Anda di halaman 1dari 22

REFRAT

NEFROPATI DIABETIK

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. Nur Hidayat sp. PD

Diajukan Oleh :

Arinil Husna Kamila, S. Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017

i
REFRAT

NEFROPATI DIABETIK

Diajukan Oleh :
Arinil Husna Kamila

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada tanggal April 2017

Pembimbing
dr. Nur Hidayat sp. PD (.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


dr. Dona Dewi Nirlawati (....................................)

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Nefropati diabetikum adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang
ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau >200 g/menit) pada
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu tiga sampai 6 bulan. Screening
untuk nefropati diabetikum harus dilakukan setelah lima tahun terdiagnosis diabetes
melitus tipe 1 atau lebih cepat jika terjadi pubertas atau kontrol gula darah yang
buruk.Untuk pasien diabetes melitus tipe 2, screening sebaiknya dilakukan saat
didiagnosis sebagai diabetes melitus tipe 2 dan setiap tahunnya.
Penyakit ginjal ini terjadi pada 40% pasien diabetes melitus. Selain itu,
insidensi nefropati diabetikum meningkat dua kali lipat dari tahun 1991 hingga
2001. Umumnya nefropati diabetikum terjadi setelah 10 tahun sejak terkena diabetes
melitus tipe 1. Angka kejadian nefropati diabetikum sama pada diabetes melitus
tipe 1 dan 2, namun karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 lebih banyak
daripada tipe 1, maka insidens pada tipe 2 lebih besar. Nefropati diabetikum tidak
memandang jenis kelamin, dimana insiden untuk pria sama dengan wanita.
Nefropati diabetikum lebih sering terjadi pada ras Afrika Amerika dan Asia
dibandingkan dengan Kaukasia. Hal ini dikarenakan faktor sosioekonomi, seperti
diet, kontrol gula darah yang buruk, hipertensi, dan obesitas. Umumnya orang
dengan nefropati diabetikum juga memiliki retinopati diabetikum. Pada pasien
diabetes tipe 2, insiden mikroalbuminuria adalah 2% per tahun dan dengan
prevalensi sebaganyak 25%.Proteinuria terjadi pada 15 hingga 40% pasien diabetes
tipe 1 dan umumnya terjadi setelah 15 hingga 20 tahun terkena diabetes melitus.
Nefropati diabetikum adalah salah satu penyebab terbanyak dari end
stage renal disease (ESRD) di Amerika Serikat dan penyebab tertinggi transplantasi
ginjal di Inggris. Nefropati diabetikum meningkatkan risiko kematian melalui
penyakit kardiovaskular.Pasien diabetes melitus membutuhkan diagnosis dini dan
penatalaksanaan karena komplikasi nefropati diabetikum yang dapat menyebabkan
kematian. Selain itu, pasien diabetes melitu perlu membantu untuk mengontrol diet
sehari-hari agar tidak terjadi keadaan hiperglikemia yang menyebabkan nefropati
diabetikum.

1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Nefropati diabetikum didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes
melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200
g/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu tiga sampai enam
bulan (gambar 2.1.).

Gambar 2.1. Pengaruh Diabetes pada Ginjal

Laju eksresi albumin urin dapat dibagi menjadi tiga yaitu normoalbuminuria,
mikroalbuminuria, dan makroalbuminuria (tabel 2.2.)

Tabel 2.1. Laju Eksresi Albumin Urin


Laju Ekskresi Albumin Perbandingan
Kondisi 24 jam Sewaktu (24 albumin urin-
(mg/hari) g/menit) kreatinin (g/mg)
Normoalbuminuria < 30 < 20 < 30
Mikroalbuminuria 30-300 20-200 30-300
Makroalbuminuria > 300 > 200 > 300

3
Mikroalbuminuria merupakan prediktor penting untuk timbulnya nefropati
diabetikum. Namun, perlu diingat pula penyebab mikroalbuminuria selain diabetes
melitus, yaitu tekanan darah tingsgi, kehamilan, asupan protein sangat tinggi, stress,
infeksi sistemik atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut, demam, latihan
berat dan gagal jantung. Jika ditemukan mikroalbuminuria perlu diperiksa
pemeriksaan-pemeriksaan lain, karena mikroalbuminuria berhubungan dengan
mikroangiopati diabetik, penyakt kardiovaskular, hipertensi, dan hiperlipidemia.

Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes melitus dapat dibagi
menjadi 5 tahap (tabel 2.1.)

Tabel 2.2. Tahap Nefropati Diabetikum


Tahap Karakteristik GFR* Ekskresi Tekanan Kronologis
Albumin Darah
1 Hiperfungsi Hiperfiltrasi meningkat dapat tipe 1: normal, ada saat
dan glomerulus meningkat tipe 2: normal, didiagnosis
hipertrofi hipertensi
2 Silent stage Penebalan normal tipe 1: tipe 1: normal, 5 tahun
membran normal; tipe tipe 2: normal, pertama
basalis dan 2: < 30-300 hipertensi
mesangium mg/hari
3 Incipient Mikroalbumin mulai 30-300 tipe 1: 6-15 tahun
stage uria menurun mg/hari meningkat,
tipe 2: normal,
hipertensi
4 Overt Makroalbumin dibawah > 300 hipertensi 15-25 tahun
diabetic uria normal mg/hari
nephropathy
5 Uremic ESRD 0-10 Menurun hipertensi 25-30 tahun
*GFR: glomerulus filtration rate

B. Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab pasti dari nefropati diabetikum hingga saat ini masih belum diketahui
dengan pasti, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa penyebab dari penyakit ini
kemungkinan besar adalah keadaan hiperglikemia (gula darah puasa > 140-160 mg/dL
dan A1C > 7-8%) kronik. Selain itu keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan

4
nefropati diabetikum adalah kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus), hipertensi sistemik,
sindrom resistensi insulin, inflamasi, perubahan permeabilitas pembuluh darah, asupan
protein berlebih, dan gangguan metabolik (pembentukan advanced glycation end
products, peningkatan produksi sitokin), dan hiperlipidemia. Genetik juga memiliki
peranan pada penyakit ini. Kerusakan dari gen Angiotensin Converting Enzyme (ACE)
akan meningkatkan risiko seseorang terkena nefropati diabetikum. Selain itu, pasien
dengan keluarga terkena nefropati diabetikum memiliki peningkatan risiko terkena
nefropati diabetikum pula.

C . Patofisiologi
Hiperglikemia kronis merupakan penyebab nefropati diabetik.Selain itu juga
terjadi hiperfiltrasi pada ginjal.Hal ini terjadi karena kompensasi nefron yang masih
sehat. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan
menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut. Selain hiperglikemia, hiperfiltrasi dapat
terjadi akibat dilatasi arteriol aferen oleh hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide,
prostaglandin dan glukagon.
Efek langsung dari hiperglikemia adalah hipertrofi sel, sintesis matriks
ekstraseluler, serta produksi TGF- yang diperantai oleh aktivasi protein kinase-C
(PKC). PKC memiliki efek kontraksi vaskular, proliferasi sel, peningkatan aliran darah
serta permeabilitas kapiler. Maka dari itu akan terjadi peningkatan tekanan kapiler di
glomerulus.
Glomerulus ginjal juga mengalami perubahan struktural yakni seperti
peningkatan matriks ekstraselular, penebalan membran basalis, ekspansi mesangial dan
fibrosis.Hiperfiltrasi dan hipertrofi ginjal mulai terjadi pada tahun-tahun pertama sejak
onset diagnosis diabetes mellitus ditegakkan. Kemudian dalam 5 tahun diabetes,
membran basalis akan menebal, hipertrofi glomerulus dan ekspansi volume mesangial
seiring penurunan filtrasi glomerulus. Setelah 5 10 tahun diabetes, kurang lebih 40%
terjadi mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin
sejumlah 30 299 mg/hari dalam urin 24 jam atau 30 299 g/mg kreatinin dalam urin
sewaktu. Hanya kurang lebih 50% akan mengalami progresi dari mikroalbuminuria
menjadi makroalbuminuria.
Apabila mikroalbuminuria telah terjadi, laju filtrasi glomerulus akan mengalami
penurunan yang bertahap. Setelah itu, penderita akan mengalami gagal ginjal stadium

