Terjemah Teori Pendidikan Islam Pada Abad II Hijriah PDF
Terjemah Teori Pendidikan Islam Pada Abad II Hijriah PDF
Masa Sahabat telah berakhir sekitar tahun 90-100 H.1 Kesungguhan mereka
dalam proses ta'lim menyebabkan mereka, pada abad kedua hijarah, berhasil
melahirkan murid-murid yang mampu mendirikan pusat-pusat pengarahan di
tengah-tengah masyarakat Muslim dan berhasil mendorong mereka untuk bisa
melakukan gerakan-gerakan ilmiah.
Mereka berusaha untuk menanamkan dalam sanubari masyarakat muslim saat
itu suatu pandangan umum bahwa mempelajari atau mendapatkan ilmu itu lebih
baik daripada kerakusan atas kenikmatan-kenikmatan dunia dan persaingan dalam
bidang politik. Begitu pula saat itu mereka berusahan menanamkan dalam
sanubari para penguasa bahwa politik yang benar tidak akan sempurna tanpa
dibarengi dengan ilmu. Maka apabila Para raja merupakan penguasa atas rakyat
maka para ulama merupakan penguasa atas sekalian raja dan sesungguhnya
kedudukan orang Arab itu digadaikan dengan mencari ilmu. Apabila kebiasaan
mencari ilmu itu hilang dari mereka dan berpindah kepada yang lainnya, maka
mereka akan hina karena sesungguhnya ilmu merupakan kemuliaan di dunia dan
akhirat.
Ditengah-tengah aktivitas-aktivitas ilmiah tersebut di atas, pada abad kedua
hijrah, munculah usaha-usaha yang mendorong pada perkembangan-
perkembangan baru dalam pemahanan teori pendidikan Islam saat itu. Makalah
sederhana ini menggambarkan bagaimana perkembangan teori pendidikan Islam
pada abad kedua hijrah.
1
Al-Syiraji, Abdurrahman bin Nashr, Thabaqat al-Fuqaha. (Beirut: Dar al-Ra'id al-Arabi, 1970)
h. 52.
1
A. Usaha-Usaha yang Mendorong Perkembangan Pemahaman Pendidikan
Islam
1. Kemunculan Sekolah-Sekolah Fiqh dan Bahasa
Madrasah yang pertama kali muncul adalah madrasah Hadits dan Fiqih
yang ada di Kota Madinah. Madrasah ini dipimpin oleh Muhammad Baqir bin Ali
bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (w. 117 H) dan putranya Ja'far Shadik (w. 148
H)2. Sebagai mana komentar Abdullah bin 'Atho, Ja'far Shadik yang merupakan
salah satu ulama termuda di madinah yang memimpin sekolah tersebut. Diantara
murid-murid lulusan sekolah ini adalah Sufyan al-Tsauri dan Abdullah bin
Mubarak.
Berbeda dengan Madinah, di Mesir muncul sekolah lain yang khusus
mengajarkan Fiqih. Sekolah ini dipimpin oleh dua orang ulama ahli fiqih yang
terkenal yaitu Murtsid bin Abdullah dan Laits bin Sa'ad (w. 175 H)3. Di Irak pun
muncul sekolah Abu Hanifah (w. 150 H) yang terkenal dengan sekolah ra'yu dan
ijtihad. Begitupula muncul sekolah al-Syafi'I di 'Iraq yang kemudian pindah ke
Mesir. Sedangkan di Madinah sekolah fiqih dipinpin oleh Malik dan al-Auza'i di
kota Syam.
Disamping sekolah-sekolah fiqih dan hadits, muncul juga sekolah-sekolah
bahasa. Madrasah Bashrah dan Kufah merupakan dua sekolah bahasa yang
ternama saat itu di Irak. Sekolah Bahasa Bashroh dipimpin oleh 'Isa bin Umar al-
Tsaqafi (w. 149 H) dan diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu
Aswad al-Duali guru Khalil bin Ahmad al-Farhidi.4
Sibawaih adalah salah satu diantara sahabat-sahabat al-Khalil yang
terkenal. Menurut Ibnu Nadim sebagaimana tercantum dalam bukunya: "Sibawaih
adalah sosok orang yang tidak ada seorang pun sebelumnya yang menyamainya
dan tidak ada seorangpun sepeninggalnya yang mampu menyamainya pula." Saat
pemerintahan al-Rasyid ketika berusia 32 tahun, beliau mendatangi Bagdad dan
2
Abu Nu'aim al-Ashbahani, Hiljah al-Auliy. (Qahirah: Maktabahal-Khaniji, 1932) Juz 3 hal.
186.
