Abstrak
Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah tidak menjamin adanya ketahanan
pangan tingkat rumah tangga/individu. Berangkat dari hipotesis ini, tulisan ini mencoba memotret
secara bersamaan ketahanan pangan di tingkat wilayah dan rumah tangga. Diharapkan melalui
tulisan ini dapat dilihat karakteristik wilayah dan rumah tangga rawan pangan sebagai pedoman
bagi pengambil kebijakan dalam melaksanakan program-programnya dalam peningkatan
ketahanan pangan wilayah dan rumah tangga. Analisis dilakukan dengan menggunakan data
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999. Analisis ketahanan pangan rumah
tangga dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan. Sementara untuk menganalisis
ketahanan pangan tingkat regional dengan metode perbandingan antara tingkat ketersediaan
pangan di wilayah dengan norma kecukupan energi (NKE) yang dibutuhkan. Hasil kajian
menunjukkan bahwa secara regional status ketahanan pangan wilayah (provinsi) tergolong tahan
pangan. Namun demikian masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan cukup
tinggi. Proporsi rumah tangga rawan pangan di Sulawesi Utara pada tahun 1999 sebesar 20,8
persen dan yang termasuk tahan pangan sebesar 18,3 persen. Jumlah persentase rawan
pangan di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Sebaliknya, persentase rumah
tangga tahan pangan di perkotaan lebih besar dibanding di pedesaan. Oleh karena itu, prioritas
perhatian untuk meningkatkan derajat ketahanan pangan perlu diarahkan kepada rumah tangga
pedesaan.
Kata kunci : ketahanan pangan rumah tangga, ketahanan pangan regional, bantuan pangan
PENDAHULUAN
49
Persediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin
adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga/individu (Saliem dkk,
2001). Sawit dan Ariani (1997) mengemukakan bahwa penentu ketahanan pangan di
tingkat nasional, regional dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan,
persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah
tangga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan
resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Indikator
ketahanan pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran rumah tangga. Semakin
besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah ketahanan
pangannya (Working, 1943 dalam Pakpahan dkk., 1993).
Berdasarkan norma gizi, secara garis besar konsumsi pangan yang
menghasilkan tubuh sehat perlu mengandung unsur pangan sumber karbohidrat,
protein, lemak, dan vitamin/mineral dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Sumber
karbohidrat terutama terdapat pada serealia dan umbi-umbian, protein terdapat pada
daging, susu, telur dan kacang-kacangan, lemak terdapat pada biji-bijian berminyak,
vitamin dan mineral umumnya terdapat pada sayuran dan buah-buahan. Keseimbangan
dalam mengkonsumsi berbagai jenis pangan diatas mencerminkan kualitas konsumsi
pangan.
Berdasarkan hal di atas tulisan ini bertujuan menganalisis tingkat ketahanan
pangan regional (provinsi) dari sisi ketersediaan berbagai jenis pangan yang terkait
dengan kandungan gizi yang dibutuhkan penduduk dan dibandingkan dengan pola
pangan harapan nasional. Bertitik tolak dari data ketahanan pangan wilayah (provinsi),
tulisan ini juga mencoba melihat tingkat ketahanan pangan rumah tangga dari sisi
konsumsi.
METODE PENELITIAN
Cakupan Analisis
Analisis ketahanan pangan rumah tangga dibedakan menurut wilayah
pedesaan dan perkotaan serta agregat berdasarkan data Susenas 1999. Sementara itu
analisis pangan tingkat regional dilakukan dengan berdasar keragaan produksi,
persediaan (stok) dan perdagangan pangan di wilayah yang bersangkutan. Data yang
digunakan adalah data Neraca Bahan Makanan (NBM) selama lima tahun (1995 -1999).
