Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN

TINGKAT RUMAH TANGGA


(Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)
Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A Yani No.70 Bogor. 16161

Abstrak

Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah tidak menjamin adanya ketahanan
pangan tingkat rumah tangga/individu. Berangkat dari hipotesis ini, tulisan ini mencoba memotret
secara bersamaan ketahanan pangan di tingkat wilayah dan rumah tangga. Diharapkan melalui
tulisan ini dapat dilihat karakteristik wilayah dan rumah tangga rawan pangan sebagai pedoman
bagi pengambil kebijakan dalam melaksanakan program-programnya dalam peningkatan
ketahanan pangan wilayah dan rumah tangga. Analisis dilakukan dengan menggunakan data
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999. Analisis ketahanan pangan rumah
tangga dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan. Sementara untuk menganalisis
ketahanan pangan tingkat regional dengan metode perbandingan antara tingkat ketersediaan
pangan di wilayah dengan norma kecukupan energi (NKE) yang dibutuhkan. Hasil kajian
menunjukkan bahwa secara regional status ketahanan pangan wilayah (provinsi) tergolong tahan
pangan. Namun demikian masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan cukup
tinggi. Proporsi rumah tangga rawan pangan di Sulawesi Utara pada tahun 1999 sebesar 20,8
persen dan yang termasuk tahan pangan sebesar 18,3 persen. Jumlah persentase rawan
pangan di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Sebaliknya, persentase rumah
tangga tahan pangan di perkotaan lebih besar dibanding di pedesaan. Oleh karena itu, prioritas
perhatian untuk meningkatkan derajat ketahanan pangan perlu diarahkan kepada rumah tangga
pedesaan.

Kata kunci : ketahanan pangan rumah tangga, ketahanan pangan regional, bantuan pangan

PENDAHULUAN

Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pemba-


ngunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi manusia.
Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup,
terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk
menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu. Dalam program Pembangunan
Pertanian, Kabinet Persatuan Nasional dijelaskan bahwa ketahanan pangan mencakup
tingkat rumah tangga dan tingkat nasional/regional (Anonimous, 1999). Dalam penger-
tian operasional, diterjemahkan bahwa ketahanan pangan menyangkut ketersediaan,
aksesibilitas (keterjangkauan) dan stabilitas pengadaannya.

49
Persediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin
adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga/individu (Saliem dkk,
2001). Sawit dan Ariani (1997) mengemukakan bahwa penentu ketahanan pangan di
tingkat nasional, regional dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan,
persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah
tangga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan
resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Indikator
ketahanan pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran rumah tangga. Semakin
besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah ketahanan
pangannya (Working, 1943 dalam Pakpahan dkk., 1993).
Berdasarkan norma gizi, secara garis besar konsumsi pangan yang
menghasilkan tubuh sehat perlu mengandung unsur pangan sumber karbohidrat,
protein, lemak, dan vitamin/mineral dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Sumber
karbohidrat terutama terdapat pada serealia dan umbi-umbian, protein terdapat pada
daging, susu, telur dan kacang-kacangan, lemak terdapat pada biji-bijian berminyak,
vitamin dan mineral umumnya terdapat pada sayuran dan buah-buahan. Keseimbangan
dalam mengkonsumsi berbagai jenis pangan diatas mencerminkan kualitas konsumsi
pangan.
Berdasarkan hal di atas tulisan ini bertujuan menganalisis tingkat ketahanan
pangan regional (provinsi) dari sisi ketersediaan berbagai jenis pangan yang terkait
dengan kandungan gizi yang dibutuhkan penduduk dan dibandingkan dengan pola
pangan harapan nasional. Bertitik tolak dari data ketahanan pangan wilayah (provinsi),
tulisan ini juga mencoba melihat tingkat ketahanan pangan rumah tangga dari sisi
konsumsi.

METODE PENELITIAN

Cakupan Analisis
Analisis ketahanan pangan rumah tangga dibedakan menurut wilayah
pedesaan dan perkotaan serta agregat berdasarkan data Susenas 1999. Sementara itu
analisis pangan tingkat regional dilakukan dengan berdasar keragaan produksi,
persediaan (stok) dan perdagangan pangan di wilayah yang bersangkutan. Data yang
digunakan adalah data Neraca Bahan Makanan (NBM) selama lima tahun (1995 -1999).

Metode Analisis
Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Regional
Untuk mengukur ketahanan pangan tingkat regional, analisis dilakukan dengan
menggunakan pendekatan ketersediaan energi tingkat provinsi dibandingkan dengan
norma kecukupan energi, dengan menggunakan rumus berikut:

50
SPKEi
Kpi =
(1,2 NKE)
Dimana :
Kpi : ketahanan pangan di wilayah (provinsi)
SPKEi : ketersediaan energi tingkat konsumsi di provinsi (Kkal/kap/hari)
NKE : norma kecukupan energi

Dengan memperhatikan rumus tersebut dan besarnya konstribusi pangan karbohidrat


terhadap konsumsi energi total (K) maka dapat ditentukan status ketahanan pangan di
wilayah yang bersangkutan (Suhardjo dan Martianto, 1996 dalam Saliem dkk., 2001),
dengan kriteria sebagai berikut :
Tidak tahan (rawan pangan), jika KP < K/1,2
Tahan pangan (tidak rawan) kurang terjamin, jika K/1,2 <KP <K
Tahan pangan (tidak rawan) terjamin, jika KP > K
Dimana: KP = tingkat ketahanan pangan regional
K = besarnya konstribusi pangan karbohidrat terhadap konsumsi energi total
1,2 merupakan angka ketetapan (dengan catatan sudah diperhitungkan
kelebihan 20% dari kecukupan minimum)

Untuk mengetahui tingkat kecukupan gizi digunakan Norma Kecukupan Gizi


(NKG) menurut WNPG VI, NKG yang dihitung dalam studi ini hanya untuk energi (NKE).
NKE regional dihitung berdasarkan komposisi penduduk di daerah (tingkat provinsi)
yang proporsi penduduknya disebar menurut kelompok umur sesuai dengan
pengelompokan umur di WNPG dengan menggunakan metoda pengali Sprangue
(Sprangue Multipliers).

Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah tangga


Untuk mengukur derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga, digunakan
klasifikasi silang dua indikator ketahanan pangan, yaitu pangsa pengeluaran pangan
dan kecukupan konsumsi energi (Kkal) (Jonsson and Toole, 1991 dalam Maxwell and
Frankenberger, 1992) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut
tampak bahwa batasan 80 persen dari konsumsi energi (per unit ekivalen dewasa) akan
dikombi-nasikan dengan pangsa pengeluaran pangan >60 persen dari total pengeluaran
rumah tangga.

