Resusitasi Pada Neonatus
Resusitasi Pada Neonatus
PENDAHULUAN
Asfiksia pada neonatus terjadi pada 20,9% kematian neonatus. Walaupun sebagian
besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan intervensi untuk dapat bernafas
pada saat transisi dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin, sedangkan 10% dari
bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk memulai bernafas saat lahir, dan
sekitar 1% membutuhkan resusitasi yang ekstensif.
Guideline untuk resusitasi pada neonatus telah di paparkan oleh American Heart
Association dan American Academy of Paediatrics. Guideline tersebut sangat
bermanfaat untuk mengingat urutan resusitasi. Kegagalan untuk mengikuti
guideline tersebut akan menghasilkan hasil yang buruk.
Assesment yang cepat pada bayi baru lahir yang tidak memerlukan resusitasi
dapat secara umum di identifikasikan dengan empat karakter berikut:
Jika seluruh jawaban dari pertanyaan tersebut adalah iya, maka bayi tersebut
tidak memerlukan resusitasi dan seharusnya tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi
tersebut dapat dikeringkan dan diletakkan langsung pada dada ibunya dan di
selimuti dengan kain kering, untuk menjaga suhu tubuhnya. Observasi pernafasan,
aktifitas dan warna kulit harus dilakukan.
Jika terdapat jawaban yang tidak, terdapat persetujuan secara umum, bahwa
seharusnya bayi tersebut mendapat satu atau lebih diantara empat kategori
tindakan yang berurutan:
Penanganan Awal
Walaupun APGAR score adalah petunjuk yang sederhana dan bermanfaat untuk
kondisi neonatus dan resusitasi, namun hal itu hanya sebuah petunjuk. Hal
tersebut bermanfaar untuk menyampaikan kondisi secara umum dan menilai
respon resusitasi sesaat, pada saat dilakukannya resusitasi. Nilai pada menit
pertama berkaitan dengan asidosis dan survival. Menit ke lima dapat atau tidak
dapat menjadi prediksi kesadaran.
Pada setiap kamar bersalin, harus terdapat area untuk dilakukannya resusitasi
neonatus, dengan dilengkapi seluruh peralatan dan obat-obatan yang dibutuhkan
(Tabel 1). Pada setiap proses kelahiran, paling tidak terdapat seseorang yang
bertanggung jawab pada bayi yang lahir. Orang tersebut harus mampu melakukan
resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi dada.
Pada kelahiran dengan resiko tinggi, kebanyakan bayi baru lahir membutuhkan
resusitasi yang sebelumnya telah diperkirakan sebelum proses kelahiran. Jika
diperlukan resusitasi maka antisipasi sebaiknya diperlukan dengan menambah
orang yang memiliki skill dan peralatan yang telah dipersiapkan. Sebuah tim yang
terdiri dari orang-orang terlatih dibutuhkan pada saat proses kelahiran, satu orang
pada suction dan pengeringan dan sisanya untuk jalan nafas dan intubasi
endotrakhea, dan orang ke empat untuk medikasi. Jika kelahiran premature (< 37
minggu usia kehamilan) maka dibutuhkan sebuah preparasi khusus.
Situasi Khusus
Morbiditas dan mortalitas dari bayi baru lahir bermcam-macam tergantung dari
regio dan kemampuan sumber daya.
1. Withholding resuscitation
Pada kondisi yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dan hasil yang
buruk, usaha menunda resusitasi dapat dipertimbangkan, terutama ketika
disertai dengan persetujuan orang tua. Suatu pendekatan yang konsisten dan
terkoordinasi terhadap individu yang dilakukan oleh tim obstetric dan
neonatus dan orang tua pasien adalah suatu tujuan yang penting. Resusitasi
tidak disarankan dan tidak melanjutkan terapi untuk mempertahankan hidup
atau setelah resusitasi secara etik ekuivalen, dan klinisi seharusnya tidak perlu
ragu untuk menarik tindakan tanpa kelangsungan hidup fungsional.
