Anda di halaman 1dari 12

Tugas Farmasi Klinik

UJIAN TENGAH SEMESTER

OLEH

SITTI MUNAWARAH
F1F1 12 044

FARMASI A 2012

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
1. Bapak Akhmad telah menjalani terapi TBC menggunakan paket intensif terapi
obat Antituberkolosis Komposis Dosis Tetap (OAT KDT) selama 2 bulan,
tetapi setelah diperiksa sputumnya ternyata masih BTA positif.
Penyelesaian :
Konseling

APOTEK

Asisten apoteker : Selamat malam pak, ada yang bisa dibantu?

Pasien : Ini dek, saya mau tebus obat. Ini resep dari
dokternya.

Asisten apoteker : Baik pak, silahkan ikut saya ke ruang apotekernya.

(Pasien kemudian menuju ruang apoteker bersama asisten apoteker)

RUANGAN KONSELING

Apoteker : Selamat malam Pak. Silahkan duduk.. (mempersilahkan


pasien duduk)

Pasien : Iya. Trimakasih ..

Asisten apoteker : (memberikan resep kepasa apoteker) Ini resepnya kak..

Apoteker : Tunggu sebentar yah pak, saya cek dulu resepnya


(sambil menskrining dan menulis copy resep).

Dek, ini tolong di ambilkan yah obatnya.. (Sambil


memberikan resep kepada asisten apoteker).

Aisten apoteker : (keluar mengambil obat di apotek)

Apoteker : (tersenyum pada pasien). Perkenalkan pak, saya


apoteker di apotek ini. Nama saya Ira.

Maaf pak, boleh minta waktunya beberapa menit saja ?


saya bermaksud memberikan informasi mengenai cara
penggunaan obat bapak. Informasi ini akan sangat
bermanfaat untuk kesembuhan bapak.

Pasien : Oh, iya boleh, silahkan.

Apoteker : Maaf pak, benar dengan bapak Ahmad dan tinggal di


Madesabara yah ?
Pasien : Iya benar.

Apoteker : Bapak umurnya 48 tahun ?

Pasien : Iya.

(Asisten apoteker datang membawa obat dan menyerahkan ke apoteker)

Asisten apoteker : Ini obatnya kak..

Apoteker : Terimasih kasih dek..

Asisten apoteker : Iya kak, sama-sama. Saya kembali kerja dulu. ( sambil
keluar dari ruang konseling)

(konseling dimulai)

Apoteker : Mohon maaf pak, bapak disini terkena TBC yah?

Pasien : Iya.

Apoteker : Bapak juga sudah melakukan pengobatan yang tepat


selama 2 bulan terakhir ini, dan ternyata saat
pengecekan kembali, bapak masih didiagnosis TBC yah
pak.

Pasien : Iya, jadi apa yang saya harus laukan dengan obat-obat
yang diresepkan sama dokter tadi?

Apoteker : Oh, iya pak. Tadi dokter bilangnya apa saat direspkan
obatnya ?

Pasien : Dokternya tidak bilang apa-apa. Dia cuma bilang


dikasih obat lagi biar sembuh.

Apoteker : Ok. Terus bapak, bagaimana penjelasan dokter tentang


harapan setelah minum obat yang diberikan ini?

Pasien : Yah, dia bilang cepat sembuh saja dan harus teratur
minumnya.

Apoteker : Oh begitu yah Pak. Jadi untuk penderita TBC itu sendiri
memang pengobatannya cukup lama yah pak, jadi
bapak harus teratur minumnya, saat bapak sudah
merasa enakan, bapak tetap harus menyelesaikan sisa
obatnya karena berbahaya jika kuman penyebab TBC
nya akan kembali menyerang bapak. Jadi sebaiknya
tetap habiskan yah obatnya secara teratur bapak.

Pasien : Baiklah, saya usahakan demi kesembuhan saya.

Apoteker : Iya. Ini ada 4 macam yang obat dari dokternya. Bapak
minumnya teratur selama sebulan yah. Bagaimana
bapak penjelasan dokter tentang cara minum obatnya ?

Pasien : Tidak ada penjelasan dari dokternya tadi.

