Bab Ii
Bab Ii
2.1 Anatomi
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang sekitar 6 meter pada orang
dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum,
merupakan segmen yang paling proksimal, terletak retroperitoneal berbatasan dengan
kaput dan batas inferior dari korpus pankreas. Doudenum dipisahkan dari gaster oleh
adanya pylorus dan dari jejunum oleh batas Ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum
terletak di intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterium. Tak ada
batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara Jejunum dan Ileum; 40% panjang
dari jejunoileal diyakini sebagai Jejunum dan 60% sisanya sebagai Ileum. Ileum
berbatasan dengan sekum di katup
ileosekal (Whang et al., 2005)
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau valvula
conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga terlihat secara
radiografi dan membantu untuk membedakan antara usus halus dan kolon. Lipatan ini
akan terlihat lebih jelas pada bagian proksimal usus halus daripada bagian distal. Hal
lain yang juga dapat digunakan untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus
halus ialah sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak mesenterial
yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang. Pemeriksaan makroskopis dari
usus halus juga didapatkan adanya folikel limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum,
juga disebut sebagai Peyer Patches. (Whang et al., 2005)
Gambar 2.1 : Gambaran Usus Halus
(Sumber : Simatupang, 2010)
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar terdiri
atas segmen awal (sekum), dan kolom asendens, transversum, desendens, sigmoid,
rectum dan anus. Sisa makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam
usus halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik kuat otot muskularis
eksterna usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu berbentuk semi cair; saat
mencapai bagian akhir usus besar, residu ini telah menjadi semi solid sebagaimana feses
umumnya. Meskipun terdapat di usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh
lebih banyak dibandingkan dengan yang di usus halus. Sel goblet ini juga bertambah dari
bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar tidak memiliki plika sirkularis maupun vili
intestinales, dan kelenjar usus/intestinal terletak lebih dalam daripada usus halus
(Eroschenko, 2003).
Gambar 2.2 : Sistem Saluran Pencernaan Manusia
(Sumber: Simatupang, 2010)
Suplai Vaskuler
Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari Aorta tepat
dibawah A. Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali Duodenum yang
sebagian atasnya diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Superior, suatu cabang
dari A. Gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah Duodenum diperdarahi oleh A.
Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu cabang A. Mesenterika Superior. Pembuluh -
pembuluh darah yang memperdarahi Jejunum dan Ileum ini beranastomosis satu sama
lain untuk membentuk serangkaian arkade. Bagian Ileum yang terbawah juga
diperdarahi oleh A. Ileocolica. Darah dikembalikan lewat V. Messentericus Superior
yang menyatu dengan V. lienalis membentuk vena porta. (Price, 2003).
Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memperdarahi belahan bagian kanan
(sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum) : (1)
ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika inferior
memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3)
rektalis superior (Price, 1994) (Whang et al., 2005).
Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe; 1.
Ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici
gastroduodenalis dan kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan 2. ke bawah, melalui
nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici mesentericus superior sekitar
pangkal arteri mesenterica superior.
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi lymphatici
mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus suprior, yang
terletak sekitar pangkal arteri mesentericus superior. Pembuluh limfe sekum berjalan
melewati banyak nodi lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici
msentericus superior. Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke
kelenjar limfe yang terletak di sepanjang perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon
ascendens dan dua pertiga dari kolon transversum cairan limfenya akan masuk ke nodi
limphatici mesentericus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga distal kolon
transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici mesentericus
inferior (Snell, 2004).
Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus)
dari pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk jejunum dan
ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus
mesentericus superior (Snell, 2004). Rangsangan parasimpatis merangasang aktivitas
sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis menghambat pergerakan usus.
Serabut - serabut sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri, sedangkan serabut -
serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang menimbulkan
fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang terletak dalam lapisan
muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa (Price, 2003).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian
pada sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar (Price, 2003). Sekum,
appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan
parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus superior. Pada kolon
transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf parasimpatis nervus
pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesentericus superior dan inferior.
Serabut - serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua pertiga proksimal kolon
transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus pelvikus.
Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi serabut - serabut simpatis dari pleksus
saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell, 2004).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek
berlawanan. (Price, 2003).
2.2 Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi
bahanbahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam
mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang
masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim enzim
pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat zat yang
lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan
asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim enzim. Sekresi empedu dari
hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga
memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus
(sukus enterikus). Banyak di antara enzim enzim ini terdapat pada brush border vili
dan mencernakan zat zat makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental usus
halus akan mencampur zat zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar
dan sekresi usus dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke
ujung lainnya dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinu
isi lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak
dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel
sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorbsi.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan bahan
makanan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri dari :
Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang mencampur
makanan dengan enzim enzim pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsi.
Pergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan ke arah usus
besar.
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang
terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang
terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot
longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan
berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1
4 cm. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi mengalami relaksasi,
segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus halus
berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus
sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan
hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi.
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat yang
merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses kontraksi
segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada duodenum dan sekitar 7
kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltik pada usus halus mendorong makanan
menuju ke arah kolon dengan kecepatan 0,5 sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian
proksimal lebih cepat daripada bagian distal. Gerakan peristaltik ini sangat lemah dan
biasanya menghilang setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama diatur oleh
adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi yang disebabkan oleh
adanya sel sel pace maker yang terdapat pada dinding usus halus, dimana aktifitas
dari sel sel ini dipengaruhi oleh sistem saraf dan hormonal.
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini sebagian
besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga menimbulkan
refleks peristaltik yang akan menyebar ke dinding usus halus. Selain itu, hormon
gastrin, CCK, serotonin, dan insulin juga meningkatkan pergerakan usus halus.
Sebaliknya sekretin dan glukagon menghambat pergerakan usus halus.
Setelah mencapai katup ileocaecal, makanan kadang kadang terhambat
selama beberapa jam sampai seseorang makan lagi. Pada saat tersebut, refleks
gastrileal meningkatkan aktifitas peristaltik dan mendorong makanan melewati katup
ileocaecal menuju ke kolon. Makanan yang menetap untuk beberapa lama pada daerah
ileum oleh adanya sfingter ileocaecal berfungsi agar makanan dapat diabsorbsi pada
daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk mencegah makanan kembali dari caecum
masuk ke ileum.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila tekanan di
dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi sfingter ileocaecal
akan meningkat dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang sehingga memperlambat
pengosongan ileum. Bila terjadi peradangan pada caecum atau pada appendiks maka
sfingter ileocaecal akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis
sehingga pengosonga ileum sangat terhambat.
BAB III
ILEUS OBSTRUKTIF
2.3.2 Epidemiologi
Perlekatan usus sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati urutan pertama.
Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari Ileus adalah perlekatan. Survey
Ileus Obstruksi di RSUD DR. Soetomo pada tahun 2001 mendapatkan 50% dari
penyebabnya adalah perlekatan usus, kemudian diikuti Hernia 33,3%, keganasan 15%,
Volvulus 1,7%.(5,10).
2.3.3 Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar pembedahan
pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil sekresi tak dapat melewati
lumen intestinal karena adanya sumbatan yang menghalangi. Obstruksi mekanik dari
lumen intestinal biasanya disebabkan oleh tiga mekanisme ; 1. blokade intralumen
(obturasi), 2. intramural atau lesi intrinsik dari dinding usus, dan 3. kompresi lumen atau
konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan
terjadinya obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu
pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari
satu faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan operasi. (Thompson, 2005)
Tabel 2.1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal (Whang et al.,
2005) (Thompson, 2005)
Obturasi Intraluminal Lesi Ekstrinsik Lesi Intrinsik
Benda Asing Adhesi Kongenital
- Iatrogenik Benda Asing - Atresia, stenosis,
- Tertelan Hernia dan webs
- Batu Empedu - Eksternal - Divertikulum
- Cacing - Internal Meckel
2.3.5 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga kelompok
(Yates, 2004) :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat & Jong,
2005):
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya
pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau
gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari
jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar
suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif dibagi
dua (Ullah et al., 2009):
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai duodenum,
jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon,
sigmoid dan rectum.