51
Tabel 1. Ketahanan Pangan : Kecukupan Energi dan Pangsa Pengeluaran Pangan

Pangsa pengeluaran pangan


Konsumsi energi per unit
Rendah Tinggi
ekivalen dewasa
(<60 % pengeluaran total) (>60 % pengeluaran total)
Cukup
(>80 % syarat kecukupan 1. Tahan Pangan 2. Rentan Pangan
energi)
Kurang
(< 80 % syarat kecukupan 3. Kurang Pangan 4. Rawan Pangan
energi)
Sumber : Jonsson and Toole, 1991 dalam Maxwell and Frankenberger. 1992

Perhitungan Konsumsi
a. Konsumsi Energi Riil
KE = KErt/ JUED, dimana
KE : Konsumsi energi per equivalen orang dewasa
KErt : Konsumsi energi riil rumah tangga
JUED : Jumlah Unit Equivalen orang dewasa
(satu unit equivalen orang dewasa adalah equivalen dengan seorang
pria yang berusia 20 45 tahun, dengan berat badan sekitar 62 kg
dengan aktivitas sedang)
b. Konsumsi Energi Seharusnya
KEsh = 2800 X JUED
KEsh : Konsumsi seharusnya
JUED : Jumlah unit equivalen orang dewasa

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Regional


Perkembangan Produksi dan Keluar Masuk Komoditas Pangan
Pengadaan pangan yang cukup dan memenuhi persyaratan gizi bagi penduduk
merupakan salah satu masalah yang memerlukan penanganan serius. Program
pembangunan pertanian di bidang produksi pangan pada hakekatnya merupakan upaya
peningkatan produksi pangan.
Produksi pangan pada dasarnya terdiri dari pangan nabati yang berasal dari
tumbuhan dan hewani yang berasal dari hewan/ternak dan ikan. Pertumbuhan produksi

52
pangan (dari tanaman) di suatu wilayah bersumber dari dua faktor : (1) pertumbuhan
areal panen; dan (2) peningkatan produktivitas. Pangan asal ternak antara lain
dipengaruhi oleh populasi ternak dan produktivitas. Sementara itu hasil perikanan
sangat tergantung dari sumberdaya perikanan yang ada dan kegiatan penangkapan
serta budidaya perikanan. Rataan produksi dan tingkat pertumbuhan selama kurun
waktu 1995-1999 di Provinsi Sulawesi Utara disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Produksi Komoditas Pangan dan Laju Perkembangannya di Sulawesi Utara,
Tahun 1995-1999

Rataan Produksi 1995- Laju Pertumbuhan


Jenis Komoditas/Pangan
1999 (ton) (%/tahun)
Sumber Karbohidrat
- Beras 231.455 -5,86
- Jagung 168.819 3,87
- Ubi Jalar 25.354 -11,66
- Ubi Kayu 55.117 -17,08
- Sagu 6.016 18,30
Sumber Protein Nabati
- Kacang Tanah 6.286 6,18
- Kedelai 21.414 -36,71
- Kacang Hijau 4.021 -7,99
Sumber Lemak
- Minyak Kelapa 152.599 2,14
Sumber Vitamin dan Mineral
- Pisang 26.860 8,57
- Pepaya 10.842 -20,13
- Mangga 10.029 18,62
- Tomat 21.506 -15,29
- Cabe 11.279 -22,95
Pangan Hewani
- Daging Sapi 3.542 -0,25
- Daging Babi 8.836 -14,37
- Daging Ayam Kampung 1.140 -2,42
- Daging Ayam Ras 1.625 24,79
- Telur ayam Ras 5.022 -2,70
- Telur Itik 1.466 -25,29
- Ikan Laut 144.507 13,16
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun/data diolah)

Pangan sumber karbohidrat dari serealia (beras dan jagung) merupakan


pangan pokok penduduk di Sulawesi Utara. Produksi beras selama kurun waktu 1994-
1999 relatif fluktuasi, walaupun cenderung menurun dengan laju pertumbuhan sekitar -

53
5,9 persen per tahun, dengan rataan produksi pada kurun waktu tersebut sekitar
231.455 ton.
Selain beras, jagung dikonsumsi sebagai makanan pokok pada sebagian
penduduk Sulawesi Utara, terutama etnis Minahasa. Konsumsi jagung ini biasanya
dicampur dengan beras. Produksi jagung selama kurun waktu 1995-1999 cenderung
meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 3,9 persen per tahun. Produksi ubi jalar
dan ubi kayu relatif kecil, selama 1995-1999 produksi komoditas tersebut menurun yang
ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang negatif, masing-masing dengan laju
pertumbuhan 12 persen(ubi jalar) dan 17 persen (ubi kayu) per tahun. Berkurangnya
produksi terutama karena berkurangnya areal tanam komoditas tersebut, karena
tergeser oleh komoditas-komoditas yang dipandang lebih menguntungkan.
Selain serealia dan umbi-umbian, sumber karbohidrat yang cukup menonjol
adalah sagu, walaupun produksinya relatif kecil, namun cenderung meningkat dengan
laju pertumbuhan rata-rata 18 persen per tahun selama 1994-1999. Pangan sagu ini
biasanya dikonsumsi bukan sebagai makanan pokok, tetapi diolah menjadi kue untuk
makanan selingan.
Produksi kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati mengalami
penurunan, kecuali untuk kacang tanah meningkat selama kurun waktu 1994-1999
dengan laju pertumbuhan rata-rata 6,2 persen per tahun. Sementara itu produksi minyak
nabati yang utama adalah minyak kelapa, produksinya cukup berlimpah di Sulawesi
Utara dan pertumbuhan rata-rata 21 persen per tahun, sehingga setiap tahunnya terjadi
surplus produksi.
Pangan nabati sumber vitamin dan mineral yang umum berasal dari buah-buahan
dan sayur-sayuran. Komoditas buah-buahan yang dominan diproduksi adalah pisang,
pepaya dan mangga. Dilihat dari laju pertumbuhannya maka pisang dan mangga
cenderung meningkat produksinya, sebaliknya produksi pepaya mengalami penurunan
(lihat tabel 2). Dari tabel 2 tampak bahwa produksi sayuran dominan (tomat dan cabe)
selama kurun waktu 1995-1999 cenderung menurun. Penurunan produksi yang tinggi
terutama setelah tahun 1997 (1997-1998), yakni berbarengan terjadinya krisis ekonomi,
kondisi ini mempengaruhi kinerja usahatani komoditas tersebut, mengingat komoditas ini
bersifat padat modal, secara tidak langsung berpengaruh terhadap penurunan areal
tanam kedua komoditas tersebut, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap turunnya
produksi.
Produksi pangan sumber protein hewani seperti terlihat pada tabel 2, tampak
bahwa dari delapan jenis pangan hewani yang ada, hanya produksi daging ayam ras
dan ikan laut yang mengalami peningkatan, sedangkan yang lainnya mengalami
penurunan. Tingginya produksi perikanan laut selain untuk kebutuhan daerah, juga di
antarpulaukan bahkan diekspor ke luar negeri, terutama jenis tuna, cakalang dan
tongkol.