Apoteker : Oh baiklah, ini bapak obatnya ada Isoniazid 300 mg,


Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 500 mg dan
Etambutol 250 mg. Nah untuk isoniazid dan rifampisin
sebaiknya diminum pada saat perut kosong, 1 jam
sebelum atau 2 jam sesudah makan, bila pencernaan
lagi terganggu seperti mual, bapak bisa minum 2 jam
sesudah makan. Apa bapak sudah mengerti pak ?

Pasien : Oh, iya, saya akan ikuti petunjuk dari anda.

Apoteker : Ok, selanjutnya untuk etambutol sama pirazinamidnya


diminum saat perut terisi pak, yah sebaiknya memang
setelah makan pak.. hehehe

Terus bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin


yah pak, tetapi bila dekat waktu minum berikutnya,
kembali ke jadwal semula saja yah jangan didobel.

Pasien : Baiklah, selanjutnya apa lagi yang saya harus lakukan


supaya saya cepat sembuh ?

Apoteker : Saya rasa itu saja yah pak, intinya bapak minum obanya
teratur dan selalu berpikir positif untuk sembuh. Bapak
juga boleh konsumsi makanan yang bergizi, jaga
kebersihan lingkungannya, olahraga yah pak dan
kurangi konsumsi kopi.

Pasien : Iya, penjelasan anda sangat membantu saya. Saya


sangat senang dengan penjelasan anda.

Apoteker : (mengangguk sambil tersenyum). Kalau sudah selesai


minum obatnya sampai habis, bapak bisa datang cek
lagi penyakitnya, dan kalau ada keluhan bapak boleh
datang kembali.

Pasien : Baiklah, terimakasih atas semua informasi dan


sarannya. Saya rasa akan langsung sembuh setelah
berbicara dengan anda.. (sambil tersenyum)

Apoteker : Semoga informasinya bermanfaat bagi bapak, cepat


sehat pak.

Obat-obatnya nanti dibayar di kasir yah pak.

Pasien : Iya terimakasih banyak (sambil bersalam dan


meninggalkan ruangan).

Saran terapi selanjutnya ke dokter


Saran terapi selanjutnya ke doketr dimana, pemberian terapi yang
telah diberikan pada bapak Ahmad yang telah mengkonsumsi OAT KDT
terapi intensif selama 2 bulan tapi ternyata sputumnya masih positif BTA
yaitu terapi sisipan. Terapi sisipan yang diberikan apabila BTA positif pada
pengobatan selama 2 bulan. Terapi sisipan yang digunakan berdasarkan
OAT KDT pada pharmaceutical care yaitu HRZE setiap hari selama 1 bulan.
Saran terapi selanjutnya yaitu, menurut pharmaceutical care untuk
TB dengan terapi lanjutan. Dimana hanya menggunakan jumlah sedikit obat
tetapi dalam jangka waktu yang lama. Obat yang digunakan yaitu 150 mg
INH dan 150 mg Rifampisin. Terapi lanjutan berjalan selama 4 bulan
dengan penggunaan obat 3 kali seminggu. Tahap lanjutan sangat penting
untuk mencegah penyakit kambuh.

