Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Sistem imun adalah bagian terpenting dari sistem pertahanan tubuh

(Baratawidjaja & Rengganis, 2004). Sistem imun melindungi tubuh dari masuknya

berbagai mikroorganisme seperti bakteri dan virus yang banyak terdapat di

lingkungan hidup. Dengan adanya sistem imun, tubuh mampu mempertahankan

diri dari infeksi yang dapat disebabkan oleh mikroorganisme, dimana

mikroorganisme akan selalu mencari inang untuk diinfeksi. Penurunan sistem imun

akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.

Imunomodulator merupakan senyawa yang dapat mempengaruhi sistem imun

dengan cara meningkatkan atau menekan faktor-faktor yang berperan dalam sistem

imun (Stites & Terr, 1990). Imunomodulator membantu tubuh untuk

mengoptimalkan fungsi sistem imun yang merupakan sistem utama yang berperan

dalam pertahanan tubuh di mana kebanyakan orang mudah mengalami gangguan

sistem imun (Suhirman & Winarti, 2007). Obat-obatan yang bersifat

imunosupresan, imunomodulator dan vaksin dirasa penting utamanya untuk

membantu mengatasi berbagai penyakit yang disebabkan karena adanya kerusakan

sistem imun seperti kanker dan juga AIDS (Shen & Louie, 1999). WHO

melaporkan kanker sebagai salah satu penyebab kematian tertinggi dengan 8,2 juta

kasus kematian dan 14 juta kasus baru pada 2012. 70% kematian akibat kanker

ditemukan di daerah Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Anonima,

1
2

2014). Pagano et al. (2004) melaporkan 20% kejadian kanker disebabkan oleh agen

penginfeksi seperti virus.

Imunomodulator dapat dibagi dua yaitu imunomodulator sintetis dan

imunomodulator alam. Imunomodulator alam memiliki efek samping yang lebih

ringan sehingga lebih aman dibanding dengan imunomodulator sintetik. Sudah

banyak tanaman yang diketahui berfungsi sebagai imunomodulator. Salah satu

tanaman yang terbukti dapat mempengaruhi respon imun antara lain adalah keladi

tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan sirih merah (Piper crocatum

Ruiz&Pav). Wahyudhi (2010) menyebutkan bahwa ekstrak n-heksana daun sirih

merah (Piper crocatum Lamk) mampu mempengaruhi titer imunoglobulin G (IgG)

pada tikus yang diinduksi vaksin hepatitis B. Selain itu, fraksi n-heksana ekstrak

etanolik daun sirih merah dilaporkan mampu meningkatkan fagositosis makrofag

pada dosis 10mg/kgBB, 50 mg/kg BB, dan 100 mg/kgBB (Werdyani, 2012).

Handayani (2012) melaporkan keladi tikus terbukti mampu memperbaiki

proliferasi sel limfosit pada tikus yang diinduksi cyclophosphamide (CPA) dengan

dosis optimal 250mg/kgBB. CPA merupakan salah satu agen terapi untuk kanker

yang berkaitan dengan sistem imun seperti leukemia dan Hodgkins disease.

Saat ini, penggunaan kombinasi dari beberapa tanaman sering dijadikan

pilihan. Seperti pada tanaman Leuzea carthamoides, Rhodiola rosea,

Eleutherococcus senticosus dan Schizandra chinensis yang secara tunggal

dilaporkan mampu mempengaruhi sistem imun. Ekstrak dari akar Rhodiola rosea

dilaporkan mampu meningkatkan sistem imun spesifik maupun non spesifik

(Siwicki et al., 2007). Eleutherococcus senticosus dilaporkan mampu


3

meningkatkan aktivasi sel T (Bohn et al., 1987). Polisakarida dari Schizandra

chinensis diketahui meningkatkan aktivitas fagositosis (Chen et al., 2012).

Kombinasi ekstrak dari tanaman-tanaman tersebut kemudian diuji pada pasien

kanker ovarium dan dilaporkan mampu meningkatkan jumlah sel T serta antibodi

IgG dan IgM (Kormosh, 2006). Penggunaan tunggal dari ekstrak keladi tikus dan

sirih merah terbukti mampu memodulasi sistem imun. Kombinasi dari keduanya

diharapkan memiliki aktivitas imunomodulator yang lebih baik daripada

penggunaannya secara tunggal dan untuk itu perlu dilakuan uji aktivitas

imunomodulator kombinasi eksrak daun sirih merah (ESM) dan keladi tikus (EKT)

pada sistem imun spesifik dan non spesifik pada tikus jantan galur Sprague-Dawley

(SD).

