Anda di halaman 1dari 11

Demokratisasi dan Demokrasi di Indonesia

Paper diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Disusun oleh :

1) Ayudya Amelia (13060116130030)


2) Risqi Apreliawan (13060116130032)
3) Vien Nisa Nabila (13060116140031)

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
A. DEMOKRATISASI

Robert Dahl tahun 1971, mengartikan demokratisasi sebagai proses perubahan dari rejim otoriter
menuju ke poliarkhi yang didalam nya member kesempatan berpartisipasi dan liberalisasi lebih
tinggi.

I. Syarat Demokratisasi menurut Samuel Huntington :


I.1 berakhirnya sebuah rejim otoriter
I.2 dibangunnya sebuah rejim yang demokratis, dan
I.3 pengkonsolidasian rejim demokratis itu sendiri
II. Gelombang Demokratisasi
Proses perkembangan demokrasi sesuai syarat demokratisasi dibagi menjadi 12
kategori, dari A sampai L yang dikategorikan berdasarkan suatu Negara memulai
praktek demokrasi, yaitu :

Negara Ju Gel 1 Gel Balik 1 Gel 2 Gel Balik Gel 3 Gel Balik
1826-1926 1922-1942 1943-1962 1974
ml 2 3
(Gel.
1958- 1991-
ah
Panjang)
1975
Ne
gar
a
Kategori A Negara ini
Australia
melakukan
Kanada
proses
Finlandia
Eslandia demokratis
Irlandia
sejak Demokrati Demok Demokrati
Selandia Baru 10 Demokratis Demokratis
Swedia gelombang s ratis s
Swiss
dan
Inggris
AS mengawali
sejak saat
itu
Kategori B Kembali Proses Demokrati
Chili Proses
1 Demokratis Demokratis otoritarian demokr s
demokrasi
isme atis
Kategori C 10 Proses Kembali ke Proses Demokrati Demok Demokrati
Australia
Belgia
Kolombia
Denmark
Perancis Demokratis Otoritariani
Demokratis s ratis s
Jerman Barat sme
Italia
Jepang
Belanda
Norwegia
Kategori D
Argentina Kembali Kembali Proses
Cekoslovakia Proses Proses Demokrati
5 Otoritariani otoriariani Demok
Yunani Demokratis Demokratis s
Hungaria sme sme ratis
Uruguay
Kategori E
Kembali Proses
Jerman Timur Proses Demokrati
Polandia 4 otoritariani Otoriter Otoriter Demok
Portugal Demokratis s
sme ratis
Spanyol
Kategori F Kembali Di
Estoria Proses
3 Otoritariani eliminasi
Lativa Demokratis
Uthuania sme dari daftar
Kategori G Proses
Botswana
demokratis
Gambia
Israel sejak
Jamaika
gelombang Demokrati Demok Demokrati
Malaysia 9
Malta ini dan s ratis s
Srilanka
mengawali
Trinidad&Tob
sejak saat
ago
Venezuela itu
Ktegori H
Bolvia
Brazil Kembali
Ekuador Proses
India Proses Ke Demokrati
9 demokr
Korea Selatan Demokratis otoriraiani s
Pakistan atis
Peru sme
Philipina
Turki
Kategori I Kembali Proses Kembali
Nigeria
1 Demokratis otorirarian demokr ototitarian
isme atis isme
Kategori J
Kembali
Burma Proses Otorite
Fiji otoritarian Otoriter
Ghana 6 demokratis r
isme
Guvana
Indonesia
Libanon
Kategori K
Bulgaria
Elsavador
Guatemala
Haiti Proses
Honduras Demokrati
11 demokr
Mongolia s
Namibia atis
Nikaragua
Panama
Rumania
Senegal
Kategori L Kembali Proses Kembali
Sudan 2 otoritarian demokr otoriariani
Suriname
isme atis sme

a. Demokratisasi Gelombang Pertama (1828-1926)