5
akhir (End Stage Renal Disease). Kemudian apabila makroalbuminuria terjadi, tekanan
darah akan meningkat dan perubahan patologik akan menjadi irreversibel.
Selain mikro atau makroalbuminuria, anemia sering terjadi pada penderita
nefropati diabetik yang berujung pada ESRD. Penyebab anemia pada ESRD yakni
sebagai berikut :
a. Defisiensi relatif eritropoeitin
b. Umur eritrosit yang pendek
c. Bleeding diathesis
d. Defisiensi besi
e. Hiperparatiroid atau fibrosis sumsum tulang
f. Inflamasi kronik
g. Defisiensi asam folat atau B12
h. Hemoglobinopati
i. Kondisi komorbid : kehamilan, hipo/hipertiroid, HIV-AIDS, autoimun, obat
imunosupresan
Pada nefropati diabetik, juga dapat terjadi kondisi hiperhomosisteinemia.Terdapat
hipotesa bahwa ginjal meregulasi GFR dengan metabolisme homosistein.Homosistein
adalah asam amino dan merupakan hasil metabolit methionine.Tubuh mendapatkan
methionine dari asupan makanan seperti telur, daging dan ikan. Homosistein memiliki
efek vasokontriksi, meningkatkan reabsorbsi Natrium dan membuat arteri menjadi
kaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan hipertensi apabila kadar homosistein terlalu
tinggi dalam darah.

6
Gambar 2.2. Skema Akumulasi Homosistein dalam Tubuh

D. Manifestasi Klinis
Pada awal terjadinya nefropati diabetik, tidak ada gejala yang dapat ditemukan
atau asimptomatik.Keluhan yang biasa dialami setelah neftropati diabetik lebih
mengalami progresivitas yakni urin yang berbusa, cepat lelah dan kaki bengkak.
Apabila sudah masuk dalam End Stage Renal Disease, gejala yang dapat ditimbulkan
menyangkut gangguan elektrolit dan cairan, metabolik dan endokrin, neuromuskular,
kardiovaskular, pulmonal, dermatologi, gastrointestinal dan hematologi maupun
imunologi. Gejala klinis tersebut akan diperinci dalam tabel 2.1. berikut ini :

Tabel 2.3. Manifestasi Klinis pada End Stage Renal Disease


Cairan dan Elektrolit Neuromuskular Dermatologi

Hiponatremia Lelah Pucat


Ekspansi volume cairan Gangguan tidur Hiperpigmentasi
Hiperkalemia Nyeri kepala Pruritus

Hiperfosfatemia Letargi Ekimosis

Iritabilitas muskular Uremic frost

Neuropati perifer Nephrogenic fibrosing


Restless leg syndrome dermopathy
Mioklonus
Kejang
Koma
Kram otot
Miopati
Dialysis disequillibrium
syndrome

7
Tabel 2.3. Manifestasi Klinis pada End Stage Renal Disease (lanjutan)1
Metabolik dan Endokrin Kardiovaskular dan Pulmonal Gastrointestinal

Hiperparatiroid sekunder Hipertensi arterial Anoreksia


Osteomalasia Gagal jantung kongestif Mual dan muntah
Resistensi karbohidrat dan edema pulmo Gastroenteritis
Hiperurisemia Perikarditis Ulkus peptikum
Penurunan lipoprotein Kardiomiopati tipe Perdarahan gastrointestinal
Kwashiorkor hipertrofi atau dilatasi Asites idiopatik
Gangguan pertumbuhan Uremic lung Peritonitis
dan perkembangan Atherosklerosis Hematologi
Disfungsi seksual dan Hipotensi dan aritmia Anemia
fertilitas Kalsifikasi vaskular Limfositopenia
Amenorrhea Leukopenia
Amyloidosis Trombositopenia
Hipoalbuminemia