Rumusan Masalah

Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah

kombinasi ESM dan EKT mampu meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag,

proliferasi limfosit, dan titer antibodi tikus jantan galur SD?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kombinasi ESM dan

EKT mampu meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag, proliferasi limfosit dan

titer antibodi tikus jantan galur SD.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah pemberian

kombinasi ESM dan EKT mampu meningkatkan aktivitas imunomodulator secara


4

in vivo menggunakan hewan uji tikus jantan galur SD. Aktivitas imunomodulator

dilihat dari fagositosis makrofag, proliferasi limfosit, dan pengaruh terhadap titer

antibodi. Data yang didapat diharapkan mampu menjadi dasar pengembangan

kombinasi ekstrak etanolik umbi keladi tikus dan daun sirih merah sebagai suatu

produk fitofarmaka.

Tinjauan Pustaka

1. Sistem Imun

Sistem imun melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen. Sistem imun

mampu menghasilkan sel-sel serta molekul yang secara spesifik dapat mengenali

dan memberi respon berupa eliminasi berbagai unsur patogen (Kindt et al., 2006).

Sistem imun harus dapat mengenali antigen yang terdapat pada permukaan patogen

dan merespon patogen tersebut dengan menyingkirkannya melalui reaksi-reaksi

yang tepat (Kresno, 1996). Sistem imun mampu mengenali antigen dari substansi

kimiawinya yang menjadi pembeda antara satu antigen dengan antigen lainnya.

Setelah dikenali dan dibedakan antara antigen self dan nonself, sistem imun

kemudian menyingkirkan antigen nonself dengan berbagai macam respon (Kindt et

al., 2006). Dalam melaksanakan fungsinya sebagai pertahanan utama dari tubuh,

sistem imun memiliki dua jenis sistem imun yaitu:

Sistem Imun Non Spesifik

Respon imun non spesifik bekerja dengan memberi respon pada antigen

meskipun tidak ada ingatan mengenai antigen tersebut. Sistem ini bersifat alami

dengan pengertian bahwa sistem ini didapatkan sejak lahir dan tidak diakibatkan

oleh kontak terdahulu dengan agen penular penyakit (Delves et al., 2011). Sistem
5

imun non spesifik bekerja dengan memberikan respon langsung, dan biasanya

cepat, apabila terjadi infeksi oleh patogen potensial yang banyak terdapat di

lingkungan tanpa menunjukkan spesifisitas terhadap patogen tertentu.

Jalan yang termudah menghindar dari infeksi adalah mencegah

mikroorganisme-mikroorganisme berhasil masuk ke dalam tubuh. Garis pertahanan

utama adalah kulit, yang apabila utuh, tidak dapat ditembus oleh hampir seluruh

agen-agen penular penyakit (Delves et al., 2011).. Kebanyakan mikroba tidak dapat

menembus kulit yang sehat, namun beberapa dapat masuk tubuh melalui kelenjar

sebaseus dan folikel rambut. pH asam keringat dan sekresi sebaseus, berbagai asam

lemak yang dilepas kulit mempunyai efek denaturasi terhadap protein membran

sehingga dapat mencegah infeksi yang dapat terjadi melalui kulit (Kresno, 1996).

Pertahanan lain terdapat pada saluran pernafasan, pencernaan dan saluran

urogenital. Pada saluran pernafasan terdapat mukosa dan sel-sel silia yang dapat

rusak karena pengaruh lingkungan, ataupun karena kerusakan bawaan. Pada saluran

pencernaan, terdapat banyak enzim dan juga empedu yang menyebabkan sebagian

besar bakteri tidak mampu bertahan dari kerusakan. Saluran urogenital bertahan

dengan adanya mukosa pada vagina dan uretra (Flaherty, 2011).

Apabila mikroorganisme berhasil masuk ke dalam tubuh, dua cara pertahanan

utama berperan yaitu penghancuran mikroorganisme oleh senyawa penghancur

seperti enzim bakterisidal dan mekanisme fagositosis yang arti sesungguhnya

dimakan oleh sel (Delves et al., 2011). Fagosit, sel Natural Killer (NK), sel mast

dan eosinofil berperan dalam sistem imun non spesifik untuk pertahanan selular.

