Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KELOMPOK PBL

MODUL I BERAT BADAN MENURUN


BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME

Disusun oleh :

KELOMPOK 10

Pembimbing : dr. Rahmat Faisal S

Agustin Nurush Sholihah 110 213 0003


Nurfi Resni Fitra R. 110 213 0016
A. Nadiah Nurul Fadilah 110 213 0048
Ulul Azmi Rumalutur 110 213 0049
Carima Ghalie Dzaki 110 213 0067
St. Shahrina T. A. 110 213 0099
Rabitha Kemala Sari S. 110 213 0100
Muh. Andy Jaya Nughraha 110 213 0122
Andy Billa Vini F. A. 110 213 0123
Nur Ainun Darwis 110 213 0149
Irmayanti 110 213 0150

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
A. SKENARIO 2

0
Seorang wanita, umur 40 tahun berkunjung ke dokter dengan keluhan
berat badan menurun lebih dari 5 kg dalam 2 bulan terakhir walaupun
nafsu makannya baik. Ia juga mengeluh berkeringat banyak dan jantung
berdebar-debar.

B. KATA/KALIMAT KUNCI
1. Wanita, 40 tahun
2. Berat badan menurun lebih dari 5 kg dalam 2 bulan
3. Berkeringat banyak
4. Jantung berdebar

C. LEARNING OBJECTIVE
1. Organ beserta hormon yang berperan dalam regulasi berat badan
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan berat badan
3. Patomekanisme penurunan berat badan
4. Mekanisme hubungan antar gejala (penurunan berat badan,
berkeringat banyak dan jantung berdebar)
5. Diagnosis banding sesuai skenario
6. Perspektif Islam

D. ANALISIS MASALAH/JAWABAN
1. Organ yang berperan dalam regulasi berat badan beserta hormon yang
dihasilkan

a. Hypothalamus
Berfungsi untuk mengontrol stabilitas berat badan dengan berperan
sebagai pusat lapar dan pusat kenyang. Hal ini disebabkan adanya
reseptor dari leptin dan ghrelin pada arcuate nucleus dari
hipothalamus. Hormon Leptin dihasilkan oleh sel adiposa dan
bekerja menghambat rasa lapar atau nafsu makan, sedangkan

1
ghrelin dihasilkan oleh saluran pencernaan untuk meningkatkan
rasa lapar atau nafsu makan.
Hormon-hormon yang dihasilkan oleh Hypothalamus antara lain ;
Thyrotropin-releasing hormone (TRH)
Menstimulasi sekresi TSH dan Prolaktin oleh kelenjar
hipofisis.
Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
Memicu perkembangan seksual (sekunder) selama pubertas,
dengan cara menstimulasi sekresi dari FSH dan LH oleh
kelenjar hipofisis.
Growth hormone-releasing hormone (GHRH)
Menstimulasi kelenjar hipofisis anterior mensekresikan
Growth Hormones (GH).
Corticotropin-releasing hormone (CRH)
Menstimulasi kelenjar hipofisis anterior mensekresikan ACTH.
Somatostatin
Bekerja pada kelenjar hipofisis anterior untuk menghambat
sekresi GH dan TSH
Dopamine
Menghambat sekresi prolaktin dari kelenjar hipofisis anterior
dan memodulasi motoric control center di otak.
b. Kelenjar hipofisis
Berfungsi untuk mensekresi TSH untuk merangsang pengeluaran
tiroksin dan triiodotironin oleh kelenjar tiroid yang berperan dalam
pengaturan laju metabolik.
Hormon-hormon yang dihasilkan kelenjar hipofisis anterior ;
Growth hormone (GH)
Meningkatkan laju mitosis, Meningkatkan transport asam
amino kedalam sel, Meningkatkan laju sintesis protein, dan
Meningkatkan penggunaan lemak sebagai sumber energi.

2
Thyroid-stimulating hormone (TSH)
Meningkatkan sekresi dari tiroksin (T4) dan triiodothironin (T3)
dari kelenjar tiroid
Adrenocorticotropic hormone (ACTH)
Meningkatkan sekresi kortisol oleh korteks adrenal.
Prolactin
Menstimulasi produksi susu oleh kelenjar mammaria.
Follicle-stimulating hormone (FSH)
- Pada wanita, menginisiasi pertumbuhan ovum pada folikel
ovarium dan meningkatkan sekresi estrogen oleh sel-sel
folikel.
- Pada pria, menginisiasi produksi sperma di testis.
Luteinizing hormone (LH)
- Pada wanita, menyebabkan ovulasi, menyebabkan rupturnya
folkel ovarium menjadi corpus luteum, dan meningkatkan
sekresi progesteron oleh corpus luteum.
- Pada pria, meningkatkan sekresi testosteron oleh sel
intertisial pada testis.
Hormon-hormon yang dihasilkan kelenjar hipofisis posterior ;
Antidiuretic hormone (ADH atau vasopressin)
Meningkatkan reabsorpsi cairan oleh tubulus ginjal,
menurunkan produksi keringat, dan dalam jumlah besar dapat
menyebabkan vasokonstriksi.
Oxytocin
Membantu kontraksi myometrium uterus saat melahirkan dan
membantu prngeluaran ASI dri kelenjar mammaria.[1][2]
c. Kelenjar tiroid
Kelejar tiroid mensekresikan hormon-hormon yang berperan dalam
metabolisme tubuh, antara lain ;
Thyroxine (T4) dan triiodothyronine (T3)

3
berfungsi meningkatkan laju metabolik dengan meningkatkan
produksi energi dan meningkatkan laju sintesis protein.
Calcitonin
Menurunkan reabsorpsi kalsium dan fosfat dari tulang ke
dalam darah. [1]
d. Pankreas
Hormon yang dihasilkannya berperan dalam metabolisme
karbohidrat. Hormon-hormon yang dihasilkan antara lain ;
Glukagon, dihasilkan oleh sel aplha pankreas. Berfungsi
menstimulasi hati mengubah glikogen menjadi glukosa
(glikogenolisis), dan meningkatkan penggunaan lemak dan
asam amino berlebih dikonversi menjadi bentuk karbohidrat
sederhana untuk memproduksi energi (glukoneogenesis).
Insulin, dihasilkan oleh sel beta pankreas. Meningkatkan
transport glukosa dari aliran darah kedalam sel dangan cara
meningkatkan permeabilitas sel terhadap glukosa. Setelah
masuk kedalam sel glukosa akan digunakan untuk
memproduksi energi dan sebagian akan diubah menjadi
glikogen (glikogenesis) sebagai cadangan energi pada otot dan
hati.
Somatostatin, dihasilkan oleh sel delta pankreas. Berfungsi
menghambat sekresi insulin dan glukagon, serta berperan
menghambat absorpsi nutrisi pada saluran pencernaan.[2]
e. Hati
berperan dalam metabolisme lemak. Hormon-hormon yang
dihasilkan hati antara lain;
Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) atau somatomedin.
Merupakan stimulus langsung untuk pertumbuhan tubuh.
Angiotensinogen