Definisi hiperfosfatemia yakni ketika level fosfat dalam darah lebih dari 1,8
mmol/L (5,5 mg/dL). Keadaan hiperfosfatemia biasa ditemukan pada gagal ginjal akut
dan kronik serta hipoparatiroid, intoksikasi vitamin D, akromegali, asidosis,
rhabdomiolisis dan hemolisis. Pada gagal ginjal akut atau kronik, hiperfosfatemia dapat
terjadi akibat penurunan filtrasi dan ekskresi fosfat. Sebagai akibat dari
hiperfosfatemia, Kalsium Fosfat akan terdeposisi di jaringan dan menyebabkan
hipokalsemia. Deposisi Kalsium Fosfat pun akan mengakibatkan gangguan seperti
nefrokalsinosis dan aritmia jantung.
Manifestasi klinis lainnya seperti osteomalasia disebabkan oleh defisit vitamin D.
Pada keadaan ESRD, terjadi gangguan metabolisme vitamin D yang terjadi di ginjal.
Keluhan yang biasa dikemukakan oleh pasien yakni nyeri difus pada otot skeletal, nyeri
pada tulang. Kelemahan otot proksimal tubuh merupakan ciri dari defisiensi vitamin
D. Karakteristik osteomalasia pada gambaran radiologi adalah radiolucent bands
(Looses zones atau pseudofractures).
Anemia dapat mulai terjadi pada kegagalan ginjal stadium 3 atau 4.Tipe anemia
yang terjadi yakni normositik normokrom. WHO mendefinisikan anemia sebagai
keadaan konsentrasi hemoglobin di bawah 13 gr/dL atau hematokrit di bawah 39%

8
untuk laki-laki dewasa; hemoglobin di bawah 12 gr/dL atau hematokrit di bawah 37%
untuk perempuan dewasa. Gejala klinis dari anemia bervariasi, tergantung dari
derajatnya. Anemia yang terjadi secara akut biasanya terjadi akibat perdarahan atau
hemolisis. Pasien dengan anemia dengan derajat sedang akan mengeluhkan letih,
lemas (tidak berstamina), sesak dan takikardi. Pada pemeriksaan fisik biasanya
ditemukan kulit dan mukosa yang pucat.
Keadaan hipoalbuminemia akibat mikroalbuminuria atau makroalbuminuria
dapat muncul. Definisi hipoalbuminemia yakni dimana kadar albumin dalam darah
yakni di bawah 2,5 gr/dL). Hipoalbuminemia akan mengakibatkan penurunan tekanan
onkotik dalam plasma sehingga terjadi transudasi cairan ke interstitium. Hal ini akan
menstimulasi ginjal untuk meretensi Natrium dan menyebabkan edema. Edema pada
gagal ginjal biasanya ditemukan di daerah periorbita saat pasien baru bangun tidur di
pagi hari. Hal ini dikarenakan jaringan ikat di daerah mata merupakan jaringan ikat
yang longgar.

E. Diagnosis
Nefropati diabetikum didiagnosis dengan mengukur albumin pada urin (gambar
2.3.). Urin tersebut dapat diambil saat pagi hari maupun sewaktu, seperti saat datang
kontrol ke dokter. Semua hasil yang abnormal perlu dikonfirmasi kembali dengan
pengumpulan tiga sampel urin yang dikumpulkan dalam jangka waktu tiga hingga
enam bulan dikarenakan variabilitas harian dari jumlah ekskresi albumin di
urin.Abnormalitas dua dari tiga sampel mengkonfirmasi albuimnuria.Screening tidak
dilakukan jika terdapat infeksi saluran kencing, hematuria, olahraga berlebihan,
hipertensi tidak terkontrol, dan gagal jantung, dikarenakan semua keadaan tersebut
dapat meningkatkan ekskresi albumin di urin. Masing-masing stadium albuminuria
menunjukkan manifestasi klinis yang berbeda-beda (tabel 2.4.).
Gambar 2.3. Skrining Mikroalbuminuria

Tabel 2.4. Karakteristik Klinis pada Masing-Masing Stadium Albuminuria


Stadium Albuminuria Karakteristik Klinis
Mikroalbuminuria 200-199 Peningkatan tekanan darah
g/menit
30-299 g/24 Peningkatan trigliserida, low density
jam lipoprotein (LDL) dan kolesterol total,
saturated fatty acid (SFA)
30-299 mg/g* Disfungsi endotel, retinopati diabetikum,
amputasi, dan penyakit kardiovaskular.