Sel-sel imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. (Baratawidjaja
6

& Rengganis, 2009). Beberapa komplemen serta mediator sistem imun, seperti

interferon dan interleukin juga berperan dalam sistem imun non spesifik (Burmester

& Pezzutto, 2003). Komplemen merupakan glikoprotein yang dapat secara

langsung berinteraksi dengan permukaan bakteri tanpa adanya keterlibatan dari

antibodi. Jalur alternatif yang melibatkan faktor komplemen, seperti misalnya C3,

dapat menyebabkan kerusakan jaringan secara signifikan akibat adanya inflamasi

akut. Interferon (IFN), kumpulan glikoprotein antiviral , diklasifikasikan menjadi

IFN-, IFN- dan IFN-. IFN- dihasilkan oleh limfosit dan makrofag. (Shen &

Louie, 1999).

Inflamasi merupakan salah satu respon imun akibat masuknya agen

penginfeksi. Mekanisme respon akibat adanya inflamasi adalah sebagai berikut :

terjadi pelepasan mediator sistem imun, menyebabkan pembuluh darah melebar dan

menjadi lebih mudah ditembus. Granulosit kemudian muncul pada lokasi terjadinya

inflmasi, yang disusul oleh makrofag sebagai salah satu komponen respon imun

non spesifik untuk difagositosis (Burmester & Pezzutto, 2003).

Sistem Imun Spesifik

Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal partikel,

molekul atau benda yang dianggap asing oleh tubuh. Hal yang membedakan antara

sistem imun spesifik dan non spesifik antara lain adalah dalam hal spesifitas dan

pembentukan memori terhadap antigen tertentu. Sistem imun spesifik akan segera

mengingat benda/partikel yang dianggap asing yang masuk ke tubuh dan

menimbulkan sensitisasi. Dari ingatan tersebut, apabila terdapat antigen yang sama
7

kembali masuk ke dalam tubuh, sistem imun spesifik akan mengenali dan segera

menghancurkannya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).

Dalam hal spesifisitas, sistem imun spesifik mampu membedakan antara 1

molekul dengan molekul lainnya. Perbedaan antar molekul ini terkadang hanya

disebabkan perbedaan satu asam amino saja. Selain spesifisitas, kemampuan

mengingat dan kemampuan mengenali ribuan struktur berbeda, sistem imun

spesifik juga mampu membedakan antara antigen self dengan nonself (Kindt et al.,

2006). Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular:

Gambar 1. Tipe dan fungsi sel dalam sistem imun spesifik (Abbas et al., 2011)

Secara umum, sistem imun spesifik terdiri dari sistem imun humoral dan selular.
Sistem imun humoral bekerja dengan sekresi antibodi oleh sel B. Sementara sistem
imun seluler bekerja dengan aktivasi makrofag oleh sel Th dan degradasi sel oleh
Tc

1) Sistem imun spesifik humoral


Dalam sistem imun spesifik humoral, limfosit yang berperan adalah limfosit B

atau sel B. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi,
8

berdiferensiasi, dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi

(Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sel B akan memproduksi antibodi yang

berbeda-beda. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibodi,

diperlukan bantuan limfosit T-helper (CD4+ T cell/ Th) yang atas sinyal-sinyal

tertentu baik melalui Major Histocompatibility Complex (MHC) maupun sinyal

yang dilepaskan oleh makrofag merangsang produksi antibodi. Sel Th juga

membantu menghasilkan antibodi yang memiliki afinitas tinggi pada antigen.

Proses ini membantu meningkatan kualitas dari respon imun humoral (Abbas et al.,

2011). Selain oleh sel Th, produksi antibodi juga diatur oleh sel-sel T-supressor,

sehingga produksi antibodi seimbang dan sesuai dengan yang dibutuhkan (Kresno,

1996).

Sel B dan sel T dibedakan berdasarkan pada jenis protein dan lipid yang berada

pada permukaannya yang disebut cluster of differentiation (CD) markers. Secara

morfologi sel T dan sel B sulit dibedakan karena morfologinya mirip. Seluruh sel

B mengekspresikan penanda CD19-21 (Flaherty, 2011).