3
Al-Syirazi Abu Ishak Ibrahim bin Ali, Thabaqt al-Fuqaha. (Beirut: Dar al-Raid al-'Arabi.
1970), h. 77-78.
4
Ibnu Nadim Muhammad bin Ishaq, al-Fahrasat. (Qahirah: Maktabah al-Tijariah. t.t.) h. 68-69.
2
beliau wafat sekitar tahun 177 H ketika usia beliau telah mencapai lebih dari 40
tahun.5
Diantara sekolah bahasa di Bashrah yang terkenal adalah sekolah Yunus
bin Habb (w. 183 H). Beliau memiliki semacam halaqah di Bashroh yang banyak
diikuti oleh para siswa, ahli sastra, Orang Badui yang fashih, serta delegasi dari
pedalaman. Diantaranya adalah a;-Ashma'i yang wafat pada tahun 213 H. Beliau
telah menyusun puluhan kitab dan telah mendidikan sejumlah ahli bahasa. 6
Adapun sekolah bahasa Kufah yang masyhur diantaranya adalah sekolah
yang dipimpin oleh al-Kas'i yang meninggal pada tahun 197 M. Dalam sejarah ia
pernah datang ke Bagdad dan disanalah ia mengajar Amin dan Makmun putra
khalifah Harun Rasyid. Inilah yang menyebabkan Khalifah Rasyid sangat
mengjormatinya. Pada madrasah ini pula lahir Yahya bin Ziyad al-Far (w. 207
H). Beliau telah mengabdikan dirinya dalam bidang pengajaran selama 16 tahun.
Ketika mengajar beliau duduk di masjid, lalu memerintahkan qari untuk membaca
al Qur'an untuk kemudian bacaan tersebut beliau tafsirkan, meng'irabnya, yang
kemudian memaparkan pembahasan-pembahasan kebahasaan secara rinci sampai
membuat orang-orang yang semasa dengannya terkagum-kagum.7
5
Ibid, h. 82-83.
6
Ibid. h. 69-88.
7
Ibid. h. 103-106.
3
beliaupun telah menyusun sejumlah buku tentang Irj (penangguhan).8 Pada masa
ini pula muncul Madzhab Mu'tazilah yang dinisbatkan kepada Wshil bin 'Ath
yang meninggal pada tahun 131 H.9
Menurut Majid 'Arsan, kelompok-kelompok tersebut telah menciptakan
satu macam aktivitas berfikir yang mempengaruhi terhadap pemahaman-
pemahaman pendidikan, kurikulum serta metode-metodenya.
8
Ibid. h. 265-269.
9
Ibid, h. 251-252.
4
Abu Hanifah membuat kurikulum pengajaran yang bisa membuat pelajar
hidup pada masanya baik secara pemikiran maupun peradaban dan
mempersiapkannya untuk bisa menghadapi persoalan-persoalan yang akan ia
temui kelak. Karena itu pula, ia menentang orang-orang yang memprotes atas apa
yang berlaku di sekolahnya. Mereka mengatakan bahwa Para Sahabat Nabi tidak
pernah melakukan hal itu. Lalu Abu Hanifah menuturkan bahwa kecenderungan
hidup serta perubahan situasi dan kondisilah yang menjadikan perbedaan
mendasar antara masa sahabat dengan masa Abu Hanifah. Persoalan-persoalan
yang muncil pada masyarakat yang hidup di masa Abu Hanifah tidak ditemukan
pada masa sahabat, karenanya belum diperlukan untuk membahasnya. Dengan
demikian ajakan berpegang pada situasi dan kondisi yang bukan pada masa
mereka hidup, untuk dipergunakan pada situasi dan kondisi saat mereka hidup
sama saja dengan tidak mempersiapkan siswa untuk bisa menghadapi persoalan-
persoalan yang mungkin timbul pada masanya. Hal ini seperti orang yang berada
di sungai besar yang banyak airnya dan ia hampir tenggelam karena
ketidaktauannya tentang rasa sakit. Lalu yang lain berkata kepadanya: "Fahami
posisimu dan jangan biarkan rasa sakit menuntutmu."
Abu Hanifah menegaskan bahwa penelaahan murid atas perkembangan-
perkembangan yang terjadi pada masanya dan pengetahuannya tentang sesuatu
yang salah atas yang benar merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar,
dikarenakan beberapa hal, yaitu: Pertama, Bebas dari kebodohan; Kedua, supaya
tidak terjadi kesamaran sehingga ia tidak mampu membebaskan diri darinya,
Ketiga, supaya bisa membedakan yang salah dengan yang benar, Keempat,
pembatasan belajar hanya pada hal-hal yang diyakini benar oleh murid atau guru
menjadikan ilmu itu mirip dengan kebodohan, padahal kebenaran tidak akan
diketahui kecuali dengan mengetahui yang bathil dan yang benar tidak sampai
kepadanya kecuali setelah mengetahui yang salah.