Metode Analisis
Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Regional
Untuk mengukur ketahanan pangan tingkat regional, analisis dilakukan dengan
menggunakan pendekatan ketersediaan energi tingkat provinsi dibandingkan dengan
norma kecukupan energi, dengan menggunakan rumus berikut:
50
SPKEi
Kpi =
(1,2 NKE)
Dimana :
Kpi : ketahanan pangan di wilayah (provinsi)
SPKEi : ketersediaan energi tingkat konsumsi di provinsi (Kkal/kap/hari)
NKE : norma kecukupan energi
51
Tabel 1. Ketahanan Pangan : Kecukupan Energi dan Pangsa Pengeluaran Pangan
Perhitungan Konsumsi
a. Konsumsi Energi Riil
KE = KErt/ JUED, dimana
KE : Konsumsi energi per equivalen orang dewasa
KErt : Konsumsi energi riil rumah tangga
JUED : Jumlah Unit Equivalen orang dewasa
(satu unit equivalen orang dewasa adalah equivalen dengan seorang
pria yang berusia 20 45 tahun, dengan berat badan sekitar 62 kg
dengan aktivitas sedang)
b. Konsumsi Energi Seharusnya
KEsh = 2800 X JUED
KEsh : Konsumsi seharusnya
JUED : Jumlah unit equivalen orang dewasa
52
pangan (dari tanaman) di suatu wilayah bersumber dari dua faktor : (1) pertumbuhan
areal panen; dan (2) peningkatan produktivitas. Pangan asal ternak antara lain
dipengaruhi oleh populasi ternak dan produktivitas. Sementara itu hasil perikanan
sangat tergantung dari sumberdaya perikanan yang ada dan kegiatan penangkapan
serta budidaya perikanan. Rataan produksi dan tingkat pertumbuhan selama kurun
waktu 1995-1999 di Provinsi Sulawesi Utara disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Produksi Komoditas Pangan dan Laju Perkembangannya di Sulawesi Utara,
Tahun 1995-1999
53
5,9 persen per tahun, dengan rataan produksi pada kurun waktu tersebut sekitar
231.455 ton.
Selain beras, jagung dikonsumsi sebagai makanan pokok pada sebagian
penduduk Sulawesi Utara, terutama etnis Minahasa. Konsumsi jagung ini biasanya
dicampur dengan beras. Produksi jagung selama kurun waktu 1995-1999 cenderung
meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 3,9 persen per tahun. Produksi ubi jalar
dan ubi kayu relatif kecil, selama 1995-1999 produksi komoditas tersebut menurun yang
ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang negatif, masing-masing dengan laju
pertumbuhan 12 persen(ubi jalar) dan 17 persen (ubi kayu) per tahun. Berkurangnya
produksi terutama karena berkurangnya areal tanam komoditas tersebut, karena
tergeser oleh komoditas-komoditas yang dipandang lebih menguntungkan.
Selain serealia dan umbi-umbian, sumber karbohidrat yang cukup menonjol
adalah sagu, walaupun produksinya relatif kecil, namun cenderung meningkat dengan
laju pertumbuhan rata-rata 18 persen per tahun selama 1994-1999. Pangan sagu ini
biasanya dikonsumsi bukan sebagai makanan pokok, tetapi diolah menjadi kue untuk
makanan selingan.
Produksi kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati mengalami
penurunan, kecuali untuk kacang tanah meningkat selama kurun waktu 1994-1999
dengan laju pertumbuhan rata-rata 6,2 persen per tahun. Sementara itu produksi minyak
nabati yang utama adalah minyak kelapa, produksinya cukup berlimpah di Sulawesi
Utara dan pertumbuhan rata-rata 21 persen per tahun, sehingga setiap tahunnya terjadi
surplus produksi.
Pangan nabati sumber vitamin dan mineral yang umum berasal dari buah-buahan
dan sayur-sayuran. Komoditas buah-buahan yang dominan diproduksi adalah pisang,
pepaya dan mangga. Dilihat dari laju pertumbuhannya maka pisang dan mangga
cenderung meningkat produksinya, sebaliknya produksi pepaya mengalami penurunan
(lihat tabel 2). Dari tabel 2 tampak bahwa produksi sayuran dominan (tomat dan cabe)
selama kurun waktu 1995-1999 cenderung menurun. Penurunan produksi yang tinggi
terutama setelah tahun 1997 (1997-1998), yakni berbarengan terjadinya krisis ekonomi,
kondisi ini mempengaruhi kinerja usahatani komoditas tersebut, mengingat komoditas ini
bersifat padat modal, secara tidak langsung berpengaruh terhadap penurunan areal
tanam kedua komoditas tersebut, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap turunnya
produksi.