CURRENT ISSUES
Kontrol Suhu
Sebagai standar secara umum bayi baru lahir, thermal care (menganti selimut yang
basah, pengeringan yang sesuai, mengahngatkan tempat, membungkus bayi
dengan selimut yang hangat, meletakkan bayi pada kulit-ke-kulit dengan ibunya
dan menyelimuti keduangan dengan selimut) dan meletakkan bayi yang telah
kering dibawah infant warmer adalah tindakan yang efktif untuk menjaga suhu
tubuh agar tetap normal. Beberapa percobaan telah menunjukkan, untuk menyertai
pemanasan dengan radiasi, menyelimuti bayi prematur hingga leher dengan
plastik transparan (tahan panas, food-grade) tanpa dilakukan pengeringan terlebih
dahulu, menghasilkan suhu tubuh yang lebih tinggi pada bayi baru lahir,
khususnya pada bayi dengan usia kehamilan < 28 minggu. Hanya bagian kepala
saja yang dikeringkan dan ditutupi dengan topi. Seluruh prosedur resusitasi
tersebut, termasuk intubasi, kompresi dada, dan pemasangan central line, dapat
dilakukan dengan plastik yang ditutpi pada bayi tersebut. Saat ini, tidak
ditemukannya adanya bukti bahwa prosedur tersebut meningkatkan mortalitas
atau hasil akhir jangka panjang. Monitoring dari suhu tubuh harus dilakukan,
khususnya ketika resusitasi dalam waktu lama, untuk menjegah timbulnya
hipertemia.
Bayi yang lahir dari ibu yang sedang febris telah dilaporkan memiliki insiden
depresi nafas perinatal yang lebih tinggi, neonatal seizure, cerebral palsy dan
meningkatnya resiko mortalitas. Hipertermia harus dihindari. Tujuannya adalah
untuk mencapai normotermi dan menghindari hipertermia iatrogenik.
Pemberian oksigen
Bayi baru lahir yang normal dapat memiliki dan mempertahamkan membran
mukosa yang berwarna merah muda tanpa diberikan oksigen. Pemberian
oksimetri secara berkelanjutan menunjukkan bahwa transisi neonatus adalah suatu
proses yang gradual. Healthy term newborn memiliki pre-ductal oksigen saturasi
antara 79-91%, 5 menit setelah kelahiran, dan membutuhkan waktu > 10 menit
untuk mecapa saturasi oksigen preductal >95% dan hampir 1 jam untuk mencapai
saturasi preduktal >95%.
Kelahiran bayi melalui proses sectio caesaria dan prematur mecapai saturasi
oksigen preduktal rata-rata 90%, 2 menit lebih lama dari bayi sehat yang cukup
bulan. terdapat perhatian tentang potensial adverse effect dari pemberian oksigen
100% pada fisiologi penafasan, sirkulasi otak, dan kerusakan jaringan dari radikal
bebas oksigen. Namun, juga terdapat perhatian terhadap kerusakan jarungan dari
oksigen deprivasi daat dan setelah asfiksi. Studi tentang tekanan darah, perfusi
cerebral, dan pengukuran biokimia terhadap kerusakan sel pada hewan coba yang
asfiksi, dilakukan resusitasi dengan oksigen 100% dan oksigen 21% (udara
ruangan) menunjukkan hasil yang menimbulkan konflik. Studi pada bayi prematur
(usia kehamilan < 33 minggu) yang dipaparkan dengan oksigen 80% memiliki
cerebral blood flow yang lebih rendah ketika dibandingkan dengan yang
menggunakan oksigen 21%. Meta analisis menyatakan adanya reduksi dari angka
mortalitas dan tidak ada bahaya yang timbul pada bayi yang diresusitasi pada suhu
ruangan daripada dengan oksigen 100%,
Suplementasi oksigen di rekomendasikan ketika ventilasi tekanan positif
diindikasikan untuk resusitasi; free-flow oksigen seharusnya diberikan ke bayi
yang bernafas, namun terdapat sianosis sentral. Pendekatan standar untuk
resusitasi adalah dengan menggunakan oksigen 100%. Beberapa klinisi memulai
resusitasi dengan konsentrasi oksigen kurang dari 100% dan beberapa
menggunakan oksigen ruangan. Kedua hal tersebut dalam resusitasi merupakan
hal yang masuk akal. Jika klinisi memulai resusitasi dengan udara ruangan,
suplementasi oksigen harus siap untuk digunakan bila tidak diapatkan adanya
peningkatan dalam 90 detik setelah kelahiran. Pada situasi dimana supplementasi
oksigen tidak siap diberikan, VTP harus dilakukan dengan udara ruangan.