4
Dilepaskan ke aliran darah sebagai prekursor angiotensin yang
berperan dalam regulasi tekanan darah.
Thrombopoietin
Menstimulasi sel prekursor di bone marrow untuk
berdifferensiasi menjadi megakaryosit. Megakaryosit akan
membentuk platelet yang penting untuk proses pembekuan
darah.[3]
f. Saluran pencernaan
Saluran cerna berperan dalam absorbsi zat-zat makanan. Terdapat
banyak hormon yang dihasilkan dalam saluran cerna, yang perlu
diketahui lima diantaranya ialah;
Gastrin
Dihasilkan oleh sel di lambung dan duodenum. Bekerja
menstimulasi sel eksokrin dari lambung untuk mensekresi
gastric juice (asam hidroklorida dan pepsin)
Secretin
Dihasilkan oleh sel duodenum. Bekerja menstimulasi fungsi
eksokrin pankreas untuk mensekresi bikarbonat kedalam
pancreatic fluid (untuk menetralisir keasaman dalam saluran
cerna).
cholecystokinin (CCK)
Dihasilkan oleh sel duodenum. Bekerja menstimulasi kontraksi
kantung empedu dan pengeluaran empedu kedalam saluran
cerna. Serta menstimulasi pengeluaran enzim-enzim
pencernaan pankreas kedalam pancreatic fluid.
somatostatin
pada lambung somatostatin menghambat sekresi gastrin, pada
duodenum somatostatin menghambat sekresi sekretin dan
cholecystokinin, sedangkan pada pankreas somatostatin
menghambat sekresi insulin dan glukagon

5
neuropeptide Y
merupakan stimulan makan yang kuat, dan menyebabkan lebih
banyak makanan yang dicerna disimpan sebagai lemak.[3]
g. Kelenjar adrenal
Kelenjar adrenal menghasilkan hormon kortisol yang berperan
dalam metabolisme karbohidrat.
Hormon- hormon yang dihasilkan korteks adrenal antara lain ;
Glucocorticoids
Salah satunya hormon cortisol, yang berfungsi meningkatkan
penggunaan lemak dan asam amino berlebih sebagai sumber
energi, menurunkan penggunaan glukosa sebagai sumber
energi (kecuali untuk otak), meningkatkan konversi glukosa
menjadi glikogen di hati, dan memiliki efek anti-inflamasi.
Mineralcorticoids
Salah satunya aldosterone, yang berfungsi meningkatkan
reabsorpsi Na+ kedalam darah dan meningkatkan ekskresi K+
ke urin.
Androgens
Salah satunya testosterone, yang berfungsi membantu
perkembangan karakteristik seks sekunder pria dan membantu
maturasi sperma pada tubulus seminiferus testis pria.
Hormon- hormon yang dihasilkan medula adrenal antara lain ;
Norepinephrine
Menyebabkan vasokonstriksi di kulit, organ visceral, dan otot
skelet.
Epinephrine
- Meningkatkan denyut dan kekuatan kontraksi jantung
- Menyebabkan dilatasi bronkiolus
- Menurunkan gerak peristalsis
- Meningkatkan konversi glikogen menjadi glukosa di hati

6
- Menyebabkan vasodilatasi di otot skelet
- Menyebabkan vasokonstriksi di kulit dan organ visceral
- Meningkatkan penggunaan lemak sebagai sumber energi
- Meningkatkan laju repirasi sel [1][3]

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan berat badan

Penurunan berat badan merupakan gejala penting yang memiliki


banyak penyebab. Mekanisme terjadinya meliputi salah satu atau
lebih keadaan berikut ini. Penurunan asupan makanan yang
disebabkan oleh hal seperti stres, anoreksia, disfagia, vomitus, dan
konsumsi makanan yang tidak cukup, penyerapan nutrien lewat
saluran cerna yang menurun, peningkatan kebutuhan metabolisme
dan kehilangan nutrien lewat urin, feses atau kulit yang cedera.
Sedangkan seseorang dapat pula kehilangan berat badannya ketika
keadaan retensi cairan dalam tubuhnya membaik atau berespon
terhadap pengobatan.[4]

3. Patomekanisme penurunan berat badan

Pengaruh hormon tiroid


Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal seluruh
tubuh. Selain itu, ia juga memodulasi kecepatan banyak reaksi
spesifik yang berperan dalam metabolism bahan bakar. Efek
hormone tiroid pada bahan bakar metabolic memiliki banyak
aspek; hormone ini dapat mempengharuhi pembentukan dan
penguraian karbohidrat, lemak dan protein. Dalam jumlah
banyak akan mempermudah terjadinya pemecahan glikogen
menjadi glukosa. Akibatnya, berat tubuh akan mengalami
penurunan karena tubuh menggunakan bahan bakar lebih cepat.
[5]

Pengaruh hormon insulin

7
Hormon insulin memiliki efek penting pada metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Insuilin menghambat
glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa. Dengan
menghambat glikogenolisis maka insulin cenderung
menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi
pengeluaran glukosa oleh hati. Ketika sekresi insulin rendah,
efek yang terjadi yaitu, laju pemasukan glukosa ke dalam sel
berkurang dan terjadi katabolisme netto melebihi sintesis
glikogen, trigliserida dan protein. Hal tersebut pula yang dapat
menyebabkan penurunan berat badan. [6]

4. Mekanisme hubungan antar gejala (penurunan berat badan,


berkeringat banyak dan jantung berdebar).
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal seluruh
tubuh. Selain itu, ia juga memodulasi kecepatan banyak reaksi
spesifik yang berperan dalam metabolism bahan bakar. Efek hormone
tiroid pada bahan bakar metabolic memiliki banyak aspek; hormone
ini dapat mempengharuhi pembentukan dan penguraian karbohidrat,
lemak dan protein. Dalam jumlah banyak akan mempermudah
terjadinya pemecahan glikogen menjadi glukosa. Akibatnya, berat
tubuh akan mengalami penurunan karena tubuh menggunakan bahan
bakar lebih cepat.
Hormone thyroid juga meningkatkan responsivitas sel sasaran
terhadap katekolamin (epinefrin dan norepinephrine), pembawa pesan
kimiawi yang digunakan oleh system saraf simpatis dan medulla
adrenal. Hormone tiroid melaksanakan efek permisif ini dengan
menyebabkan proliferasi reseptor sel sasaran spesifik katekolamin.
Melalui efek meningkatkan kepekaan jantung terhadap
katekolamin dalam darah, hormone tiroid meningkatkan kecepatan
jantung dan kekuatan kontraksi sehingga curah jantung meningkat
sehingga mengakibatkan jantung berdebar-debar (palpitasi).
Selain itu, sebagai respons terhadap beban panas yang dihasilkan
oleh efek kalorigenik hormone tiroid, terjadi vasodilatasi perifer untuk

8
membawa kelebihan panas kepermukaan tubuh untuk dikeluarkan ke
lingkungan. Hal tersebut yang menyebabkan berkeringat banyak. [5]

5. Diagnosis banding sesuai skenario serta langkah-langkah diagnosisnya


masing-masing
a) Grave disease
1. Definisi
Penyakit Grave adalah sebuah kelainan autoimun akibat
interaksi antara antibody terhadap reseptor TSH immunoglobulin
IgG dengan reseptor TSH pada kelenjar tiroid. Yang
menyebabkan stimulasi kelenjar tiroid, sekresi tiroksin (T4) yang
meningkat, dan pembesaran tiroid. Penyakit lain yang berkaitan
dengan grave adalah penyakit mata (oftalmopati) dan penyakit
autoimun yang spesifik pada organ tertentu.[7]
Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan
ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin
Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan
kadar bervariasi. Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami
perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar
tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang
disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran
sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
tiroid, dikenal dengan TSH-R antibodi.[7]