54
Net impor merupakan jumlah pangan, menurut jenisnya, yang masuk ke wilayah
Sulawesi Utara dikurangi jumlah pangan yang ke luar (ekspor) dari wilayah Sulawesi
Utara. Tabel 3 menyajikan perkembangan net impor komoditas pangan dominan di
Sulawesi Utara. Tampak bahwa pangan pokok beras dan gandum selalu defisit selama
periode 1995-1999, indikasi ini dapat dilihat dari nilai net impor yang bertanda positif, ini
menunjukkan bahwa komoditas tersebut tidak dapat dipenuhi dari produksi sendiri. Net
impor tertinggi terjadi pada tahun 1998, ini sangat berkaitan dengan rendahnya produksi
beras pada tahun itu, sehingga untuk mengimbangi rendahnya ketersediaan pangan
dan produksi, dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk setempat dilakukan impor
beras yang cukup besar. Nilai net impor tersebut sudah termasuk pangan yang masuk
dan perdagangan antar pulau.

Tabel 3. Perkembangan Net Impor Komoditas Pangan di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1995
1999

Tahun
Jenis pangan
1995 1996 1997 1998 1999
Gandum 22.470 16.650 24.000 16.000 24.100
Beras 46.686 41.522 47.421 123.802 85.721
Jagung -38.261 0 -6.100 0 -1.200
Kedelai -6.503 0 0 0 412
Cabe -274 -6.855 0 0 -260
Kopra -20.124 0 0 0 265.880
Minyak Goreng -100.076 -125.391 -149.068 -149.068 -142.240
Ikan tuna -29.182 -27.612 -42.958 -42.958 -42.393
/cakalang/tongkol
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)

Berdasarkan perhitungan NBM, net impor jagung bertanda negatif, artinya


terjadi surplus ketersediaan, berdasarkan data pada Tabel 3 ada kecenderungan net
impor jagung selama lima tahun terakhir menurun. Selama 1995-1999 surplus jagung ini
cenderung meningkat, dengan laju pertumbuhan rata-rata 21 persen per tahun.
Net impor untuk komoditas minyak goreng dan ikan tuna/cakalang/tongkol
bertanda negatif dan nilainya cukup besar. Ini berarti produksi setempat melebihi
kebutuhannya, sehingga kelebihan produksi tersebut di ekspor ke luar negeri atau antar
pulau ke provinsi lain.

Perkembangan Ketersediaan Pangan


Ketersediaan Komoditas Pangan Per Kapita
Dalam uraian ketersediaan pangan di sini, dibatasi pada ketersediaan pangan
per kapita, yaitu ketersediaan jenis pangan yang tersedia untuk dikonsumsi oleh rumah

55
tangga, pedagang eceran, perusahaan/industri makanan jadi, rumah makan dan
sejenisnya pada periode tertentu. Data ketersediaan yang dimaksud dapat memberikan
gambaran volume ketersediaan untuk individu penduduk. Ketersediaan pangan dan
perkembangannya secara lengkap disajikan pada Tabel 4 dan 5

Tabel 4. Perkembangan Ketersediaan Pangan Utama Sumber Karbohidrat, Vitamin, dan Mineral
untuk Konsumsi di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1995 1999
(kg/kapita/tahun)
Tahun Laju per-
Jenis Pangan tumbuhan
1995 1996 1997 1998 1999
(%/th)
Sumber Karbohidrat
- Beras 97,04 109,59 102,87 99,59 98,91 -0,62
- Jagung (pipilan kering) 41,91 58,27 43,57 49,37 66,38 7,71
- Ubi jalar 7,78 11,31 11,09 4,50 4,86 -16,00
- Ubi kayu 17,22 29,58 16,86 14,09 9,14 -18,21
- Sagu/tepung sagu 1,66 1,71 1,77 4,50 2,96 21,20
Sumber Vitamin & Mineral
- Pisang 9,15 10,02 4,12 8,02 13,22 6,89
- Mangga 2,79 3,42 1,05 3,99 5,33 17,04
- Pepaya 6,37 4,02 0,95 3,22 3,07 -20,97
- Tomat 10,79 8,75 5,25 5,94 5,83 -17,41
- Cabe 6,66 2,66 1,96 1,18 3,92 -21,24
- Wortel 0,98 2,47 0,75 3,18 3,27 24,79
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)

Ketersediaan pangan untuk beras selama lima tahun terakhir cenderung


menurun, walaupun laju penurunannya relatif kecil (kurang dari satu persen).
Ketersediaan jagung justru sebaliknya mengalami peningkatan pada kurun waktu yang
sama. Fenomena ini terutama terjadi pada saat dan setelah krisis (1998-1999). Hal ini
dapat dijelaskan bahwa sebagian penduduk Sulawesi Utara mengkonsumsi jagung
sebagai makanan pokok, pada saat ketersediaan beras terbatas, biasanya jagung
digunakan sebagai pengganti beras.
Pangan sumber karbohidrat selain beras yang mengalami penurunan adalah
ubi jalar dan ubi kayu, laju penurunannya masing-masing 16 persen dan 18 persen.
Penurunan ketersediaan kedua komoditas tersebut erat kaitannya dengan penurunan
produksi, karena ketersediaan pangan khususnya ubi jalar dan ubi kayu hanya diperoleh
dari produksi setempat. Sementara itu sagu, walaupun tingkat ketersediaannya relatif
kecil, tetapi cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan 21 persen rata-rata per
tahun selama lima tahun terakhir.
Pangan sumber vitamin dan mineral antara lain berasal dari buah dan sayur,
perkembangan ketersediaan buah dan sayur dominan secara rinci disajikan pada Tabel

56
5. Beberapa jenis komoditas pada kelompok pangan tersebut yang mengalami
peningkatan selama lima tahun terakhir adalah pisang, mangga dan wortel. Laju
pertumbuhan tertinggi ditemukan pada wortel yakni rata-rata 26 persen per tahun,
kemudian berturut-turut mangga sebesar 17 persen dan pisang sebesar 7 persen.
Sebaliknya ketersediaan pepaya, tomat dan cabe cenderung menurun, dengan laju
penurunan masing-masing mencapai 21 persen pada pepaya, kemudian 17 persen
pada tomat dan 21 persen untu cabe. Penurunan sangat signifikan terutama terjadi
antara tahun 1998-1999, baik dari sisi ketersediaan maupun produksi cabe.

