Anda di halaman 1dari 4

Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik


adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
a. Mementingkan pengaruh lingkungan
b. Mementingkan bagian-bagian
c. Mementingkan peranan reaksi
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar
melalui prosedur stimulus respon
e. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk
sebelumnya
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan
pengulangan
g. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang
diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan
secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi
singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui
simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana
samapi pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan
pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil
yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki.
Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik
ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang
diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas
perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada
guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat
diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori
behavioristik mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang
dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini,
sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat
penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang
membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya,
contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan
komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi
peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru
dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi
permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran
juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak
menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter,
komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang
harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan
sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan
hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap
metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.

http://pensa-sb.info/uploads/2011/10/teori-belajar-behavioristik.pdf

sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan


tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa
harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif
yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kcil yang siap
diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Sehubungan dengan hal
di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme
sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian
secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang
diterima. Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak
dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi
kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki
anak. Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan
lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang
lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar
yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa
mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif
dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa
untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif. Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

http://ebook.repo.mercubuana-yogya.ac.id/Kuliah/materi_20132_doc/TEORI
%20PEMBELAJARAN%20KONSTRUKTIVISME.pdf

6. (b) Implikasi konstruktivisme terhadap proses pembelajaran Ada sejumlah implikasi yang
relevan terhadap proses pembelajaran berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan
sosial. Implikasi itu antara lain (Suparno, 1997: 61-69): (1). Kaum konstruktivis personal
berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan
pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya
dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan
informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung
dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses
transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses
pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman
hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek pemaknaan. (2). Kaum
konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur
kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan
aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut
untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar
pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur
kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang
disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti
yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara
pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui (Mukminan,dkk.,
1998: 44; Fosnot (ed), 1996: 18-20) sebagai zone of proximal development of
knowledge. (3). Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang
pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk
para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari
pengalaman sosio budaya setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak
terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan
atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta
didik. (4). Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi otonomi, kebebasan peserta didik
untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan kolektif, sehingga
daya pikirnya dirangsang untuk secara optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan
pemaknaan yang baru. 13 (5). Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya
kegiatan kognitif tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan,
memprediksi dan menyimpulkan, dll. (6). Pendidik merancang tugas yang mendorong peserta
didik untuk mencari pemecahan masalah secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan
kepercayaan diri yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab
pribadi. (7). Dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar
terjadi proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik,
sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah
tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang
terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun
kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog dan presentasi di depan teman yang lain.

https://veronikacloset.files.wordpress.com/2010/06/konstruktivisme.pdf

Anda mungkin juga menyukai