2.3.7 Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus
ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas
pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus dilihat sebagai konfirmasi
dan bukan menunda mulainya terapi yang segera. Diagnosa ileus obstruktif diperoleh
dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan
penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi
sebelumnya atau terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong, 2004). Pada ileus obstruktif
usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruktif usus
besar kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus
berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif usus besar onset muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan
turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya
distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Inspeksi pada penderita yang
kurus/sedang juga dapat ditemukan darm contour (gambaran kontur usus)
maupun darm steifung (gambaran gerakan usus), biasanya nampak jelas pada
saat penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan juga
pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu
serangan kolik.
b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga untuk
membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada foto polos
abdomen memperlihatkan gambaran normal namun dengan klinis menunjukkan
adanya obstruksi atau jika penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada
pemeriksaan ini juga dapat membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor
rekuren dan kerusakan akibat radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi
negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan
kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk
mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun perforasi.
Namun, penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya peritonitis dan
penggunaannya harus dihindari bila dicurigai terjadi perforasi. (Nobie, 2009)
c. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi
strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika klinis
dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT-scan juga dapat membedakan penyebab
obstruksi intestinal, seperti adhesi, hernia karena penyebab ekstrinsik dari
neoplasma dan penyakit Chron karena penyebab intrinsik. Obstruksi ditandai
dengan diametes usus halus sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal menjadi bagian
yang kolaps dengan diameter sekitar 1 cm. (Nobie, 2009)
Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat
spesifisitasnya sekitar 70-905 untuk mendeteksi adanya obstruksi intestinal.
Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi usus proksimal, dekompresi usus
bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat melewati bagian obstruksi dan
kolon yang mengandung sedikit cairan dan gas. CT scan juga dapat memberikan
gambaran adanya strangulasi dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung
tertutup diketahui melalui gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat
distribusi radial vasa mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi
ditandai dengan penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara didinding
usus), gas pada vena portal dan kurangnya uptake kontras intravena ke dalam
dinding dari bowel yang affected. CT scan juga digunakan untuk evaluasi
menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya mengetahui etiologi dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang rendah
(<50%) untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi usus halus parsial. Zona
transisi yang tipis akan sulit untuk diidentifikasi. (Nobie, 2009)
Gambar 2.13 CT Scan Ileus Obstruksi Akibat Intususepsi : tampak distensi usus halus
yang tidak diikuti dengan distensi kolon (Vriesman dan Robin, 2005)
d. CT enterography (CT enteroclysis)
Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan klinis.
Pemeriksaan ini merupakan pilihan pada ileus obstruksi intermiten atau pada
pasien dengan riwayat komplikasi pembedahan (seperti tumor, operasi besar). Pada
pemeriksaan ini memperlihatkan seluruh penebalan dinding usus dan dapat
dilakukan evaluasi pada mesenterium dan lemak perinerfon. Pemeriksaan ini
menggunakan teknologi CT-scan dan disertai dengan penggunaan kontras dalam
jumlah besar. CT enteroclysis lebih akurat disbanding dengan pemeriksaan CT
biasa dalam menentukan penyebab obstruksi (89% vs 50%), dan juga lokasi
obstruksi (100% vs 94%).(Nobie, 2009)
e. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi adanya
obstruksi. MRI juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologi dari obstruksi.
Namun, MRI memiliki keterbatasan antara lain kurang terjangkau dalam hal
transport pasien dan kurang dapat menggambarkan massa dan inflamasi. (Nobie,
2009)
f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi
dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan ilues obtruksi,
USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang distensi. USG dapat dengan
akurat menunjukkan lokasi dari usus yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi
yang lain, USG dapat memperlihatkan peristaltic, hal ini dapat membantu
membedakan obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih murah
dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan spesifitasnya dilaporkan
mencapai 100%. (Nobie, 2009)
Gambar 2.16 USG Longitudinal dari abdomen bagian bawah menunjukkan distensi
multiple dari usus halus akibat invaginasi (Hagen-Ansert, 2010).
2.3.9 Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan kekurangan
Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan intravena dengan
cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor dengan pemasangan
Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila
diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit,
dilakukan untuk menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi intestinal. (Evers,
2004)
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk
dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk
mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah
dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat
diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala
tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi
operatif. Pendekatan non operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal
komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak
akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam,
takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif
ini dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada
daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya injury
akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif melaporkan
bahwa penundaan operasi 12 24 jam masih dalam batas aman namun meningkatkan
resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat diterapi
dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan
adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk menghindari
enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara manual dari
segmen hernia dan dilakukan penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah menyebar,
terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya
sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif. Pada
kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil yang lebih baik baik daripada by
pass yang panjang dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas dari
segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih meragukan,
segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi hangat, salin moistened
sponge selama 15-20 menit dan kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna
normalnya telah kembali dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut
aman untuk dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras
intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada
obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata
non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian
usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan
sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif
bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya,
misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian
hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah et al., 2009).
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi usus
yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan yang
terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh karena catatan
tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat diperlukan. Pasca bedah
tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun terdengar bising usus.
Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah berfungsi dengan efisien, sementara
ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare pasca
bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta menjaga
keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan pada pasca
bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring
pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain
pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya
mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum
luas dan disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.
2.3.10 Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat
menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).
2.3.11 Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi
dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi
strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35%
atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat
(Nobie, 2009).
2.4 Bezoar
2.4.1 Definisi
Bezoar merupakan suatu masa intraluminal yang terdapat di sistim pencernaan
yang disebabkan oleh akumulasi materi-materi yang tidak dapat atau sulit dicerna
seperti sayur, buah, dan rambut (Bingham, JR; 2014)
Bezoar dapat disebabkan oleh berbagai macam materi seperti: trichobezoar
berisikan rambut, phytobezoar berisikan sisa sayur dan buah, lactobezoar berisikan
makanan yang terbuat dari susu, pharmacobezoar disebabkan oleh obat-obatan.
(Altintoprak, 2010)
Phytobezoar merupakan materi penyebab tersering dibandingkan ketiga materi
lainnya. Hal ini didapatkan pada sayur dan buah yang banyak mengnadung tinggi
cellulose, hemicellulose, lignin dan tannins dimana kandungan ini sulit untuk dicerna
oleh sistim pencernaan. (Masaya, Iwamuro; 2015)
Trichobezoar adalah bola rambut yang terperangkap di saluran pencernaan.
Trichobezoar merupakan kondisi yang jarang ditemukan, biasanya ditemukan pada
wanita muda dengan gangguan psikologis. Gangguan ini menyebabkan penderita untuk
mencabuti rambutnya sendiri (trichotilomania) dan kemudian memakannya
(trichophagia). Rambut merupakan materi yang tidak dapat dicerna sehingga apabila hal
ini terus berulang menyebabkan timbulnya akumulasi dan membentuk bola rambut.
Kondisi ini dinamakan Rapunzel syndrome yang pertama kali ditemukan oleh Vaughan
pada tahun 1968. (Gorter, RR;2010)
Pharmacobezoar diakibatkan oleh komplikasi dari obat yang dipecah melalui
sistim pencernaan. Obat-obatan pencahar yang memiliki kandungan perdium dan
psyllium berkontribusi menyebabkan pharmacobezoar hal ini disebabkan oleh sifat obat
pencahar yang meningkatkan penyerapan air dan melunakan feses. (Oka,A;2013)
Obat-obatan yang bersifat lepas lambat merupakan penyebab lain terjadinya
pharmacobezoar. Obat lepas lambat ini seperti nifedipin dan verapamil yang dilapisi
oleh asam cellulose yang merupakan bahan sistetis dari tumbuhan yang mengandung
cellulose. (Masaya, I;2015)
Lactobezoar disebabkan oleh materi yang tidak dapat dicerna yang berasal dari
susu dan mukus. Timbulnya lactobezoar dapat disebakan oleh banyak faktor diantaranya
faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor eksogen seperti komposisi susu yang dibuat
dari bahan sintetik, pengaruh obat-obatan yang menyebabkan menurunnya motilitas
usus dan sekrsi, dan faktor metode dalam menyusui. Faktor endogen diantaranya
dehidrasi, kelahiran prematur dan kapasitas saluran cerna.
2.4.2 Etiologi
BAB IV
KESIMPULAN
Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh
sumbatanmekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan menyebabkan isi usus terhalang dan
tertimbun di bagian proksimal dari sumbatan, sehingga pada daerah proksimal tersebut akan
terjadi distensiatau dilatasi usus.Adhesi, hernia, dan tumor mencakup 90% etiologi kasus
obstruksi mekanik usus halus. Adhesidan hernia jarang menyebabkan obstruksi pada colon.
Penyebab tersering obstruksi pada colonadalah kanker, diverticulitis, dan volvulus.
Adhesi dapat timbul karena operasi yang sebelumnya, atau peritonitis setempat atau
umum. Pitaadhesi timbul diantara lipatan usus dan luka dan situs operasi. Adhesi ini dapat
meyebabkanobstruksi usus halus dengan menyebabkan angulasi akut dan kinking, seringnya
adhesi ini timbul beberapa tahun setelah operasi. Hal ini dikarenakan teknik operasi yang
salah atau terlalu banyak trauma pada usus sewaktu operasi sehingga usus rusak dan terbentuk
jaringan parut yang dapatmengalami penyempitan.Bahkan teknik pembedahan yang baik pun
tidak dapat selalu mencegah pembentukan adhesi.
Jadi, sebagai metode tambahan, banyak ahli bedah telah menggunakan adhesion
barriers sebagai pencegahan terjadinya adhesi pada bedah abdomen dan pelvis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs.
studentBMJ April 2002;10:102-3
2. Edelman, RR. 2010. Pregnancy and Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th, 2011,
Available at: http://www.mr-tip.com/serv1.php?type=img&img=Pregnancy%20and
%20Small%20Bowel%20Obstruction
3. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.). (D.
Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
4. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery (17 ed., pp.
1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
5. Faradilla, Nova. 2009. Ileus Obstruksi. Pekanbaru : FK UNRI
6. Hagen-Ansert, S. 2010. Sonographic Evaluation of the Acute Abdomen. Retrieved June
6th, 2011, Available at:
http://www.gehealthcare.com/usen/education/proff_leadership/products/msucmeaa.html
7. Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th, 2011,
Available at emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/374962-overview
8. Markogiannakis H, Messaris E, Dardamanis D, Pararas N, Tzertzemelis D, Giannopoulos
P,et al. 2007. Acute mechanical bowel obstruction:clinical presentation, etiology,
management and outcome. World Journal of gastroenterology. January 2007 21;13(3):432-
437. Available from:URL:http://www.wjgnet.com
9. Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved July 16, 2010, Available at :
http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
10. Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved June 6th, 2011,
from emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
11. Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S. A. Price, L.
McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
12. Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved June 6th, 2011,
Available at: http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
13. Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
14. Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New York
15. Thompson, J. S. 2005. Intestinal Obstruction, Ileus, and Pseudoobstruction. In R. H. Bell,
L. F. Rikkers, & M. W. Mulholland (Eds.), Digestive Tract Surgery (Vol. 2, p. 1119).
Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher
16. Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A Spectrum of
causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92
17. Vriesman, AB and Robin S. 2005. Acute Abdomen - A Practical Approach. Retrieved June
6th, 2011, Available at: http://www.radiologyassistant.nl/en/420cd11061ecd
18. Whang, E. E., Ashley, S. W., & Zinner, M. J. 2005. Small Intestine. In B. e. al (Ed.),
Schwatz`s Principles Of Surgery (8 ed., p. 1018). McGraw-Hill Companies.
19. Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM, Murray L, Brown
AFT, Heyworth T, editors. Textbook of adult emergency medicine. 2nd ed. New York:
Churchill Livingstone. p.306-9