Lebih dari 30 negara telah memiliki lembaga demokrasi di tingkat


nasional. Dimulai dari Negara kategori A sebagai awal proses demokratisasi yaitu
Amerika Serikat tahun 1828 disusul Negara kategori B hingga F

b. Gelombang Demokratisasi Balik Pertama (1922-1942)


Terjadi pergeseran menjauhi demokrasi, juga kembali ke bentuk otoriter
atau totaliter. Dekade berikutnya, Negara kategori C hingga F, seperti Italia
dibawah Mussolini, Jerman dibawah Hitler, dan Portugal dibawah Salazar
kembali ke totaliterisme yang wacananya komunisme, fasisme dan militerisme
praktis,
c. Gelombang Demokratisasi Kedua (1943-1962)
Pasca perang dunia II, Negara kalah perang mengikuti alur dinamika politik
internasional, yaitu :
- Italia dan Jepang , mengikuti jejak sekutu
- Jerman terbagi dua wilayah ideology yaitu,
Barat yang demokratis
Timur yang komunis
- Negara kategori E dan F (orbit komunis Uni Soviet)
- Terbentuk Negara Indonesia, Pakistan, Srilangka, Philipina, Israel
- Negara kategori C dan D menuju demokrasi
d. Gelombang Demokratisasi Balik Kedua (1958-1975)
Fase berdarah, dan hanya Negara kategori A,C dan G dapat mengindarkan
diri dari fenomena tersebut.Kurang lebih 22 negara Asia, Afrika dan Amerika
Latin mulai kembali ke otoriterisme yang ditandai adanya kudeta, adanya
otoriterisme-birokratik yaitu keterlibatan elit militer dan sipil dalam kekuasaan
dan Eropa memantapkan pada persaingan ideologis dalam perang dingin.
e. Gelombang Demokratisasi Ketiga (1974)
Dipicu oleh kejadian di Spanyol, Portugal dan Yunani yang menjungkirbalikan
teori demokrasi yang tidak bisa hidup di negara berkembang.
Efek Bola Salju (snow-ball effect) menurut Huntington :
- Amerika Latin (rejim otoriter Equador) di Peru, Bolivia, Brasil dan Agentina,
runtuh
- Asia
(rejim Marcos) di Philipina runtuh oleh people power dan terbunuhnya
Benigno Aquino
(rejim otoriter Chun Do Hwan) di Korea Selatan, runtuh
Mongolia
- Negara Komunis di Uni Soviet (superpower), lalu Eropa Timur seperti
Polandia, Bulgaria, Cekoslowkia, Rumania
Negara yang masih bertahan atau the end of history oleh Fukuyama :
- Cuba (Fidel Castro)
- Korea Utara (Dinasti Kim Yong II)
III. Isu-Isu Kritis
Demokrasi sering disudutkan, bahkan dituding sebagai penyebab dari masalah
yang dihadapi oleh Negara. Contoh Pro-kontra yang dihadapi :
- Demokrasi dengan pembangunan
- Radikalisme agama
- Konflik SARA
- Korupsi

a. Demokrasi dan Pembangunan


Antara demokrasi dan pembangunan, keduanya yang sering dipertentangkan di saat para
ahli hendak menentukan pilihan/kebijakan strategis dalam pembangunan nasional. Pertentangan
semakin tajam terjadi, khususnya di negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi.
Ancaman instabilitas politik dan ekonomi menjadi isu serius, terlebih lagi ketika pembangunan
menghadapi hambatan atau bila terancam kegagalan.
Dalam kondisi seperti itu perdebatanpun muncul. Kubu modernisasi-demokrasi
bersikukuh bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat berlangsung lebih pesat jika dilakukan di
alam demokrasi. Sebaliknya rejim otoritarian justru menuduh demokrasi sebagai penghambat
dan sumber instabilitas. Buktinya, bukan demokrasi tetapi justru otoritarianismelah yang
memakmurkan Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Cina.

