makanan tersebut terkena air hujan wahai
Rasulullah.Beliau bersabda, Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas
agar manusia dapat melihatnya?!Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari
golonganku.(HR. Muslim no. 102)
Dari Hakim bin Hizam radhiallahuanhu dari Nabi Shallallu alaihi wa sallam
beliau bersabda:


Kedua orang yang bertransaksi jual beli berhak melakukan khiyar selama
keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan
mendapatkan keberkahan dalam jual beli. Tapi jika keduanya berdusta dan tidak
terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan dihapus.(HR. Al-
Bukhari no. 1937 dan Muslim no. 1532)
Abu Hurairah radhiallahuanhu berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Sumpah itu (memang biasanya) melariskan dagangan jual beli namun bisa
menghilangkan berkahnya.(HR. Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1606)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang
biasanya) dapat melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan
(keberkahannya).(HR. Muslim no. 1607)
Salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam bahkan sering tersebut dalam
Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah profesi petani dan pedagang. Karenanya banyak
sekali sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berprofesi menjadi petani atau
pedagang. Hanya saja, di dalam Islam setiap profesi yang dibenarkan untuk ditempuh
tujuannya bukan semata-mata untuk menghasilkan uang atau meraih kekayaan. Akan
tetapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah untuk mendapatkan keberkahan dari
hasil jerih payahnya. Dan keberkahan dari harta bukan dinilai dari kuantitasnya akan
tetapi dinilai dari kualitas harta tersebut, darimana dia peroleh dan kemana dia
belanjakan.
Karenanya, dalam perdagangan dan jual beli, Islam menuntunkan beberapa
etika diantaranya:
1. Tidak boleh curang dalam jual beli.
2. Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para pembeli.
3. Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan kekurangan barang yang
dia jual.
4. Tidak boleh terlalu banyak bersumpah (walaupun sumpahnya benar) dengan
tujuan melariskan dagangannya. Karena terlalu sering menyebut nama Allah
pada jual beli atau pada hal-hal sepele menunjukkan kurangnya pengagungan
dia kepada Allah.
5. Haramnya bersumpah dengan sumpah dusta, hanya untuk melariskan
dagangannya.[8]
D. Akad Transaksi dalam Etika Jual Beli

Hai orang-orang yang beriman.Sempurnakanlah segala rupa akad yang telah


kamu lakukan. Telah dihalalkan bagimu binatang-binatang berkaki empat (unta,
sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan
(akan deterangkan satu persatu) tentang keharamannya pada waktu kamu tidak
hala berburu dan kamu dalam keadaan ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan
apa yang dikehendaki(Q.S Al-Maidah : 1)
Sempurnakanlah berbagai bentuk akad (janji, kontrak) yang telah kamu
akadkan dengan Allah, atau antara kamu dengan dirimu sendiri, atau antara kamu
dengan sesama manusia. Baik berupa perintah maupun larangan syara atau akad
diantara kamu, seperti jual beli dan pernikahan.
Dasar semua akad dalam islam adalah firman aufu bil uqudi yang artinya
sempurnakanlah semua rupa akad. Maka wajib bagi tiap mukmin menyempurnakan
akad dan menepati janji, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.Yang
penting, akad tidak berlawanan dengan kehendak syara.[9]
Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara
dua orang atau lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga
macam
Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap
orang yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan
akadnya sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.
Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-
menawar. Sehingga setiap orang tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian
hari ia mengetahui bahwa lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad
yang telah terjalin dengannya. Syariat Islam pada prinsipnya membenarkan bagi
siapa saja untuk mencari keuntungan melalui akad macam ini.
Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa,
syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah), dll.
Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik
atau uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan
mencari keuntungan non materi.
Biasanya yang menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang
membutuhkan bantuan atau sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang
yang menjalankan akad ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan kesempatan
dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan.
Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syariat Islam
tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.


Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (Qs. Al-
Baqarah: 276)
Pada ayat ini Allah Taala mengancam para pemakan riba dan kemudian
dilanjutkan dengan menyebutkan ganjaran yang akan diterima oleh orang yang
bersedekah. Ini adalah isyarat bagi kita bahwa praktek riba adalah lawan dari
shadaqah. Isyarat ini menjadi semakin kuat bila kita mencermati ayat-ayat selanjunya:
.
.
Hai orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan
Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan.Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Qs. Al-Baqarah: 278-280)
Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu
fiqih:

Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.
Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan,
peminjaman, shadaqah, hadiyah, pernikahan, dll.
Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang.
Dengan demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga
tidak dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari
barang yang dijaminkan kepadanya. Bila kreditur mendapatkan manfaat atau
keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana
ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas.
Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya,
dan tidak ada seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan
kerelaan dari pemiliknya.
.
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa
darinya. (Riwayat Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh
Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany)
Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut
dipersyaratkan ketika akad jual beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan
keduanya [2] yang dilakukan dengan pembayaran dihutang. (Baca Majmu Fatwa Al
Lajnah Ad Daimah 14/176-177, fatwa no: 20244)
Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan
dibayarkan setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad
penjualan sedang berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut
selama satu tahun hingga tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan
tersebut, maka A dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan
tersebut. Karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan
harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun.
Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak
dibenarkan bagi A untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin
darinya, sebab bila ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat
keuntungan dari piutang dan itu adalah riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah
ilmu fiqih di atas.
Diantara akad yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian
(rahnu), jaminan (kafalah), persaksian (syahadah) dll.[10]
E. Hadits Tentang Larangan jual beli Mulamasah, Mudzabanah, dan Muhakolah

:

Rasulullah melarang jual beli barang secara mulamasah dan munabazah. Mulamasah,
pembeli hanya memegang kain (baik di siang maupun di malam hari) tanpa dibolak-balik
terlebih dahulu. Munabazah, penjual melemparkan kain kepada pembeli, dan kemudian
kembali dilempar kepada penjual. Penjualnya hanya didasarkan atas saling percaya.
(HR. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntqa II: 319).

Rasulullahmelarangkitadarimuhaqalah (menjualbuah yang masihdalamtandannya),


mukhasarah (menjualbuah-buahan yang belumdapatdimakan), munabazah,
mulamasahdanmuzabanah (menjualbuah-buahandengankurmasecarasukatan)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa cara penjualan muhaqalah, mukhalash,


munabazah, mulamasah dan mubazanah dilarang. Penjualan gharar (yang
mengandung unsur tipuan), seperti menjual ikan yang masih dalam kolam, menjual
burung yang masih berada di angkasa. Hal ini disepakati masuk kedalam bagian
menjual barang yang belum ada, menjual sesuatu yang belum diketahui, menjual
budak yang belum dilihat dan setiap penjualan yang mungkin dapat menipu pembeli.
[11]

F. Jual Beli Ijon

.
Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan sebelum nyata baik
(matang)nya. Larangan tersebut berlaku terhadap sipenjual dan sipembeli. (HR. Al-
Jamaah selain At-Turmudzy; Al-Muntaqa II:331)

." ": . ,
Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan (korma) sehinggaberwarna
merah. Para sahabat bertanya tentang arti izhak, maka Nabi menjawab berwarna merah.
Dan Nabi bersabda pula :apabila Allah menimpakan bencanaatas buah itu, maka dengan
apa engkau menghalalkan harta saudaraengkau. (HR. Al-Bukharydan Muslim; Al-
Muntaqa II: 331)
Hadis tersebut menyatakan bahwa tidak boleh menjual buah-buahan sebelum nyata
merahnya. Karena apabila kemudian ternyata buah-buahan tersebut gagal menjadi buah
(busuk) tentulah akan menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli.
Dhahir hadis ini menyatakan bahwa menjual sesudah buahnya baik (matang) adalah sah.
Baik disyaratkan buah itu tetap dibatangnya sampai dipetiknya ataupun tidak. Larangan
menjual sesuatu dengan memakai syarat tidak dapat diterapkan disini. Bahkan hadits
sendiri menandaskan bahwa yang demikian itu boleh, jika disyaratkan oleh pembeli
maupun penjual. Mengenai memperjual-belikan tanaman yang sudah hijau, asal
disyaratkan bahwa tanaman itu dipotong oleh pembeli dibolehkan. Ibnu Hazm
membolehkannya tanpa syarat, karena larangan hanya mengenai biji-bijian seperti padi.
Jelasnya,hadis ini melarang kita menjual biji seperti padi sebelum keras bijinya dan
menjual tungkul berwarna putih.[12]