Produksi pangan sumber protein hewani seperti terlihat pada tabel 2, tampak
bahwa dari delapan jenis pangan hewani yang ada, hanya produksi daging ayam ras
dan ikan laut yang mengalami peningkatan, sedangkan yang lainnya mengalami
penurunan. Tingginya produksi perikanan laut selain untuk kebutuhan daerah, juga di
antarpulaukan bahkan diekspor ke luar negeri, terutama jenis tuna, cakalang dan
tongkol.
54
Net impor merupakan jumlah pangan, menurut jenisnya, yang masuk ke wilayah
Sulawesi Utara dikurangi jumlah pangan yang ke luar (ekspor) dari wilayah Sulawesi
Utara. Tabel 3 menyajikan perkembangan net impor komoditas pangan dominan di
Sulawesi Utara. Tampak bahwa pangan pokok beras dan gandum selalu defisit selama
periode 1995-1999, indikasi ini dapat dilihat dari nilai net impor yang bertanda positif, ini
menunjukkan bahwa komoditas tersebut tidak dapat dipenuhi dari produksi sendiri. Net
impor tertinggi terjadi pada tahun 1998, ini sangat berkaitan dengan rendahnya produksi
beras pada tahun itu, sehingga untuk mengimbangi rendahnya ketersediaan pangan
dan produksi, dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk setempat dilakukan impor
beras yang cukup besar. Nilai net impor tersebut sudah termasuk pangan yang masuk
dan perdagangan antar pulau.
Tabel 3. Perkembangan Net Impor Komoditas Pangan di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1995
1999
Tahun
Jenis pangan
1995 1996 1997 1998 1999
Gandum 22.470 16.650 24.000 16.000 24.100
Beras 46.686 41.522 47.421 123.802 85.721
Jagung -38.261 0 -6.100 0 -1.200
Kedelai -6.503 0 0 0 412
Cabe -274 -6.855 0 0 -260
Kopra -20.124 0 0 0 265.880
Minyak Goreng -100.076 -125.391 -149.068 -149.068 -142.240
Ikan tuna -29.182 -27.612 -42.958 -42.958 -42.393
/cakalang/tongkol
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)
55
tangga, pedagang eceran, perusahaan/industri makanan jadi, rumah makan dan
sejenisnya pada periode tertentu. Data ketersediaan yang dimaksud dapat memberikan
gambaran volume ketersediaan untuk individu penduduk. Ketersediaan pangan dan
perkembangannya secara lengkap disajikan pada Tabel 4 dan 5
Tabel 4. Perkembangan Ketersediaan Pangan Utama Sumber Karbohidrat, Vitamin, dan Mineral
untuk Konsumsi di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1995 1999
(kg/kapita/tahun)
Tahun Laju per-
Jenis Pangan tumbuhan
1995 1996 1997 1998 1999
(%/th)
Sumber Karbohidrat
- Beras 97,04 109,59 102,87 99,59 98,91 -0,62
- Jagung (pipilan kering) 41,91 58,27 43,57 49,37 66,38 7,71
- Ubi jalar 7,78 11,31 11,09 4,50 4,86 -16,00
- Ubi kayu 17,22 29,58 16,86 14,09 9,14 -18,21
- Sagu/tepung sagu 1,66 1,71 1,77 4,50 2,96 21,20
Sumber Vitamin & Mineral
- Pisang 9,15 10,02 4,12 8,02 13,22 6,89
- Mangga 2,79 3,42 1,05 3,99 5,33 17,04
- Pepaya 6,37 4,02 0,95 3,22 3,07 -20,97
- Tomat 10,79 8,75 5,25 5,94 5,83 -17,41
- Cabe 6,66 2,66 1,96 1,18 3,92 -21,24
- Wortel 0,98 2,47 0,75 3,18 3,27 24,79
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)
56
5. Beberapa jenis komoditas pada kelompok pangan tersebut yang mengalami
peningkatan selama lima tahun terakhir adalah pisang, mangga dan wortel. Laju
pertumbuhan tertinggi ditemukan pada wortel yakni rata-rata 26 persen per tahun,
kemudian berturut-turut mangga sebesar 17 persen dan pisang sebesar 7 persen.
