BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada
kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis
(Ioachim, 2009).
Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut
dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di
leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah
scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar.
Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada
sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak
zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama K ings
evil, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat
menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit
disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur
dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut
dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).
2.2 Epidemiologi
Limfadenitis tuberkulosis perifer merangkum ~ 10% dari kasus-kasus
tuberkulosis di Amerika Serikat. Karakteristik epidemiologi
termasuk perbandingan 1.4:1 untuk perempuan kepada laki-laki , memuncak pada
rentang usia 30-40 tahun, dan dominan untuk pendatang asing, terutama Asia
Timur (Fontanilla et al. , 2011).
Tinjauan literatur menunjukkan limfadenopati servikal menjadi predileksi
paling sering untuk limfadenitis TB diikuti oleh limfadenopati aksilaris
dan limfadenopati sangat jarang di lokasi inguinal. Insiden kelompok leher
terlibat dalam 74% - 90% kasus, kelompok aksilaris dalam 14%-20%
kasus dan kelompok inguinal dalam 4-8% kasus. (Bezabih et al., 2002)( Seth et
4
2.3 Etiologi
Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu
M.tuberculosis (pada manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti
dan M.caprae. Secara mikrobiologi, M.tuberculosis merupakan basil tahan
asam yang dapat dilihat dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen atau Kinyoun-
Gabbett. Pada pewarnaan tahan asam akan terlihat kuman berwarna merah
berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5pm (Utji dan Harun, 1994).
M.tuberculosis dapattumbuh dengan energi yang diperoleh dari oksidasi
senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan.
M.tuberculosismerupakan mikroba kecil seperti batang yang tahan terhadap
desinfektan lemah dan bertahan hidup pada kondisi yang kering hingga
berminggu-minggu, tetapi hanya dapat tumbuh di dalam organisme hospes.
Kuman akan mati pada suhu 600C selama 15-20 menit, Pada suhu 300 atau 400-
450C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan
oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman (Utji dan Harun, 1994).
Daya tahan kuman M.tuberculosislebih besar dibandingkan dengan
kuman lainnya karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini
tahan terhadap asam, alkali dan zat warna malakit. Pada sputum yang melekat
pada debu dapat tahan hidup selama 8-10 hari. M.tuberculosis dapat dibunuh
dengan pasteurisasi (Utji dan Harun, 1994).
2.4 Patofisiologi
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat
diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer
(sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering
disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder)
5
disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa,
walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa
(Raviglione, 2010). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain
selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut
Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh
basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih,
tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada
saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis
(Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet.
Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh
makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar
secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Demikian itu, patogenesis Lifadenitis tuberkulosis inguinalis terisolasi
dapat dijelaskan oleh reaktivasi lokal infeksi dormant, akibat dari penyebaran
limfogen Mycobacterium dari fokus paru subklinis. Penyebaran basil TB
ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional hilus ,
dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar
limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik,
3 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas
seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi
basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut
fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan
limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus
Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti
dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik
terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi
penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat
bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit (Datta, 2004).Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada
6
orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB
post-primer. Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil
TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan
jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada
TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar
limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan
paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada
parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil TB juga dapat menginfeksi
kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu sebelum menginfeksi paru. Basil
TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui
inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher
(Datta, 2004).
Peningkatan ukuran nodus mungkin disebabkan oleh berikut:
1.Multiplication sel dalam node, termasuk limfosit, plasma sel, monosit, atau
histiosit 2.Infiltrasi sel-sel dari luar nodus, misalnya sel ganas atau
neutrofil.3.Drainase sumber infeksi oleh kelenjar getah bening.
vena portal, dan hipertensi portal. Kompresi ektrinsik pada arteri renalis
akibat limfadenopati tuberkulosis abdominal menyebabkan hipertensi
renovaskular.
Koinfeksi HIV dapat mempengaruhi manifestasui klinis limfadenitis
TB. Pasien dengan AIDS dan pada derajat yang lebih ringan, pasien yang
hanya terinfeksi HIV, cenderung memiliki manifestasi TB diseminata dengan
keterlibatan lebih dari satu lokasi nouds limfe. Gejala sistemik seperti
demam, berkeringat, dan penurunan berat badan sering ditemukan.
Kebanyakan pasien dengan keterlibatan nodus mediastinal dan hilar akan
terkena TB paru dan menyebabkan dispnea dan takipnea. Pasien HIV dengan
limfadenitis TB bisa terkena infeksi oportunistik lainnya pada saat yang
bersamaan.
Jones dan Campbell mengklasifikasikan lymph nodes tuberculosis
ke dalam beberapa stadium:
a. Stadium 1: pembesaran, tegas, mobile, nodus yang terpisah yang
menunjukkan hyperplasia reaktif non-spesifik
b. Stadium 2: rubbery nodes yang berukuran besar yang terfiksasi ke jaringan
sekitarnya
c. Stadium 3: perlunakan sentral akibat pembentukan abses
d. Stadium 4: formasi abses collar-stud
e. Stadium 5: formasi traktus sinus
2.7 Terapi
Terapi antimycobacteria oral (OAT) tetap menjadi dasar dari perawatan,
tetapi respon lebih lambat dibandingkan dengan dalam tuberculosis paru; sakit
terus-menerus dan pembengkakan itu sering, dan reaksi paradox meningkat
dapat terjadi di 20% dari pasien. Peran steroid kontroversial. Pada awal
perjalanan penyakit biopsy eksisional layak diberi pertimbangan bagi kedua-dua
diagnosis optimal dan manajemen untuk tanggapan yang lambat terhadap terapi
OAT. (Fontanilla JM, Barnes A, von Reyn CF, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
12