Tabel 5. Perkembangan Ketersediaan Pangan Sumber Protein Hewani, Nabati dan Lemak di
Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1995 - 1999
(kg/kapita/tahun)
Tahun Laju per-
Jenis Pangan tumbuhan
1995 1996 1997 1998 1999
(%/th)
Sumber Protein Hewani
- Daging sapi 1,25 1,06 1,27 1,27 1,10 -2,36
- Daging kambing 0,11 0,11 0,11 0,17 1,16 12,12
- Daging babi 3,74 3,71 3,93 2,01 2,16 -15,63
- Daging ayam kampung 0,41 0,42 0,44 0,37 0,36 -3,75
- Daging ayam ras 0,37 0,41 0,50 0,63 0,95 24,13
- Telur ayam kampung 0,16 0,16 0,24 0,33 0,31 19,59
- Telur ayam ras 1,99 1,92 2,05 1,61 1,50 -7,11
- Susu sapi - - - 0,00 1,50 -
- Ikan air tawar 2,06 0,83 1,55 1,82 1,86 3,63
- Ikan laut 22,90 32,43 26,28 31,14 43,62 12,84
Sumber Protein Nabati
- Kacang tanah 1,50 2,09 2,56 2,06 2,15 6,13
- Kedelai 10,81 11,82 5,59 2,15 3,93 -31,15
- Kacang hijau 0,74 2,69 1,62 0,42 1,29 -2,00
Sumber Lemak
- Minyak kelapa 15,21 11,72 7,46 6,10 6,21 -25,29
- Lemak babi 0,49 0,49 0,52 0,27 0,29 -15,05
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)

Kualitas protein hewani relatif lebih baik dibanding protein nabati, sesuai
dengan agroekosistem wilayah Sulawesi Utara yang sebagian besar merupakan daerah
pantai maka komoditas ikan laut merupakan sumber protein hewani yang dominan. Hal
ini terlihat dari besarnya ketersediaan pangan tersebut. Berdasarkan perhitungan NBM,
ketersediaan ikan laut pada tahun 1995 sebesar 23 kg/kapita/tahun. Selama lima tahun
terakhir tingkat ketersediaan pangan tersebut cenderung meningkat, dengan laju
pertumbuhan rata-rata 13 persen per tahun. Mengingat produksi ikan laut lebih besar
dibanding dengan kebutuhan, maka kelebihan produksi (terutama untuk jenis ikan tuna,
cakalang dan tongkol) diekspor ke luar negeri atau ke provinsi lain. Sementara itu

57
ketersediaan ikan air tawar relatif terbatas, walaupun selama 1995-1999 laju pertum-
buhannya cenderung meningkat.
Pangan asal ternak yang terdiri dari jenis daging dan telur mempunyai pola
yang beragam. Tampak bahwa untuk jenis daging, hanya daging kambing dan ayam ras
yang tingkat ketersediaannya mengalami peningkatan, dengan laju pertumbuhan
masing-masing 12 persen dan 24 persen per tahun. Tingginya ketersediaan daging
ayam ras, selain diperoleh dari produksi lokal juga berasal dari impor. Tingkat
ketersediaan daging babi relatif tinggi dibanding dengan jenis daging lainnya, namun
demikian ketersediaan daging babi cenderung menurun, selama 1995-1999 tingkat
pertumbuhannya 16 persen per tahun. Sementara itu pada kurun waktu yang sama
ketersediaan daging sapi juga menurun dengan laju pertumbuhan sebesar -2 persen per
tahun, sedangkan tingkat ketersediaan daging ayam kampung meningkat dengan laju
pertumbuhan 4 persen per tahun. Untuk jenis telur, ketersediaan telur ayam ras relatif
tinggi dibanding telur ayam kampung, namun sebaliknya walaupun ketersediaan telur
ayam kampung relatif kecil, tetapi ketersediaannya cenderung meningkat dengan laju
pertumbuhan 19,6 persen per tahun.

Situasi Ketersediaan Energi di Sulawesi Utara Tahun 1999


Tabel 6 menyajikan keragaan ketersediaan energi dan skor PPH menurut
kelompok pangan di Sulawesi Utara pada tahun 1999 dan ketersediaan energi yang
dianjurkan menurut hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 1993. Hasil
perhitungan NBM tahun 1999 menunjukkan bahwa ketersediaan energi per kapita per
hari di Sulawesi Utara masih di bawah ketersediaan nasional (2500 Kkal/kapita/hari),
walaupun besarannya sudah mendekati standar 2495 Kkal/kapita/hari. Sementara itu
bila dilihat dari skor ketersediaan pangan ideal (PPH), maka skor PPH di Sulawesi Utara
(73,8) jauh lebih rendah dibanding dengan skor nasional (93).
Faktor utama yang menyebabkan rendahnya skor di atas adalah adanya
perbedaan skor beberapa kelompok pangan. Rata-rata skor masing-masing kelompok
pangan lebih rendah dibanding skor nasional, kecuali skor padi-padian dan buah/biji
berminyak relatif lebih tinggi. Skor nasional untuk kelompok pangan hewani sebesar
30,6, sedangkan untuk Sulawesi Utara 12,6, hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi
pangan hewani di daerah ini masih rendah.
Ketersediaan pangan hewani, terutama yang berasal dari produk ikan,
khususnya ikan laut, tingkat ketersediaannya cukup melimpah. Konsumsi protein hewani
asal ikan seyogyanya dapat dipacu peningkatannya. Sementara itu ketersediaan
pangan hewani asal ternak relatif terbatas. Sehubungan dengan itu upaya yang dapat
dilakukan antara lain, meningkatkan produksi pangan asal ternak dengan lebih
mengintensifkan budidaya ternak di rumah tangga serta beragamnya jenis ternak kecil
dan unggas. Pengembangan integrasi usahatani dengan ternak merupakan langkah
strategis.

58
Tabel 6. Perbandingan Ketersediaan Pangan Anjuran Nasional dan Provinsi Sulawesi Utara,
Tahun 1999

Nasional 2) Sulawesi Utara 3)


Bahan Makanan Bobot1)
Kkal % Skor Kkal % Skor
1. Padi-padian 0,5 1250 50,0 25,0 1676 67,2 33,6
2. Umbi-umbian 0,5 125 5,0 2,5 70 2,8 1,4
3. Pangan Hewani 2,0 382 15,3 30,6 157 6,3 12,6
4. Minyak & Lemak 1,0 250 10,0 10,0 156 6,2 6,2
5. Buah/biji berminyak 0,5 75 3,0 1,5 130 5,2 2,6
6. Kacang-kacangan 2,0 125 5,0 10,0 75 3,0 6,0
7. Gula/bahan Minuman 0,5 168 6,7 3,4 121 4,8 2,4
8. Sayuran & Buah 2,0 125 5,0 10,0 110 4,5 9,0
9. Bumbu-bumbuan 0,0 0 0,0 0,0 0 0,0 0,0
Jumlah 9,0 2500 100,0 93,0 2495 100,0 73,8
Sumber : 1) FAO-RAPA (1989) dan WKNPG-V (1993) dalam Saliem, dkk (2001)
2) NBM Sulawesi Utara (1999), BPS Provinsi Sulawesi Utara (2001)