Sebaliknya ketersediaan pepaya, tomat dan cabe cenderung menurun, dengan laju
penurunan masing-masing mencapai 21 persen pada pepaya, kemudian 17 persen
pada tomat dan 21 persen untu cabe. Penurunan sangat signifikan terutama terjadi
antara tahun 1998-1999, baik dari sisi ketersediaan maupun produksi cabe.
Tabel 5. Perkembangan Ketersediaan Pangan Sumber Protein Hewani, Nabati dan Lemak di
Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1995 - 1999
(kg/kapita/tahun)
Tahun Laju per-
Jenis Pangan tumbuhan
1995 1996 1997 1998 1999
(%/th)
Sumber Protein Hewani
- Daging sapi 1,25 1,06 1,27 1,27 1,10 -2,36
- Daging kambing 0,11 0,11 0,11 0,17 1,16 12,12
- Daging babi 3,74 3,71 3,93 2,01 2,16 -15,63
- Daging ayam kampung 0,41 0,42 0,44 0,37 0,36 -3,75
- Daging ayam ras 0,37 0,41 0,50 0,63 0,95 24,13
- Telur ayam kampung 0,16 0,16 0,24 0,33 0,31 19,59
- Telur ayam ras 1,99 1,92 2,05 1,61 1,50 -7,11
- Susu sapi - - - 0,00 1,50 -
- Ikan air tawar 2,06 0,83 1,55 1,82 1,86 3,63
- Ikan laut 22,90 32,43 26,28 31,14 43,62 12,84
Sumber Protein Nabati
- Kacang tanah 1,50 2,09 2,56 2,06 2,15 6,13
- Kedelai 10,81 11,82 5,59 2,15 3,93 -31,15
- Kacang hijau 0,74 2,69 1,62 0,42 1,29 -2,00
Sumber Lemak
- Minyak kelapa 15,21 11,72 7,46 6,10 6,21 -25,29
- Lemak babi 0,49 0,49 0,52 0,27 0,29 -15,05
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)
Kualitas protein hewani relatif lebih baik dibanding protein nabati, sesuai
dengan agroekosistem wilayah Sulawesi Utara yang sebagian besar merupakan daerah
pantai maka komoditas ikan laut merupakan sumber protein hewani yang dominan. Hal
ini terlihat dari besarnya ketersediaan pangan tersebut. Berdasarkan perhitungan NBM,
ketersediaan ikan laut pada tahun 1995 sebesar 23 kg/kapita/tahun. Selama lima tahun
terakhir tingkat ketersediaan pangan tersebut cenderung meningkat, dengan laju
pertumbuhan rata-rata 13 persen per tahun. Mengingat produksi ikan laut lebih besar
dibanding dengan kebutuhan, maka kelebihan produksi (terutama untuk jenis ikan tuna,
cakalang dan tongkol) diekspor ke luar negeri atau ke provinsi lain. Sementara itu
57
ketersediaan ikan air tawar relatif terbatas, walaupun selama 1995-1999 laju pertum-
buhannya cenderung meningkat.
Pangan asal ternak yang terdiri dari jenis daging dan telur mempunyai pola
yang beragam. Tampak bahwa untuk jenis daging, hanya daging kambing dan ayam ras
yang tingkat ketersediaannya mengalami peningkatan, dengan laju pertumbuhan
masing-masing 12 persen dan 24 persen per tahun. Tingginya ketersediaan daging
ayam ras, selain diperoleh dari produksi lokal juga berasal dari impor. Tingkat
ketersediaan daging babi relatif tinggi dibanding dengan jenis daging lainnya, namun
demikian ketersediaan daging babi cenderung menurun, selama 1995-1999 tingkat
pertumbuhannya 16 persen per tahun. Sementara itu pada kurun waktu yang sama
ketersediaan daging sapi juga menurun dengan laju pertumbuhan sebesar -2 persen per
tahun, sedangkan tingkat ketersediaan daging ayam kampung meningkat dengan laju
pertumbuhan 4 persen per tahun. Untuk jenis telur, ketersediaan telur ayam ras relatif
tinggi dibanding telur ayam kampung, namun sebaliknya walaupun ketersediaan telur
ayam kampung relatif kecil, tetapi ketersediaannya cenderung meningkat dengan laju
pertumbuhan 19,6 persen per tahun.