Pemberian berbagai konsentrasi dari oksigen yang di amati dengan pulse oximetri
dapat meningkatkan kemampuan mencapai normoxia lebih cepat.
Alat
Ventilasi yang efektif dapat dicapai dengan self-inflating bag, flow-inflating bag
atau dengan T-piece. T-piece adalah alat mekanik yang berkatub, yang di atur
untuk mengkontrol aliran dan tekanan yang terbatas. Katub pop-off dari self-
inflating bag bergantung dengan aliran, dan pengatur tekaa dapat meningkatkan
katub. Target tekanan inflasi dan waktu inspirasi yang panjang dapat secara
konsisten dicapai dengan T-piece, dibandingkan dengan bag, walaupun dengan
implikasi klinisnya belum jelas.
Laringeal mask airway (LMA) yang sesuai dengan laringeal inlet memiliki
efektifitas untuk ventilasi pada bayi baru lahir nearly-term dan bayi full-term.
Terdapat keterbatasan data pada pengguaan LMA pada bayu preterm yang kecil.
Penggunaan LMA dapat menyediakan ventilasi yang efektif pada suatu waktu
yang konstan dengan petunjuk resusitasi. Sebuah percobaan menemukan tidak
adanya perbedaan klinis yang signifikan antara penggunaan LMA dan
endotrakheal intubasi ketika penggunaan bag-mask ventilation gagal. Ketika bag-
mask ventilasi tidak berhasil dan intubasi endotrakheal tidak dapat dilakukan
maupun tidak berhasil, LMA mampu menyediakan ventilasi yang efektif. Terdapat
bukti yang kurang untuk menyokong penggunaan rutin LMA sebagai alat primer
untuk jalan nafas saat dilakukan resusitasi neonatus, pada kasus didapatkannya
meconeal pada cairan ketuban, ketika butuh dilakukannya kompresi dada, pada
bayi berat lahir rendah atau untuk proses kelahiran yang dibutuhkan memasukkan
obat emergensi melalui intratrakhea. Pada kondisi ventialasi masker tidak
berhasil,dimana menggunakan endotrakheal intubasi tidak memungkinkan
dilakukan, LMA dapat dijadikan pilihan alternatif yang baik.
Pada kasus resusitasi yang khusus seprti congenital diafragmatika hernia atau
berat badan lahir sangat rendah (<1000 gram), penggunaan intubasi endotrakhea
tergantung pada skill dan pengalaman dari penyedia layanan.
Kompresi dada
Teknik yang pertama dapat memicu puncak sistolik yang lebih tinggi begitu juga
dengan perfusi koronernya dari pada dengan teknik 2 jari. Teknik yang pertama
direkomendasikan pada bayi yang baru saja lahir. Bagaimanapun juga, teknik 2
jari lebih dipilih ketika akses terhadap umbilikus di butuhkan saat pemasangan
kateter umbilikal.
Medication
Obat-obatan jarang digunakan saat resusitasi dari bayi baru lahir. Bradikardi
biasanya karena inflasi paru yang tidak adekuat atau hipoksemia dalam, dan
mengupayakan ventilasi yang adekuat adalah hal yang penting untuk di koreksi.
Bagaimanapun juga bila HR masih < 60 x/menit selain adekuat ventilasi dengan
oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau ekpasi volume, atau
keduanya dapat diindikasikan. Yang jarang digunakan adalah buffer, antagonis
narkotik atau vasopressor bermanfaat setelah reusitasi.
