Anda di halaman 1dari 7

GREEN BUILDING DEVELOPMENT IN INDONESIA

Konsep Green Building di Indonesia

Di Indonesia peraturan mengenai Bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002
tentang Bangunan Gedung (UU 28/2005), dan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun
2005 (PP 36/2005) tentang peraturan pelaksana dari UU 28/2005 tentang Bangunan Gedung.
Namun baik dalam UU 28/2005 maupun dalam PP 36/2005 tidak terdapat ketentuan mengenai
konsep green building ini. Pengaturan mengenai konsep green building ini ternyata terdapat
dalam peraturan di level daerah. Misalkan saat ini di DKI Jakarta, konsep green building ini
diatur melalui Peraturan daerah DKI Jakarta Nomor 7 tahun 2010 (Perda DKI no 7/2010) tentang
Bangunan Gedung dan Peraturan Gubernur Nomor 38 tahun 2012 (Pergub 38/2012) tentang
Bangunan Gedung Hijau. Mesikpun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan level
nasional, tidak berarti pemerintah daerah tidak perlu menerbitkan aturan mengenai green
building ini. Dalam UU 28/2005 maupun PP 36/2005, mewajibkan kegiatan pembangunan
haruslah memperhatikan lingkungannya. Disadari bahwa keterbatasan dari Undang-Undang yang
bersifat umum dan untuk jangka panjang sehingga dirasakan kurang dapat mengikuti
perkembangan yang terjadi dimasyarakat. Untuk itu peraturan-peraturan dibawahnya seperti
peraturan daerah dan peraturan gubernur ataupun walikota diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam Perda DKI No 7/2010 pasal 1 ayat 28 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangunan
gedung hijau atau green building adalah bangunan gedung yang bertanggung jawab terhadap
lingkungan dan sumber daya yang efisien dari sejak perencanaan, pelaksanaan konstruksi,
pemanfaatan, pemeliharaan, sampai dekonstruksi.

Dilihat dari konsep yang dimiliki oleh green building ini, maka seharusnya konsep ini menjadi
salah satu ujung tombak dalam memelihara lingkungan. Konsep ini menjadi konsep yang
menguntungkan semua pihak, meskipun kepentingan dari masing-masing stakeholder berbeda.
Bagi penyelenggara pembangunan, kepentingan mereka adalah memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya. Bagi konsumen, kepentingan mereka adalah memperoleh produk yang terbaik
dengan harga yang semurah-murahnya. Sedangkan pemerintah, memiliki kepentingan untuk
menjaga lingkungan sekitar agar tidak rusak karena pembangunan. Kepentingan yang berbeda-
beda tersebut dapat diselesaikan dengan konsep green building ini.
Berikut beberapa keuntungan bagi para stakeholder :

a. Bagi Konsumen
Dengan adanya konsep green building ini, konsumen dapat menghemat biaya-biaya seperti
listrik, air, AC dan lainnya. Konsumen juga memiliki bangunan dengan tingkat kenyamanan
dan kesehatan lebih baik.
b. Bagi Penyelenggara pembangunan
Para penyelenggara pembangunan akan berlomba-lomba untuk membangun bangunan
dengan konsep green building karena tuntutan pasar. Pembangunan dengan konsep ini
diyakini akan menambah nilai jual bangunan tersebut.
c. Bagi Pemerintah
Konsep ini membantu tugas pemerintah untuk menjaga lingkungan, penghemantan energi,
dan sebagainya

Apakah seluruh bangunan yang akan dibangun tersebut harus menggunakan konsep green
building? Berdasarkan pasal 3 Pergub 38/2012 disebutkan bahwa Penyelenggaraan bangunan
gedung dengan jenis dan luasan tertentu wajib memenuhi persyaratan bangunan gedung hijau.
luasan tertentu yang dimaksud diatas adalah :

fungsi hunian, bangunan gedung rumah susun, dengan luas batasan seluruh lantai bangunan
lebih dari 50.000 m2 (lima puluh ribu meter persegi);
fungsi usaha, bangunan gedung perkantoran, dengan luas batasan seluruh lantai bangunan
lebih dari 50.000 m2 (lima puluh ribu meter persegi);
fungsi usaha, bangunan gedung perdagangan, dengan luas batasan seluruh lantai bangunan
lebih dari 50.000 m2 (lima puluh ribu meter persegi);
bangunan gedung yang memiliki lebih dari satu fungsi dalam 1 (satu) massa bangunan,
dengan luas batasan seluruh lantai bangunan lebih dari 50.000 m2 (lima puluh ribu meter
persegi);
fungsi usaha, bangunan gedung perhotelan, dengan luas batasan seluruh lantai bangunan
lebih dari 20.000 m2 (dua puluh ribu meter persegi);
fungsi sosial dan budaya, bangunan gedung pelayanan kesehatan, dengan luas batasan
seluruh lantai bangunan lebih dari 20.000 m2 (dua puluh ribu meter persegi); dan/atau
fungsi sosial dan budaya, bangunan gedung pelayanan pendidikan, dengan luas batasan
seluruh lantai bangunan lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi).

