Anda di halaman 1dari 33

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pemicu 1: Perpindahan Kalor Konduksi


2.1.1. Tugas A
1. Bagaimana mekanisme perpindahan kalor yang terjadi pada sistem insulasi
panas yang dipasang di atap dinding rumah?
Insulasi termal (isolasi termal, isolasi panas) adalah metode atau proses yang
digunakan untuk mengurangi laju perpindahan panas/kalor. Aliran panas tergantung
pada sifat material yang dipergunakan. Bahan yang digunakan untuk mengurangi laju
perpindahan panas disebut isolator atau insulator. Insulator berfungsi sebagai pemisah
dan pelindung untuk menetralisasi area yang diinsulasi dari gangguan luar (panas dan
bising) sehingga menjadikannya nyaman untuk ditinggali.
Dalam menciptakan suatu thermal insulator, sistem perpindahan panas yang
dipakai adalah dengan mengeliminasi sistem konveksi dan radiasi yang terjadi,
sehingga menyisakan komponen kecil dari konduksi panas yang terjadi. Dalam hal ini
jelas, bahwa komponen insulator tersebut yang akan memberikan kontribusi terhadap
proses konduksi panas.
Perkembangan teknologi terkini mendukung penggunaan thermal insulator pada
rumah tinggal yang merupakan salah satu aplikasi untuk mengatasi masalah panas
dalam rumah tinggal, terutama pada bangunan tropis yang memiliki intensitas
pencahayaan matahari yang cukup tinggi. Penggunaan thermal insulator pada
umumnya dipasang pada bagian atap/dinding rumah yang berperan sebagai penghambat
laju perpindahan kalor dari luar masuk ke dalam bangunan dan sebaliknya, sehingga
panas matahari yang sampai kepada kulit bangunan dapat diminimalisir dan dikurangi
sehingga suhu ruang di dalam bangunan tetap dapat terjaga.

Gambar 1.1. Simulasi Insulasi pada Atap Rumah


(Sumber:http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2014-2-01244-AR
%20Bab2001.pdf)

Bagian yang biasa digunakan sebagai material dinding rumah adalah tanah liat,
beton. Dinding yang terbuat dari tanah liat bersifat kapasitif di mana proses kerjanya
dengan time delay atau time lag. Berguna pada daerah-daerah tertentu, contoh: rumah-

2
3

rumah yang terdapat di daerah gurun Afrika, dinding rumah mayoritas terbuat dari clay
(lumpur) yang sangat tebal. Pada saat temperatur meningkat, panas pada tengah hari
tidak mempengaruhi suhu dalam rumah, namun ketika malam hari saat temperatur
menurun, panas yang diserap oleh dinding pada waktu siang hari diteruskan ke dalam
ruangan sehingga ruangan terasa hangat. Dengan demikian, dinding rumah bekerja
sebagai insulator yang menjaga suhu di dalam rumah tetap nyaman, tidak terlalu panas
dan tidak terlalu dingin.
Konveksi yang hanya terjadi pada media fluida, terjadi pada permukaan dinding
dengan udara. Proses konduksi terjadi di dalam dinding yang merupakan suatu proses
perpindahan kalor secara spontan tanpa disertai perpindahan partikel media karena
adanya perbedaan suhu, yaitu dari suhu yang tinggi ke suhu yang rendah. Hal ini
disebabkan oleh partikel-partikel pada bagian yang lebih panas akan bergetar lebih
cepat dibandingkan partikel di bagian yang memiliki suhu yang lebih rendah. Partikel
yang energi kinetiknya lebih besar akan mentransmisikan energinya kepada partikel di
sebelahnya melalui tumbukan. Sedangkan, proses radiasi (seperti radiasi sinar matahari)
selalu terjadi karena kalor berpindah tanpa membutuhkan media apapun walaupun
dalam nilai yang kecil.
Mekanisme perpindahan kalor yang terjadi:
1. Matahari meradiasikan kalor ke udara di sekitar rumah.
2. Selanjutnya, pada permukaan dinding, terjadi perpindahan kalor secara konveksi
antara dinding dengan udara.
3. Kalor tersebut kemudian dikonduksikan ke seluruh bagian dinding rumah.
adapun laju kalor yang datang melalui udara menuju ruangan rumah dihalangi oleh
material dinding. Panas berlebih sebagian besar akan tertampung oleh material dinding,
sedangkan sisanya akan diteruskan ke dalam ruangan. Jadi, meskipun sinar matahari di
luar rumah sangat terik, ruangan di dalam rumah tidak akan terasa terlalu panas.