Langkah-langkah monitoring
1. Monitoring kemajuan hasil penobatan pada penderita TB dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak mikroskopis pada
akhir tahap awal (intensif) yaitu pada akhir bulan ke 2 dan khir tahap
selanjutnya (lanjutan) yaitu pada khir bulan ke 6.
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis lebih baik disbanding pemeriksaan
radiologis dalam monitoring terapi.
3. Evaluasi terapi TB berguna untuk penentuan hasil pengobatan
penderita TB apakah tergolong sembuh, pengobatan lengkap, putus
berobat atau gagal.
2. dr. Budiyanto spesialis anak datang ke ruang PElayanan Informasi Obat
menanyakan 2 hal
Apakah untuk bayi baru lahir boleh tidak diberikan imunisasi hepatitis B ?
Jawab :
1. Menurut Kusumawati, dkk (2007).
Setidaknya 3,9% ibu hamil Indonesia merupakan pengidap
hepatitis dengan risiko penularan maternal kurang lebih 45%. Saat ini di
perkirakan terdapat lebih dari 11 juta pengidap penyakit hepatitis B di
Indonesia. Di negara dengan prevalensi hepatitis B rendah sebagian
besar pengidap berusia 20-40 tahun, sedangkan di negara dengan
prevalensi hepatitis B tinggi sebagian besar pengidap merupakan anak-
anak.
Risiko terjadinya hepatitis B kronis jauh lebih besar (90%) bila
infeksi terjadi pada awal kehidupan dibandingkan dengan infeksi yang
terjadi pada usia dewasa.
Tidak dilakukannya uji saring hepatitis B pada ibu hamil di
Indonesia memberikan pemikiran bahwa imunisasi hepatitis B yang
pertama dilakukan pada usia 0-7 hari. Imunisasi HB pada bayi diberikan
3 dosis dengan jadwal pemberian imunisasi HB 1 pada umur 0-7 hari,
HB 2 dan HB 3 pada umur 2 dan 3 bulan. Jadwal ini dapat disesuaikan
di lapangan dengan ketentuan jangka waktu antara suntikan pertama dan
kedua serta suntikan kedua dan ketiga minimal satu bulan. Imunisasi
hepatitis B yang diberikan kepada bayi sebelum terjadinya kontak atau
segera setelah kontak dapat melindungi bayi dari infeksi hepatitis B.
Jadwal imunisasi yang diberikan pada bayi baru lahir dimaksudkan
untuk mencegah adanya transmisi vertikal hepatitis B dari ibu ke
bayinya.
2. Menurut Sriwidodo (1991) dalam buku cermin dunia kedokteran.
Hepatitis B merupakan penyakit yang tersebar secara global
dengan perkiraan lebih dari 200 juta penduduk yang menjadi pengidap
kronik (carrier). Asal usul virus hepatitis B tidak jelas dan manusia
merupakan satu-satunya reservoir, sekalipun simpanse dan beberapa
primata non-manusia dapat diinfeksi secara eksperimental.
Pada bayi dan anak respons umumnya sangat baik dan
menghasilkan kadar antibodi yang tinggi walaupun dengan dosis yang
lebih rendah dari orang dewasa. Berapa lama antibodi dapat bertahan
dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, tapi diperkirakan lebih dari 5
tahun. Perlindungan dalam 5 tahun pertama kehidupan sudah cukup baik
untuk mengurangi jumlah pengidap kronik dari hepatitis B.
3. Menurut Harahap (2008).
Infeksi hepatitis B ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Bila bayi terinfeksi pada waktu lahir atau pada usia1-5 tahun maka akan
terjadi penyakit hati yang kronik. Infeksi yang berjalan kronis
mempunyai kemungkinan untuk menjadi cirrhosis hepatis dan kanker
hati. Mereka yang menderita infeksi kronis ini merupakan sumber untuk
penularan penyakit hepatitis B.
Pencegahan merupakan kunci utama untuk mengurangi sumber
penularan serta penurunan angka morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit hepatitis B. Pencegahan ini dapat dilakukan sedini mungkin
pada bayi dan balita melalui pemberian imunisasi hepatitis B. Hingga
saat ini program imunisasi hepatitis B masih terus berjalan walaupun
banyak kendala yang dihadapi, diantaranya belum tercapainya target
cakupan imunisasi dan indeks pemakaian vaksin yang rendah. Bila
program imunisasi ini berhasil, diharapkan pada tahun 2015 (satu
generasi kemudian) hepatitis B bisa diberantas dan bukan merupakan
persoalan kesehatan masyarakat lagi.
4. Menurtu Fadlyana (2013).
Saat ini, prevelansi hepatitis B di Indonesia adalah 9,4%, sehingga
dikelompokkan sebagai negara yang mempunyai tingkat kejadian
hepatitis B tinggi. Salah satu upaya pencegahan secara dini, yaitu
imunisasi hepatitis B yang diberikan pada saat segera setelah lahir.
Risiko terbentuknya infeksi persisten dan komplikasinya sangat
dipengaruhi usia saat terinfeksi, semakin muda saat terinfeksi maka
semakin besar kemungkinan menjadi infeksi persisten, bayi yang
terinfeksi saat lahir mempunyai risiko tinggi menjadi hepatitis B
persisten.
5. Menurut Pharmaceutical Care (2007).
Untuk mencegah penularan hepatitis B adalah dengan imunisasi