2
Selain dari bangunan baru, peraturan tersebut mencakup pula bangunan-bangunan eksisting.
Dalam pasal 3 ayat 2 Pergub 38/2012 disebutkan bahwa penyelenggaraan bangunan gedung
meliputi bangunan gedung baru dan bangunan gedung eksisting. Kemudian dijelaskan pula
dalam peraturan tersebut bahwa yang termasuk kedalam pengertian bangunan gedung eksisting
adalah bangunan gedung yang pada saat Pergub 38/2012 ini ditetapkan sedang dalam tahap
pelaksanaan konstruksi dan/atau sudah dalam tahap pemanfaatan.

Hal-hal apa saja yang menjadi tolak ukur dalam menentukan suatu bangunan ini sudah sesuai
dengan konsep green building atau belum? Berdasarkan pasal 4 Pergub 38/2012 dikatakan
bahwa persyaratan teknis bangunan gedung hijau meliputi :

Gedung baru : Gedung eksisting :

Efisiensi energi Konservasi dan efisiensi energi


Efisiensi air Konservasi dan efisiensi air
Kualitas udara dalam lingkungan Kualitas udara dalam ruang
Pengelolaan lahan dan limbah dankenyamanan termal
Pelaksanaan kegiatan konstruksi Manajemen operasional /
pemeliharaan

Berdasarkan Pergub 38/2012 disebutkan bahwa pengawasan atas pelaksanaan ketentuan Pergub
ini secara teknis dan operasional dilaksanakan oleh Dinas pengawasan dan penertiban
lingkungan. Oleh karena itu Dinas tersebut perlu mengumumkan bangunan-bangunan mana saja
yang telah sesuai dengan konsep green building sebagaimana terdapat dalam Pergub 38/2012 ini.
Hal ini diperlukan agar masyarakat tidak menjadi korban akibat perbuatan pengembang yang
mencantumkan secara bebas konsep green building pada bangunannya demi mencari keuntungan
sebesar-besarnya. Dengan adanya Pergub 38/2012 ini, menjadi jelaslah kriteria apa saja yang
harus dipenuhi untuk menyatakan bahwa suatu bangunan merupakan bangunan dengan konsep
green building dan siapa yang berhak menyatakan hal tersebut.

Selain hal tersebut, dibutuhkan juga pengawasan dari masyarakat baik itu melalui NGO maupun
Lembaga kemasyarakatan lainnya. Saat ini di Indonesia telah terdapat Green Building Council
Indonesia (GCB Indonesia), yang merupakan lembaga mandiri dan non profit yang bergerak
dalam bidang industri bangunan global yang berkelanjutan. GCB Indonesia ini juga merupakan
emerging member dari World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto,

3
Kanada. WGBC saat ini beranggotakan 102 negara dan hanya memiliki satu GBC di setiap
negara. Salah satu program GBC Indonesia adalah menyelenggarakan kegiatan sertifikasi
bangunan hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian khas Indonesia yang disebut
Greenship, yang merupakan sistem penilaian yang digunakan sebagai alat bantu para pelaku
industri, bangunan, baik pengusaha, arsitek, teknisi mekanikal elektrikal, desain interior, maupun
pelaku lainnya dalam menerapkan best practices dan mencapai standar. Greenship memiliki
panduan penerapan untuk Neighborhood, Homes, New Building, Existing Building, serta Interior
Space. Untuk itu, GCB Indonesia perlu menjalin kerjasama dengan Pemerintah daerah di
Indonesia sehingga pelaksanaan dari konsep green building ini sesuai dengan standar
internasional. Pemberian insentif dari pemerintah juga diperlukan agar pelaksanaan konsep green
building ini dapat terlaksana dengan baik

4
Standar Nasional Indonesia Terkait Green Building

Hingga saat ini terdapat beberapa standar yang dibentuk terkait dengan pembangunan
berkelanjutan. Berikut adalah Standar Nasional Indonesia yang telah dibentuk terkait dengan
penerapan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
SNI 03-6389-2000 Konservasi Energi Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung
SNI 03-6390-2000 Konservasi Energi Sistem Tata Udara pada Bangunan Gedung
SNI 03-6197-2000 Konservasi Energi Sistem Pencahayaan pada Bangunan Gedung
SNI 03-6196-2000 Prosedur Audit Energi pad Bangunan Gedung