Epinephrine
Volume expansion
Volume ekspansi harus dipikirkan ketika dicurigai adanya kehilangan darah pada
bayi yang terlihat mengalami syok (kulit yang pucat, perfusi yang buruk, nadi
yang lemah) dan tidak berespon terhadap resuscitative measures. Daripada
albumin, larutan kristaloid isotonik lebih dipilih sebagai larutan untuk volume
ekspansi pada kamar bersalin. Dosis yang direkomendasikan adalah 10 ml/kg
normal saline, yang mana dapat diulang. Pada bayi prematur, pemberian volume
ekspander yang terlalu cepat harus dihindari, karena pemberian yang cepat dan
dalam jumlah banyak dapat menyebabkan perdarahan intraventrikular. Volume
ekspansi emergensi dapat disertai dengan larutan kristaloid isotonik atau O-negatif
sel darah merah. Cairan yang mengandung albumin sudah tidak digunakan
sebagai volume ekspansi inisial. Akses intraoseus dapat menyediakan rute
alternatif untuk medikasi atau volume ekspansi.
Naloxone
Nalokson bukan merupakan obat pilihan sebagai usaha awal resusitasi pada bayi
baru lahir dengan depresi pernafasan. Jika pemberian nalokson dilakukan, denyut
jantung dan warna harus didukung dengan ventilasi. Cara pemberian yang
direkomendasikan melalui intravena atau intamuskular. Dosis yang
direkomendasikan adalah 0.1 mg/kg, namun tidak ada penelitian yang meneliti
tentang efikasi dosis tersebut pada bayi baru lahir. Naloxon yang diberikan pada
bayi yang lahir dari ibu yang ketergantungan opioid berkaitan dengan kejang.
Sehingga, naloxon harus dihindari pada bayi dengan ibu yang mengalami
penyalahgunaan opioid. Nalokson diindikasikan pada bayi untuk reversal
respiratory depresi, sekunder dari maternal opioid, diberikan 4 jam sebelum
proses kelahiran. Malokson memiliki half-life yang lebih singkat daripada
maternal opiod yang original. Sehingga, neonatus harus dimonitor secara ketat
untuk timbul kembalinya apneu atau hipoventilasi dan beberapa dosis nalokson
dapat dibutuhkan.
Glukosa
Kadar glukosa yang rendah berkaitan dengan adverce neurologic outcome pada
hewan coba neonatus. Hewan neonatus yang hipoglikemia pada saat anoksia atau
hipoksik-iskemi menimbulkan area infark serebral yang lebih besar atau
menurunnya kemampuan untuk bertahan atau keduanya, ketika dibandingkan
dengan kontrol. Salah satu studi klinis menunjukkan buhungan antara hipoglikemi
dan buruknya neurologic outcome pada asfiksia perinatal.
Sodium bicarbonate
Penggunaan natrium bikarbonat saat resusitasi masih kontroversial. Hal tersebut
tidak dapat bernamfaat untuk koreksi metabolik asidosis setelah diberikan
resusitasi dalam waktu lama. Bagaimanapun hal ini dapat berbahaya, jika
diberikan lebih awal, seperti tercampur dengan asam dan membentuk karbon
dioksida. Paru-paru harus secara adekuat diventilasi untuk membuang karbon
dioksida. Dosis yang diberikan adalah 1-2 mEq/Kg dosis diberikan sebagai 4.2%
cairan ().5 mEq/ml) pada rate 1 mEq/Kg/menit
Induced hipotermia
studi yang dilakukan masih memiliki hambatan. Salah satu percobaan mulicenter
tidak menunjukkan perbedaan pada jumlah bayi yang bertahan dengan disabilitas
yang banyak ketika head cooling dilakukan. Percoban multicenter yang besar juga
menyatakan, dengan percobaan yang kecil yang mengevaluasi hipotermia
sistemik, menemukan penurunan yang signifikan pada kematian atau diasabitilas
yang sedang pada usia 12-18 bulan. peningkatan yang cepat pada suhu tubuh
dapat menyebabkan hipotensi. Pendinginan dibawah suhu inti <33 C dapat
menyebabkan aritmia, perdarahan, trombosis dan sepsis, namun penetiliat tidak
melaporkan komplikasi tersebut dengan hipotermias. Menghindari hipertermia
penting bagi infant yang mana dapat memiliki kejadian hipoksik-iskemik.
KESIMPULAN