Ketersediaan energi penduduk provinsi Sulawesi Utara tahun 1999 mencapai


2495 Kkal/kapita/hari. Berarti lebih rendah dari energi yang dianjurkan 2500
Kkal/kapita/hari. Sehubungan dengan itu skor PPH yang mencerminkan keseimbangan
gizi belum dapat memenuhi standar yang dianjurkan. Kelompok pangan padi-padian dan
buah/biji berminyak melebihi angka sasaran penyediaan, sedangkan kelompok pangan
umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, kacang-kacangan, gula serta sayuran
dan buah masih dibawah angka anjuran. Untuk mencapai skor PPH yang ideal perlu
peningkatan ketersediaan kelompok pangan di atas, hal ini merupakan tantangan yang
perlu mendapat perhatian dalam pembangunan pertanian di provinsi Sulawesi Utara.
Disamping kuantitas, perlu ditingkatkan pula pangan menurut kualitas, sehingga
diversifikasi pangan merupakan aspek yang perlu diperhatikan.

Perkembangan Status Ketahanan Pangan Regional


Energi yang dinyatakan dalam Kkal merupakan zat gizi sumber tenaga yang
diperlukan manusia dalam aktivitas sehari-hari. Sementara protein adalah zat gizi yang
sangat berperan dalam pembentukan otak manusia terutama protein hewani.
Perkembangan ketersediaan energi, protein dan lemak selama kurun waktu 1995-1999
disajikan pada Tabel 7. Tampak bahwa gambaran ketersediaan ketiga zat gizi tersebut
mengalami penurunan selama kurun waktu di atas, masing-masing menunjukkan laju
pertumbuhan negatif, yaitu -3,58 persen per tahun (energi), -0,42 persen per tahun
(protein) dan -17,48 persen per tahun (lemak).
Secara umum dapat dikatakan bahwa ketiga zat gizi diatas didominasi oleh
pangan nabati. Sebagai gambaran ketersediaan pangan nabati memberikan kisaran
pangsa sebagai berikut (rataan lima tahun terakhir): (1) energi didominasi oleh pangan

59
nabati sekitar 92,7 94,6 persen; (2) protein terdiri dari 67,5 77,6 persen yang berasal
dari pangan nabati; (3) lemak diperoleh dari pangan berkisar 82,3 89,9 persen.
Bila ditelusuri lebih lanjut tampak bahwa penurunan cukup signifikan terjadi
pada tahun 1998, ini ditunjukkan dengan rendahnya ketiga besaran zat gizi tersebut
selama lima tahun terakhir, sementara itu kondisi tahun 1999 meningkat lagi (Tabel 7).
Hal ini berkaitan dengan puncak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, dimana
ketersediaan pangan untuk konsumsi pada saat itu menurun terutama yang berasal dari
impor dan pangan yang proses produksinya berbahan baku impor.

Tabel 7. Perkembangan Ketersediaan Energi, Protein dan Lemak di Provinsi Sulawesi Utara,
Tahun 1995 1999

Tahun Laju per-


Zat Gizi tumbuhan
1995 1996 1997 1998 1999
(%/th)
Energi (Kkal) 2597 2900 2254 2211 2495 -3,58
- Nabati 2454 2742 2090 2079 2330 -2,96
- Hewani 143 158 164 132 164 1,05

Protein (gram) 61,98 74,76 59,59 55,95 70,02 -0,42


- Nabati 48,12 57,39 42,76 39,00 47,22 -4,30
- Hewani 13,86 17,37 16,83 16,95 22,79 9,93

Lemak (gram) 88,68 82,58 55,51 45,91 50,53 -17,48


- Nabati 79,95 73,36 45,70 39,50 43,39 -18,92
- Hewani 8,93 9,22 9,81 6,41 7,14 -7,70
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)

Menarik untuk disimak adalah ketersediaan energi dan protein secara total
mengalami penurunan selama lima tahun terakhir, sebaliknya ketersediaan energi dan
protein hewani cenderung meningkat. Peningkatan cukup signifikan terutama terjadi
pada protein hewani yang mencapai laju pertumbuhan rata-rata 9,9 persen per tahun.
Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan mutu pangan yang ditunjukkan dengan
meningkatnya ketersediaan zat gizi hewani, terutama pangan kelompok ikan dan
sejenisnya (pangan asal laut), sehingga dapat dikatakan keberimbangan konsumsi
pangan nabati dan hewani semakin baik.
Nilai kecukupan energi diperoleh dari perhitungan yang mengacu pada jumlah
dan komposisi penduduk di provinsi Sulawesi Utara dan angka kecukupan energi
menurut kelompok umur berdasarkan hasil WNPG tahun 1998. Hasil perhitungan
diperoleh angka seperti ditunjukkan Tabel 8 yakni berkisar 2190 - 2203 Kkal/kapita/hari.
Berdasarkan Tabel 8 dapat dikemukakan bahwa ketersediaan energi relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kecukupan energi per kapita. Untuk mengetahui

60
tingkat ketahanan pangan, dihitung berdasarkan ketersediaan dan kecukupan pangan
yang menunjukan kisaran 0,85 1,10 selama lima tahun terakhir. Sementara itu data
kontribusi energi dari pangan sumber karbohidrat terhadap konsumsi energi adalah
0,628. Mengacu pada data di atas, dapat dianalisis status ketahanan pangan seperti
tercantum pada Tabel 8. Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa
selama kurun waktu 1995 1999 ketahanan pangan tingkat regional Provinsi Sulawesi
Utara adalah terjamin.

Tabel 8. Perkembangan Status Ketahanan Pangan di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1995-
1999

Tahun
Zat Gizi
1995 1996 1997 1998 1999
Ketersediaan energi 2597 2900 2254 2211 2495
(Kkal/kap/hari)
Kecukupan energi 2190 2189 2202 2196 2203
(Kkal/kap/hari)
Tingkat ketahanan 1,00 1,10 0,85 0,84 0,94
pangan
Status ketahanan Tahan Tahan Tahan Tahan Tahan
pangan pangan pangan pangan pangan pangan
terjamin terjamin terjamin terjamin terjamin
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)

Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga


Berdasarkan analisis data NBM selama lima tahun terakhir diperoleh gambaran
bahwa ketahanan pangan di Sulawesi Utara secara regional (provinsi) tergolong tahan
pangan terjamin. Hal ini menunjukkan bahwa secara regional persediaan pangan cukup,
namun demikian apakah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga terjamin ? Untuk
itu uraian dibawah mencoba mengkaji ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.