G. Jual Beli Wafa'


1. Pengertian Jual Beli Wafa
Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni
disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan
barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa (pelunasan), karena ada semacam
perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni mengembalikan
barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.
Dalam jual beli ini terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si pembeli
boleh memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatkan
yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk
disewakan tanpa izin si penjual. Jual beli ini juga mengandung hukum pegadaian.
2. Hukum dari jual beli wafa
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa ini.
Diantara ulama ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena ia
dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan)
kondisi darurat.
Diantara mereka ada yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah,
sehingga hukum-hukum pegadaian berlaku didalamnya.
Diantara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak,
karena adanya syarat saling mengembalikan.
Ada juga diantara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru
yang menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian.Namun tetap
dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena kebutuhan.
Yang benar, bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang
sebenarnya adalah riba, yakni dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara
tertunda, sementara fasilitas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan
sejenisnya adalah keuntungannya.[13]

H. Jual Beli Ghoror


Jualbeli ghoror adalah jual-beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu
dilarang dalam Islam sebab Rosulullah bersabda:

janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli sepertui itu
termasuk gharar( menipu ) ( HR.Ahmad)
Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam,
yaitu :
1. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam
kandungannya.
2. Tidak diketahui harga dan barang.
3. Tidak diketahui sifat barang atau harganya.
4. Tidak diketahui ukuran barang dan harganya.
5. Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti saya jual kepadamujika
Zaed datang.
6. Menghargakan dua kali pada satu barang.
7. Menjual barang yang diharapkan selamat.
8. Jual-beli husha, misalnya pembeli memegang tongkat, jikatongkatnya
jatuh maka wajib membeli.
9. Jual-beli munabadzanah, yaitu jual-beli dengan cara lempar-melempari,
seperti seseorang melempar bajunya, maka jadilah jual-beli.
10. Jual-beli mulamasah apabila mengusap baju atau kain, maka
wajibmembelinya.[14]

IV. KESIMPULAN
Jual beli dalam bahasa arab disebut bai yang secara bahasaadalah tukar
menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan
dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara atau
menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan
melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua
belah pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh ( )atau () .Jual beli
berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :Jual beli
salam (pesanan), Jual beli Muqayyadah (barter), Jual beli Muthlaq, Jual beli alat
penukar dengan alat penukar. Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau
akad dalam bidang ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah
mengupah, ataupun kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Jual beli wafak
merupakan Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni
disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan
barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa (pelunasan), karena ada semacam
perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni mengembalikan
barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.

[1]Syafei, Rahmat. FIQIH MUAMALAH, Bandung: PustakaSetia, 2001, h.101


[2] Muhammad, Quraish shihab, Tafsir al-Misbah vol 1 , penerb,Lentera hati, Jakarta:
2002, h.715-717
[3]Ilfi, Nur Diana. HADIS-HADIS EKONOMI, UIN MALANG PRESS, Malang: 2008,
h.125-134
[4]Hendi Suhendi, fiqh muamalah, rajawali pers, Jakarta,2010,h.78-83
[5] Adiwarman.Karim,FIKIH EKONOMI KEUANGAN ISLAM, DARUL HAQ,
Jakarta: 2004, h.95-117
[6]http://moeslemportal.blogspot.com/2012/07/asas-asas-transaksi-ekonomi-dalam-
islam.html.08/04.11.33
[7]Ibid ..h.249
[8]http://al-atsariyyah.com/etika-dalam-berdagang.html.08/04.11.25
[9] Ibid .h.621
[10] http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/2009/07/27/akad-jual-beli-dalam-islam/
[11] Muhammad, Hasbi As-Shiddieqy, KOLEKSI HADIS-HADIS HUKUM 7, PT.
PetrayaMitrajaya, Semarang: 2001.h.14-16
[12]Ibid .h.53-58
[13] Ibid h.128-130
[14]Syafei, Rahmat. FIQIH MUAMALAH, Bandung: PustakaSetia, 2001.h. 97-98

Anda mungkin juga menyukai