2) Sistem Imun Spesifik Selular


Limfosit yang lebih berperan dalam sistem imun ini adalah Limfosit T atau Sel

T. Sel T bermaturasi di organ timus. Sel T berdiferensiasi menjadi 2 macam sel T,

yaitu sel T-penolong (T-helper/Th) dan sel T-sitotoksik (CTL/Tc). Sel T-penolong

akan mengenali suatu antigen melalui ikatan dengan MHC kelas II yang terdapat

pada permukaan sel makrofag. Sementara sel Tc menghancurkan mikroorgansme

intrasel yang disajikan melalui MHC kelas I secara langsung (cell to cell) (Kresno,

1996). Sel Th yang teraktivasi akan berproliferasi menjadi beberapa sel efektor.

Kemudian dapat menghasilkan sitokin-sitokin, menghasilkan substansi yang


9

membantu fagositosis, menstimulasi pembentukan antibodi dan juga limfosit. Sel

Tc berproliferasi dan bertanggung jawab untuk membunuh mikroba dalam

sitoplasma (Abbas et al., 2011).

2. Imunomodulator

Imunomodulator berfungsi untuk meningkatkan atau menekan respon imun,

dengan cara menstimulasi (imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi

imun yang abnormal (imunosupresan) (Suhirman & Winarti, 2007). Untuk

menstimulasi sistem imun dapat digunakan bahan yang dapat meningkatkan sistem

imun. Bahan yang dapat meningkatkan sistem imun antara lain bahan biologis

(limfokin, interferon, antibodi monoklonal) dan bahan sintesis (levamisol,

isoprinosin, muramil dipeptide [MDP]) (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).

Imunosupresan adalah cara untuk menekan respon imun baik respon imun spesifik

maupun non spesifik. Reaksi penolakan akibat transplantasi dan penyakit-penyakit

autoimun dapat ditekan menggunakan agen imunosupresan (Stites & Terr, 1990).

Imunomodulator sebagai agen terapi pada penyakit-penyakit infeksi dipandang

menjanjikan. Imunomodulator tertentu memberikan efek samping yang lebih

rendah dan yang lainnya bahkan memberikan kemungkinan kecil untuk

menyebabkan terjadinya resistensi pada terapi antimikroba (Masihi, 2001).

3. Makrofag

Sel makrofag berasal dari promonosit tulang yang telah terdiferensiasi menjadi

monosit darah dan akhirnya tinggal di jaringan sebagai makrofag dewasa dan

membentuk sistem fagosit mononuklear. Maturasi dimulai dari perubahan

monoblast, menjadi promonosit dan akhirnya menjadi monosit. Monosit kemudian


10

berpindah ke jaringan lain (selama 1 hingga 2 hari) dan mengalami maturasi

menjadi makrofag (Bellanti, 1985). Makrofag ditemukan di seluruh jaringan ikat

dan di sekitar membran dasar dari pembuluh darah kecil dan terbanyak terdapat di

paru (makrofag alveolar), hati (sel-sel Kupffer), permukaan sinusoid-sinusoid

limpa, sinus-sinus meduler kelenjar getah bening pada posisi yang strategis untuk

menyaring bahan-bahan asing, sel mesangial (glomerulus ginjal), otak, dan

osteoklas dalam tulang (Roitt, 1994). Selain itu makrofag juga terdapat di cairan

rongga peritoneal, usus dan kulit.

Makrofag berperan dalam sistem imun baik spesifik maupun non spesifik.

Fungsi utama dari makrofag adalah fagositosis dan sebagai APC (Antigen

Presenting Cell). Makrofag yang teraktivasi dapat menangkap dan memakan

antigen, mikroorganisme asing yang masuk, dan partikel-partikel yang tidak larut.

Aktivasi makrofag dimulai dari adanya interaksi dengan antigen dan selanjutnya

akan menghasilkan sitokin yang dilepas oleh sel Th dan oleh mediator respon

inflamasi (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).

Makrofag memiliki 3 organel : Lisosom, Endosom dan Mitokondria. Lisosom

mengandung enzim hidrolitik multiple, seperti ribonuklease dan fosfatase, yang

dapat keluar dari fagosom dan sel. Endosom adalah vesikel intraselular yang

diproduksi melalui endositosis serta memiliki pH asam yang mengandung enzim

proteolitik. Enzim ini kemudian dapat memecah protein yang selanjutnya dapat

diikat oleh MHC kelas II. Mitokondria diperlukan dalam metabolisme sel, menjadi

tempat terjadinya respirasi, transport electron, fosforilasi oksidatif dan reaksi siklus

asam sitrat yang merupakan reaksi penghasil energi. (Baratawidjaja & Rengganis,
11

2009). Makrofag dapat hidup lama dan dapat melepas lisozim, komplemen,

interferon dan sitokin. Makrofag juga dapat memproduksi berbagai faktor biologis

aktif seperti interleukin dan interferon- (IFN-) (Abbas & Lichtman, 2005).