Seorang Murid berkata: "Bagaimana menurut pandanganmu jika ada
seseorang yang disifati dengan sifat adil dalam keadaan ia tidak mengetahui
bentuk ketidakadilan atau bahkan keadilan orang yang berselisih
dengannya?Apakah ia merasa cukup untuk dikatakan bahwa ia mengetahui haq
5
atau ia termasuk ahli haq?" Guru tersebut menjawab: "Ketika sesorang disifati
adil tapi ia tidak mengetahui ketidakadilan orang yang menyalahinya maka
sesungguhnya ia bodoh akan ketidakadilan dan keadilan..ketahuilah wahai
saudaraku bahwa golongan yang paling bodoh dan hina kedudukannya
dihadapanku adalah orang-orang seperti itu. Karena perumpamaan mereka
ibarat empat kelompok orang yang memakai baju putih, kemudian mereka semua
ditanya tentang baju itu. Salah seorang dari keempat itu mengatakan bahwa ini
adalah baju merah. Yang lain berkata: 'ini baju kuning', berkata yang ketiga 'ini
baju hitam', dan keempat berkata ini adalah baju putih. Dan ditanyakan
kepadanya sebagaimana yang ditanyakan kepada tiga lainnya: ' Apakah kalian
benar atau salah?" Maka ada yang berkata: 'Adapun saya maka sungguh telah
mengetahui bahwa baju ini adalah putih dan mungkin bisa jadi yang lainpun
benar'.10
Atas dasar pemahaman ini, murid Abu Hanifah yaitu Muhamad bin
Husain al-Syibani melangkah maju dan menambahkan sumber-sumber
pengetahuan dan asas-asas kurikulum dengan sumber yang keempat yaitu Qiyas.
Yang dengannya ia bisa mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul pada
masanya dan bisa mengetahui atas perkembangan-perkembangan yang terjadi.11
Disamping itu, beliau telah memasukan pandangan baru dalam kurikulum, yaitu
bahwa ilmu itu harus memiliki keterkaitan dengan kehidupan. Hal ini dikarenakan
syari'ah itu datang untuk mengobati kehidupan bukan untuk mengasingkannya.
Dan ketika ditanya kepadanya: "Mengapa anda tidak menyusun kitab tentang
Zuhud?'" Ia berkata: "Saya telah menyusun kitab tentang jual beli".12
Adapun Imam Syafi'i, beliau menghubungkan muatan-muatan kurikulum
dengan tujuan-tujuan prilaku dan kecenderungan tertentu dalam rangka
memperbaiki pemahaman dan pengarahan untuk merealisasikannya. Barang siapa
yang mempelajari al Quran maka besarlah nilainya, barang siapa yang
mempelajari fiqih mulia kehormatannya, barang siapa yang menulis hadits maka
10
Abu Hanifah, al-'Alim wa al-Muta'allim. (Halb: Maktabah Huda, 1972) h. 34-38.
11
Ibn Abdilbar, Yusuf, Jami' Bayan al-Ilm wa fadhlih. (Madinah: Maktabah Salafiah, 1968) Juz 2
h. 32-33.
12
Al-Zarnuji, ta'lim al-muta'allim thariqath ta'allum. (Qahirah: Maktabah Mushtafa, 1948) h. 4-5.
6
kuatlah hujjahnya, barang siapa yang mempelajari bahasa maka halus
perangainya, dan barang siapa yang mempelajari Hisab maka sehatlah akalnya.13
Dalam penyusunan muatan-muatan kurikulum, Iman Syafi'i tidak
membatasinya pada ilmu-ilmu syari'ah dan bahasa serta hisab. Beliaupun
memasukan meteri-materi ilmiah yang ada kaitannya dengan keberadaan
jasmani.14 Disamping itu, beliaupun menambahkan materi-materi kurikulum
dengan beberapa keahlian fisik seperti berkuda dan memanah. Sehubungan
dengan hal ini, Imam Syafi'i pernah mendiktekan kepada muridnya al-Muzanny
sebuah kitab tentang al-Sabq dan al-Ra'yu.
