Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Tinea kruris adalah dermatofitosis pada
lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut dan
menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi
kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau meluas ke daerah sekitar
anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri
atas macam-macam bentuk, primer dan sekunder, bila penyakit ini menjadi
menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya
cairan biasanya terjadi akibat garukan. Beberapa faktor yang berperan untuk
terjadinya tinea adalah iklim yang panas, hygiene masyarakat yang kurang, adanya
sumber penularan di sekitarnya, penggunaan obat-obatan antibiotik, steroid dan
sitostatika yang meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya.
Tahanan penjara, anggota militer, anggota tim atletik, orang yang memakai celana
panjang yang sempit atau ketat cenderung lebih berisiko terserang
dermatophytosis.
1
kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda
yang mengandung skuama terinfeksi.
Anamnesis2
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan
dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke
supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika
banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan
yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai
pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita
diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit
olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.
Pemeriksaan Fisik2
2
8. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga
tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula
folikuler.
9. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis.
Pemeriksaan Penunjang2
3
Diagnosis Banding
Candidosis intertriginosa3
Erytrasma3
4
merah kecoklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit
penderita. Tempat predileksi kadang di daerah ketiak dan lipat paha. Kadang-
kadang berlokasi di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk.
Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak
menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi yang sama berupa eritema dan
skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama kering
yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan
dengan lampu wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral red).
Psoriasis3
Dermatitis Seboroik3
Diagnosis Kerja4
5
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan
perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.
Etiologi4
Epidemiologi4
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah
tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki
dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea
cruris. Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan
diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.
Patofisiologi4
6
reaksi peradangan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan
di kulit adalah:
Penatalaksanaan5
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur
topikal saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa
formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan
jarang ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4
minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-
kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika
terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal.
Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-
obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi
sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam
bentuk pemberian topikal dan sistemik. Pengobatan anti jamur untuk tinea cruris
dapat digolongkan dalam empat golongan yaitu:
7
1. Golongan azol, menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah
enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana struktur
tersebut merupakan komponen penting dalam dinding sel jamur.
2. Golongan alynamin, menghambat kerja dari squalen epokside yang
merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat
akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel.
Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan
membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk.
3. Golongan benzilamin, mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan
golongan alynamin
4. Golongan lainnya seperti siklopiros, tolnaftan, haloprogin. Mekanisme
kerjanya sama dengan golongan azole.
1. Golongan Azol
a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan
tinea cruris karena bersifat broad spektrum antijamur yang
mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah
permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada
perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa.
Obat ini tersedia dalam bentuk cream 1%, solution, lotion. Diberikan 2
kali sehari selama 4 minggu. Tidak ada kontraindikasi obat ini, namun
tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
peradangan infeksi yang luas dan hindari kontak mata.
b. Mikonazole (Icatin, Monistat-derm)
Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akan
menghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas
membrane sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Tersedia
dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak. Diberikan 2 kali sehari
selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa. Tidak
dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari
kontak dengan mata.
c. Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan
dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein
8
sehingga mengganggu permeabilitas dinding sel jamur dan
menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat
dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2 kali
atau 4 kali dalam sediaan cream 1%. Tidak dianjurkan pada pasien
yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
d. Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat
broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga
komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.
e. Oxiconazole (Oxistat)
Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan
menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur
meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan
oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam
bentuk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12
tahun penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada
pasien yang menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan
untuk pemakaian luar.
f. Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik
tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan
menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan
kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solutio.
Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan
orang dewasa (dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4
minggu sebanyak 4 kali sehari).
2. Golongan Alynamin
a. Naftifine (Naftin)
Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari
alynamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari
ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel jamur terhambat.
Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu jika tidak ada
perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion.
9
Penggunaan pada anak sama dengan dewasa (dioleskan 4 kali sehari
selama 2-4 minggu).
b. Terbinafin (Lamisil)
Merupakan derifat sintetik dari alynamin yang bekerja menghambat
skualen epoxide yang merupakan enzim kunci dari biositesis sterol
jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol yang menyebabkan
kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan
keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi
penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu.
3. Golongan Benzilamin
a. Butenafine (Mentax)
Anti jamur yang poten yang berhubungan dengan alynamin. Kerusakan
membrane sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat
pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%, diberikan
selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa
dioleskan sebanyak 4kali sehari.
4. Golongan lainnya
a. Siklopiroks (Loprox)
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubungan
dengan sintesis DNA.
b. Haloprogin (Halotex)
Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan
selama 2-4 minggu dan dioleskan sebanyak 3 kali sehari.
c. Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%, bedak, solution. Dioleskan 2 kali sehari
selama 2-4minggu.
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam
pengobatan tinea cruris:
1. Ketokonazole
Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yang
berspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-
4 minggu.
2. Itrakonazole
Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang
berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan
10
menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang
merupakan komponen penting pada selaput sel jamur. Pada penelitian
disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil
terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg PO selama 1
minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetapi
tidak boleh melebihi 400mg/hari. Untuk anak-anak 5mg/hari PO selama 1
minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitivitas,
dan jangan diberikan bersama dengan cisapride karena berhubungan dengan
aritmia jantung.
3. Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur
dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat
keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500mg
microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-4 minggu, untuk anak 10-
25mg/kg/hari PO atau 20 mg microsize/kg/hari.
4. Terbinafine
Pemberian secara oral pada dewasa 250mg/hari selama 2 minggu. Pada anak
pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan:
12-20kg :62,5mg/ hari selama 2 minggu
20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu
>40kg :250mg/ hari selama 2 minggu
Komplikasi6
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain.
Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.
Bakteri infeksi kulit, selulitis, gangguan kulit seperti pioderma atau dermatophytid,
penyebaran tinea di kaki, selangkangan, kulit kepala, atau kuku, dan
penatalaksaanaan medikamentosa yang berefek pada sistemik tubuh
Prognosis6
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan
kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.
Daftar Pustaka
11
1. Djaenudin N. Parasitologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2009. Hlm: 274-276
2. Robbin, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003. Hlm: 1121-1130
3. Budimulja U. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. Hlm: 107-8, 189-90, 200-2, 334-5.
4. Sylvia P, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2006. Hlm: 14-23
5. Swartz H. Diagnostic fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. Hlm:
134-5
6. Anonymous. Tinea corporis - treatment. 2010. Dikutip dari:
http://www.umm.edu/ency/article/000877trt.htm diunduh 13 April 2012
12