Peran utama dari sel-sel fagosit adalah menyingkirkan benda-benda asing dari

tubuh. Untuk itu, pertama-tama sel-sel ini harus terlebih dahulu bergerak menuju

sasaran dan berinteraksi dengan antigen asing (chemotaxis). Kemudian diikuti oleh

fagositosis, yaitu proses ingesti antigen/partikel asing tersebut (Bellanti, 1985).

Secara umum tahap fagositosis terdiri dari penarikan bakteri, pengenalan dan

pengikatan, endositosis, fusi fagosom-lisosom, pemusnahan dan pencernaan.

Pengenalan dipengaruhi beberapa faktor seperti hidrofobisitas dan tegangan

permukaan dari partikel yang akan dicerna. Sementara dari sel fagosit, terdapat 2

tipe reseptor yang berperan: (1) reseptor untuk fragmen antibodi dan (2) reseptor

untuk komplemen (Bellanti, 1985). Antibodi dan komplemen ini sama-sama dapat

meningkatkan fagositosis. Pemusnahan antigen dapat terjadi karena di dalam sel

fagosit terdapat berbagai bahan antimikrobial seperti lisosom, hidrogen peroksida

dan mieloperoksidasi (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).

Pada sistem imun non spesifik, dikenal PAMPs (Pathogen-associated

molecular patterns). PAMPs adalah struktur molekul pada patogen yang dapat

dikenali oleh reseptor sel-sel fagosit. Reseptor yang penting untuk pengenalan ini

adalah Toll-Like receptor (TLRs). Fagositosis dapat dipercepat saat PAMPs dan

TLRs pada makrofag berinteraksi. Interaksi ini menginduksi pelepasan interleukin

6 dan interleukin 12 yang berperan dalam proliferasi CD8+ dan memudahkan

pelepasan sel-sel fagosit untuk segera keluar dari sistem vaskular. Pelepasan
12

interleukin 6 akan mempengaruhi produksi antibodi oleh sel B (Flaherty, 2011).

TLRs dapat ditemukan di limfosit, makrofag dan sel dendritik.

Salah satu metode untuk mengamati aktivitas fagositosis sel makrofag adalah

metode fagositosis menggunakan latex beads. Parameter yang digunakan untuk

menilai aktivitas fagositosis makrofag diantaranya adalah indeks fagositosis dan

rasio fagositosis makrofag. Rasio fagositosis makrofag ditetapkan berdasarkan

jumlah makrofag yang aktif melakukan fagositosis tiap 100 sel makrofag yang

dinyatakan dalam persen dan indeks fagositosis makrofag ditetapkan berdasarkan

jumlah lateks yang difagositosis oleh 100 makrofag (Nurmeilis et al., 2008).

4. Limfosit

20-40% dari seluruh sel darah putih merupakan limfosit. Limfosit dapat

ditemukan pada sirkulasi darah, namun dapat pula ditemukan pada organ penyusun

sistem limfoid, seperti limpa, tempat inisiasi awal terjadinya respon imun. Limfosit

berukuran kecil serta berbentuk bulat. Limfosit diklasifikasikan dalam 2 kelas: 1)

small lymphocytes 2) large granular lymphocytes. Small lymphocytes tidak

bergranul dan sitoplasmanya kecil sedangkan large granular lymphocytes memiliki

granul dan sitoplasma yang besar (Flaherty, 2011). Large granular lymphocytes

berfungsi sebagai NK sel, salah satu komponen minor dalam sistem imun (Shen &

Louie, 1999). NK sel menginduksi terjadinya apoptosis pada sel tumor dan sel-sel

yang terinfeksi oleh virus (Flaherty, 2011).