Dari kesemuanya itu, nampaklah bahwa latar belakang pendidikan Iman
Syafi'i dan urutan-urutannya mempunyai pengaruh terhadap pandangan-
pandangan beliau di atas. Beliau adalah sosok yang pengetahuan terhadap ilmu-
ilmu al-Quran, hukum-hukum, falak, kedokteran, syi'ir, bahasa, logaritma, hadits,
sejarah, sangat luas. Beliaupun sangat mahir berkuda sehigga beliau pernah
menaiki kuda dengan cara melompat ke atas kuda tersebut dan beliau dalam
keadaan berlari.15
Adapun Imam Malik bin Anas beliau menghubungkan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat dengan kurikulum. Sehubungan dengan itu, beliau
menyeru untuk menjaga atau memelihara kekhasan yang dimiliki oleh setiap
negeri sampai ke persoalan fiqh. Maka tatkala Abu Ja'far memberikannya Isyarat
untuk menjadikan kitab haditsnya al-Muwatha' sebagai sandaran bagi setiap
negeri Islam dan diperintahkan untuk mengamalkannya tanpa yang lainnya. Akan
tetapi Imam Malik menolak pelaksanaan kebijakan khalifah tersebut dan
mengusulkan untuk membiarkan masing-masing negeri untuk memilih yang
sesuai dengan negerinya masing-masing.16
Pada abad kedua hijrah kalau kita memperhatikan ada sebagian
pemahaman-pemahaman yang menjadikan kurikulum tersempitkan hanya kepada
warisan-warisan ulama salaf saja, diantaranya yang dinisbatkan Khatib al-Bagdadi
13
Baihaqi, Manaqib al-Syafi'I (Qohirah: Dar al-Turats, 1971) Juz 1 h. 282.
14
Ibid. Juz 2 h. 115-116.
15
Ibid. Juz 2 h. 127-134.
16
Ibnu Abdilbar, op.Cit. Juz 1 h. 159.
7
dan Ibn Abdilbar kepada al-Auza'i.17 Pernyataan tersebut disanggah setelah
diketahui bahwa al-Auza'i memiliki sikap bebas bermazdhab. Hal itupun
disanggah oleh pernyataan Ibn Abdilbar sendiri yang mengemukakan bahwa al-
Auza'i mesasiatkan kepada para pencari ilmu untuk mempelajari sesuatu yang
tidak diambil sebagaimana mempelajari sesuatu yang diambil. Hal tersebut
dikarenakan semua pengetahuan itu merupakan bahan-bahan ilmu dan tidak ada
ruang untuk memilih atau mengunggulkan.18
17
Khatib al-Bagdadi, Syarf Ashhab al-Hadits, (Ankara: Jami'ah Ankara, 1971) h. 7
18
Ibnu Abdilbar, Op.Cit. Juz 10 h. 91.
19
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma'il, Shahih Bukhari. (Qohirah: Dr al-Sya'bi, 1378 H) Juz 1
Bab Ilmu. H. 33-34.
20
Khatib al-Bagdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqih, (Riyadh: Mathabi al-Qasin, 1389 H) Juz 9 h.
101-102.
8
Tidak memisahkan antara dasar-dasar teori dengan praktek dan
memperhatikan keseimbangan diantara keduanya sebagaimana yang dinyatakan
oleh Sufyan al-Tsauri merupakan salah satu prinsip belajar yang perlu
diperhatikan.21
Termasuk prinsip-prinsip belajar adalah apa yang dikemukakan oleh Abu
Hanifah dan Imam Syafi'I, yaitu berupa pencurahan perhatian dan menghilangkan
ketergantungan serta tersibukan oleh urusan duniawi kecuali sebatas pemenuhan
terhadap biaya pendidikannya. Intinya bahwa seorang murid dalam mencari ilmu
sudah sepatutnya untuk memberikan perhatian seoptimal mungkin. 22
Ja'far al-Shadiq menambahkan prinsip-prinsip belajar dengan kewajiban
penyertaan murid terhadap gurunya karena dengan hal itu, murid bisa
memperoleh pendidikan akhlak dan kewibawaan. Terlebih lagi bila gurunya
merupakan seorang ahli ilmu.23
Prinsip terakhir belajar adalah kontinyuitas belajar, karena kontinyuitas
dalam mengajar, bertanya, dan berdebat merupakan wasilah baru dalam rangka
memelihara kontinyuitas belajar.24 Sehubungan dengan hal tersebut, Sufyan bin
'Uyainah berkata ketika ditanya: "Siapakah sebenarnya orang yang paling
membutuhkan mencari ilmu itu?" Ia menjawab: "Orang yang paling tau diantara
mereka, karena kesalahan yang keluar darinya merupakan sesuatu yang paling
buruk." Begitu pula 'Abdullah bin Mubarak ketika ditanya: "Sampai kapankan
anda akan mencari ilmu?" Beliau menjawab: "Sampai mati, Insya Allah. Karena
barangkali kalimat yang akan memberikan manfaat kepadaku setelahnya belum
aku tuliskan".25
Ketika Abu Yusuf tidak bisa menghadiri majlis Abu Hanifah kemudian ia
belajar secara terpisah (menyendiri), Abu Hanifah mewasiatkan kepadanya yang
menjadikan Abu Yusuf diam dan tak kuasa menjawab, "Barangsiapa yang
menyangka bahwa dirinya merasa cukup dari belajar, maka tangisilah dirinya"26
21
Ab Nuaim al-Ashbahani, Op.Cit. Juz 7 h. 12.