Mikroalbuminuria** 200 g/menit Hipertensi


300mg/24 jam Peningkatan trigliserida dan LDL serta
kolesterol total
> 300 mg/g* Iskemik miokardium dan penurunan
glomerular filtration rate (GFR)
* Sampel urin sewaktu
** Proteinuria 500 mg/24 jam atau 430 mg/l dalam sampel urin sewaktu

Selain itu, pengukuran albuminuria dapat menggunakandipstick. Hasil dipstick


yang positif perlu dikonfirmasi dengan pengukuran protein dalam urin 24 jam. Jumlah
protein dalam urin 24 jam lebih dari 500 mg/24 jam mengkonfirmasi diagnosis
proteinuria, namun pasien dengan jumlah yang lebih kecil tidak menutup kemungkinan
memiliki mikroalbuminuria karena metode ini tidak sensitif untuk pengukuran
mikroalbuminuria. Proteinuria sebelum lima tahun terkena diabetes melitus, eritrosit
yang dismorfik, dan penurunan mendadak dari fungsi finjal menandakan bahwa
proteinuria tersebut terjadi karena alasan nondiabetik.

Jika mikroalbuminuria ditemukan, maka perlu memeriksa kreatinin serum,


adanya retinopati, penyebab lain kelainan ginjal, penyakit pembuluh darah perifer, dan
profil lipid.Selain itu perlu juga untuk mentatalaksana hipertensi, memperketat kendali
gula darah, dan berhenti merokok.
Pengukuran lain yang dapat dilakukan adalah pengukuran ureum dan serum
kreatinin.Hal ini berguna untuk pengukuran glomerulus filtration rate (GFR) yang
berguna untuk memantau perkembangan penyakit ginjal dan menentukan
stadiumnya.Ginjal akan tampak membesar dan mengecil pada stadium akhir dengan
renal ultrasonography. Biopsi ginjal tidak rutin dilakukan pada pasien nefropati
diabetikum. Biopsi dilakukan jika terdapat proteinuria yang tidak khas, yaitu dengan
karakteristik sebagai berikut diabetes melitus tipe 1 kurang dari 10 tahun, tidak ada
retinopati diabetikum, proteinuria tanpa didahului mikroalbiminuria, hematuria
mikroskopik, dan cast eritrosit.
Untuk pemeriksaan histopatologis, umumnya ditemukan ekpansi dari mesangial
akibat hiperglikemia dengan peningkatan produksi matriks, penebalan dari membrana
basalis glomerulus, dan sklerosis glomerulus karena hipertensi interglomular yang
disebabkan karena vasodilatasi renal atau iskemia akibat penyempitan pembuluh darah
yang men-supplyglomerulus.
Nefropati diabetik bersifat ireversibel dan perjalanan penyakit akan semakin
berat. Skrining sangat penting dilakukan agar terapi dapat sesegera mungkin dimulai
untuk menahan laju progesivitas penyakit. Skrining mikroalbuminuria harus dilakukan
pada pasien dengan diabetes tipe 1 yang sudah berlangsung lebih dari 5 tahun, pasien
dengan diabetes tipe 2, dan saat kehamilan. Pada pasien tanpa diabetes,
mikroalbuminuria dapat meningkat pada infeksi saluran kemih, hematuria, gagal
jantung, sakit demam, hiperglikemia berat, hipertensi berat, dan latihan yang
berlebihan.
F. Tata Laksana
1. Pencegahan
Pencegahan dilakukan pada pasien diabetes dengan skrining mikroalbuminuria
negatif (normoalbuminuria). Dasar untuk pencegahan nefropati diabetik adalah
pengobatan faktor risiko yang diketahui: hipertensi, hiperglikemia, merokok, dan
dislipidemia. Hal ini juga merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular dan
harus diperlakukan secara keras.
a. Kontrol gula darah intensif.
Perawatan intensif dari kadar gula darah dapat mengurangi munculnya
mikroalbuminuria sebanyak 39%.
b. Kontrol tekanan darah intensif.
Pengobatan hipertensi secara drastis mengurangi risiko penyakit jantung
pada pasien dengan diabetes.Pasien diabetes umumnya mengalami
hipertensi, walaupun tidak ada gangguan ginjal. Sekitar 40% dari diabetes
tipe 1 dan 70% dari pasien diabetes tipe 2 dengan normoalbuminuria
memiliki tingkat tekanan darah >140/90 mmHg. Pada pasien dengan
diabetes, tekanan darah harus dapat dipertahankan <130/80 mmHg
c. Pemberian ACE inhibitor atau ARB.
Peran ACE inhibitor dalam pencegahan nefropati diabetik pada pasien
dengan diabetes tipe 1 belum dapat ditentukan, tetapi ACE inhibitor atau
ARB ini dapat mengurangi angka kejadian penyakit jantung pada diabetes
tipe 2. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ACE inhibitor memiliki
manfaat dalam proteksi jantung maupun ginjal pada pasien dengan diabetes
tipe 2.