Keragaan Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga


Pengukuran derajat ketahanan pangan rumah tangga dikelompokkan menjadi
empat kategori yaitu : (1) tahan pangan; (2) rentan pangan; (3) kurang pangan; (4)
rawan pangan. Tabel 9 menyajikan distribusi rumah tangga menurut derajat ketahanan
pangan dan daerah di Sulawesi Utara, tahun 1999.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa secara regional Provinsi
Sulawesi Utara dalam kondisi tahan pangan terjamin, ternyata dari hasil analisis data
Susenas (tahun 1999) masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan
sebanyak 21 persen. Sementara itu rumah tangga yang tergolong tahan pangan lebih
kecil yakni mencapai 18 persen.

61
Tabel 9. Distribusi Rumah Tangga menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi Sulawesi
Utara, Tahun 1999.

Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan


Wilayah
N % N % N % N %
Kota + Desa 249 18,30 774 56,87 55 4,04 283 20,79
Kota 144 30,70 219 48,7 28 5,54 80 17,06
Desa 105 11,77 555 62,22 29 3,25 203 22,76
Sumber : BPS, Susenas, 1999 (diolah)

Proporsi yang cukup besar, lebih dari 55 persen termasuk golongan rentan
pangan. Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang
secara ekonomi (pendekatan di proksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk
kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat
kecukupan. Ini dapat dijelaskan bahwa hal tersebut terkait dengan pola konsumsi dan
kebiasaan makan. Data mendukung bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi
pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif tinggi dibanding
kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001).
Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (Kkal) yang
tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok
rentan pangan ini tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari
sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat
gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan
peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini
secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk mampu
mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih
digalakkan.
Kelompok kurang pangan proporsinya relatif kecil yakni hanya 4,0 persen.
Kelompok ini merupakan golongan dari sisi ekonomi relatif mampu untuk mengkonsumsi
pangan, namun dari indikator gizi termasuk kurang (konsumsi energi kurang dari syarat
kecukupan). Oleh karena itu penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan
gizi, terutama tentang pola konsumsi pangan yang beragam dan seimbang perlu
mendapat prioritas.
Bila ditelusuri lebih rinci antar wilayah, tampak bahwa proporsi rumah tangga
rawan pangan di pedesaan (23 %) lebih tinggi dibanding daerah perkotaan (17 %).
Sebaliknya untuk golongan rumah tangga tahan pangan di daerah pedesaan lebih
rendah dibanding perkotaan, dengan proporsi masing-masing 12 dan 31 persen. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kondisi di daerah pedesaan lebih buruk dibanding di
daerah kota.

62
Apabila hanya menggunakan indikator ekonomi (di proksi dari pangsa
pengeluaran pangan) dengan kriteria apabila pangsa pengeluaran pangan tinggi (> 60%
pengeluaran total), maka kelompok tersebut merupakan golongan yang relatif kurang
sejahtera. Dengan indikator tunggal tersebut, kelompok yang tidak tahan pangan adalah
kelompok rentan pangan dan rawan pangan. Dengan kriteria tersebut, maka proporsi
rumah tangga tidak tahan pangan di Sulawesi Utara sekitar 77 persen, bila dibedakan
kota dengan desa, ternyata proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa (85%)
lebih tinggi dibanding di daerah kota yang mencapai 66 persen.
Sementara itu bila menggunakan indikator tunggal dari kecukupan konsumsi
energi, sebagai proksi dari peubah gizi, maka kelompok rumah tangga dengan konsumsi
energi < 80 persen dari syarat kecukupan merupakan kelompok yang tidak tahan
pangan. Dengan kategori diatas, maka kelompok kurang pangan dan rawan pangan
tergolong tidak tahan pangan, dengan demikian maka proporsi kelompok rumah tangga
tidak tahan pangan sekitar 25 persen, bila dibedakan menurut wilayah, proporsi rumah
tangga tidak tahan pangan di desa dan di kota masing-masing sekitar 26 persen dan 23
persen.

Karakteristik Rumah Tangga Menurut Derajat Ketahanan Pangan


Pengetahuan tentang distribusi rumah tangga menurut derajat ketahanan
pangan baru dapat memberikan informasi besarnya proporsi rumah tangga menurut
derajat ketahanan pangan secara agregat atau menurut wilayah. Oleh karena itu
identifikasi ciri-ciri atau karakteristik masing-masing kelompok rumah tangga menurut
derajat ketahanan pangan dapat memperjelas tentang kondisi ketahanan rumah tangga.
Karakteristik dalam hal ini adalah : (1) karakteristik demografi; (2) Sumber pendapatan
rumah tangga; (3) pola pengeluaran; dan (4) konsumsi energi dan protein.

Karakteristik Demografi
Peubah demografi yang dikaji sebagai penciri rumah tangga menurut kelompok
rumah tangga disajikan pada Tabel 10. Tampak bahwa secara agregat maupun menurut
wilayah rata-rata umur KK lebih tinggi dari pada istri, secara umum umur tersebut masih
dalam usia produktif. Sementara itu secara agregat (desa dan kota) tingkat pendidikan
KK di Provinsi Sulawesi Utara relatif sama pada kelompok rawan pangan, sedangkan di
pedesaan rata-rata tingkat pendidikan istri relatif lebih tinggi dibanding KK untuk semua
kelompok. Di daerah perkotaan relatif beragam, untuk kelompok rentan pangan dan
rawan pangan tingkat pendidikan istri lebih rendah dibanding KK, sebaliknya tingkat
pendidikan istri lebih tinggi dibanding KK pada kelompok tahan pangan dan kurang
pangan.

63
Tabel 10. Karakteristik Rumah Tangga Menurut Derajat Ketahanan Pangan dan Wilayah di
Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1999

Derajat ketahanan pangan


Wilayah Tahan Rentan Kurang Rawan
pangan pangan pangan pangan
Kota + Desa
- Umur KK (th) 49,4 44,5 46,8 43,2
- Pendidikan KK (th) 9,5 8,0 8,0 7,1
- Umur Istri (th) 42,6 39,5 40,6 37,2
- Pendidikan Istri (th) 9,6 7,9 8,1 7,1
- Jumlah Anggota RT (orang) 3,1 3,7 3,9 4,4
- JUED (orang) 2,4 2,8 3,1 3,4
Kota
- Umur KK (th) 48,6 44,4 44,9 41,7
- Pendidikan KK (th) 10,9 8,7 11,1 8,3
- Umur Istri (th) 42,3 39,8 39,0 35,6
- Pendidikan Istri (th) 10,7 9,2 9,8 7,8
- Jumlah Anggota RT (orang) 3,4 3,7 4,1 4,6
- JUED (orang) 2,5 2,8 3,3 3,6
Desa
- Umur KK (th) 50,3 44,5 48,5 43,8
- Pendidikan KK (th) 8,0 7,5 6,5 6,7
- Umur Istri (th) 42,9 39,4 42,0 37,9
- Pendidikan Istri (th) 8,4 7,7 6,8 6,8
- Jumlah Anggota RT (orang) 2,8 3,7 3,6 4,3
- JUED (orang) 2,2 2,8 2,9 3,4
Sumber : BPS, Susenas, 1999 (diolah)

Bila dicermati lebih jauh tampak bahwa jumlah anggota rumah tangga secara
absolut maupun diukur dengan unit ekivalen orang dewasa (JUED) pada kelompok
rumah tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan,
hal ini berlaku secara agregat maupun menurut wilayah. Ada kecenderungan bahwa
semakin besar jumlah anggota rumah tangga, semakin buruk derajat ketahanan pangan
rumah tangga yang bersangkutan. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga
Berencana dan Kelembagaan Posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan
meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.