2. Etiologi dan Gambaran Klinis

Pada tahun 1835, Robert Graves melaporkan


pengamatannya pada suatu penyakit yang ditandai dengan
palpitasi yang lama dan hebat pada perempuan disertai
pembesaran kelenjar tiroid. Penyakit graves adalah
penyebab tersering hipertiroidisme endogen. Penyakit ini
ditandai dengan trias manifestasi :

9
- Tirotoksikosis akibat pembesaran difus tiroid yang
hiperfungsional terjadi pada semua kasus.
- Oftalmopati infiltratif yang menyebabkan eksoftalmos
terjadi pada hampir 40% pasien.
- Demopati infiltratif local (kadang-kadang disebut
miksedema pratibia) ditemukan pada sebagian kecil
pasien.
Penyakit graves timbul terutama pada orang dewasa
muda, dengan insidensi antara usia 20-40 tahun.
Peningkatan insidensi penyakit graves ditemukan pada
keluarga dari pasien, dengan concoderance 50% pada
kembar identik. Timbulnya penyakit ini berkaitan erat
dengan pewarisan antigen leukosit manusia (HLA)-DR.[8]

Penyakit graves biasanya terjadi pada usia sekitar


tiga puluh dan empat puluh tahun, dan lebih sering
ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Terdapat predisposisi familial terhadap penyakit ini dan
sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati
autoimun lainnya. Pada penyakit graves terdapat dua
kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal,
dan keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal
berupa goiter akibat hyperplasia kelenjar tiroid, dan
hipertiroideisme akibat sekresi hormone tiroid berlebihan.[9]

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi


hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan.

Gejala klinis hipertiroidisme/penyakit Graves[9]:

- Keluhan gemetar
- Cepat lelah
- Tidak tahan panas
- Berkeringat. Keringat semakin banyak bila panas,
kulit lembab.

10
- Berat badan menurun
- Nafsu makan baik atau meningkat
- Palpitasi
- Takikardi
- Diare
- Kelemahan serta atrofi otot
- Oftalmopati. Oftalmopati yang ditemukan 50%
sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot
- Fissure palpebra melebar
- Kedipan berkurang
- Llid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata), dan kegagalan
konvergensi. Lid lag bermanifestasi sebagai gerakan
kelopak mata yang relative lambat terhadap gerakan
bola matanya sewaktu pasien diminta perlahan-lahan
melirik ke bawah. Jaringan orbita dan otot-otot mata
di infiltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma
yang mengakibatkan eksoftalmos (proptosis bola
mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan
ektraokuler. Oftalmopati dapat berat sekali dan pada
kasus yang ekstrim, penglihatan dapat terancam.
- Dermopati. Kadang disebut miksedema pretibia,
terdapat pada sebagian kecil kasus. Kelainan ini
biasanya bermanifestasi sebagai penebalan dan
hiperpigmentasi kulit local di aspek anterior kaki
dan tungkai bawah.
Manifestasi ekstratiroidal penyakit graves dapat
diikuti dengan gejala klinis yang berbanding terbalik
dengan beratnya hipertiroidisme. Sebagai contoh,
manifestasi ini dapat tidak ada atau dapat membaik bila
hipertiroidisme minimal atau setelah di control dengan
pengobatan. Penyakit graves agaknya timbul sebagai
manifestasi gangguan autoimun. Dalam serum pasien ini
ditemukan antibody immunoglobulin (IgG). Antibody ini

11
agaknya bereaksi dengan reseptor TSH atau membrane
plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini antibody tersebut
dapat merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung pada TSH
hipofisis, yang dapat mengakibatkan hipertiroidisme. [9]

3. Diagnosis
- Diagnosis penyakit Graves didasarkan pada anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Pada anamnesis pemeriksa perlu
untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit Graves.
Pada pemeriksaan fisis, lakukan inspeksi kelenjar tiroid
pasien, apakah terjadi pembesaran atau tidak. Jarang
pada pasien yang menderita hipertiroid, namun perlu
untuk mencari tanda-tanda lainnya. Pada inspeksi dapat
dilihat tremor pada jari, tanda Graves pada mata
(keterlambatan kelopak mata, retraksi kelopak mata,
exophtalmos). Palpasi sering ditemukan takikardi dan
berkeringat. Pada auskultasi, biasanya terdengar bruit
sistolik diatas kelenjar. Periksa leher pada pasien dan
meminta pasien untuk menelan, palpasi kelenjarnya dari
bagian belakang kemudian dari bagian depan. Apabila
pasien harus menelan dua-tiga kali, berikan segelas air
putih. Pada pasien penyakit Graves, kelenjar membesar
dan difus.[10]
- Temuan laboratorium pada penyakit Graves adalah
peningkatan kadar T3 dan T4 bebas serta penurunan kadar
TSH. Karena folikel tiroid terus mendapat rangsangan
dari Thyroid-stimulating immunoglobulin, penyerapan
yodium radioaktif meningkat dan pemindaian yodium
aktif memperlihatkan penyerapan difus yodium.[8]
- Selalu lakukan setidaknya satu kali dan lebih baik jika
dua kali pemeriksaan sebelim memulai terapi untuk
menegakkan diagnosis pasti. Pada eksoftalmos, CT scan
pada orbita menunjukkan penebalan otot luar bola maya.

12
Orbita mengandung mukopolisakarida dan air
berlebihan.[10]
4. Pathogenesis

Penyakit graves adalah suatu gangguan autoimun,


pada gangguan tersebut terdapat beragam autoantibody
dalam serum. Antibody ini mencakup antibody terhadap
reseptor TSH, peroksisom tiroid, dan tiroglobulin; dari
ketiganya, reseptor TSH adalah autoantigen terpenting
menyebabkan terbentuknya antibody. Efek antibody yang
dubentuk berbeda-beda, bergantung pada epitop reseptor
TSH mana yang menjadi sasarannya. Sebagai contoh,
salah satu antibody yang disebut tiroid stimulating
immunoglobulin (TSI), mengikat reseptor TSH untuk
merangsang jalur adenilat siklase/AMP siklik, yang
menyebabkan peningkatan pembebasan hormone tiroid.
Golongan antibody yang lain, yang juga ditujukan pada
reseptor TSH, dilaporkan menyebabkan proliferasi epitel
folikel tiroid (thyroid growth-stimulating immunoglobulin
atau TGI). Antibody yang lain lagi, yang disebut TSH-
binding inhibitor immunoglobulins (TBII), menghambat
peningkatan normal TSH ke reseptornya pada sel epitel
tiroid. Dalam prosesnya, sebagian bentuk TBII bekerja
mirip dengan TSH sehingga terjadi stimulasi aktivitas sel
epitel tiroid. Tidak jarang ditemukan secara bersamaan
immunoglobulis yang merangsang dan menghambat
dalam serum pasien yang sama, suatu temuan yang dapat
menjelaskan mengapa sebagian pasien dengan penyakit
Graves secara spontan mengalami episode hipertiroidisme.
[8]