hepatitis B terhadap bayi yang baru lahir, menghindari hubungan badan
dengan orang yang terinfeksi, hindari penyalahgunaan obat dan
pemakaian bersama jarum suntik.
Kesimpulan :
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, pemberian imunisasi
hepatitis B pada bayi baru lahir sangat penting. Apalagi hepatitis B
merupakan penyakit yang langsung dapat diperoleh oleh manusia sejak
lahir. Penyebab hepatitis B belum jelas disebabkan oleh virus apa sehingga
pencegahan sejak dini memungkinkan berkurangnya penderita hepatitis B.
Hepatitis B yang diperoleh sejak lahir kemungkinan akan menyebabkan
timbulnya penyakit lain yaitu penyakit hati yang kronik. Infeksi yang
berjalan kronis mempunyai kemungkinan untuk menjadi hepatis sirosis dan
kanker hati. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian imunisasi hepatitis B
sejak lahir sangat penting dan harus dilakukan.
Apakah PCT bisa menyebabkan Steven Jhonson Sindrom ?
Jawab :
1. Menurut Harr (2010).
Menariknya penggunaan jangka panjang glukokortikosteroid untuk
berbagai penyakit tidak mengubah kejadian akan terjadinya SJS untuk
obat dicurigai, tapi tampaknya penggunaan glukokortikoid
memperpanjang interval antara awal penggunaan obat dan terjadinya
SJS. Sebuah survei terbaru dari TEN pada anak-anak yang diidentifikasi
obat sama dengan yang digunakan di orang dewasa, kemungkinan
bertambah dengan acetaminophen (parasetamol).
2. Menurut Khawaja (2012).
Acetaminophen adalah antara analgesik yang paling banyak
digunakan dan antipiretik karena mudah diperoleh dan efektivitas biaya.
Meskipun dianggap relatif aman, efek samping termasuk reaksi
hipersensitivitas kulit telah dilaporkan. Namun, sangat sedikit kasus SJS
telah dilaporkan dikaitkan secara eksklusif dengan penggunaan
acetaminophen.
Pada kasus yang ditemukan. Seorang wanita berusia 40 tahun,
merasakan demam tinggi dari 39o C (102,2o F) pada satu malam. Dia
mengambil dua tablet Acetaminophen setelah demam mereda, demam
kambuh kembali keesokan paginya. Dia kembali menggunakan
asetaminofen dan kondisi mulai memburuk dengan edema bibir, ulserasi
mukosa mulut dan rasa pedih di mata. Ruam muncul pada malam
harinya. Dia dilaporkan ke departemen darurat keesokan harinya. Dia
didiagnosa menderita reaksi hipersensitivitas diberikan dosis intravena
Ketorolac (30mg) untuk rasa sakit dan demam. Dia kembali dalam 24
jam dengan penyebaran ruam, konjungtivitis bilateral, edema dan
pengerasan kulit bibir, pruritus, ulserasi mulut, air liur, mialgia dan
demam 39 C. Acetaminophen dihentikan segera dan segera diberikan IV
Clemastine (1mg) dan IV Hydrocortisone (100 mg) bersama-sama
dengan Ringer Laktat. Dia kemudian dipindahkan ke bangsal.
3. Menurut Racput (2015).
Sindrom Steven-Johnson (SJS) jarang ditemukan dan merupakan
keparahan dari eritema multiforme (EM). Hal ini dapat terjadi karena
adanya hipersensitivitas reaksi yang merugikan terhadap obat yang
menyebabkan lesi pada kulit dan mukosa yang dapat berpotensi fatal. Hal
ini dianggap sebagai bentuk kurang parah dari nekrolisis epidermal
toksik (TEN). Satu-satunya perbedaan adalah tingkat epidermis
detasemen; yaitu, 30% dari total luas permukaan tubuh; sementara 10-
30% dikenal sebagai SJS.
Obat-obatan yang menyebabkan SJS umumnya adalah antibakteri
(sulfonamid), antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, dan carbamazepine),
obat anti-inflamasi nonsteroid (derivatif oxicam), dan inhibitor oksida
(allopurinol). Parasetamol merupakan salah satu yang paling banyak
digunakan sebagai analgesik dan anti-piretik karena ketersediaan mudah
dan efektivitas biaya. Meskipun dianggap relatif aman, efek samping
termasuk reaksi hipersensitivitas kulit telah dilaporkan.
Sangat sedikit kasus EM atau SJS telah dilaporkan dengan
konsumsi parasetamol. Publikasi 1995-2011 menggambarkan SJS dan
TEN pada populasi Indian oleh Patel et al. di PubMed, Medline, Embase,
dan Inggris PubMed Central Electronic Database menunjukkan 6,17%
dari kasus SJS dan TEN adalah karena konsumsi parasetamol. Oleh
karena itu, kami menyajikan kasus yang jarang terjadi dari SJS terjadi
karena konsumsi parasetamol.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada anak-anak di rumah
sakit, ditemukan bahwa obat antikonvulsan dilaporkan beresiko tertinggi
untuk SJS Di antara NSAID, parasetamol dan nimesulide yang paling
umum dilaporkan. Reaksi yang menyerang kulit parah (luka) studi telah
menemukan risiko keseluruhan SJS dengan derivatif oxicam. Ini laporan
peningkatan risiko dengan parasetamol dari Jerman, Italia, dan Portugal