Limfosit berasal dari stem cell pada sumsum tulang dan terdiferensiasi menjadi

sel B dan sel T. Sel T merupakan limfosit yang bermigrasi ke organ timus dan

menjadi matang disana. Sel T matang kembali berdiferensiasi menjadi sel Th dan
13

sel Tc. Terdapat tipe lain dari sel T yakni sel T-supressor (Ts). Masing-masing

memiliki fungsi berbeda. Th berfungsi untuk membantu pembentukan antibodi. Th

menghasilkan sitokin untuk aktivasi sel B, sel Tc dan makrofag. Sementara Tc,

yang berdiferensiasi menjadi CTL, berfungsi untuk membunuh sel-sel yang telah

terinfeksi (Kindt et al., 2006).

Aktivasi dan maturasi dari Sel B dibantu oleh sel Th. Dengan bantuan sel Th,

sel B membentuk antibodi. Terdapat protein pada permukaan sel B yang disebut

dengan BCR (B Cell Receptor). BCR memungkinkan sel B berikatan dengan

antigen. Sel B yang berikatan dengan antigen, dan mendapatkan sinyal dari sel T,

dapat terdiferensiasi menjadi Plasma B Cell dan Memory B Cell. Plasma B Cell

akan menghasilkan antibodi, membantu proses fagositosis serta ativasi dari sistem

komplemen. Memory B Cell merupakan sel yang spesifik terhadap antigen tertentu,

mampu bertahan dalam waktu yang lama dan akan segera merespon paparan dari

antigen yang sama.

Antigen bertemu dengan limfosit salah satunya pada saat resirkulasi limfosit.

Limfosit bersirkulasi baik dari satu organ sistem limfoid ke organ lainnya, ke

jaringan limfe maupun darah. Sirkulasi ini menguntungkan karena antigen menjadi

mudah ditemui. Sirkulasi juga akan mempermudah aliran limfosit menuju ke

jaringan/organ tertentu apabila jaringan/organ tersebut mengalami defisiensi

limfosit akibat infeksi (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).

Metode MTT merupakan salah satu metode untuk menghitung proliferasi dari

limfosit. Metode MTT menggunakan prinsip kolorimetri menggunakan garam

tetrazolium yang dapat mengkuantifikasi jumlah sel yang hidup ataupun proliferasi
14

dari sel. Keuntungan dari metode ini adalah hanya mendeteksi sinyal dari sel hidup

secara cepat dan presisi. Garam tetrazolium berwarna kuning akan berubah menjadi

ungu pada sel yang hidup (Mosmann, 1983). Perubahan warna terjadi karena

pengaruh enzim dehidrogenase. Sampel kemudian dikuantifikasi menggunakan

spektrofotometer dan dibandingkan absorbansinya dengan kontrol. Absorban yang

lebih tinggi dari kontrol mengindikasikan terjadi proliferasi yang lebih tinggi

(Anonim, 2011).

5. Limpa

Limpa merupakan organ dalam tubuh yang terletak di sisi kiri tubuh dan dekat

dengan punggung, tepatnya di belakang organ lambung. Limpa merupakan organ

penyusun sistem limfoid, selain timus dan juga tonsil. Fungsi limpa antara lain

adalah menyaring sel darah merah yang sudah tua dan merespon atas adanya partikel

asing yang masuk ke dalam tubuh melalui darah yang dapat menimbulkan infeksi.

Limpa bereaksi aktif terhadap partikel asing yang masuk dan terbawa pada darah

(Kresno, 1996). Limpa terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih. Fungsi degradasi

eritrosit tua dilakukan di pulpa merah dan pulpa putih tersebar di dalam pulpa merah

(Ward et al., 1999). Pulpa merah terdiri atas sinus-sinus dan menyaring material

asing dan sel darah merah tua. Sinus merupakan tempat penyimpanan platelet dan

sel darah merah, dimana lebih dari 30% platelet tersimpan disini. Makrofag juga

berperan dalam penghancuran sel darah merah yang tua maupun rusak di dalam

sinus (Flaherty, 2011) Selain masuk melalui darah, antigen juga dapat melalui aliran

pembuluh getah bening. Antigen yang masuk melalui pembuluh getah bening akan

disaring oleh kelenjar getah bening (Abbas & Lichtman, 2005).