5. Penatalaksanaan

13
- Terapi obat : terapi lisi pertama pada semasa pasien
apapun diagnosisnya. Karbimazol menurunkan sintesis
hormone tiroid. Dosis awal 40-60 mg/hari. Kemudian
dikurangi sampai dosis pemeliharaan. Dosisnya
dititrasikan sesuai dengan fungsi tiroid dan dilanjutkan
selama 18 bulan, dimana setelah itu 50% pasien dengan
penyakit Grave menjadi sembuh. Pendekatan alternative
adalah dengan memberikan karbimazol dosis tinggi
bersama T4 untuk menghindari hipotiroidisme (teknik
block and replace). Karbimazil menyebabkan
agranulositosis pada 0,1% kasus, harus segera
diberhentikan apabila muncul sakit tenggorokan atau
demam. [7]
- Propiltiourasil adalah obat antitiroid alternative yang
menjadi obat pilihan pada kehamilan.
- Pembedahan : tiroidektomi pada relaps Grave setelah
terapi antitiroid, resikonya kecil namun termasuk
kelumpuhan pita suara, hipotiroidisme dan
hipoparatiroidisme.
- Radio-iodin terkonsentrasi di kelenjar tiroid, sehingga
merusak jaringan tiroid. Obat anti tiroid dihentikan
setelah 7-10 hari sebelum pemberian radio-iodin agar zat
tersebut dapat diserap.[7]
- Pengobatan oftalmopati pada graves mencakup usaha
untuk memperbaiki hipertiroidisme dan mencegah
terjadinya hipotiroidisme yang dapat timbul setelah
terapi radiasi ablative atau pembedahan. Pada banyak
pasien, oftalmopati dapat sembuh sendiri dan tidak
memerlukan pengobatan selanjutnya. Tetapi pada kasus
yang berat hingga ada bahaya kehilangan penglihatan,
perlu diberikan pengobatan dengan glukokortikoid dosis
tinggi disertai tindakan dekompresi orbita untuk

14
menyelamatkan mana tersebut. Hipotiroidisme yang
menjalani pembedahan atau mendapatkan terapi RAI .
pasien-pasien yang mendapat terapi RAI, 40% sampai
70% dapat mengalami hipotiroidisme dalam 10 tahun
mendatang.[10]

b) Diabetes Melitus Tipe 2


1. Definisi
Diabetes Mellitus merupakan sebuah kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. HIperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung dan pembuluh darah.[11]
2. Gejala Klinis
Gejala Khas:
1. Polifagia
2. Poliuria
3. Polidipsi
4. Penurunan Berat Badan yang tidak jelas sebabnya

Gejala tidak khas:

1. Lemah
2. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas)
3. Gatal
4. Mata kabur
5. Disfungsi ereksi ada pria
6. Pruritus vulvae pada wanita
7. Luka yang sulit sembuh

Faktor resiko DM tipe 2:

1. Berat badan lebih dan obese (IMT lebih atau sama


dengan 25 kg/m2)
2. Riwayat penyakit DM di keluarga
3. Mengalami hipertensi (TD lebih atau sama dengan
140/90 mmHg ata sedang dalam terapi hipertensi)

15
4. Pernah didiagnosis penyakit jantung atau stroke
(kardiovaskular)
5. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan/atau Trigliserida > 250
mg/dL atau sedang dalam pengobatan dislipidemia
6. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL ? 4000 gram
atau pernah didiagnosis DM Gestasional
7. Riwayat GDPT (Glukosa darah puasa terganggu / TGT
(Toleransi Glukosa terganggu)
8. Aktifitas jasmani yang kurang

3. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik patognomonis

Penurunan Berat Badan yang tidak jelas


penyebabnya

Faktor predisposisi
1. Usia > 45 tahun
2. Diet tinggi kalori dan lemak
3. Aktifitas fisik yang kurang
4. Hipertensi (TD 140/90 mmHg)
5. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
6. Penderita penyakit jantung koroner, tuberkulosis,
hipertiroidisme
7. Dislipidemia
Pemeriksaan Penunjang
1. Gula Darah Puasa (Pasien dipuasakan 8-12 jam
sebelum pengambilan darah)
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial
3. HbA1C

4. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis

Kriteria Diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa:

16
1. Gejala Klasik DM (poliuria, polidipsi, polifagi) +
glukosa plasma sewaktu lebih atau sama dengan 200
mg/dL (11.1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. ATAU
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa lebuh
atau sama dengan 126 mg/dl. Puasa diartikan
pasientidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa
terganggu (TTGO) lebih atau sama dengan 200 mg/dl
(11.1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard
WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus 75 gram
yang dilarutkan dalam air. ATAU
4. HbA1C. Penentuan diagnosis DM berdasarkan HbA1C
lebih atau sama dengan 6.5% belum dapat digunakan
secara nasional di Indonesia, mengingat standardisasi
pemeriksaan yang masih belum baik.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi criteria


normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang
diperoleh.

Kriteria gangguan toleransi glukosa:

1. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa


plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5.6-
6.9 mmol/L)
2. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar
glukosa plasma 140-199 mg/dl pada 2 jam sesudah
beban glukosa 75 grm (7.8-11.1 mmol/L)
3. HbA1C 5,7-6,4%

17
Langkah-langkah
diagnostic DM dan
toleransi glukosa
terganggu pada Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi VI Jilid II FKUI,

5. KOMPLIKASI
A. Akut
1. Ketoasidosis diabetic
2. Hiperosmolar non ketotik
3. Hipoglikemia
B. Kronik
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah perifer
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Pembuluh darah kapiler retina
Pembuluh darah kapiler renal

18
C. Neuropati
D. Gabungan
1. Kardiomiopati
2. Infeksi
3. Kaki diabetic
4. Disfungsi ereksi
6. PENATALAKSANAAN
Farmakologis
Alur Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 tanpa komplikasi

pada Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter DI Fasilitas


Pelayanan Kesehatan Primer Halaman 476
Rencana tindak lanjut:
Untuk pengendalian kasus DM berdasarkan parameter
berikut:

19
Tabel Kriteria. Pengendalian DM (berdasarkan
Konsensus DM)
Konseling & Edukasi
Meliputi pemahaman tentang:
1. Penyakit DM
2. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
3. Penyulit DM
4. Intervensi farmakologis
5. Hipoglikemia
6. Masalah khusus yang dihadapi
7. Cara mengembangkan sistem pendukung dan
mengajarkan keterampilan
8. Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
9. Pemberian obat jangka panjang dengan control teratur
setiap 2 minggu/1 bulan
Perencanaan makan
Kadar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
1. Karbohidrat (45-65%)
2. Protein (15-20%)
3. Lemak (20-25%)
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari.
Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak
jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid), dan

20
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam
lemak jenuh. Jumlah kandungan serat +-25 g/hari,
diutamakan serat larut.
Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Kegiatan sehari-
hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun, harus tetap dilakukan.[12]
c) Karsinoma Tiroid
1. Prevalensi

Angka kekerapan keganasan pada nodul tiroid


berkisar 5-10%. Prevalensi keganasan pada multinodular
tidak jauh berbeda. Gharib H dalam laporannya
mendapatkan angka 4,1% dan 4,7% masing-masing
prevalensi untuk nodul tunggal dan multipel. Bila dilihat
dari jenis karsinomanya, kurang lebih 90% jenis karsinoma
papilare dan folikulare, 5-9% jenis karsinoma medulare, 1
-2 % jenis karsinoma anaplastik, 1-3% jenis lainnya. Anak
anak usia di bawah 20 tahun dengan nodul tiroid dingin
mempunyai risiko keganasan 2 kali lebih besar dibanding
kelompok dewasa. Kelompok usia di atas 60 di samping
mempunyai prevalensi keganasan lebih tinggi, juga
mempunyai tingkat agresivitas penyakit yang lebih berat,
yang terlihat dari seringnya kejadian jenis karsinoma tiroid
tidak berdiferensiasi.