22
Khatib al-Bagdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqih, Juz 9 h. 93-94.
23
Ab Nuaim al-Ashbahani, Op.Cit. Juz 3 h. 195.
24
Ibnu 'Abdilbar, Op.Cit. Juz 1 h. 107-108.
25
Ibn Abdilbar, Op.Cit. h. 110.
26
Khatib al-Bagdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqih. Juz 8 h. 41.
9
Khalil bin Ahmad mensyaratkan bahwa seorang Guru harus memiliki
empat sifat berikut, yaitu: Pertama, Hendaknya ia seorang thlib artinya
senantiasa mencari ilmu dari orang yang lebih mengetahui darinya. Kedua,
Hendaknya ia seorang Mu'allim yang selalu mempersiapkan dirinya, Ketiga,
Hendaknya ia seorang Mudzkir yaitu sosok yang ketika bertemu dengan orang
yang setingkat denganya ia selalu saling bertukar fikiran. Keempat, Hendaknya ia
Mutawadhi' yaitu orang yang memegang kendali atas dirinya ketika orang-orang
memandang dia sebagai orang yang paling mampu diantara mereka. 27
3. Keharusan Mengajar
Para pemikir pada masa itu sepakat akan kewajiban menyebarkan ilmu
ditengah-tengah ummat. Karenanya mereka menganggap kebodohan sebagai
musuh utama28 dan mendidika manusia lebih utama dari ibadah.29 Sehubungan
dengan hal tersebut, Imam Syafi'i telah mewajibkan Hakim, ketika ada
kesepakatan masyarakat untuk meninggalkan pencarian terhadap ilmu, untuk
memaksa mereka kembali mencari ilmu.30
Sehubugan dengan hal ini, Imam Malik mengemukakan bahwa ilmu jika
tidak sampaikan kepada umat, maka ia tidak akan bermanfaat secara khusus.
Perkataan Imam Malik tersebut ditafsirkan oleh Ibnul Haj bahwa ucapan tersebut
mencakup tiga hal berikut: Pertama, bahwa mereka tidak akan bisa
mengamalkannya, Kedua, bahwa pahala ilmu akan berlipat-lipat dengan cara
menyebarkannya, dan Ketiga, mereka akan terhalang dari faidah-faidah ilmu
karena monopali mereka atas suatu ilmu akan menyebabkan mereka dihinggapi
sifat atau sikap takabur dan merasa cukup dengan ilmu sehingga pemahaman
mereka atas ilmu akan terhalang.31
4. Metode-Metode Pengajaran
27
Ibnu Abdilbar, Op.Cit. Juz 1 h. 161.
28
Abu Nuaim al-Ashbahani, Op.Cit. Juz 3 h. 196.
29
Ibnu Abdilbar, Op.Cit. Juz 1 h. 56.
30
Al-Baihaqi, Op.Cit. Juz 2 h. 139.
31
Ibnu Haj, al-Mudakhol, (Qohirah: Maktabah Tijariah al-Kubra, 1929 M) Juz 2 h. 98.
10
Pada abad ke II, metode-metode pengajaran dibagi ke dalam dua jenis,
Pertama, metode yang baru dikembangkan dan Kedua, metode-metode yang
digunakan pada abad pertama tapi mengalami perkembangan.
Adapun jenis metode yang termasuk pada bagian pertama adalah:
1. Metode Iml (Dikte)
Metode Imla mulai dikenal semenjak awal abad kedua hijrah. Imam
Syafi'I menyebutkan bahwa pengajar kitab yang didalamnya mempelajari al
Quran biasa mengimla anak-anak yang sedang mempelajari al Quran
sementara mereka mencatatnya.32 Begitu pula seorang ahli bahasa yang
terkenal, yaitu Abu 'Ali al-Qali yang kemudian ia mengumpulkan imla-
imlanya dalam sebuah kitab yang diberi nama al-'amli. Bahkan diceritakan
bahwa beliau biasa belajar dengan menggunakan metode ini.