kecuali Perancis tapi sangat sedikit kasus dari India.
Namun, parasetamol ditemukan menjadi faktor risiko potensial
pada anak menurut data survei dari pasien anak dari SCAR. Kasus ini
didiagnosis karena parasetamol yang menyebabkan SJS didasarkan pada
fakta dengan tanda dan gejala ditemukan. Khawaja et al. melaporkan
kasus Acetaminophen menginduksi SJS dengan ruam luas makula-
papular, rasa pedih di mata, ulserasi mukosa mulut, dan demam tinggi.
Laporan kasus ini melaporkan fakta bahwa reaksi hipersensitivitas parah
dapat terjadi dengan parasetamol yang, yang dapat mungkin berbahaya
dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, dokter harus lebih berhati-hati
saat meresepkan. Pasien juga harus dididik mengenai efek samping dari
NSAID.
Kesimpulan :
Berdasarkan sumber dan referensi yang telah diperoleh. Kasus parasetamol
yang dapat menyebabkan steven jhonson sindrom (SJS) benar adanya. Hal
ini disebabkan karena parasetamol itu sendiri bila dikonsumsi terus menerus
dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas yang
sangat fatal sering ditemukan di Negara lain. Reaksi hipersensitivitas yang
sering terjadi yaitu ruam kulit, timbulnya lesi dan mata terasa perih.
Sehingga penggunaan parasetamol harus selalu terkontrol karena orang
awam mengetahui kurangnya efek samping dari obat itu sendiri.
3. Kasus Burrkits Lymphoma
Anak MA berumur 9 tahun dengan berat badan 20 kg. Anak tersebut
didiagnosa mengidap Burkitts Lymphoma. Anak MA akan menjalani
kemoterapi siklus pertama. Terapi yang diberikan yaitu :Cyclophosphamide
(CPA), Metroteksat (MTX), Vincristin dan Codein.
Lakukan analisis terapi farmakologi menggunakan metode SOAP !
Jawab :
Penyelesaian kasus dengan menggunakan metode SOAP (Subjective,
Objective, Assesment, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Subjektif, menggambarkan pendokumentasian hanya pengumpulan data
klien melalui anamnese tanda gejala subjektif yang diperoleh dari hasil
bertanya dari pasien atau keluarga. Berikut subjektif kasus :
Nama : Anak MA
Umur : 9 thn
Berat Badan : 20 kg
Keluhan :-
Riwayat penyakit :-
2. Objektif, menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan fisik klien,
hasil lab dan test diagnostic lain yang dirumuskan dalam data focus untuk
mendukung assessment. Pada kasus ini, Anak MA didiagnosa mengidap
penyakit Burkitts Lymphoma.
Pasien akan menjalani kemoterapi siklus pertama.
Terapi yang diberikan oleh dokter yaitu
Cyclophosphamide (CPA)
Metroteksat (MTX)
Vincristin dan
Codein.
3. Assessment, menggambarkan masalah atau diagnosa yang ditegakkan
berdasarkan data atau informasi subjektif maupun objektif yang
dikumpulkan atau disimpulkan. Berdasarkan diagnosa dan terapi yang akan
diberikan pasien mengalami Burkitts Lymphoma.
4. Planning, membuat rencana tindakan saat itu atau yang akan datang. Untuk
mengusahakan tercapainya kondisi pasien yang sebaik mungkin atau
menjaga mempertahankan kesejahteraannya. Proses ini termasuk kriteria
tujuan tertentu dari kebutuhan pasien yang harus dicapai dalam batas waktu
tertentu, tindakan yang diambil harus membantu pasien mencapai
kemajuan dalam kesehatan dan harus sesuai dengan instruksi dokter.
Pelaksanaan rencana tindakan untuk menghilangkan dan mengurangi
masalah klien. Berikut planning kasus :
Terapi Farmakologi
Termasuk dalam terapi Lini pertama
1. Pemberian Antibodi
Rituximab, berupa infus intravena dengan dosis 375 mg/m2 luas
permukaan tubuh, sekali seminggu, selama 4 minggu berturut-turut.
Diberikan pada hari ke-1 pada setiap siklus kemoterapi setelah
pemberian iv komponen kortikosteroid dari CHOP. Kecepatan
pemberian infuse pertama yang direkomendasikan adalah 50
mg/jam; pada pemberian berikutnya dapat ditambah 50 mg/jam tiap
30 menit sampai maksimal 400 mg/jam. Pemberian infus
selanjutnya dapat dimulai pada kecepatan 100 mg/jam dan dapat
ditambah 100 mg/jam setiap 30 menit hingga maksimum 400
mg/jam.
2. Kemoterapi kombinasi CHOP (Cyclophosphamide, Doxorubicine,
Vincristine dan Prednisone) dengan dosis tinggi.
Keterangan :
Metotrksat tidak digunakan karena penggunaannya untuk terapi
lanjutan.
Codein tidak digunakan karena berbahaya bagi anak usia
dibawah 12 tahun.
- KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
1. Istirahat yang cukup
2. Minum cairan yang banyak.
3. Meminum obat sesuai yang diresepkan
4. Cara penggunaan obat (indikasi, dosis, penyimpanan dan efek
samping)
5. Memakan makanan yang sehat
- Monitoring
1. Pemeriksaan biopsi jaringan dan sumsum tulang
2. CT scan dada, perut dan panggul
3. Rontgen dada
4. Pemeriksaan cairan spinal
5. Pemeriksaan darah
DAFTAR PUSTAKA

