Anda di halaman 1dari 2

~SYAHRINI NANGIS SAAT BAYAR PAJAK~

Ketika syahrini nangis saat membayar pajak di Bank, apakah agresifitas


perusahaan juga demikian?

Syahrini : Gus
Gusdpur : Iya
Syahrini : Gus curhat gus, tadi aku bayar pajak dibank sambil nangis
Gusdpur : Kenapa musti nangis rin
Syahrini : Saya bayar pajak ke negara bukan ratusan juta tapi miliaran
Gusdpur : Ya itu Alhamdulillah
Syahrini : Ko begitu gus
Gusdpur : La iya, coba kalo bayar pajaknya kamu sambil nyanyi hehehe . Itu artinya rejekimu
lebih dari yang kamu pajakin rin. Gt aja ko repott
Syahrini : Iya sih gus, Alhamdulillah ya off air saya masih alhamdulillah

Setiap negara yang mendanai program-program pemerintahnya melalui dana pajak berupaya
untuk meningkatkan penerimaan pajaknya. Sementara di luar sana Wajib Pajak (WP) berusaha
menurunkan jumlah pajaknya melalui transfer pricing. Percakapan di atas merupakan cerminan pihak
pembayar pajak yang sebenarnya membayar dengan tidak rela karena uang hasil jerih payahnya ini
diberikan cuma-cuma kepada negara. Begitu juga dengan perusahaan, saat meningkatnya
agresifitas penyusunan laporan keuangan oleh para pelaku usaha belum tentu meningkatkan
pendapatan pajak bagi DJP selaku pemungut perpajakan karena adanya income yang hilang dari
perusahaan. Lalu bagaimana menjelaskan agresifitas tersebut, dua paragraph dibawah ini mencoba
memberi contoh bagaimana agresifitas penyusunan laporan keuangan dan perpajakan itu bekerja.
Kesedihan syahrini ini juga dialami oleh para penunggak pajak di negeri yang kaya akan alam ini,
ketidakrelaan mereka membayar pajak salah satunya dari kengganan membayar dengan sikap
menunggak pajak. Seperti misalanya pada ada tengah semester tahun 2016, deretan perusahaan
yang telah menunggak sejumlah 60 perusahaan besar yang diancam dengan memasukkan kategori
ke-60 perusahaan tersebut kedalam daftar hitam (blacklist) perusahaan agar mereka segera
membayar pajak. selain itu bukan rahasia umum lagi apabila suatu perusahaan saat ini berlomba-
lomba untuk melakukan transfer pricing melalui tax avoidance yang sebenarnya legal tidak melanggar
hukum. Ini semua menunjukkan ketidakrelaan wajib pajak atas pembayaran pajaknya.
Di era presiden Abdurrahman wahid, tax ratio tumbuh menjadi 10% yang mana meningkat dari
saat terjadi krisis 1998 saat itu tax ratio hanya 6,5%. Saat ini tax ratio menunjukkan angka sekitar
12% yang mana berarti bahwa selama satu dekade lebih ini tidak menunjukkan perubahan yang
signifikan. Namun demikian data tersebut memberikan makna bahwa tingkat kepercayaan terhadap
pemerintah pada suatu periode berhubungan dengan tingkat tax ratio pada periode tersebut.
Artinya peningkatan kepatuhan pajak merupakan sesuatu yang dapat diupayakan oleh negara
melalui berbagai cara yang dapat ditempuh agar masyarakat rela membayarnya.

Melalui wacana tersebut mengindikasikan adanya ketidakrelaan pembayar pajak dilingkungan


bisnis. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Hanlon dan Joos bahwa as a signal of lower earnings
quality by other external constituents (e.g., Hanlon 2005; Joos et al. 2003) bahwa sepertinya
terdapat sinyal adanya kualitas perolehan pendapatan yang lebih rendah pada kuntituen eksternal
yang lain artinya sebagian perusahaan memang terdapat indikasi menurunkan kualitas pendapatan
pada laporan keuangannya. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya tax planning dari pihak manajemen
agar sebagian laba tetap tersimpan di perusahaan.
Semua penjelasan di atas merupakan ragam perilaku WP dan ragam alternatif untuk DJP agar
semakin baik untuk meningkatkan kepatuhan pajaknya baik saat para pelaku bisnis secara agresif
membuat laporan keuangannya ataupun tidak. Menurut Rahman (2010:32), kepatuhan perpajakan
dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan
dan melaksanakan hak perpajakannya. Meskipun tidak selalu setiap agresifitas penyusunan laporan
keuangan itu dapat meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan memahami hak dan kwajiban
perpajakan inilah DJP dapat melakukan beraneka cara kreatif sesuai alternatif di atas untuk
meningkatkan kepatuhan perpajakannya termasuk mencoba menaikkan intensif melalui agresifitas
tax planning pada laporan keuangan.

Referensi:
Mary Margaret Frank, 2004, Does Aggressive Financial Reporting Accompany Aggressive Tax Reporting(and Vice Versa)?, working paper,
Darden Graduate School of Business, University of Virginia.
https://www.merdeka.com/artis/syahrini-saya-bayar-pajak-di-bank-sambil-nangis.html
http ://www.bisnisnews.id/id-310-post-daftar-hitam-60-perusahaan-penunggak-pajak.html

Anda mungkin juga menyukai