2. Klasifikasi
Klasifikasi karsinoma tiroid dibedakan atas dasar, 1.
Asal sel yang berkembang menjadi sel ganas, dan 2.
Tingkat keganasannya.
1. Asal Sel
a. Tumor epitelial

21
Tumor berasal dari sel folikulare.
Jinak : Adenoma Folikulare, Konvensional,Varia.
Ganas: Karsinoma
- Berdiferensiasi baik: karsinoma folikulare,
karsinoma papilare (konvensional,varian)
- Berdiferensiasi buruk (karsinoma insular)
- Tak berdiferensiasi (anaplastik)
b. Tumor berasal dari sel C (berhubungan dengan tumor
neuroendokrin)
Karsinoma Medulare
c. Tumor berasal dari sel folikulare dan sel C
Sarkoma
Limfoma Malignum (dan neoplasma
hematopoetik yang berhubungan)
Neoplasma Miselaneus
2. Tingkat keganasan. Untuk kepentingan praktis,
karsinoma tiroid dibagi atas 3 kategori, yaitu:
Tingkat keganasan rendah : a). Karsinoma papilare, b).
Karsinoma folikular (dengan invasi minimal)
Tingkat keganasan menengah : a). Karsinoma folikulare
(dengan invasi luas), b). Karsinoma medulare, c).
Limfoma maligna, d). Karsinoma tiroid berdiferensiasi
buruk
Tingkat keganasan tinggi : a). Karsinoma tidak
berdiferensiasi, b). Haemangioendothelioma maligna
(angiosarcoma).
Perangai karsinoma tiroid yang berdiferensiasi
baik relatif jinak, perkembangannya lambat dengan
kelangsungan hidup cukup panjang. Dilaporkan angka
kelangsungan hidup 10 tahun berkisar 74-93% untuk jenis

22
papilare dan 43-94% untuk jenis folikulare. Sedang
karsinoma tiroid yang tidak berdiferensiasi (anaplastik)
hampir semuanya meninggal dalam 1 tahun. Di klinik
Mayo, hanya 3.6% karsinoma berdiferensiasi buruk yang
mampu bertahan hidup lebih dari 5 tahun, meskipun telah
mendapat terapi operasi, radiasi eksternal dan kemoterapi.

3. Pendekatan Diagnosis
Pasien dengan karsinoma tiroid biasanya datang
dengan nodul soliter Pengambilan keterangan riwayat
penyakit (anamnesis) merupakan bagian penting dalam
rangka penegakan diagnosis.
Anamnesis
Sebagian besar keganasan tiroid tidak memberikan
gejala yang berat, kecuali keganasan jenis anaplastik yang
sangat cepat membesar bahkan dalam hitungan minggu.
Sebagian kecil pasien, khususnya pasien dengan nodul
tiroid yang besar, mengeluh adanya gejala penekanan pada
esofagus dan trakhea. Biasanya nodul tiroid tidak disertai
rasa nyeri, kecuali timbul perdarahan ke dalam nodul atau
bila kelainannya tiroiditis akut/subakut. Keluhan lain pada
keganasan yang mungkin ada iaIah suara serak.
Dalam hal riwayat kesehatan, banyak faktor yang
perlu ditanyakan, apakah ke arah ganas atau tidak. Seperti
misalnya usia pasien saat pertama kali nodul tiroid
ditemukan, riwayat radiasi pengion saat usia anak-anak,
jenis kelamin pria, meskipun prevalensi nodul tiroid lebih
rendah, tetapi kecenderungannya menjadi ganas lebih tinggi
dibandingkan pada wanita. Respons terhadap pengobatan
dengan hormon tiroid juga dapat digunakan sebagai
petunjuk dalam evaluasi nodul tiroid.

23
Riwayat karsinoma tiroid medulare dalam keluarga,
penting untuk evalusi nodul tiroid ke arah ganas atau jinak.
Sebagian pasien dengan karsinoma tiroid medulare
herediter juga memiliki penyakit lain yang tergabung dalam
MEN (multiple endocrine neoplasia) 2A atau MEN2B.

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik diarahkan pada kemungkinan
adanya keganasan tiroid. Pertumbuhan nodul yang cepat
merupakan salah satu tanda keganasan tiroid, terutama jenis
karsinoma tiroid yang tidak berdiferensiasi (anaplastik).
Tanda lainnya iaIah konsistensi nodul keras dan melekat ke
jaringan sekitar, serta terdapat pembesaran kelenjar getah
bening di daerah leher Pada tiroiditis, perabaan nodul nyeri
dan kadang-kadang berfluktuasi karena ada abses/ pus.
Sedangkan jenis nodul tiroid lainnya biasanya tidak
memberikan kelainan fisik kecuali benjolan leher.
Untuk memudahkan pendekatan diagnostik, berikut
ini adalah kumpulan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik yang mengarah pada nodul tiroid jinak, tanpa
menghilangkan kemungkinan adanya keganasan, yaitu :
Riwayat keluarga tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid
autoimun
Riwayat keluarga dengan nodul tiroid jinak atau goiter
Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme
Nyeri dan kencang pada nodul
Lunak, rata dan tidak terfiksir
Struma multinodular tanpa nodul dominan dan konsistensi
sama

24
Sedangkan di bawah ini adalah kumpulan riwayat
kesehatan dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan
kecurigaan ke arah keganasan tiroid, yaitu : usia <20th atau
>60th mempunyai prevalensi tinggi keganasan pada nodul
yang teraba. Nodul pada pria mempunyai kemungkinan 2
kali lebih tinggi menjadi ganas dari wanita
Keluhan suara serak, susah napas, batuk, disfagia
Riwayat radiasi pengion pada saat kanak-kanak
Padat, keras, tidak rata dan terfiksir
Limfadenopati servikal
Riwayat keganasan tiroid sebelumnya

Pemeriksaan Penunjang
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH).
Pemeriksaan sitologi dari BAJAH nodul tiroid merupakan
langkah pertama yang harus dilakukan dalam proses
diagnosis. BAJAH oleh operator yang trampil, saat ini
dianggap sebagai metode yang efektif untuk membedakan
jinak atau ganas pada nodul soliter atau nodul dominan
dalam struma multinodular. Gharib dkk melaporkan bahwa
BAJAH mempunyai sensitivitas sebesar 83% dan
spesifisitas 92%. Bila BAJAH dikerjakan dengan baik, akan
menghasilkan angka negatif palsu kurang dari 5%, dan
angka positip palsu hampir mendekati 1%. Hasil BAJAH
dibagi menjadi 4 kategori, yaitu : jinak, mencurigakan
(termasuk adenoma folikulare, Hurthle dan gambaran yang
sugestif tapi tidak konklusif karsinoma papilare tiroid),
ganas dan tidak adekuat.
Jenis karsinoma yang dapat segera ditentukan ialah
karsinoma papilare, medulare atau anaplastik. Sedangkan
untuk jenis karsinoma folikulare, untuk membedakannya