58
Tabel 6. Perbandingan Ketersediaan Pangan Anjuran Nasional dan Provinsi Sulawesi Utara,
Tahun 1999
59
nabati sekitar 92,7 94,6 persen; (2) protein terdiri dari 67,5 77,6 persen yang berasal
dari pangan nabati; (3) lemak diperoleh dari pangan berkisar 82,3 89,9 persen.
Bila ditelusuri lebih lanjut tampak bahwa penurunan cukup signifikan terjadi
pada tahun 1998, ini ditunjukkan dengan rendahnya ketiga besaran zat gizi tersebut
selama lima tahun terakhir, sementara itu kondisi tahun 1999 meningkat lagi (Tabel 7).
Hal ini berkaitan dengan puncak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, dimana
ketersediaan pangan untuk konsumsi pada saat itu menurun terutama yang berasal dari
impor dan pangan yang proses produksinya berbahan baku impor.
Tabel 7. Perkembangan Ketersediaan Energi, Protein dan Lemak di Provinsi Sulawesi Utara,
Tahun 1995 1999
Menarik untuk disimak adalah ketersediaan energi dan protein secara total
mengalami penurunan selama lima tahun terakhir, sebaliknya ketersediaan energi dan
protein hewani cenderung meningkat. Peningkatan cukup signifikan terutama terjadi
pada protein hewani yang mencapai laju pertumbuhan rata-rata 9,9 persen per tahun.
Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan mutu pangan yang ditunjukkan dengan
meningkatnya ketersediaan zat gizi hewani, terutama pangan kelompok ikan dan
sejenisnya (pangan asal laut), sehingga dapat dikatakan keberimbangan konsumsi
pangan nabati dan hewani semakin baik.
Nilai kecukupan energi diperoleh dari perhitungan yang mengacu pada jumlah
dan komposisi penduduk di provinsi Sulawesi Utara dan angka kecukupan energi
menurut kelompok umur berdasarkan hasil WNPG tahun 1998. Hasil perhitungan
diperoleh angka seperti ditunjukkan Tabel 8 yakni berkisar 2190 - 2203 Kkal/kapita/hari.
Berdasarkan Tabel 8 dapat dikemukakan bahwa ketersediaan energi relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kecukupan energi per kapita. Untuk mengetahui
60
tingkat ketahanan pangan, dihitung berdasarkan ketersediaan dan kecukupan pangan
yang menunjukan kisaran 0,85 1,10 selama lima tahun terakhir. Sementara itu data
kontribusi energi dari pangan sumber karbohidrat terhadap konsumsi energi adalah
0,628. Mengacu pada data di atas, dapat dianalisis status ketahanan pangan seperti
tercantum pada Tabel 8. Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa
selama kurun waktu 1995 1999 ketahanan pangan tingkat regional Provinsi Sulawesi
Utara adalah terjamin.
Tabel 8. Perkembangan Status Ketahanan Pangan di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1995-
1999
Tahun
Zat Gizi
1995 1996 1997 1998 1999
Ketersediaan energi 2597 2900 2254 2211 2495
(Kkal/kap/hari)
Kecukupan energi 2190 2189 2202 2196 2203
(Kkal/kap/hari)
Tingkat ketahanan 1,00 1,10 0,85 0,84 0,94
pangan
Status ketahanan Tahan Tahan Tahan Tahan Tahan
pangan pangan pangan pangan pangan pangan
terjamin terjamin terjamin terjamin terjamin
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara, Neraca Bahan Makanan (berbagai tahun)
61
Tabel 9. Distribusi Rumah Tangga menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi Sulawesi
Utara, Tahun 1999.