Kenyataannya ketika komunisme runtuh dan krisis ekonomi hebat melanda, orangpun
berpaling ke demokrasi sebagai solusi. Yang jelas baik demokrasi maupun otoritarian keduanya
dapat mempengaruhi proses pembangunan, yang keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh fakor
internal dan eksternal.

b. Demokrasi dan Radikalisme Agama


Demokrasi dan kebangkitan agama merupakan fenomena besar di abad 20. Tidak adanya
demokrasi di Negara-negara Islam konservatif misalnya, telah menumbuhkan gerakan
kebangkitan agama, yang kemudian melahirkan radikalisme agama dan teror. Sebaliknya, adanya
demokrasi juga tidak menghilangkan lahirnya gerakan kebangkitan agama yang berujung pada
radikalisme dan terorisme.
Isu ini bermula dari tesis bahwa Negara-negara yang tidak demokrasi (tidak bebas)
merupakan wilayah produktif bagi lahirnya gerakan radikalisme agama dan terorisme. Namun,
ketika fenomena terorisme secara dominan dan merata melanda semua agama besar di dunia,
maka wajah paradoks demokrasi dan agama menjadi semakin terang. Buktinya, Negara-negara
kategori F dan H yang tergolong maju demokrasinya, ternyata juga dijangkiti wabah tersebut.
Dengan denikian, tesis bahwa Negara yang tidak demokratis menyuburkan radikalisme agama
menjadi mentah kembali.

c. Demokrasi dan Konflik


Dalam hubungannya dengan konflik, demokrasi sering diibaratkan sebagai pedang
bermata dua (di satu sisi membawa berkah, di sisi lain membawa petaka). Tidak adanya Negara
demokrasi yang saling berperang adalah sisi positif implikasi yang ditimbulkan oleh demokrasi.
Sebaliknya, adanya fakta bahwa demokrasi juga menimbulkan konflik SARA juga sesuatu yang
tidak mudah dipungkiri.
Negara-negara maju dan beberapa Negara eks-komunis bisa digolongkan dalam negara
berdemokrasi matang. Di sisi hak kelompok minoritas cenderung dilindungi dan konflik
SARA makin menghilang,
Sebaliknya, petaka terjadi bila demokrasi dilaksanakan secara tanggung. Di satu pihak
partisipasi politik massal meningkat, kebebasan berpendapat meluas dan pers nyaris bebas lepas,
sementara di lain pihak lembaga pengatur kehidupan sipil belum cukup mapan, dan elit politik
yang berkuasa merasa terancam oleh adanya demokratisasi.

d. Demokrasi dan Korupsi


Ketika laju perkembangan demokratisasi ternyata berjalan seiring dengan korupsi, hal itu
membuat banyak pihak menjadi risau. Muncul tudingan bahwa demokrasi menjadi penyebab
suburnya korupsi. Kenyataannya, Negara-negara yang tengah menuju transisi demokrasi
memang biasanya menjadi sasaran empuk penyakit korupsi.
Jonathan Moran mengkategorikan beberapa Negara transisi, yang sekaligus juga massif
korupsi ialah :
1) Negara transisi dari kekuasaan otoriter;
2) Transisi dari bekas Negara komunis
3) Negara-negara dekolonisasi, dan
4) Negara baru.
Di saat memasuki transisi demokrasi, Negara-negara tersebut memperlihatkan gejala yang
sama, yaitu :
1) Negara dalam keadaan lemah;
2) Proses demokratisasi politik yang drastis ternyata tidak berhasil mereduksi korupsi yang
sudah marak pada rejim sebelumnya;
3) Liberalisasi politik yang mendorong lahirnya kompetisi dan perburuan kekuasaan melalui
mekanisme dukungan politik, justru melahirkan peluang korupsi dalam bentuk money
politic

Kondisi tersebut masih ditunjang oleh lemahnya Negara untuk mengeliminir kejahatan
politik akibat supermasi hukum yang rentan, kelemahan kontrol aparat penegak hukum dan
perundang-undangan yang mandul.

Situasinya berbeda bila dibandingkan dengan di masa pemerintahan otoriter. Sentralisasi


kekuasaan dapat melahirkan penegakan hukum secara efektif dan efisien.

Walaupun berbagai tudingan terus diarahakan ke demokrasi, sementara krisis ekonomi


terus berlangsung dan korupsi makin mengganas, namun demokrasi tampaknya masih mendapat
kepercayaan di berbagai belahan dunia.

3. Prospek Demokrasi
Kubu skeptis sejak awal sudah mengingatkan betapa terjal jalan yang akan dilalui
demokrasi. Dikatakan bahwa demokrasi tidak mudah berkembang dalam realitas politik aktual.
Demokrasi baru bisa disemaikan jika tersedia masyarakat induvidualis yang kompetetif dan
berorientasi pasar. Robert Kaplan menemukan fakta bahwa demokrasi yang membawa
kemakmuram Eropa, ternyata tidak menyelamatkan bangsa Afrika. Sebaliknya justru
menjerumuskan mereka ke konflik antar suku dan agama yang berkepanjangan. Maraknya
kerusuhan sosial di Sudan dan Nigeria, juga di Haiti, Thailand, Birma, dan lain-lain yang
membuat militer kembali campur tangan dan sejumlah Negara berkembang kembali ke
otoriterisme menandakan bahwa demokrasi menjadi kian layu.

Sebaliknya, kubu optimistik justru berpendapat bahwa pasca Perang Dingin, orang mulai
melihat perang sebagai sesuatu yang usang. Mereka optimis bahwa sisa penghalang di jalan
liberalisme akan dapat disingkirkan dengan bantuan lembaga-lembaga intenasional.

Jika kubu skeptis memandang bahwa kawasan Timur Tengah dan kawasan sub-Sahara
Afrika yang mayoritas berpenduduk muslim sebagai penghambat laju demokratisasi, tidak
demikian dengan kubu optimistik, mereka berpendapat bahwa di Negara-negara islam tersebut
saat ini justru sedang tumbuh arus pluralis demokratis. Saat ini sebuah kelompok reformis Islam
yang baru tumbuh, sedang bergulat dengan isu utama Bagaimana memodernisasi dan
mendemokratisasi sistem politik dalam sebuah konteks islam.

Di tengah kontroversi antara sikap pro dan kontra terhadap demokrasi, perlu
dikemukakan beberapa fenomena menarik sehubungan dengan praktik-praktik demokrasi di
berbagai belahan dunia:

Pertama, ialah kisah sukses empat macan ekonomi Asia, yakni Taiwan, Korea Selatan,
Singapura, dan Hongkong yang dikenal kuat dengan tradisi otoriterisme, disamping Jepang,
Malaysia, dan Thailand. Fakta tersebut makin memperkuat kebenaran konsep Democratic
Developmental State (DOS) atau Negara Berkembang yang Demokratis. Intinya ialah
bagaimana berhasil memajukan pembangunan tanpa mengorbankan demokrasi.

Kedua, munculnya demokrasi Kosmopolitan, demokrasi ini timbul dari kondisi yang
beraneka ragam dan saling hubungan di antara rakyat dan bangsa yang berbeda-beda. Bermula
dari lahirnya pemerintahan trans-nasional, maka persoalan yang tadinya bersifat lokal, bahkan
urusan komunitas terbatas, bisa menjadai masalah global. Untuk memecahkan masalah tersebut
ternyata perlu kerjasama lintas Negara, sehingga terbentuk keputusan kolektif. Disini bukan
hanya Negara saja yang terlibat, tetapi juga organisasi antar pemerintah, kelompok penekan
internasional dll.

B. DEMOKRASI DI INDONESIA

Perkembangan demokrasi di Indonesia selalu mengalami pasang surut.


Masalahnya berkisar pada bagaimana menyusun system politik dengan kepemimpinan
yang cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dan character and nation
building. Berikut secara garis besar perkembangan demokrasi di Indonesia.

1. Periode 1945-1959 (Demokrasi Parlementer)

Berdasarkan UUD 1945 Indonesia menganut system presidensial, namun dengan


adanya Konvensi Syahrir tahun 1946 sistem presidensial berubah menjadi system
parementer. System tersebut dikukuhkan dengan berlakunya Konstitusi UUD RIS dan
UUDS RI 1950.

Dalam periode ini peran parlemen dan partai-partai politik sangat dominan.
Maraknya konflik politik yang berkepanjangan dan kabinet yang jatuh bangun dalam
waktu yag relatif singkat juga mewarnai periode ini.
Demokrasi parlementer berakhir dengan kegagalan Dewan Konstituante dalam
menyusun konstitusi. Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai
Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 dan dengan sistem presidensial.

2. Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin)

Periode ini sering disebut Orde Lama. Pada periode ini arah demokrasi di
Indonesia cenderung ke arah totalitarian. Hal ini ditandai oleh dominasi presiden, peran
parpol yang semakin terbatas, meluasnya peran ABRI sebagai unsur sosial politik, dn
berkembangnya komunis.

Padaperiode ini Indonesia melancarkan Konfrontasi dengan Malaysia dan


Indonesia juga menyatakan keluar dari PBB. Pada akhir Periode Orde Lama terjadi
peristiwa G 30 S/PKI di tahun 1965 untuk kemudian Indonesia memasuki periode baru.

3. Periode 1966-1998 (Demokrasi Pancasila)


Periode ini juga dinamakan Orde Baru. Tujuan awal Demokrasi Panasila adalah
kembali ke pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Namun
pada kenyataannya rejim pada periode ini lebih represif dan otoriter dibanding Orde
Lama.
Peran presiden dan militer terhadap lembaga lain begitu dominan. Pada akhir
periode ini terjadi gelombang aksi reformasi yang akhirnya menggulingkan rejim yang
berkuasa pada periode ini.
4. Periode 1998-sekarang (Era Reformasi)
setelah jatuhnya Orde Baru, bangsa Indonesia mulai mencoba menggeser arah
demokrasi kearah demokrasi penuh (advanced democracy). Hal ini ditandai dengan
pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara langsung. Dalam periode ini terdapat
penyeimbangan kekuatan antara lembaga eksekutif, yudikatif, dan eksekutif.
Meskipun begitu, dalam pelaksanaannya masih ada beberapa kelemahan. Saat ini
berbagai kalangan mulai risau akan ancaman demokrasi beku (frozen democracy).
Menurut Sorensen (1993) ada empat indikasi yang menandai terjadinya demokrasi beku.
Empat indikator tersebut yaitu:
1. Perkembangan ekonomi skala local maupun ansional mulai limbung,
2. Kemandegan pembentukan masyarakat madani (civil society),
3. Penyelesaian masalah-masalah sosial-politik wrisan rejim rejim sebelumnya tidak
pernah tuntas,
4. Konsolidasi politik yang tidak pernah mencapai soliditas, namun semu.

Bertolak dari empat indicator tersebut, dari pengamatan sepintas terlihat kemajuan
dibeberapa sektor, namun secara umum di berbagai aspek kehidupan seperti politik,
ekonomi, social, budaya, dan pendidikan belum mengalami kemajuan yang signifikan.

Bagi Indonesia, apapun predikat yang diberikan kepada demokrasi, yang


diharapkan ialah demokrasi yang bertanggung jawab. Artinya, bertanggung jawab
terhadap Tuhan maupun sesama manusia. Disamping diperlukannya pemeritah yang kuat
dan berwibawa, juga dibutuhkan pembebasan dinamika masyarakat melalui pemberian
kebebasan politik yang seluas-luasnya. (Kaelan, 2001:28-30)

Anda mungkin juga menyukai