25
dari adenoma folikulare, harus dilakukan pemeriksaan
histopatologi yang dapat memperlihatkan adanya invasi
kapsul tumor atau invasi vaskular. Mengingat secara
sitologi tidak dapat membedakan adenoma folikulare dari
karsinoma folikulare, maka keduanya dikelompokkan
menjadi neoplasma folikulare intermediate atau suspicious.
Pada kelompok suspicious, angka kejadian karsinoma
folikulare berkisar 20% dengan angka tertinggi terjadi pada
kelompok dengan ukuran nodul besar, usia bertambah dan
kelamin laki-laki.
Sekitar 15-20% pemeriksaan BAJAH, memberikan
hasil inadequat dalam hal material/sampel. Pada keadaan
seperti ini dianjurkan untuk mengulang BAJAH dengan
bantuan USG {guided USG) sehingga pengambilan sampel
menjadi lebih akurat.
Pemeriksaan potong beku {frozen section) pada saat
operasi berlangsung, tidak memberikan keterangan banyak
untuk neoplasma folikulare, tetapi dapat membantu
mengkonfirmasi diagnosis dugaan karsinoma papilare.
Laboratorium. Keganasan tiroid bisa terjadi pada
keadaan fungsi tiroid yang normal, hiper maupun hipotiroid.
Oleh karena itu perlu diingat bahwa abnormalitas fungsi
tiroid
tidak dengan sendirinya menghilangkan kemungkinan
keganasan. Sering pada Hashimoto juga timbul nodul baik
uni/bilateral, sehingga pada tiroiditis kronik Hashimotopun
masih mungkin terdapat keganasan.
Pemeriksaan kadar tiroglobulin serum untuk
keganasan tiroid cukup sensitif tetapi tidak spesifik, karena
peningkatan kadar tiroglobulin juga ditemukan pada
tiroiditis, penyakit Graves dan adenoma tiroid. Pemeriksaan

26
kadartiroglobulin sangat baik untuk monitor kekambuhan
karsinoma tiroid pasca terapi, kecuali pada karsinoma tiroid
medulare dan anaplastik, karena sel karsinoma anaplastik
tidak mensekresi tiroglobulin. Pada pasien dengan riwayat
keluarga karsinoma tiroid medulare, tes genetik dan
pemeriksaan kadar kalsitonin perlu dikerjakan. Bila tidak
ada kecurigaan ke arah karsinoma tiroid medulare atau
neoplasia endokrin multipel 2, pemeriksaan kadar kalsitonin
tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin. Pemeriksaan
imunohistokimia biasanya juga tidak dapat membedakan
lesi jinak dari lesi ganas.
Pencitraan. Pencitraan pada nodul tiroid tidak dapat
menentukan jinak atau ganas, tetapi dapat membantu
mengarahkan dugaan nodul tioid tersebut cenderung jinak
atau ganas. Modalitas pencitraan yang sering digunakan
pada nodul tiroid iaIah sidik (sintigrafi) tiroid dan USG.
Sintigrafi tiroid pada keganasan hanya memberikan
gambaran hipofungsi atau nodul dingin, sehingga dikatakan
tidak spesifik dan tidak diagnostik. Sintigrafi tiroid dapat
dilakukan dengan menggunakan 2 macam isotop, yaitu
iodium radioaktif (123-I) dan technetium pertechnetate (99m-
123-
Tc). I lebih banyak digunakan dalam evaluasi fungsi
99m-
tiroid, sedang Tc lebih digunakan untuk evaluasi
anatominya. Pada sintigrafi tiroid, kurang lebih 80-85%
nodul tiroid memberikan hasil dingin (cold) dan 10-15%
dari kelompok ini mempunyai kemungkinan ganas. Nodul
panas (hot) ditemukan sekitar 5% dengan risiko ganas
paling rendah, sedang nodul hangat (warm) terdapat 10-
15% dari seluruh nodul dengan kemungkinan ganas lebih
rendah dari 10%.

27
USG pada evaluasi awal nodul tiroid dilakukan
untuk menentukan ukuran dan jumlah nodul, meski
sebenarnya USG tidak dapat membedakan nodul jinak dari
yang ganas. USG pada nodul tiroid yang dingin sebagian
besar akan menghasilkan gambaran solid, campuran solid-
kistik dan sedikit kista simpel. Dari suatu seri penelitian
USG nodul tiroid, didapatkan 69% solid, 12% campuran
dan 19% kista. Dari seluruh 19% kista tersebut, hanya 7%
yang ganas, sedangkan kemungkinan ganas dari nodul solid
atau campuran berkisar 20%. USG juga dikerjakan untuk
menentukan multinodularitas yang tidak teraba dengan
palpasi, khususnya pada individu dengan riwayat radiasi
pengion pada daerah kepala dan leher. Nodul soliter atau
multipel yang lebih kecil dari 1cm yang hanya terdeteksi
dengan USG umumnya jinak dan tidak diperlukan
pemeriksaan lanjutan lain kecuali evaluasi USG ulang
secara periodik. Nodul yang terdeteksi dengan USG pada
pasien Graves umumnya jinak. Dari 315 pasien Graves
ditemukan 106 nodul ukuran 8mm atau lebih, pada evaluasi
sitologi hanya ditemukan 1 (satu) kasus karsinoma.
Modalitas pencitraan lain seperti computed
tomographic scanning (CT Scan) dan magnetic resonance
imaging (MRI) tidak direkomendasikan untuk evaluasi
keganasan tiroid, karena disamping tidak memberikan
keterangan berarti untuk diagnosis, juga sangat mahal.
CTScan atau MRI baru diperlukan bila ingin mengetahui
adanya perluasan struma substernal atau terdapat kompresi
trakea.
Terapi supresi siroksin (untuk diagnostik). Salah
satu cara meminimalisasi hasil negatif palsu pada BAJAH
iaIah dengan terapi supresi TSH dengan tiroksin. Yang

28
dimaksud terapi supresi TSH dengan L-tiroksin iaIah
menekan sekresi TSH dari hipofisis sampai kadar TSH di
bawah batas nilai terendah angka normal. Rasionalitas
supresi TSH berdasarkan bukti bahwa TSH merupakan
stimulator kuat untuk fungsi kelenjar tiroid dan
pertumbuhannya. Cara ini diharapkan dapat memisahkan
nodul yang memberikan Respons dan tidak, dan kelompok
terakhir ini lebih besar kemungkinan ganasnya. Tetapi
dengan adanya reseptor TSH di sel-sel karsinoma tiroid,
maka terapi tersebut juga akan memberikan pengecilan
nodul. Ini terbukti dari 13-15% pasien karsinoma tiroid
mengecil dengan terapi supresi. Oleh karena itu tidak ada
atau adanya Respons terhadap supresi TSH tidak dengan
sendirinya secara pasti menyingkirkan keganasan.
Berdasarkan data-data pada evaluasi klinis dan
pemeriksaan penunjang, maka dapat diduga kecenderungan
suatu nodul tiroid jinak atau ganas. (tabel 1)
Tabel 1. Kecenderungan Suatu Nodul Tiroid Jinak atau
Ganas