Proporsi yang cukup besar, lebih dari 55 persen termasuk golongan rentan
pangan. Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang
secara ekonomi (pendekatan di proksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk
kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat
kecukupan. Ini dapat dijelaskan bahwa hal tersebut terkait dengan pola konsumsi dan
kebiasaan makan. Data mendukung bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi
pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif tinggi dibanding
kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001).
Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (Kkal) yang
tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok
rentan pangan ini tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari
sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat
gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan
peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini
secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk mampu
mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih
digalakkan.
Kelompok kurang pangan proporsinya relatif kecil yakni hanya 4,0 persen.
Kelompok ini merupakan golongan dari sisi ekonomi relatif mampu untuk mengkonsumsi
pangan, namun dari indikator gizi termasuk kurang (konsumsi energi kurang dari syarat
kecukupan). Oleh karena itu penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan
gizi, terutama tentang pola konsumsi pangan yang beragam dan seimbang perlu
mendapat prioritas.
Bila ditelusuri lebih rinci antar wilayah, tampak bahwa proporsi rumah tangga
rawan pangan di pedesaan (23 %) lebih tinggi dibanding daerah perkotaan (17 %).
Sebaliknya untuk golongan rumah tangga tahan pangan di daerah pedesaan lebih
rendah dibanding perkotaan, dengan proporsi masing-masing 12 dan 31 persen. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kondisi di daerah pedesaan lebih buruk dibanding di
daerah kota.
62
Apabila hanya menggunakan indikator ekonomi (di proksi dari pangsa
pengeluaran pangan) dengan kriteria apabila pangsa pengeluaran pangan tinggi (> 60%
pengeluaran total), maka kelompok tersebut merupakan golongan yang relatif kurang
sejahtera. Dengan indikator tunggal tersebut, kelompok yang tidak tahan pangan adalah
kelompok rentan pangan dan rawan pangan. Dengan kriteria tersebut, maka proporsi
rumah tangga tidak tahan pangan di Sulawesi Utara sekitar 77 persen, bila dibedakan
kota dengan desa, ternyata proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa (85%)
lebih tinggi dibanding di daerah kota yang mencapai 66 persen.
Sementara itu bila menggunakan indikator tunggal dari kecukupan konsumsi
energi, sebagai proksi dari peubah gizi, maka kelompok rumah tangga dengan konsumsi
energi < 80 persen dari syarat kecukupan merupakan kelompok yang tidak tahan
pangan. Dengan kategori diatas, maka kelompok kurang pangan dan rawan pangan
tergolong tidak tahan pangan, dengan demikian maka proporsi kelompok rumah tangga
tidak tahan pangan sekitar 25 persen, bila dibedakan menurut wilayah, proporsi rumah
tangga tidak tahan pangan di desa dan di kota masing-masing sekitar 26 persen dan 23
persen.
Karakteristik Demografi
Peubah demografi yang dikaji sebagai penciri rumah tangga menurut kelompok
rumah tangga disajikan pada Tabel 10. Tampak bahwa secara agregat maupun menurut
wilayah rata-rata umur KK lebih tinggi dari pada istri, secara umum umur tersebut masih
dalam usia produktif. Sementara itu secara agregat (desa dan kota) tingkat pendidikan
KK di Provinsi Sulawesi Utara relatif sama pada kelompok rawan pangan, sedangkan di
pedesaan rata-rata tingkat pendidikan istri relatif lebih tinggi dibanding KK untuk semua
kelompok. Di daerah perkotaan relatif beragam, untuk kelompok rentan pangan dan
rawan pangan tingkat pendidikan istri lebih rendah dibanding KK, sebaliknya tingkat
pendidikan istri lebih tinggi dibanding KK pada kelompok tahan pangan dan kurang
pangan.
63
Tabel 10. Karakteristik Rumah Tangga Menurut Derajat Ketahanan Pangan dan Wilayah di
Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1999
Bila dicermati lebih jauh tampak bahwa jumlah anggota rumah tangga secara
absolut maupun diukur dengan unit ekivalen orang dewasa (JUED) pada kelompok
rumah tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan,
hal ini berlaku secara agregat maupun menurut wilayah. Ada kecenderungan bahwa
semakin besar jumlah anggota rumah tangga, semakin buruk derajat ketahanan pangan
rumah tangga yang bersangkutan. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga
Berencana dan Kelembagaan Posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan
meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.