Perkembangan Green Building di Indonesia

Dalam proses pembangunan bangunan gedung, desain memiliki kedudukan yang krusial, terlebih
untuk bangunan hijau. Hal ini dikarenakan perlu adanya kolaborasi antardisiplin keahlian agar
dapat menghasilkan bangunan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Target gedung untuk
mencapai sertifikasi sebaiknya berangkat dari pemilik gedung. Hal ini dikarenakan dalam proses
sertifikasi dibutuhkan komitmen yang kuat untuk mewujudkan gedung yang ramah lingkungan.
Komitmen ini membutuhkan inisiasi awal dari pihak pemilik proyek sebagai pemegang
keputusan yang selanjutnya akan diterjemahkan oleh para tim ahli pendukungnya. Berikut pada
Tabel 1 akan disajikan perbandingan proses desain yang terintegrasi dan konvensional.

Tabel 1. Perbandingan proses Desain yang Terintegrasi dan Konvensional.


Proses Desain yang Terintegrasi Proses Desain yang Konvensional
Semua disiplin keahlian dilibatkan sejak awal Hanya beberapa disiplin keahlian yang
dilibatkan sejak awal
Tingkat kolaborasi pada yang intensif dimulai Tingkat Kolaborasi pada yang intensif tidak
dari awal dimulai dari awal
Keputusan Berada di Tangan Tim Keputusan hanya di tangan beberapa pihak
Sistem dipandang sebagai sesuatu yang lebih Sistem dipandang sebagai sesuatu yang parsial
holistic
Pembiayaan dipikirkan berdasarkan daur hidup Pembiayaan hanya dipikirkan saat tahap
gedung pembangunan

Perbedaan signifikan yang terjadi pada gedung dengan desain atau yang sudah tersertifikasi
Green Building adalah gedung yang sudah tersertifikasi akan memakan biaya lebih banyak di
awal namun akan memberikan saving sebesar 5 20% dari biaya pemeliharaan gedung. Hal ini
dikarenakan gedung tersebut mengedepankan efisiensi di energi, air serta material sehingga
biaya yang dikeluarkan per bulan akan lebih murah.

Salah satu contoh Bangunan Gedung Hijau adalah Gedung Kementerian Pekerjaan Umum
Jakarta. Gedung Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta ini merupakan gedung kementerian
pertama di Indonesia yang berkonsep Green Building. Gedung Kementerian Pekerjaan Umum
Jakarta dalam setahun mampu menghemat 50,4% dalam penggunaan energi (dapat dilihat pada
gambar 1.a). Sedangkan pada gambar 1.b adalah perbandingan penggunaan energi dengan desain
standard office, pada tahap desain dan faktanya.

Dari gambar 1 diatas dapat dilihat bahwa gedung yang sudah memiliki sertifikasi atau predikat
sebagai Green Building memiliki pemakaian energi jauh lebih kecil dibandingkan gedung yang
tidak didesain untuk hemat energi walaupun memiliki luas yang lebih besar. Oleh sebab itu,
Gedung Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta memacu gedung kementerian lain serta proyek
swasta lainnya untuk mengikuti jejaknya. Bahkan, penghematan energi dari gedung ini
berhasil membuat gedung ini mendapatkan banyak penghargaan hingga ke tingkat Asia.
Penghematan energi akan berbanding lurus dengan biaya energi yang akan dikeluarkan setiap
bulannya. Penghematan energi juga berbanding lurus dengan kontribusi kita dalam perubahan
iklim. Hal ini disebabkan karena setiap penghematan kWh berarti akan mengurangi CO 2 yang
terlepas ke atmosfer ke bumi. Dalam keadaan normal, karbon dioksida (CO2) adalah suatu gas
yang penting bagi bumi, karena dapat melindungi kehidupan manusia di Bumi. Namun bila
kadar CO2 di Bumi berlebihan maka tentu saja akan mencemari udara dan akan menimbulkan
efek gas rumah kaca (Kirby, 2008). Oleh karena itu salah satu cara meminimalisir dampak yang
ada yaitu dengan pembangunan Green Building.

Referensi:

http://thepresidentpostindonesia.com/2013/01/14/perkembangan-green-building-di-indonesia/
https://pii.or.id/inovasi-korporasi-green-building-dan-green-construction
http://www.wanatirta.com/read/2099/building/seputar-konsep-green-building.html

Anda mungkin juga menyukai