Berikut ini merupakan prosedur metode Iml, yaitu: "Seorang Guru
membuka majlisnya dengan membaca basmalah, puji bagi Allah, dan
shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Setelah itu ia memulai mendikte
dengan memperhatikan kematangan akal para pendengar dan ketika
meriwayatkan sesuatu ia menangguhkannya dan kemudian memberitau nilai
riwayat tersebut. Kemudian ia menjelaskan apa yang telah ia diktekan secara
mendalam terutama hal-hal yang dirasakan sulit untuk difahami oleh orang-
orang selain ulama.33 Ketika sampai pada akhir, ia menutup majlisnya
dengan membacakan hikayat-hikayat, Lagu-Lagu dan Syair-Syair. Kemudian
majlisnya diakhiri dengan mengucapkan istighfar dan puji kepada Allh."34
Setelah langkah di atas dilakukan, biasanya guru meminta muridnya untuk
membaca kembali apa yang telah didiktekan dan ketika menemukan kesalahan
dalam penyalinan maka ia sebera memperbaikinya. 35
Kemudian metode Iml mengalami perkembangan, yaitu dimana seorang
guru memilih seseorang untuk menyampaikan apa yang dikatakan gurunya
32
Al-Baihaqi, Op.Cit. Juz 1 h. 94.
33
Al-Sam'ani, Abdul Karim bin Muhammad, Adab al-Imla wa al-Istiml. (Leiden, 1952) h. 59-
60.
34
Ibid, h. 68-69.
35
Ibid. h. 77.
11
supaya sampai kepada orang yang tempat tinggalnya jauh dari tempat belajar.
Orang yang dipilih guru seperti ini dinamakan al-Mustamli. Hal ini mereka
sandarkan kepada apa yang pernah dilakukan oleh Rasul saw. ketika Haji
Wada dimana beliau berkhutbah di Mina dan Ali bin Abu Thalib berbicara
atas nama Nabi sedangkan manusia di antara mereka ada yang berdiri dan ada
pula yang duduk.
Metode ini banyak dibicarakan oleh para ulama dimana mereka
merumuskan ketentuan-ketentuan dan syarat-syaratnya, diantaranya adalah
bahwa seorang mustamli itu harus orang yang suaranya keras, cerdas
'pemahamannya cepat', cepat dalam hal kematangan berfikir, dan pintar dalam
pengertian (lisannya paling fasih, penjelasannya paling jelas, 'Ibaratnya paling
bagus, dan paling baik pelaksanaannya.) dan hendaknya ia menguasai ilmu
yang akan ia diktekan dan ia mengemuakan sebagia penjelasnnya tentang ilmu
tersebut dengan tujuan menjauhkan diri dari kekeliruan dan kesalahan.
Ketika suatu majlis sangat luas, maka mustamli bisa banyak atau lebih dari
satu dengan ukuran sekiranya apa yang disampaikan guru dapat mereka
terima. Dan pada sebagian majlis-majlis taklim jumlah mustamli mencapai
sembilan orang bahkan dalam sebagiannya yang lain terdapat sekitar 20 orang
mustamli.36
Para ulama telah menerapkan beberapa etika murid ketika menghadiri
majlis Iml, diantaranya menghiasi diri dengan akhlak Islam, segera hadir,
meluaskan lengan bajunya supaya bisa meletakan buku, menulis dengan tinta
hitam, karena sesungguhnya warna hitam merupakan warna yang paling kuat
dan tinta merupakan alat tulis yang paling lama (dan merupakan alat orang-
orang yang memilki ilmu, sejumlah ahli ma'rifat dan faham). Disamping itu,
para ulama mensyaratkan tulisan yang baik.
Sehubungan dengan penulisan, mereka mensyaratkan adanya pengesahan,
menyebutkan nama yang mendiktekan, tanggal pendiktean, nama mustamli,
36
Ibid.
