Anda di halaman 1dari 3

BAB 21 BANGUNAN CACAT (RUSAK) dan PEMILIK BERIKUTNYA

Sebuah bangunan yang sudah selesai dan ditemukan mengandung cacat


desain atau cacat konstruksi, seorang klien biasanya akan mengambil tindakan
hukum terhadap orang atau organisasi yang bertanggung jawab. Sama seperti yang
ditemukan pada pelanggaran kontrak: kontrak bangunan jika cacat adalah suatu
kesalahan konstruksi. Apakah klaim klien berhasil cenderung tergantung pada
berbagai faktor yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya: istilah (mengekspresikan
dan tersirat) dari kontrak yang relevan, ketika cacat ditemukan, apakah sertifikat
akhir telah dikeluarkan dan sebagainya.

Materi yang dibahas dalam Bab ini adalah salah satu hal yang berbeda. Hal
ini terkait dengan hak-hak hukum, bukan dari klien asli, tapi dari seseorang yang
telah mengakuisisi proyek setelah selesai
dibangun dari klien asli (kilen awal). Orang ini mungkin pembeli atau penyewa, dan
mungkin telah di serah terimakan bangunan hasil proyek baik secara langsung atau
tidak langsung, setelah lebih dari satu perubahan kepemilikan. Dengan asumsi
bahwa cacat datang sesaat hanya setelah orang yang
mengakuisisi bangunan (dan telah membayar harga didasarkan pada asumsi bahwa
tidak ada cacat di dalamnya), pertanyaannya adalah apa bisa dilakukan suatu
perbaikan, jika ada, yang bagaimana dan apa saja konsekuensinya.
Ada sebuah istilah hukum yang bernama Caveat
emptor ( 'membiarkan pembeli berhati-hatilah') berarti bahwa kontrak untuk
penjualan tanah dan bangunan tidak sama seperti perjanjian atau kontrak untuk
penjualan barang serta tidak mengandung hal tersirat yang berkaitan dengan
kualitas barang yang dijual. Oleh karena itu, orang yang memperoleh gedung hasil
proyek dan kemudian menemukan
bahwa ada suatu cacat di dalamnya maka kemungkinan bisa saja pemilik itu tidak
memiliki perlindungan hukum terhadap vendor atau pemilik sebelumnya. Hal Ini
adalah mengapa sangat penting untuk mengetahui apakah mungkin kita melakukan
pengaduan hukum terkait tanggung jawab pemilik sebelumnya maupun orang yang
mengerjakan proyek tersebut.

21.1 Klaim Akibat Kelalaian


Jika klaim dalam suatu kontrak terhadap vendor dikesampingkan, salah
satu hal berikutnya yang mungkin adalah klaim dalam kerugian akibat
kelalaian (Tort of negligence) (lihat Chapter 10.5) terhadap setiap desainer
atau konstruktor yang bertanggung jawab untuk fakta bahwa bangunan yang
dikerjakan ternyata dalam kondisi. Namun, seperti yang kita ketahui, selain
harus memperhatikan suatu batas akhir klaim,hukum juga menempatkan
beberapa hal terkait pembatasan yang sangat jelas pada klaim seperti itu.
Pembatasan ini dijelaskan dalam Chapter 22.1.2.
21.1.1 dan 21.1.2 Perkembangan Hukum (Laws Development)
dan kondisi terkini
2 Chapter ini sejatinya menjelaskan mengenai hukum yang mengatur
mengenai cacat dalam proyek di Inggris Raya. Terkait masalah ini di
Indonesia sendiri telah ada hukum yang mengaturnya. Apabila terjadi cacat
pada proyek perumahan oleh Developer misalnya, Bila Anda telah
melaksanakan semua kewajiban tetapi ternyata pihak pengembang
(developer) tidak memenuhi kewajibannya, Anda bisa menanyakannya
terlebih dulu. Prinsipnya adalah upayakan untuk menempuh penyelesaian
permasalahan ini secara baik-baik (kekeluargaan). Namun jika tidak didapat
titik temu dalam upaya perundingan tersebut, ada baiknya Anda
melayangkan teguran/somasi terlebih dulu yang isinya mengingatkan
developer harus melaksanakan kewajibannya sampai batas waktu yang telah
disepakati. Atau jika batas waktu yang diperjanjikan telah terlewati, Anda
bisa kembali memberikan tenggat waktu kepada developer untuk memenuhi
kewajibannya. Kalau developer bergeming, Anda bisa menempuh jalur
hukum dengan menggugat pelaku usaha dan sekaligus melaporkan
developer secara perdata. Untuk gugatan, Anda bisa melakukannya melalui
lembaga penyelesaian sengketa pelaku usaha-konsumen yaitu Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau ke peradilan umum. Di
peradilan umum, gugatan dilayangkan atas dasar wanprestasi atau ingkar
janjinya pihak developer ataupun pemilik sebelumnya. Dalam gugatan ini,
Anda bisa menuntut ganti rugi dan juga bunga berupa hilangnya keuntungan
yang sudah diperkirakan. Secara pidana, Anda juga dapat melaporkan
developer dengan tuduhan melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU
Konsumen). Pasal ini pada intinya melarang pelaku usaha untuk
memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
tersebut. Dalam kasus ini, developer membangun tidak sesuai dengan
ketentuan spesifikasi bangunan atau terjadi kecacatan yang terdapat dalam
brosur dan yang telah dijanjikan sebelumnya.

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut terancam sanksi pidana


paling lama 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Ancaman sanksi ini termuat
dalam Pasal 62 UU Konsumen. Ancaman pidana lain bagi developer yang
membangun perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi dan
persyaratan yang diperjanjikan juga diatur dalam Pasal 134 jo Pasal 151
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman (UU Perumahan). Yaitu denda maksimal Rp5
miliar. Selain sanksi denda, developer tersebut juga dapat dijatuhi
sanksi administratif sebagaimana terdapat dalam Pasal 150 UU
Perumahan. Sanksinya mulai dari peringatan tertulis, pencabutan izin
usaha, hingga penutupan lokasi. Sekedar memberikan contoh, dalam
perkara nomor 324 K/Pdt/2006, Mahkamah Agung menguatkan putusan
Pengadilan Tinggi Medan yang menghukum developer telah melakukan
wanprestasi karena tidak dapat menyerahkan rumah pada tanggal yang
diperjanjikan. Bahkan Mahkamah Agung secara tegas menolak dalil
developer yang berlindung di balik krisis moneter dan naiknya harga
bangunan sebagai alasan mundurnya waktu penyelesaian pembangunan
rumah.

Anda mungkin juga menyukai