64
Tabel 11. Distribusi Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Derajat Ketahanan
Pangan dan Wilayah di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1999
65
Tabel 12. Pola Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Rumah tangga menurut Derajat
Ketahanan Pangan dan Wilayah di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun 1999
66
energi dan protein agar seseorang dapat hidup sehat dan dapat aktif menjalankan
aktivitas sehari-hari secara produktif masing-masing sebesar 2 200 Kkal/kapita/hari
(untuk energi) dan 50 gram/kapita/hari untuk protein (LIPI, 1998).
Keragaan tingkat konsumsi energi dan protein masing-masing kelompok
rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dan wilayah di provinsi Sulawesi
Utara disajikan pada Tabel 13. Sesuai dengan kriteria yang dirumuskan bahwa
kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah
tangga dari sisi gizi cukup (>80% dari syarat kecukupan), seperti terlihat pada data
Tabel 13 kedua kelompok tersebut mengkonsumsi energi dan protein melebihi angka
kecukupan. Sebaliknya pada kelompok kurang pangan dan rawan pangan masing-
masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang
direkomendasikan, baik untuk wilayah pedesaan maupun kota.
Secara umum, rata-rata konsumsi energi di pedesaan lebih tinggi dibandingkan
penduduk kota, kecuali untuk kelompok rumah tangga rawan pangan terjadi sebaliknya.
Sementara itu untuk konsumsi protein, rata-rata penduduk pedesaan mengkonsumsi
protein lebih rendah dibandingkan penduduk kota, kecuali untuk kelompok tahan pangan
Hal ini mendukung pernyataan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi cukup
energi dan protein, walaupun dari sisi ekonomi tergolong kurang sejahtera.
Tabel 13. Rataan Konsumsi Protein menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi Sulawesi
Utara, Tahun 1999
67
konsumsi protein sesuai standar normatif. Apabila tingkat pencapaian konsumsi
energi/protein kurang dari 100 persen, artinya belum mencapai tingkat kecukupan yang
sesuai standar normatif.
Apabila kajian menyoroti mengenai tingkat konsumsi energi dan protein dari
standar normatif umum tanpa membedakan derajat ketahanan pangan, maka diperoleh
angka seperti disajikan pada Tabel 14. Tampak bahwa tingkat konsumsi energi belum
mencapai tingkat kecukupan energi standar normatif (< 100%). Sebaliknya tingkat
konsumsi protein umumnya sudah melebihi standar kecukupan. Bila dilihat lebih lanjut
menurut wilayah, maka tingkat konsumsi energi di desa umumnya lebih tinggi dibanding
di kota, sedangkan tingkat konsumsi protein berlaku sebaliknya.
Tabel 14. Tingkat Pencapaian Konsumsi Energi dan Protein di Provinsi Sulawesi Utara, Tahun
1999
(%)
Wilayah Energi 1) Protein 2)
Kota + Desa 96,6 119,4
Kota 95,9 125,2
Desa 97,0 116,8
Sumber : BPS, Susenas, 1999 (diolah)
Keterangan: 1) persen tingkat pencapaian konsumsi energi terhadap standar normatif (2800
Kkal/kap/hari)
2) persen tingkat pencapaian konsumsi protein terhadap standar normatif (50
gram/kap/hari
68
dengan potensi setempat perlu lebih diprioritaskan, terutama dalam kaitannya untuk
peningkatan pendapatan.
Dari temuan diatas menuntut pengambil kebijakan di tingkat wilayah untuk
merancang kebijakan program ketahanan pangan, tidak hanya dalam cakupan wilayah,
namun juga sampai tingkat rumah tangga/individu, khususnya untuk peningkatan
pendapatan agar akses terhadap pangan lebih terjamin. Hal ini dapat dicapai antara lain
dengan mengembangkan usaha kecil yang sudah ada, atau mengembangkan usaha
baru dengan basis bahan baku lokal dengan cara membantu modal dengan kredit
lunak.
DAFTAR PUSTAKA
69