Lapangan Pekerjaan Utama Rumah Tangga


Sektor lapangan kerja utama rumah tangga mencerminkan perolehan sumber
pendapatan. Pendapatan rumah tangga dapat dijadikan penciri atau indikator bagi
ketahanan pangan, karena merupakan salah satu kunci bagi rumah tangga untuk akses
terhadap pangan (Suhardjo, 1996). Tabel 11 menyajikan keragaan distribusi rumah
tangga menurut lapangan pekerjaan.

64
Tabel 11. Distribusi Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Derajat Ketahanan
Pangan dan Wilayah di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1999

Derajat ketahanan pangan


Wilayah dan
Rentan Kurang
lapangan pekerjaan Tahan pangan Rawan pangan
pangan pangan
Kota + Desa
- Pertanian 33,2 54,5 43,8 57,6
- Industri 16,1 20,3 21,8 24,0
- Jasa 33,2 18,8 23,6 14,1
- Lainnya 17,5 6,4 10,9 4,2
Kota
- Pertanian 6,7 15,7 3,8 13,8
- Industri 21,9 37,4 34,6 52,5
- Jasa 47,6 33,3 42,3 25,0
- Lainnya 23,8 13,6 19,2 8,8
Desa
- Pertanian 61,0 66,5 79,3 74,9
- Industri 10,0 15,0 10,3 12,8
- Jasa 18,0 14,4 6,9 9,9
- Lainnya 11,0 4,2 3,5 2,5
Sumber : BPS, Susenas, 1999 (diolah)

Secara agregat sumber pendapatan utama kelompok rumah tangga rentan


pangan dan rawan pangan adalah dominan pada sektor pertanian masing-masing
memberikan konstribusi 55 persen dan 58 persen. Urutan selanjutnya adalah dari sektor
industri, jasa dan lainnya (Tabel 11). Bila dilihat menurut wilayah, Tabel 11 menunjukkan
bahwa di desa sumber pendapatan utama dominan dari sektor pertanian, hal ini
ditemukan di semua golongan rumah tangga. Kondisi ini sesuai dengan keadaan
sumberdaya alam utama yang ada di desa, umumnya penduduk sangat bergantung
sektor pertanian. Berbeda dengan di kota, untuk kelompok rentan pangan dan rawan
pangan sumber pendapatan utama berasal dari sektor industri, sedangkan kelompok
tahan pangan dan kurang pangan dominan dari sektor jasa

Pola Pengeluaran Rumah Tangga


Pangsa pengeluaran pangan rumah tangga merupakan salah satu indikator
ketahanan pangan rumah tangga (Pakpahan dkk., 1993; Soehardjo, 1996). Pengeluaran
total rumah tangga juga dapat dipandang sebagai pendekatan pendapatan rumah
tangga. Oleh karena itu pemahaman pola pengeluaran (pangan dan non pangan) dapat
dijadikan salah satu indikator ketahanan rumah tangga. Secara rinci pola pengeluaran
rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di Sulawesi Utara disajikan pada
Tabel 12.

65
Tabel 12. Pola Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Rumah tangga menurut Derajat
Ketahanan Pangan dan Wilayah di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1999

Tahan Rentan Kurang Rawan


Wilayah
pangan pangan pangan pangan
Kota + Desa
- Pangan 49,7 72,2 50,1 75,2
- Non Pangan 50,3 27,8 49,9 24,8
- Total Pengeluaran
(Rp 000/kap/bln) 809,4 508,2 577,3 372,4
Kota
- Pangan 49,2 69,2 48,6 72,1
- Non Pangan 50,8 30,8 51,4 27,9
- Total Pengeluaran
(Rp 000/kap/bln) 925,8 635,3 704,7 464,0
Desa
- Pangan 50,6 73,8 52,1 76,9
- Non Pangan 49,4 26,2 47,9 23,1
- Total Pengeluaran
(Rp 000/kap/bln) 449,6 458,1 463,1 336,3
Sumber : BPS, Susenas, 1999 (diolah)

Sesuai dengan kategori pengelompokan derajat ketahanan pangan, maka


kelompok rawan pangan dan rentan pangan adalah kelompok rumah tangga secara
ekonomi (diproksi dari pola pengeluaran pangan) termasuk kurang sejahtera, dalam hal
ini pengeluaran pangan > 60 persen. Secara agregat (kota dan desa) pangsa
pengeluaran pangan kedua kelompok tersebut sangat besar masing-masing 75 persen
(dari total pengeluaran Rp 372 400,00 per kapita/bulan) dan 72 persen (dari total
pengeluaran Rp 508 200,00). Sementara itu untuk kelompok rumah tangga tahan
pangan dan kurang pangan, pangsa pengeluaran pangan rata-rata mencapai 50 persen
masing-masing dari total pengeluaran sebesar Rp 809,4 ribu (kelompok tahan pangan)
dan Rp 577,3 ribu (kelompok kurang pangan). Apabila ditelusuri menurut wilayah,
ditemukan pola yang sama baik di kota maupun di desa untuk masing-masing
kelompok. Di desa, rata-rata pangsa pengeluaran pangan relatif lebih tinggi dibanding
di kota untuk semua kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kota kondisinya relatif lebih baik dibanding
di desa.