Pengelolaan Karsinoma

29
Operasi
Tiroidektomi total, bila masih memungkinkan untuk
mengangkat sebanyak mungkin tumor dan jaringan tiroid
yang sehat, merupakan prosedur awal pada hampir sebagian
besar pasien karsinoma tiroid berdiferensiasi. Bila
ditemukan metastasis kelenjar getah bening (KGB)
regional, diteruskan dengan radical neck dissection. Pada
karsinoma tiroid medulare, setelah tiroidektomi total,
mengingat tingginya angka metastasis KGB regional,
dilanjutkan dengan central and bilateral lateral node
dissection. Untuk karsinoma anaplastik, mengingat
perkembangannya yang cepat dan umumnya diketahui
setelah kondisinya lanjut, biasanya tidak dapat dioperasi
lagi.
Beberapa pertimbangan dan keuntungan pilihan
prosedur operasi ini adalah sebagai berikut:
Fokus-fokus karsinoma papilare ditemukan di kedua lobus
tiroid pada 60-85% pasien.
Sesudah operasi unilateral (lobektomi), 5-10% kekambuhan
karsinoma tiroid papilare terjadi pada lobus kontralateral.
Efektivitas terapi ablasi lodium radioaktif menjadi lebih
tinggi.
Spesifisitas pemeriksaan tiroglobulin sebagai marker
kekambuhan menjadi lebih tinggi setelah reseksi tumor dan
jaringan tiroid sebanyak-banyaknya.
Meskipun demikian kontroversi mengenai luasnya
operasi masih terus berlangsung hingga kini. Pada analisis
retrospektif, dari 1685 pasien risiko rendah, angka
kekambuhan 20 tahun setelah lobektomi sebesar 22%
dibanding 8% pada pasien yang menjalani tiroidektomi
total. Jenis tindakan lain seperti tiroidektomi subtotal, yang

30
menyisakan jaringan tiroid sebesar 5g, tidak memperoleh
keuntungan-keuntungan seperti disebutkan di atas.
Sebaliknya, alasan prosedur tiroidektomi unilateral
(lobektomi) adalah tidak adanya manfaat memperbaiki
angka kelangsungan hidup yang nyata dari tindakan agresif,
disamping prosedur tiroidektomi unilateral dapat
mengurangi risiko hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus
laryngeus. Pada penelitian 465 pasien dengan risiko rendah,
angka kekambuhan lokal setelah follow up 20 tahun (4% vs
1%) atau angka kegagalan menyeluruh (13% vs 8%) tidak
berbeda pada 276 kasus lobektomi dan 90 kasus
tiroidektomi total.
Beberapa konsensus penatalaksanaan karsinoma
tiroid menyebutkan bahwa tiroidektomi total diperlukan
pada karsinoma tiroid papilare primer dengan diameter
paling tidak 1cm, khususnya bila massa telah ektensi ke luar
kelenjar tiroid, atau ditemukan metastasis.
Pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik yang
ditemukan pada saat kehamilan berlangsung, menurut
Moosa M dkk, pengelolaannya dapat ditunda hingga selesai
persalinannya. Dalam laporannya, Moosa M dkk
menyebutkan bahwa prognosis karsinoma tiroid
berdiferensiasi baik sama baiknya antara wanita hamil dan
tidak hamil untuk kelompok usia yang sama dan bahwa
pada sebagian besar kasus, diagnosis dan pengelolaannya
dapat ditunda hingga selesai persalinan.
Terapi Ablasi lodium Radioaktif
Pada jaringan tiroid sehat dan ganas yang tertinggal
setelah operasi, selanjutnya diberikan terapi ablasi iodium
131-
radioaktif I. Dosis I berkisar 80mCi dianjurkan untuk
diberikan pada keadaan tersebut, mengingat adanya uptake

31
spesifik iodium ke dalam sel folikulare, termasuk sel ganas
tiroid yang berasal dari sel folikulare. Karsinoma tiroid
medulare dan anaplastik tidak sensitif dengan terapi ablasi
131-
I. Sekali terkonsentrasi di dalam sel, akan mengalami
penguraian b, mengeluarkan energi tinggi yang
menginduksi sitotoksisitas radiasi seperti pancaran sinar g
pada sel tiroid. Ada 3 alasan terapi ablasi pada jaringan sisa
setelah operasi, yaitu:
Merusak atau mematikan sisa fokus mikro karsinoma
Meningkatkan spesifisitas sintigrafi 131-
I untuk mendeteksi
kekambuhan atau metastasis melalui eliminasi uptake oleh
sisa jaringan tiroid normal
Meningkatkan nilai pemeriksaan tiroglobulin sebagai
petanda serum yang dihasilkan hanya oleh sel tiroid.
Terapi ablasi iodium radioaktif umumnya tidak
direkomendasikan pada pasien dengan tumor primer soliter
diameter kurang dari 1cm, kecuali ditemukan adanya invasi
ekstratiroid atau metastasis.
Untuk memaksimalkan uptake iodium radioaktif
setelah tiroidektomi total, kadar hormon tiroid diturunkan
dengan menghentikan obat L-tiroksin, sehingga TSH
endogen terstimulasi hingga mencapai kadar di atas 25- 30
mU/L. Mengingat waktu paruh L-tiroksin adalah 7 hari,
biasanya diperlukan waktu 4-5 minggu untuk mencapai
kadar TSH tersebut di atas. Pasien juga perlu menghindari
makanan yang mengandung tinggi iodium paling kurang 2
minggu sebelum sintigrafi dikerjakan, karena peningkatan
iodium non-radioaktif di dalam sel tiroid menekan uptake
iodium radioaktif.
Terapi Supresi L-Tiroksin

32
Mengingat karsinoma tiroid berdiferensiasi baik
jenis papilare maupun folikulare- merupakan 90% dari
seluruh karsinoma tiroid- mempunyai tingkat pertumbuhan
yang lambat, maka evaluasi lanjutan perlu dilakukan selama
beberapa dekade sebelum dikatakan sembuh total. Selama
periode tersebut, diberikan terapi supresi dengan L-tiroksin
dosis suprafisiologis untuk menekan produksi TSH.
Supresi terhadap TSH pada karsinoma tiroid pasca
operasi dipertimbangkan karena adanya reseptor TSH di
sel-sel karsinoma tiroid, sehingga bila tidak ditekan, TSH
tersebut dapat merangsang pertumbuhan sel-sel ganas yang
tertinggal, Harus dipertimbangkan untuk selalu dalam
keseimbangan antara manfaat terapi supresi TSH dan efek
samping terapi tiroksin jangka panjang. Target kadar TSH
pada kelompok risiko rendah untuk kesakitan dan kematian
karena keganasan tiroid adalah 0,1-0,5 mU/L, sedang untuk
kelompok risiko tinggi adalah 0,01 mU/L. Dosis L-tiroksin
untuk terapi supresi bersifat individual, rata-rata 2 ug/kgBB.
Terapi supresi dengan L-tiroksin terhadap sekresi
TSH dalam jangka panjang dapat memberikan efek samping
di berbagai organ target, seperti tulang rangka dan jantung.
Banyak penelitian akhir-akhir ini yang menghubungkan
keadaan hipertiroidisme ini dengan gangguan metabolisme
tulang yaitu meningkatnya bone turnover; bone loss dan
risiko fraktur tulang. Umumnya pada kelompok usia tua
lebih nyata efek sampingnya dibanding usia muda. Rata-
rata efek samping yang dilaporkan terjadi setelah pemberian
L-tiroksin dosis supresi berkisar 7-15 tahun. Pengamatan
pada kelompok pre dan post menopause yang mendapat
terapi L-tiroksin dosis supresi jangka panjang memberikan
hasil yang bervariasi. Roti E. Dkk melaporkan banyak studi