12
dan para murid dianjurkan untuk membandingkan apa yang mereka tulis
dengan yang lainnya dengan tujuan pendalaman dan penguasaan. 37
Sehubungan dengan metode Iml, para ulama mengaitkannya dengan
sejumlah kemahiran aqliyah dan amaliyah. Pertama, Maharat al-Fahm
'kemmapuan untuk memahami'. Sehubungan dengan hal ini, Imam Syafi'i
memberikan gambaran tentang orang yang mencari ilmu tapi ia tidak
memahaminya (seperti pencari kayu bakar di malam hari, ia membawa seikat
kayu bakar, di dalamnya ada ular yang kemudian mematuknya dan ia tidak
mengetahuinya.) Hal itu dikarenakan ia belum mampu untuk membedakan
ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang madharat dan ia pun belum mampu
untuk membedakan yang benar dari yang salah.38
Berangkat dari kaidah ini, Sufyan al-Tsauri dan Yahya bin Aksar
mengatakan bahwa memahami hadits lebih baik daripada sekedar
mendengarkannya. Ahmad bin Farra menyetujui pendapat tersebut dan beliau
mengemukakan alasannya bahwa situasi dan kondisi pada saat mereka hidup
menuntut perhatian terhadap pemahaman sebelum penerimaan terhadap suatu
hadits atau ilmu. Masa Nabi saw. merupakan masa pengajaran al-Sima'i dan
penunjukan atas wahyu yang tidak pernah salah, karenanya tidak aneh kalau
banyak manusia bergegas mengimani apa yang diperintahkan. Pada abad
kedua hijrah, orang-orang muknim diperbolehkan untuk menjelaskan apa yang
ia dengar atau ia baca dan hendaknya ia tidak mendahulukan suatu keyakinan
atau amal kecuali setelah memahaminya dan melakukannya. 39
Kedua, Mahrat al-Suluk. Kemahiran kedua ini dikemukakan oleh
Abdullah bin Mubarak yang wafat pada tahun 175 H. Beliau mengemukan
beberapa langkah berikut: "Pertama kali belajar adalah niat, kemudian
mendengarkan dengan seksama, lalu pemahaman, kemudian hapalan,
melakukan, dan terakhir menyebarkan". Senada dengan hal ini, Fadhil bin
37
Ibid, h. 147-179.
38
Al-Baihaqi, Op.Cit.Juz 2 h. 142-143.
39
Al-Sam'ani, Op.Cit. h. 61-62.
13
'Iyad yang meninggal pada tahun 180 H dan Sufyan al-Tsauri mengemukakan
urutan yang sama, hanya saja urutan pertamanya diganti dengan al-Insht.40
Ibnu Jaruq mengumpulkan beragam karangan tentang kaidah umum,
berikut ini adalah nashnya: "Segala sesuatu memiliki arah atau
kecenderungan. Maka orang yang pertama kali mencari ilmu disyaratkan
baginya mendengarkan dan menerima kemudian menggambarkan dan
memahami, lalu menerangkan sebab dan istidlal, serta mengamalkan dan
menyebarkannya". Maka takkala ia mendahulukan satu tingkatan dari urutan
sebenarnya, maka ia akan terhalang untuk mendapatkan hakikat ilmu.
Seorang 'Alim tanpa bisa mengambil kesimpulan adalah suatu keheranan.
Bisa mengambil kesimpulan tapi tidak mampu memberikan gambaran tidak
ada manfaatkan, mampu menggambarkan tapi tidak disertai dengan
kemampuan memahami tidak akan memberikan faidah kepada yang lainnya.
Pengetahuan tanpa hujjah tidak bisa membuat dada lapang, dan apapun yang
tidak memiliki pengaruh maka hal tersebut adalah tidak berguna. Mudzakarah
merupakan kehidupan seorang alim dengan syarat ia bersikap al-Inshaf dan al-
Tawadhu. 41
Ketiga, Mahrat al-Istim' 'kemahiran mendengarkan'. Sehubungan
dengan kemahiran ini, para ulama mewajibkan seorang murid untuk tidak
memotong perkataan seseorang sampi ia selesai berbicara, dan jangan sekali-
kali memaksa seorang murid untuk berguru pada seseorang sehingga hal ini
tidak menghalanginya untuk bisa mengajarkan dan memberitahukan apa yang
ada padanya.42
Sehubungan dengan hal ini, Yahya bin Khalid berkata: "Janganlah kalian
menyampaikan sebuah jawaban kepada seseorang sebelum kalian memahami
apa yang diucapkannya, karena hal tersebut bisa memalingkanmu dari
menjawab pertanyaan-pertanyaan kepada yang lainnya dan kebodohan akan
ditujukan kepada anda. Akan tetapi pahamilah apa yang ditanyakan dan jika
40
Ibn Abdilbar, Op.Cit. Juz 1 h.143.
41
Zuruq, qawaid al-Tasawwuf, (Qahirah: Maktabah Kulliyah al-Azhariyah, 1968) h. 28.
42
Blomm and Others,Taksonomi of Educational Objectives. (New York: David Mckay Co, 1969)
h.
14
kamu faham maka jawablah. Janganlah terburu-buru dalam menjawab
sebelum minta keterangan. Janganlah merasa malu untuk meminta
keterangan jika tidak mengerti, karena menjawab sebelum mengerti adalah
suatu kebodohan. Apabila tidak tau maka tanyalah dan pertanyaanmu lebih
indah dan lebih baik dari pada diam dalam kondisi ketidaktauan".
43
Al-Subki, Thabaqat al Syafi'iyah. (Qahirah: 'Isa al-Nani, 1965) Juz 3 h. 22.
44
Al-Subki, Thabaqat al Syafi'iyah. (Qahirah: 'Isa al-Nani, 1964) Juz 2 h. 159.