Konsumsi Energi dan Protein


Tingkat konsumsi energi dan protein merupakan dua indikator mutu gizi yang
umum digunakan untuk mengukur status gizi. Sesuai rekomendasi angka kecukupan

66
energi dan protein agar seseorang dapat hidup sehat dan dapat aktif menjalankan
aktivitas sehari-hari secara produktif masing-masing sebesar 2 200 Kkal/kapita/hari
(untuk energi) dan 50 gram/kapita/hari untuk protein (LIPI, 1998).
Keragaan tingkat konsumsi energi dan protein masing-masing kelompok
rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dan wilayah di provinsi Sulawesi
Utara disajikan pada Tabel 13. Sesuai dengan kriteria yang dirumuskan bahwa
kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah
tangga dari sisi gizi cukup (>80% dari syarat kecukupan), seperti terlihat pada data
Tabel 13 kedua kelompok tersebut mengkonsumsi energi dan protein melebihi angka
kecukupan. Sebaliknya pada kelompok kurang pangan dan rawan pangan masing-
masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang
direkomendasikan, baik untuk wilayah pedesaan maupun kota.
Secara umum, rata-rata konsumsi energi di pedesaan lebih tinggi dibandingkan
penduduk kota, kecuali untuk kelompok rumah tangga rawan pangan terjadi sebaliknya.
Sementara itu untuk konsumsi protein, rata-rata penduduk pedesaan mengkonsumsi
protein lebih rendah dibandingkan penduduk kota, kecuali untuk kelompok tahan pangan
Hal ini mendukung pernyataan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi cukup
energi dan protein, walaupun dari sisi ekonomi tergolong kurang sejahtera.

Tabel 13. Rataan Konsumsi Protein menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi Sulawesi
Utara, Tahun 1999

Tahan Rentan Kurang Rawan


Gizi/wilayah
pangan pangan pangan pangan
Konsumsi Energi (Kkal)
Kota + Desa 2492 2271 1576 1503
Kota 2460 2253 1555 1544
Desa 2600 2279 1595 1496
Konsumsi Protein (gram)
Kota + Desa 74,5 60,1 42,0 40,1
Kota 74,0 62,0 42,8 42,7
Desa 75,1 59,4 41,4 39,0
Sumber : BPS, Susenas, 1999 (diolah)

Tingkat kecukupan konsumsi energi rata-rata per kapita tidak menggambarkan


tingkat konsumsi riil, karena struktur umur penduduk mempengaruhi tingkat kecukupan
energi. Sehubungan dengan hal tersebut, seperti pada metode penelitian maka tingkat
kecukupan energi didekati dengan konsumsi energi per equivalen orang dewasa (KE).
KE dihitung berdasarkan konsumsi riil rumah tangga dibagi jumlah unit equivalen orang
dewasa (JUED). Untuk menghitung tingkat pencapaian konsumsi energi standar
normatif diperoleh dengan membandingkan standar kecukupan energi orang dewasa
(standar normatif). Hal yang sama diterapkan untuk menghitung tingkat pencapaian

67
konsumsi protein sesuai standar normatif. Apabila tingkat pencapaian konsumsi
energi/protein kurang dari 100 persen, artinya belum mencapai tingkat kecukupan yang
sesuai standar normatif.
Apabila kajian menyoroti mengenai tingkat konsumsi energi dan protein dari
standar normatif umum tanpa membedakan derajat ketahanan pangan, maka diperoleh
angka seperti disajikan pada Tabel 14. Tampak bahwa tingkat konsumsi energi belum
mencapai tingkat kecukupan energi standar normatif (< 100%). Sebaliknya tingkat
konsumsi protein umumnya sudah melebihi standar kecukupan. Bila dilihat lebih lanjut
menurut wilayah, maka tingkat konsumsi energi di desa umumnya lebih tinggi dibanding
di kota, sedangkan tingkat konsumsi protein berlaku sebaliknya.

Tabel 14. Tingkat Pencapaian Konsumsi Energi dan Protein di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun
1999
(%)
Wilayah Energi 1) Protein 2)
Kota + Desa 96,6 119,4
Kota 95,9 125,2
Desa 97,0 116,8
Sumber : BPS, Susenas, 1999 (diolah)
Keterangan: 1) persen tingkat pencapaian konsumsi energi terhadap standar normatif (2800
Kkal/kap/hari)
2) persen tingkat pencapaian konsumsi protein terhadap standar normatif (50
gram/kap/hari

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Dari sisi ketersediaan di tingkat regional status ketahanan pangan wilayah


(Sulawesi Utara) tergolong tahan pangan terjamin, namun demikian masih ditemukan
rumah tangga yang tergolong rawan pangan cukup tinggi. Proporsi rumah tangga rawan
pangan di daerah pedesaan relatif lebih tinggi dari pada penduduk kota. Hal ini
menunjukkan bahwa dari sisi ketersediaan di tingkat wilayah dengan status tahan
pangan terjamin, tidak cukup menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga. Karena ternyata masih banyak ditemui rumah tangga rawan pangan cukup
besar. Aspek distribusi dan akses (ekonomi) rumah tangga terhadap pangan menjadi
faktor kunci di tingkat rumah tangga.
Karakteristik rumah tangga rawan pangan dicirikan oleh rata-rata pendidikan
KK dan istri yang relatif lebih rendah dibanding kelompok lainnya, sedangkan jumlah
anggota rumah tangga rata-rata lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Sementara itu
umumnya sumber matapencaharian rumah tangga rawan pangan dominan di sektor
pertanian (khususnya di pedesaan), oleh karena itu program pertanian yang sesuai

68
dengan potensi setempat perlu lebih diprioritaskan, terutama dalam kaitannya untuk
peningkatan pendapatan.
Dari temuan diatas menuntut pengambil kebijakan di tingkat wilayah untuk
merancang kebijakan program ketahanan pangan, tidak hanya dalam cakupan wilayah,
namun juga sampai tingkat rumah tangga/individu, khususnya untuk peningkatan
pendapatan agar akses terhadap pangan lebih terjamin. Hal ini dapat dicapai antara lain
dengan mengembangkan usaha kecil yang sudah ada, atau mengembangkan usaha
baru dengan basis bahan baku lokal dengan cara membantu modal dengan kredit
lunak.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1999. Program Pembangunan Pertanian Kabinet Persatuan Nasional 1999-2004.


Departemen Pertanian. Jakarta.
BPS. 1999. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
BPS Sulawesi Utara. 1996-2000. Neraca Bahan Makanan (NBM). Kerjasama Badan Ketahanan
Pangan dan BPS Provinsi Sulawesi Utara. Menado.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Maxwell, D and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food Security in Greater Accra, Ghana.
Pakpahan, A, H.P.Saliem, S.H. Suhartini dan N. Syafaat. 1993. Penelitian tentang Ketahanan
Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph Series No. 14. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Saliem, H.P., M.Ariani, Y. Marisa, T.B. Purwantini dan E.M.Lokollo. 2001. Analisis Ketahanan
Pangan Tingkat Rumah tangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Pertanian, Badan Litbang
Departemen Pertanian. Bogor.
Sawit , H dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan. Makalah
Pembanding pada Pra-WKNPG VI, Bulog, Jakarta, 26-27 Juni.
Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga. Yogyakarta, 26 30
Mei.

69

Anda mungkin juga menyukai