33
memperlihatkan penurunan densitas tulang sebagai reaksi
terhadap terapi supresi terjadi baik pada pre maupun post
menopause. Salah satu penelitian pada pre
menopause yang mendapat terapi L-tiroksin dosis supresi
selama kurang lebih 10,7 tahun memperlihatkan penurunan
densitas mineral tulang femoral neck yang bermakna dan
pada kelompok ini bone turnover juga meningkat. Gharib
dkk melaporkan hasil yang berbeda dimana penurunan
densitas tulang tidak berbeda bermakna antara kelompok
premenopause dengan normal. Suatu studi meta-analsis
yang melibatkan 239 pasien, pada kelompok pre menopause
terdapat kehilangan massa tulang sebesar 2,7% setelah 8,2
tahun, tidak berbeda dengan yang dialami kelompok wanita
normal. Sementara Schneider dkk melaporkan bahwa terapi
estrogen menghambat proses kehilangan massa tulang yang
diinduksi L-tiroksin. Terapi tiroksin yang tidak sampai
menekan sekresi TSH tidak menyebabkan osteopenia.

4. Faktor Resiko Prognostik


Faktor risiko prognostik digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan jenis
pengobatan yang akan diberikan. Diharapkan dengan
mengetahui faktor risiko prognostik ini pengobatan dapat
dilakukan lebih selektif, sehingga tidak kecolongan pasien
keganasan tiroid tertentu yang memang harus mendapat
pengobatan agresif, demikian juga pada pasien tertentu
dapat terhindar dari pengobatan berlebihan yang tidak perlu.
Faktor risiok prognostik tersebut adalah sebagainberikut:
AMES {Age, Metastasis, Extent of primary cancer, tumor
Size)
Age: pria <41 th, wanita < 51 th/pria > 40 th, wanita > 50 th

34
Metastasis : metastasis jauh/tanpa metastasis jauh
Extent: papilare intratiroid atau folikulare dengan infasi
kapsul minimal/ papilare ekstratiroidal atau folikulare
dengan invasi mayor
Size : 5 cm/> 5 cm. Risiko rendah : 1). Setiap usia risiko
rendah tanpa metastasis, 2). Usia risiko tinggi tanpa meta
dan dengan ekstensi. dan ukuran tumor risiko rendah.
Risiko tinggi: 1). Setiap pasien dengan metastasis, atau 2).
Usia risiko tinggi dengan salah satu ekstensi atau ukuran
tumor untuk risiko tinggi.
DAMES (AMES + pemeriksaan DNA sel tumor dengan
flow cytometry)
AMES risiko rendah + DNA euploid : risiko rendah
AMES risiko rendah + DNA aneuploid : risiko sedang
AMES risiko tinggi + DNA aneuploid : risiko tinggi
AGES {Age, tumor Grade, tumor Extent, tumor Size) Skor
prognostik : 0.05 x usia tahun (kecuali usia <40tahun = 0),
+1 (grade 2) atau +3 (grade 3 atau 4), +1 (jika
ekstratiroidal) atau +3 (jika metastasis jauh), + 0.2 x ukuran
tumor dalam cm (diameter maksimum). Skala skor
prognostik: 0-11.65, median 2.6. Kategori risiko : 0-3.99; 4-
4.99; 5-5.99; >6.
MACIS (Metastasis, Age, Completeness of resection.
Invasion, Size)
Skor prognostik : 3.1 (usia<39 tahun) atau 0.08 x usia (jika
usia >40'^), + 0.3 x ukuran tumor dalam cm, +1 (jika
diangkat tidak komplit), +1 (jika invasi lokal), +3 (jika
metastasis jauh). Kategori risiko skor prognostik : 0-5.99; 6-
6.99; 7-7.99; > 8.
Dengan pengelompokan faktor risiko prognostik
tersebut, dapat diperkirakan angka kelangsungan pasien

35
keganasan tiroid. Dengan pengelompokan seperti ini, dapat
disarankan, misalnya pada pasien dengan angka
kelangsungan hidup 20 tahun-nya 99%, tentu tidak
memerlukan pengobatan yang intensif, sehingga terhindar
dari kemungkinan.[13]

6. Perspektif Islam
Rasulullah SAW. Bersabda,

Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut.
Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk
menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya),
hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk
minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas.

Imam Asy-SyafiI rahimahullah menjelaskan,

Karena kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi


keras, menhilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah
untuk beribadah.

Bahkan kekenyangan hukumnya bisa haram, Ibnu Hajar rahimahullah


berkata,
Larangan kekenyangan dimaksudkan pada kekenyangan yang
membuat penuh perut dan membuat orangnya berat untuk
melaksanakan ibadah dan membuat angkuh, bernafsu, banyak tidur
dan malas.bisa jadi hukumnya berubah dari makruh menjadi haram
sesuai dengan dampak buruk yang ditimbulkan (misalnya
membahayakan kesehatan).

36
E. KESIMPULAN
Dari skenario yang kami dapatkan dengan keluhan utama berat badan
menurun, kami memberi beberapa diagnosis banding yaitu Graves
disease, DM tipe 2 dan Karsinoma Tiroid.
Dari hasil diskusi kami, diagnosis yang paling mendekati adalah
Graves disease. Hal tersebut kami lihat dari berbagai tanda dan gejala
yang menyertai seperti jantung berdebar dan berkeringat banyak.
Namun, untuk lebih memastikan diagnosisnya dibutuhkan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan lab meliputi; TSH, T3, T4
dan autoantibody. Serta pemeriksaan radiologi berupa CT Scan dan MRI.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Scanlon, Valerie C. Essentials of Anatomy and Physiology. 5th Edition. USA:


F.A. Davis Company. 2007. Chapter 10. Halaman 224-242.
2. Greenstein, Ben. Endocrinology at a Glance. USA : Blackwell Science. 1994.
Halaman 8-10
3. Department of Life Sciences and Institute of Genome Sciences. National Yang-
Ming University. Taipei, Taiwan. http://www.dls.ym.edu.tw/ Diakses tanggal
16 Mei 2015.
4. Bickley, Lynn S. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Edisi
VIII. Penerbit Buku Kedokteran EGC. halaman 65
5. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6.
Jakarta:EGC. Halaman 760
6. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6.
Jakarta:EGC. Halaman 783
7. Davey, Patrick. At Glance Medicine. 2005. Jakarta: Erlangga. Hal 275
8. Kumar, Vinay, dkk. Buku Ajar Patologi. Jakarta:EGC. 2007. hal: 814-815
9. Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta:EGC. Hal 1229-1230
10. David Rubenstein. Lecture Note : Kedokteran Klinis, ed.6. Erlangga. Hal: 36-
37,162-163
11. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.Setiati, S.Eds. 2014.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Halaman 2323-2327
12. Ikatan Dokter Indonesia. 2013. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Halaman 470-478

13. Subekti,Imam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Halaman
1959-1962

38

Anda mungkin juga menyukai