45
Ibid, h. 89-93.
15
kemudian mereka mencantumkannya dalam buku-buku mereka secara khusus.
Tujuannya agar orang-orang yang menyukai penggunaan metode ini
mengetahui dan memahami uraian serta cara menggunakan metode ini. 46
46
Ibnu Abdilbar, Op.Cit. Juz 1 h. 146.
47
Al-Baihaqi, Op.Cit. Juz 1 h. 100-101.
48
Al-Suyuthi, Op.Cit. Juz 1 h. 160.
16
perubahan dialek. Suku-suku Badui tersebut semacam Kabilah Tamim, Asad
dan Hudzail49 dan orang yang pertama kali melakukan rihlah ke
perkampungan Badui adalah Yunus bin Habib al Dhobi (w. 183 H), Khalif bin
Ahmar (w. 180 H) dan Khalil bin Ahmad50. Hal inipun pernah dilakukan
imam Syafi'i dimana beliau memasuki perkampungan Badui untuk belajar
bahasa. Beliau hidup bersama Kabilah Hudzail yang merupakan suku Arab
yang paling Fasih. Beliau berkendaraan dengan menggunakan kendaraan
mereka dan tinggal bersama mereka di rumah-rumah mereka.51
49
Ibid. h. 144-145.
50
Al-Rafi'I, Mushtafa Shadik, Tarikh Adab al-'Arab. (Qohirah: Maktabah al-Tijariah al-Kubra,
1953). Juz 1 h. 144-145.
51
Al-Baihaqi, Op.Cit. Juz 1 h. 102.
52
Al-Rahmaramzi, al-Hasan bin Abdurahman, al-Muhaddits al-Fshil baian Rawi wa al-W'i.
(Beirut: Dr al-Fikr, 1971) h. 361.
53
Ibn Abdilbar, Op.Cit. Juz 1 h. 108.
17
Perkembangan baru pada metode ini adalah dengan ditambahkannya
syarat-syarat tertentu yang berbeda sesuai dengan perbedaan materi yang
diajarkan. Misalkan dalam mempelajari hadits metode sima' ini dipergunakan
hanya bagi mereka yang telah mencapai usia balig54. Dalam mempelajari
hadits disyaratkan juga Isnad 'penyandaran' sehingga murid tidak mengatakan
siapa dan apapun sekehendaknya.55
Adapun dalam pengajaran bahasa metode ini digunakan dengan beragam
cara, diantaranya: al-Sim' min lafd al-Syaikh 'mendengarkan lapad guru' atau
al-Sim min lafd al-'Arabi ' 'mendengarkan lapad orang Badui'. Termasuk juga
kedalam metode ini juga mendengarkan bacaan guru untuk orang lain.
Sehubungan dengan yang terakhir, ketika hendak melakukan periwayatan, ia
mengatakan qara'a 'al fulnin wa an asma'u.56
54
Khatib al-Bagdadi, al-Kifayah fi ilm al-Riwayah. (Hedrabad: Dairah Ma'arif al-'Utsmaniyah:
1357 H) h. 54.
55
Khatib al-Bagdadi, Syarf Ashhab alHadits. h. 40-42.
56
Al-Suyuthi, Op.Cit. Juz 1 h. 161.
57
Khatib al-Bagdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqih. Juz 7 h. 26.
18
barang siapa yang tidak memperlakukan ilmu dengan sama, maka ia tidak akan
mendapatkan kepahaman dan tidak akan bisa memahamkan.
Begitu pula etika-etika seorang murid tidak jauh berbeda dengan apa yang
dirumuskan pada abad pertama hijrah. Hanya saja Imam Syafi'i memberikan
penekanan bahwa seorang murid hendaknya bisa mencurahkan perhatiannya
untuk mencari ilmu, tidak tersibukan oleh urusan duniawi atau terfokus pada
dunia serta tidak menampakan kemuliaan atau kedudukannya. 58 Disamping itu,
beliau pun memberikan penekanan pada sikap ketawaduan seorang murid dan
sikap hormatnya terhadap guru agar guru tersebut bisa memberikan ilmu terbaik
yang ada padanya.59
D. Daftar Pustaka
58
Al-baihaqi, Op.Cit. Juz 2 hal 141-142.
59
Al-Rahmaramzi, Op.Cit. h. 202.
19
Khatib al-Bagdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqih, Riyadh: Mathabi al-Qasin, 1389 H.
Khatib al-Bagdadi, al-Kifayah fi ilm al-Riwayah. Hedrabad: Dairah Ma'arif al-
'Utsmaniyah: 1357 H.
Zuruq, qawaid al-Tasawwuf, Qahirah: Maktabah Kulliyah al-Azhariyah, 1968.
20