Fadlyana E., Kusnandi R., Novilia SB., 2013, Kekebalan dan Keamanan setelah
Mendapat Imunisasi Hepatitis B Rekombinan pada Anak Remaja, Sari
Pediatri, Vol. 15, No. 2, Bandung.

Harahap J., 2008, Evaluasi Cakupan Imunisasi Hepatitis B Pada Bayi Usia 12
24 Bulan Di Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara, Jurnal
Penelitian Rekayasa, Vol. 1, No. 2, Sumatera utara.

Harr T. dan Lars EF., 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson
Syndrome, Orphanet Journal of Rare Diseases, Vol. 5, No. 39,
Switzerland.

Khawaja A, Ahmed S, dan Syed AS., 2010, Acetaminophen Induced Steven


Johnson Syndrome-Toxic Epidermal Necrolysis Overlap, J Pak Med
Assoc, Vol 65, No. 5, Pakistan.

Kusumawati L., Nenny SM., dan Dibyo P., 2007, Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B 0-7 Hari, Berita
Kedokteran Masyarakat, Vol. 3, No. 1, Yogyakarta.

Rajput R., Shitalkumar S., Astha D., dan Alpana K., 2015, Paracetamol Induced
Steven-Johnson Syndrome: A Rare Case Report, Contemporary Clinical
Dentistry, Vol.6, No.2.

Sriwidodo, 1991, Cermin Dunia Kedokteran : Hepatitis, Grup PT Kalbe Farma,


Jakarta.

Tim Penyusun, 2007, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hati, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai