Anda di halaman 1dari 12

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit
terparah pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih
merupakan penyebab kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi
penyakit tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12
juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun.
Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV,
dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh
orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009). Indonesia pada tahun 2009
menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia
sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika
Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010).
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB
sebagai penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit
kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor
satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes, 2007).
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun
TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga
merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner
digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru.
Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari
semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB
merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner).
Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner
adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu
35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004). Limfadenitis TB lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 1,2:1
(Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60
pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria
2

dengan rentang umur 40,9 16,9 (1388) (Geldmacher, 2002).


3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada
kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis
(Ioachim, 2009).
Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut
dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di
leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah
scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar.
Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada
sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak
zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama K ings
evil, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat
menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit
disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur
dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut
dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).

2.2 Epidemiologi
Limfadenitis tuberkulosis perifer merangkum ~ 10% dari kasus-kasus
tuberkulosis di Amerika Serikat. Karakteristik epidemiologi
termasuk perbandingan 1.4:1 untuk perempuan kepada laki-laki , memuncak pada
rentang usia 30-40 tahun, dan dominan untuk pendatang asing, terutama Asia
Timur (Fontanilla et al. , 2011).
Tinjauan literatur menunjukkan limfadenopati servikal menjadi predileksi
paling sering untuk limfadenitis TB diikuti oleh limfadenopati aksilaris
dan limfadenopati sangat jarang di lokasi inguinal. Insiden kelompok leher
terlibat dalam 74% - 90% kasus, kelompok aksilaris dalam 14%-20%
kasus dan kelompok inguinal dalam 4-8% kasus. (Bezabih et al., 2002)( Seth et
4

al., 1995).Satu studi di India yang dilakukan di Orissa menunjukkan bahwa


keterlibatan nodus limfa inguinal adalah lebih umum daripada
limfadenopati aksilaris (Danpadat, 1990) Keterlibatan kelompok nodus limfa
inguinal ini juga sering dikelompok etnis Igbos di Nigeria. (Onuigbo, 1975)

2.3 Etiologi
Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu
M.tuberculosis (pada manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti
dan M.caprae. Secara mikrobiologi, M.tuberculosis merupakan basil tahan
asam yang dapat dilihat dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen atau Kinyoun-
Gabbett. Pada pewarnaan tahan asam akan terlihat kuman berwarna merah
berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5pm (Utji dan Harun, 1994).
M.tuberculosis dapattumbuh dengan energi yang diperoleh dari oksidasi
senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan.
M.tuberculosismerupakan mikroba kecil seperti batang yang tahan terhadap
desinfektan lemah dan bertahan hidup pada kondisi yang kering hingga
berminggu-minggu, tetapi hanya dapat tumbuh di dalam organisme hospes.
Kuman akan mati pada suhu 600C selama 15-20 menit, Pada suhu 300 atau 400-
450C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan
oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman (Utji dan Harun, 1994).
Daya tahan kuman M.tuberculosislebih besar dibandingkan dengan
kuman lainnya karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini
tahan terhadap asam, alkali dan zat warna malakit. Pada sputum yang melekat
pada debu dapat tahan hidup selama 8-10 hari. M.tuberculosis dapat dibunuh
dengan pasteurisasi (Utji dan Harun, 1994).

2.4 Patofisiologi
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat
diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer
(sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering
disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder)
5

disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa,
walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa
(Raviglione, 2010). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain
selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut
Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh
basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih,
tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada
saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis
(Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet.
Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh
makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar
secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Demikian itu, patogenesis Lifadenitis tuberkulosis inguinalis terisolasi
dapat dijelaskan oleh reaktivasi lokal infeksi dormant, akibat dari penyebaran
limfogen Mycobacterium dari fokus paru subklinis. Penyebaran basil TB
ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional hilus ,
dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar
limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik,
3 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas
seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi
basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut
fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan
limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus
Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti
dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik
terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi
penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat
bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit (Datta, 2004).Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada
6

orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB
post-primer. Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil
TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan
jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada
TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar
limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan
paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada
parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil TB juga dapat menginfeksi
kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu sebelum menginfeksi paru. Basil
TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui
inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher
(Datta, 2004).
Peningkatan ukuran nodus mungkin disebabkan oleh berikut:
1.Multiplication sel dalam node, termasuk limfosit, plasma sel, monosit, atau
histiosit 2.Infiltrasi sel-sel dari luar nodus, misalnya sel ganas atau
neutrofil.3.Drainase sumber infeksi oleh kelenjar getah bening.