2. Terapi
Tujuan dari terapi adalah mencegah progresivitas dari mikroalbuminuria
ke makroalbuminuria, penurunan fungsi ginjal pada pasien dengan makroalbuminuria
dan penyakit jantung. Prinsip terapi adalah sama dengan pencegahan nefropati
diabetik, dengan cara yang lebih intensif.
American Diabetes Society (ADA) merekomendasikan jumlah konsumsi
protein pada pasien diabetes dengan albuminuria adalah sebanyak 0,8
g/kg/hari.

Tabel 2.5. Strategi dan Tujuan untuk Perlindungan Ginjal dan Jantung
pada Pasien dengan Nefropati Diabetik

a. Kontrol gula darah intensif.


Kontrol gula darah intensif pada pasien dengan diabetes tipe 1 tidak
memperlambat progresivitas mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria,
tetapikontrol gula darah dan tekanan darah yang rendah pada pasien dengan
diabetes tipe 1 dapat mengurangi penurunan fungsi ginjal dalam hal
proteinuria.
Pada pasien dengan diabetes tipe 2, efek dari kontrol gula darah yang
ketat pada nefropati diabetik belum jelas, tetapi tetap harus diupayakan pada
semua pasien.Beberapa agen antihiperglikemik oral memberikan efek yang
menguntungkan dalam mencegah komplikasi ginjal pada pasien dengan
diabetes tipe 2, tetapi pemberian obat ini harus memperhatikan fungsi renal.
Metformin tidak boleh digunakan ketika serum kreatinin>1,5mg/dl pada pria
dan >1,4mg/dl pada wanita karena dapat meningkatan risiko asidosis laktat.
Sulfonilurea dan metabolitnya, kecuali glimepiride, dieliminasi melalui
ekskresi ginjal dan tidak boleh digunakan pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal.Repaglinide dan nateglinide memiliki durasi kerja yang
singkat, diekskresikan secara independen dari fungsi ginjal, dan memiliki
profil keamanan pada pasien dengan gangguan ginjal.Namun, pada titik ini,
sulfonilurea dan insulinsecretagoguesbiasanya tidak terlalu efektif karena
rendahnya produksi insulin endogen sebagai akibat dari durasi diabetes yang
lama. Dengan demikian, sebagian besar pasien diabetes tipe 2 dengan
nefropati diabetik harus ditangani dengan insulin.

b. Kontrol tekanan darah intensif dan blockade sistem renin-angiotensin.


Pasien dengan mikroalbuminuria pada diabetes tipe 1 dan 2
menunjukkan bahwa terapi hipertensi memberikan efek yang
menguntungkan pada albuminuria.
Blokade renin-angiotensin system (RAS) dengan menggunakan ACE
inhibitor atau ARB bertujuan sebagai terapi hipertensi, ternyata juga
memberikan manfaat tambahan pada fungsi ginjal. Obat ini mengurangi
ekskresi albumin dalam urin dan progesifitas mikroalbuminuria.ARB juga
efektif dalam menghambat munculnya makroalbuminuria pada pasien
diabetes tipe 2 dengan mikroalbuminuria. Oleh karena itu, penggunaan obat
ACE inhibitor atau ARB direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
untuk pasien diabetes tipe 1 maupun tipe 2 dengan mikroalbuminuria,
walaupun mereka memiliki tekanan darah yang normal.
1. Pasien dengan proteinuria >1 g/hari dan insufisiensi renal, penurunan
fungsi ginjal akan lebih lambat pada pasien dengan tekanan darah
<125/75mmHg.
2. Pemberian ACE inhibitor pada pasien diabetes tipe 1 dengan proteinuria
atau ARB pada pasien diabetes tipe 2 dengan
makroalbuminuria,Penurunan fungsi ginjal akan lebih lambat.
3. Insiden gagal jantung kongestif lebih rendah pada pasien yang menerima
ARB.
4. Hal ini terjadi awal (dalam waktu 7 hari) setelah pengobatan dimulai dan
berlanjut stabil setelah itu, dan itu tidak tergantung dari penurunan
tekanan darah dan memiliki efek dosis-respon luar dosis yang diperlukan
untuk mengendalikan tekanan darah.
Untuk mencapai tujuan tekanan darah 130/80 mmHg pada pasien
diabetes pada umumnya, atau 125/75 mmHg pada pasien dengan
proteinuria >1.0 g/24jam dan peningkatan kreatinin serum,
diperlukan 3-4 obat antihipertensi.
c. Intervensi diet
Mengganti daging merah dengan ayam dapat mengurangi ekskresi
albumin di urin sebesar 46% dan mengurangi produksi kolesterol total,
LDL, dan apolipoprotein B pada pasien diabetes tipe 2 dengan
mikroalbuminuria.Mekanisme diet rendah protein dapat mengurangi
perkembangan nefropati diabetik masih belum diketahui, tetapi mungkin
terkait dengan peningkatan profil lipid dan / atau hemodinamik glomerulus.