15

6. Antibodi

Merupakan bagian dari sistem imun humoral. Antibodi dikenal juga sebagai

immunoglobulin. Antibodi merupakan salah satu penentu kemampuan tubuh untuk

mempertahankan imunitas. Antibodi dihasilkan untuk melawan antigen asing, yang

masuk ke dalam tubuh melalui proses peradangan. Antibodi memiliki 2 fungsi

utama: 1) antibodi secara spesifik berikatan dengan patogen yang akan menginisiasi

respon imun dan 2) antibodi mengundang sel-sel imun yang lain akan

menghancurkan patogen segera setelah terjadi ikatan antara antibodi dengan

antigen. Molekul antibodi sangat bervariasi sehingga dengan adanya variasi

dimungkinkan antibodi berinteraksi dengan banyak antigen. Variasi ini muncul

karena masing-masing sel B menghasilkan antibodi dengan spesifisitas yang

berbeda-beda.

Antibodi berinteraksi dengan antigen melalui bagian kecil dari antigen yang

disebut epitop. Antibodi memiliki struktur berupa empat rantai polipeptida dengan

2 rantai berat dan 2 rantai ringan. Kedua jenis rantai dihubungkan oleh suatu

jembatan disulfida untuk membentuk suatu molekul yang berbentuk Y. Pada kedua

ujung molekul yang berbentuk Y terdapat daerah yang disebut daerah variabel (V).

Daerah V rantai berat dan ringan membentuk suatu kontur yang berfungsi sebagai

tempat pengikatan antigen. Selain daerah variable, terdapat pula daerah konstan

(C). Daerah C bertanggung jawab atas persebarannya dalam tubuh dan mekanisme

pembuangan antigen yang dikenalinya. Perbedaan daerah konstan merupakan dasar

dari pengelompokan kelas-kelas utama antibodi: IgG, IgA, IgM, IgE, dan IgD

(Janeway, 2001). Antibodi memiliki peran berbeda dan berada pada tempat yang
16

berbeda. IgA banyak ditemukan di saluran pernafasan dan pencernaan, utamanya

di lambung untuk menetralkan mikroba. IgG banyak ditemukan di sekitar plasenta

untuk melindungi janin. IgG memiliki periode hidup cukup panjang ( 3 minggu)

(Abbas et al., 2011).

Titer antibodi pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode ELISA tidak

langsung. Dalam pelaksanaannya, ELISA menggunakan reaksi enzim dan substrat

sebagai indikator. ELISA menggunakan metode kolorimetri dimana sampel berisi

antibodi akan direaksikan dengan konjugat enzim dan antibodi sekunder. Enzim

akan bereaksi dengan substrat dan memunculkan warna yang intensitasnya dapat

diukur dan dinyatakan sebagai Optical Density (OD).

7. Sirih Merah

Sistematika Sirih Merah

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae

Genus : Piper

Spesies : Piper crocatum


Gambar 2. Daun sirih merah (Piper
crocatum Ruiz&Pav) (dokumentasi
(Backer & Van den Brink , 1963) pribadi)
17

Sirih merah termasuk tumbuhan yang menjalar, terkadang hidup menumpang

pada batang tanaman lain. Panjang keseluruhan dari tanaman ini dapat mencapai

puluhan meter. Daunnya berbentuk hati, berwarna hijau dengan semburat pink.

Bercak kemerahan nampak pada permukaan atas daun. Panjang daun sekitar 15-20

cm dan permukaannya mengkilap. Tanaman ini tidak berbunga. Batangnya

membentuk sulur dan memiliki ruas.

Analisis kandungan tanaman menggunakan kromatografi lapis tipis

menunjukkan sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid, polifenol, tannin,

saponin dan minyak atsiri (Ho, 1992 cit Muhtadi et al., 2013). Melalui analisis

dengan menggunakan GC-MS, diketahui sirih merah dan sirih hijau mengandung

antara lain alpha, beta dan gama terpinen, phellandrene, carcophyllene dan

garmacrene. Kustiawan (2012) mengisolasi senyawa dari daun sirih merah yang

diidentifikasi sebagai 2-allyl-4-(1-hydroxy-1-(3,4,5-trimethoxyphenyl)

propan-2-yl)-3,5-dimethoxycyclohexa-3,5-dienone dan 2-allyl-4-(1-acetyl-1-

(3,4,5-trimethoxyphenyl) propan-2-yl)-3,5-dimethoxycyclohexa-3,5-dienone

dan dilaporkan isolat tersebut memiliki aktivitas imunostimulan.