2.5 Gejala Klinis


Limfadenitis TB ekstremitas bawah ini sering di kelenjar getah bening
inguinalis lateralis dan femoralis.Ukuran nodus membesar dan harus berhati-hati
karena yang tercatat meningkat tajam dalam ukuran dapat menunjukkan potensi
untuk keganasan. Bentuk nodus limfa biasanya satu,namun beberapa kelenjar
bisa berkonfluensi. Konsistensi mungkin termasuk kusut, fluksus, tegas, kenyal,
atau keras. Dalam tahap awal, nodus dalam tuberkulosis adalah dengan
berbatas tegas, mobil, tidak lembut, dan tegas. Jika infeksi tetap tidak diobati,
nodus melunakkan, menjadi fluksus, dan melekat pada kulit yang mungkin
menjadi eritematus. Pada nodus-nodus multiple,perlunakan tidak serentak. Jika
terjadi abses, abses lanjut menjadi fistel multipel berubah menjadi ulkus-ulkus
khas: bentuk tidak teratur, sekitar livide,dinding bergaung, jaringan granulasi
tertutup pus seropurulen, krusta kuning-sikatriks memanjang, tidak teratur.
Fiksasi kelenjar getah bening pada kulit dan jaringan lunak dapat berarti
7

keganasan. Kulit atasnya mungkin eritematus dalam etiologi infeksi. Sinus


drainase dapat berkembang pada pasien dengan adenopati tuberkulosis. Gejala
seperti penyakit saluran pernafasan atas, sakit tenggorokan, otalgia, coryza,
konjungtivitis, dan impetigo sering ditemukan ditambah dengan demam,
iritabilitas dan anoreksia. Limfadenitis bisa terjadi tanpa radang akut.
Manifestasi klinis tergantung pada lokasi limfadenopati dan status
imun dari pasien. Manifestasi klinis juga bervariasi pada berbagai etnik dan
geografi dari populasi. Lebih dari sepertiga pasien akan melaporkan adanya
riwayat TB sebelumnya atau riwayat keluarga menderita TB.
Manifestasi tersering yaitu limfadenopati nontender kronik pada pasien
dewasa muda tanpa gejala sistemik. Massa tersebut dapat berkembang sampai
lebih dari 12 bulan sebelum diagnosis. Dari pemeriksaan fisik ditemukan massa
yang terpisah-pisah atau "matted nodes" yang terfiksasi ke jaringan sekitarnya,
kadang disertai dengan indurasi kulit di bawahnya. Kadang-kadang, draining
sinus, fluktuasi, atau eritema nodosum dijumpai pada lokasi tersebut.
1. Limfadenopati Servikal
Nodus limfe servikal biasanya terlibat pada limfadenitis TB dengan 63-
77% dari kasus. Massa unilateral biasanya sering muncul di bagian anterior
atau posterior triangular servikalis tetapi nodus limfe submandibular dan
supraklavikular juga terlibat. Lesi bilateral jarang dijumpai, mungkin terjadi
kurang dari 10% kasus . Meskipun, kebnanyakan pasien mempunyai manifestasi
di satu lokasi, nodus-nodus yang lain di lokasi tersebut dapat terlibat juga.
2. Nodus-nodus lain yang terlibat
Meskipun regio servilkalis sering terkena, lokasi lain juga sering
dilaporkan. Tuberkulosis pada nodus limfe aksilaris, inguinalis, mesentrik,
mediastinal, dan intramammaris telah dilaporkan. Tuberkulosis limfadenopati
mediastinal dapat disertai dengan disfagia, perforasi esofagus, paralisis pita
suara akibat terlibatnya nercus laringeal rekurens, dan oklusi arteri
pulmonalis yang mirip dengan gejala emboli paru.
Isolated TB Iutroabdominal lymphhadenopathy sering mengenai nodus
limfe di regio periportal, diikuti dengan nodus limfe perpankreas dan
mesentric. Nodus limfe hepar yang terkena menyebabkan jaundis, trombosis
8

vena portal, dan hipertensi portal. Kompresi ektrinsik pada arteri renalis
akibat limfadenopati tuberkulosis abdominal menyebabkan hipertensi
renovaskular.
Koinfeksi HIV dapat mempengaruhi manifestasui klinis limfadenitis
TB. Pasien dengan AIDS dan pada derajat yang lebih ringan, pasien yang
hanya terinfeksi HIV, cenderung memiliki manifestasi TB diseminata dengan
keterlibatan lebih dari satu lokasi nouds limfe. Gejala sistemik seperti
demam, berkeringat, dan penurunan berat badan sering ditemukan.
Kebanyakan pasien dengan keterlibatan nodus mediastinal dan hilar akan
terkena TB paru dan menyebabkan dispnea dan takipnea. Pasien HIV dengan
limfadenitis TB bisa terkena infeksi oportunistik lainnya pada saat yang
bersamaan.
Jones dan Campbell mengklasifikasikan lymph nodes tuberculosis
ke dalam beberapa stadium:
a. Stadium 1: pembesaran, tegas, mobile, nodus yang terpisah yang
menunjukkan hyperplasia reaktif non-spesifik
b. Stadium 2: rubbery nodes yang berukuran besar yang terfiksasi ke jaringan
sekitarnya
c. Stadium 3: perlunakan sentral akibat pembentukan abses
d. Stadium 4: formasi abses collar-stud
e. Stadium 5: formasi traktus sinus

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis definitif adalah dengan kultur atau amplifikasi nucleic
amplifikasi Mycobacterium tuberculosis; demonstrasi basil tahan asam dan
peradangan granulomatosa dapat membantu. Biopsi eksisional memiliki
kepekaan tertinggi pada 80%, tetapi aspirasi jarum kurang invasif dan mungkin
berguna, terutama pada hos dengan immunitas rendag dan pengaturan sumber
daya terbatas. (Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, 2011).
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukakan termasuk:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a.Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin disertai
leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis.
Newanda (2009) melaporkan 144 anak dengan spondilitis
9

tuberkulosis didapatkan 33% anak dengan laju endap darah yang


normal.
b. Uji Mantoux positif
c. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien
spondilitis tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan
abses.
d. Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam
sirkulasi.
e. Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent
Assay) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini
menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi. Pada populasi
dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga
sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
f. Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus
dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA,
amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai
DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan
mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil
permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil
permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan
bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan
diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4
minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC
(Becton Dickinson Diagnostic Instrument System). Dengan system ini
identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering
timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan
juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus
dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda,
2009).
2 . Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi
diagnosis klinis dan radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak
10

pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan jumlah basil yang adekuat.


Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen membutuhkan 104
basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per
mililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan
bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh
setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu
sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson
Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan
dalam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman
lain, masih tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat
radioaktif. Untuk itu dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya
(Newanda, 2009).

2.7 Terapi
Terapi antimycobacteria oral (OAT) tetap menjadi dasar dari perawatan,
tetapi respon lebih lambat dibandingkan dengan dalam tuberculosis paru; sakit
terus-menerus dan pembengkakan itu sering, dan reaksi paradox meningkat
dapat terjadi di 20% dari pasien. Peran steroid kontroversial. Pada awal
perjalanan penyakit biopsy eksisional layak diberi pertimbangan bagi kedua-dua
diagnosis optimal dan manajemen untuk tanggapan yang lambat terhadap terapi
OAT. (Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, 2011).

2.7.1 Oral Antimycobacteria Therapy


Mengenai pengobatan, pada prinsipnya sama dengan pengobatan pada
Tuberkulosis paru. Saat ini direkomendasikan pengobatan dengan menggunakan
obat paru lini pertama (selain injeksi streptomycin) dengan kombinasi 4 obat
selama 2 bln dan dilanjutkan INH, Rifampicin selama 4 bln. Atau dapat
diberikan dengan kombinasi 3 jenis obat dan dilanjutkan dengan INH dan
Rifampicin selama 7 bulan. Mengenai suntikan streptomycin untuk limfadenits
maka saat ini tidak direkomendasikan oleh WHO. Hal ini juga dibuktikan
oleh BTS (British Thoracic Society) yang melakukan clinical trial
menggunakan suntikan streptomycin dan hasilnya memperlihatkan tidak
11

jauh lebih baik dibanding kombinasi HRZE (INH, Rifampicin, Pyrazinamid


dan Etambutol).

DAFTAR PUSTAKA
12

Bagian Farmakologi FK UGM. 2008. Farmakoterapi


Antiinfeksi/Antibiotika. Petunjuk Kuliah Diskusi Untuk Kalangan Sendiri.
Bezabih M, Mariam DW, Selassie SG. Fine needle aspiration cytology
of suspected tuberculous lymphadenitis. Cytopathology 2002; 13 (5) :
284-90.
Dandapat MC, Mishra BM, Dash SP, Kar PK. Peripheral lymph node
tuberculosis: a review of 80 cases. Br J Surg 1990; 77 (8) : 911-2.
Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, Current diagnosis and management of
peripheral tuberculous lymphadenitis. Clin Infect Dis. 2011;53(6):555.
Koch, AL. 2003. Bacterial Wall as Target for Attack: Past, Present, and Future
Research. Clinical Microbiology Reviews. Clin Microbiol Rev. 2003
October; 16(4): 673687
Madigan M; Martinko J (editors). (2005). Brock Biology of Microorganisms
(11th ed.). Prentice Hall.
Madoff, LC. 2008. Introduction to Infectious Diseases: Host
Pathogen Interactions. Harrisons Internal of Medicine. Ney York:
BooksOvid
Miller, N. 2008. Antibiotic Guideline. New York
Newanda, JM. 2009. Spondilitis tuberkulosa. (Online),
(http://newandajm.wordpress.com/2009/09/03/spondilitis-tuberkulosa/.
Onuigbo WI. Tuberculous peripheral lymphadenitis in the Igbos
of Nigeria. Br J Su
Rehm, SJ., 2011. Guidelines for Antimicrobial Usage 2011-2012. Cleveland
Clinic Seth V, Kabra SK, Jain Y, Semwal OP, Mukhopadhyaya
S, Jensen RL tubercular lymphadenitis: clinical manifestations. Indian
J Pediatr 1995; 62 (5) : 565.
Todar, K. 2008. Online Textbook of Bacteriology.
Utji, R., dan Harun, H., 1994. Kuman Tahan Asam. Dalam: Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ed.Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara, 191-192.

Anda mungkin juga menyukai