d. Dislipidemia
Kolesterol LDL harus diturunkan <100 mg/dl pada pasien diabetes
pada umumnya dan <70 mg/dl untuk pasien diabetes dengan penyakit
kardiovaskular. Pengurangan kadar lipid dapat menggunakan simvastatin 40
mg, hal ini bertujuan untuk mempertahankan GFR dan mengurangi
proteinuria pada pasien diabetes.

e. Anemia
Anemia dapat terjadi pada pasien dengan nefropati diabetik, bahkan
sebelum timbulnya gagal ginjal yang lebih parah (serum kreatinin <1.8
mg/dl), dan hal ini berhubungan dengan defisiensi eritropoietin.Selain itu,
anemia merupakan faktor risiko untuk progesifitas penyakit ginjal dan
retinopati. ACORD (Anemia Correction in Diabetes) menganjurkan untuk
memulai pengobatan eritropoietin ketika kadar Hb<11 g/dl hingga mencapai
target kadar Hb 12-13 g/dl.

f. Penggunaan antiplatelet
Aspirin dosis rendah telah direkomendasikan untuk pencegahan primer
dan sekunder dari kejadian penyakit jantung pada orang dewasa dengan
diabetes.Terapi ini tidak memiliki dampak negatif pada fungsi ginjal
(ekskresi albumin dalam urin atau GFR) pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2
dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria. Dosis aspirin yang
digunakan adalah >100-150 mg/hari atau penggunaan agen antiplatelet lain
seperti clopidogrel.

g. Intervensi multifaktorial
Pasien dengan mikroalbuminuria sering memiliki faktor risiko
kardiovaskular lainnya, seperti hipertensi dan dislipidemia.1,2,4 Intervensi
multifaktorial terdiri dari implementasi bertahap dari:1
1. Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes).
2. Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi).
3. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE inhibitor
atau ARB).
4. Pengendalian faktor-faktor komorbiditas lainnya (pengendalian kadar
lemak, mengurangi obesitas).
Kelompok yang ditangani secara intensif mengalami penurunan 61% dalam
risiko menjadi makroalbuminuria, penurunan risiko retinopati 58%,
penurunan risiko neuropati otonom 63%, dan 55% penurunan risiko
kematian akibat masalah pada jantung, infark miokard, prosedur
revaskularisasi, stroke, maupun amputasi.

h. Pengobatan gagal ginjal terminal


Pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal sehingga GFR
mencapai 10-12 ml/menit (setara klirens kreatinin <15 ml/menit atau serum
kreatinin >6 mg/dL) dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau
peritoneal dialisis. Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah
cangkok ginjal.

3. Rujukan
Baik ADA maupun ISN dan NKF menganjurkan rujukan kepada seorang
dokter yang ahli dalam perawatan nefropati diabetik jika laju filtrasi glomerulus

1
6
mencapai <60ml/menit/1.73m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi
hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju
filtrasi glomerulus mencapai <30ml/menit/1.73m2, atau lebih awal jika pasien
berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan
prognosis pasien diragukan.

G. Prognosis
Apabila mikroalbuminuria telah terjadi, laju filtrasi glomerulus akan mengalami
penurunan yang bertahap. Setelah itu, 50% penderita akan mengalami gagal ginjal
stadium akhir (End Stage Renal Disease) dalam 7 10 tahun. Kemudian apabila
makroalbuminuria terjadi, tekanan darah akan meningkat dan perubahan patologik akan
menjadi irreversibel.