Apriyanto (2011) dan Indriyani (2011) melaporkan pemberian ekstrak etanolik

daun sirih merah (Piper crocatum) memberikan efek imunomodulator dengan

menaikkan indeks fagositosis makrofag tikus, namun tidak mempengaruhi

proliferasi limfosit. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Hartini (2014) yang

melaporkan isolat neolignan dari daun sirih merah mampu meningkatkan aktivitas

fagositosis makrofag namun tidak meningkatkan proliferasi limfosit.


18

8. Keladi Tikus

Sistematika keladi tikus

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Arales

Famili : Araceae

Genus : Typhonium

Spesies : Typhonium flagelliforme

(Backer & Van Den Brink, 1968) Gambar 3. Tanaman Keladi


Tikus (Typhonium flagelliforme
(Lodd.) Blume (Anonimb, 2014)

Morfologi keladi tikus bentuk daun berlekuk pada bagian bawah saat dewasa,

menajam pada ujungnya. Daun tunggal berwarna hijau, dengan pinggir rata. Warna

batang hijau dan warna pangkal batang putih. Umbi berbentuk agak bulat, dengan

warna umbi bagian luar cokelat muda dan keputihan. Warna umbi bagian dalam

putih. Keladi tikus disebut demikian karena bunganya yang berbentuk hampir

serupa dengan ekor tikus. Bunganya berwarna merah tua pada bagian dalam.

(Utami & Puspaningtyas, 2013).

Huang et al. (2004) melaporkan senyawa yang terkandung dalam keladi tikus,

yakni glikosida fenilpropanoid dan sterol, memiliki aktivitas antihepatotoksik.

Nobakht et al. (2009) melaporkan bahwa kandungan senyawa kimia pada

Typonium flagelliforme adalah alkaloid dan flavonoid, dan diketahui bahwa


19

kandungan flavonoid pada tanaman terutama dalam jumlah besar memiliki aktivitas

pencegahan penyakit.

. Typhonium flagelliforme dilaporkan sebagai salah satu tanaman dengan

potensi besar sebagai antibakteri dan antioksidan ( Mohan et al., 2010). Selain

memiliki aktivitas antikanker, antibakteri dan antioksidan, keladi tikus juga

dilaporkan memiliki aktivitas dalam menekan batuk, antiasma, antiinflamasi dan

antinyeri (Zhong et al., 2001). Nurrochmad (2015) melaporkan ekstrak etanolik

keladi tikus mampu memperbaiki proliferasi limfosit pada tikus yang terinduksi

CPA, meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag, dan mengurangi efek

imunosupresan pada produksi sitokin seperti TNF- dan IL-I.

Landasan Teori

Tingginya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit sistem imun

menunjukkan bahwa agen imunomodulator dibutuhkan dan penting untuk

dikembangkan. Imunomodulator mampu mengoptimalkan fungsi sistem imun

sebagai pertahanan utama tubuh, baik secara imunosupresan maupun secara

imunostimulan. Sudah banyak tanaman yang dilaporkan memiliki aktivitas

imunomodulator, diantaranya adalah keladi tikus dan sirih merah. Hartini (2014)

melaporkan isolat daun sirih merah mampu meningkatkan aktivitas fagositosis

makrofag namun tidak meningkatkan proliferasi limfosit hewan uji. Wahyudhi

(2010) menyebutkan bahwa ekstrak n-heksana daun sirih merah (Piper crocatum

Lamk) mampu mempengaruhi titer imunoglobulin G (IgG) pada tikus yang

diinduksi vaksin hepatitis B. Hasil penelitian lain oleh Nurrochmad (2015)

melaporkan ekstrak etanolik umbi keladi tikus mampu mengurangi efek


20

imunosupresan pada proliferasi limfosit tikus yang terinduksi CPA. Sirih merah dan

keladi tikus masing-masing terbukti memiliki aktivitas imunomodulator apabila

digunakan secara tunggal. Pada penelitian ini, sirih merah dan keladi tikus

dikombinasikan dengan harapan kombinasi keduanya memiliki aktivitas

imunomodulator yang lebih baik daripada penggunaannya secara tunggal.

Diharapkan kombinasi sirih merah dan keladi tikus memberikan pengaruh yang

sinergis pada sistem imun dengan meningkatkan sistem imun baik sistem imun non-

spesifik maupun sistem imun spesifik.

Hipotesis

Pemberian kombinasi ESM dan EKT mampu meningkatkan aktivitas

fagositosis makrofag, proliferasi limfosit serta titer antibodi pada tikus jantan galur

SD.
21

Anda mungkin juga menyukai