1
7
BAB III
PENUTUP

Nefropati diabetikum didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes


melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200
g/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu tiga sampai enam
bulan.Nefropati diabetikum adalah salah satu penyebab terbanyak dari end stage renal
disease (ESRD) di Amerika Serikat.Penyebab pasti dari nefropati diabetikum hingga
saat ini masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian menyatakan
bahwa penyebab dari penyakit ini kemungkinan besar adalah keadaan hiperglikemia
kronik yang umumnya terjadi pada pasien diabetes mellitus.Pada awal terjadinya
nefropati diabetik, tidak ada gejala yang dapat ditemukan atau asimptomatik.Keluhan
yang biasa dialami setelah neftropati diabetik lebih mengalami progresivitas yakni urin
yang berbusa, cepat lelah dan kaki bengkak.
Untuk mendiagnosis nefropati diabetikum, yang pertama kali dilakukan adalah
dengan mengukur albumin pada urin.Skrining sangat penting dilakukan agar terapi
dapat sesegera mungkin dimulai untuk menahan laju progesivitas penyakit. Pencegahan
pada pasien diabetes yang mengalami nefropati diabetik adalah dengan cara mengontrol
kadar gula dalah darah dan deteksi mikroalbuminuria secara rutin. Rujukan kepada
seorang dokter yang ahli dalam perawatan nefropati diabetik diperlukan jika laju filtrasi
glomerulus mencapai <60ml/menit/1.73m2, kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau
hiperkalemia, jika pasien berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat, atau
diagnosis dan prognosis pasien diragukan.

1
8
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyaki
Dalam Jillid 2. Ed. Ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Gross JL, Azevedo MJ, Silviero SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovits T. Diabetic
nephropathy: Diagnosis, Prevention, and Treatment. Diabetes Care 2005; 28: 176-188.
3. Batuman V. Diabetic Nephropathy. 2014 [Internet]. [Place unknown]: Medscape; 2014
[updated 2014, cited 2014 Nov 9] Available from:
http://emedicine.emedscape.com/article/238946
4. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrisons
Principles of Internal Medicine. 18thed. New York: Mc-Graw Hill; 2012.
5. Schena FP, Gesualdo L. Pathogenetic Mechanisms of Diabetic Nephropathy. JASN.
2005 Mar 1;16(3 suppl 1):S303.
6. Foods highest in Methionine [Internet]. [cited 2014 Nov 17]. Available from:
http://nutritiondata.self.com/foods-000084000000000000000.html
7. Sen U, Tyagi SC. Homocysteine and Hypertension in Diabetes: Does PPAR Have a
Regulatory Role? PPAR Research. 2010 Jun 29;2010:e806538.
8. Coladonato JA. Control of Hyperphosphatemia among Patients with ESRD. JASN. 2005
Nov 1;16(11 suppl 2):S10714.
9. Kanis JA, Hamdy NA, Cundy T. Pathogenesis of osteomalacia in chronic renal failure
and its relationship to vitamin D. Ann Med Interne (Paris). 1986;137(3):1939.
10. World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia
and assessment of severity. World Health Organization; 2011.
11. E Maakaron J. Anemia [Internet]. 2014 [cited 2014 Nov 17]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/198475-overview
12. [Anonim]. HKIII Diabetes Diet Treatment 7 Days To See Results [Internet]. [Place
unknown]: Diabetes diet treatment; 2013 [updated 2013, cited 2014 Nov 9] Available
from: http://diabetesdiettreatment.weebly.com/
13. Vora JP, Ibrahim AAH. Clinical Manifestations and Natura History of Diabetic
Nephropathy. Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd ed. St Louis: Mosby. 2001.
p.425.

1
9
14. Adler AI, Stevenus RJ, Manley SE, Bilous RW, Cull CA, Holman RR. Development and
Progression of Nephropathy in Type 2 Diabetes: The United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS 64). Kidney International 2003; 63: 225-232.
15. House AA, Eliasziw M, Cattran DC, Churchill DN, Oliver MJ, Fine A, et.al. Effect of B-
Vitamin Therapy on Progression of Diabetic Nephropathy. JAMA. 2010; 303(16):1603-
1609.

2
0

Anda mungkin juga menyukai