2. Bagaimana hubungan nilai R dan tebal kritis dari suatu material insulasi
dengan kemampuannya dalam menahan panas?

Secara sederhana, nilai R dapat dijelaskan sebagai tahanan terhadap perpindahan


kalor. Semakin tinggi nilai R, tentunya semakin baik kemampuan material insulasi
dalam menahan panas. Adapun tebal kritis merupakan radius luar dari insulasi yang
dapat memaksimalkan laju perpindahan kalor. Material insulasi dapat menahan panas
dengan baik apabila radius luar dari insulasi memiliki nilai lebih dari tebal kritisnya.

Penjelasan secara terperinci menyangkut RTH, R value, dan tebal kritis diuraikan
sebagai berikut.
a RTH
4

Gambar 2.1. Perpindahan Kalor pada Dinding Multilapis


( Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Dengan mengacu pada konsep hukum Fourier, laju perpindahan kalor pada dinding
multilapis dapat dirumuskan sebagai berikut.
k A k A k A
q= A ( T 2T 1 )= B ( T 3T 2 )= C ( T 4 T 3 )
xA xB xC (1.1)
Rangkaian persamaan tersebut disederhanakan dengan mengeliminasi variabel T 2
dan T3 sehingga diperoleh
T 1 T 4
q=
x A xB xC (1.2)
+ +
k A A k B A kC A

Persamaan tersebut analog dengan Hukum Ohm pada fenomena rangkaian listrik, di
T 1 T 4
mana q analog dengan arus, analog dengan beda potensial, serta

x A xB xC
( + + )
k A A k B A k C A analog dengan resistansi.

Gambar 2.2. Analogi Perpindahan kalor dengan Rangkaian Listrik


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Beranjak dari konsep tersebut, terminologi resistansi termal (RTH) pun dikenal
dengan rumusan berikut.
x
RTH =
kA (1.3)
di mana satuan RTH adalah oC/W atau oF.h/Btu.
Maka, laju perpindahan kalor satu dimensi dapat dirumuskan sebagai berikut.
T total
q=
R TH (1.4)

Melalui definisi ini, dapat ditelusuri bahwa semakin besar nilai resistansi termal,
semakin rendah laju perpindahan kalor, sehingga kemampuan material insulasi akan
semakin baik.
5

b R value
Konsep R value berbeda dengan RTH, walaupun keduanya merupakan konsep
resistansi/ hambatan dari perpindahan kalor. R value memiliki definisi berikut.
T
R value=
q (1.5)
A

dengan satuan oC.m2/W atau oF.ft2.h/Btu.


Semakin tinggi nilai R value yang dimiliki oleh suatu material insulasi, resistansi
terhadap perpindahan kalor akan semakin besar. Akibatnya, laju perpindahan kalor akan
semakin kecil, dan kemampuan material insulasi dalam menahan panas akan semakin
baik.

c Tebal Kritis Insulasi


Pada pipa dengan penampang berbentuk lingkaran, lapisan insulasi dapat dipasang
dengan tujuan menahan panas dengan ilustrasi sebagai berikut. Temperatur insulasi
bagian dalam adalah Ti dan temperatur pada permukaan luar yang terekspos pada
lingkungan konveksi adalah T~.

Gambar 2.3. Ilustrasi Tebal Kritis Insulasi


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Laju perpindahan kalor dari keadaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 L(T i T )
q=
r (1.6)
ln ( o )
ri 1
+
k ro h

dengan suku pertama pada penyebut ruas kanan adalah tahanan termal oleh konduksi
dan suku kedua adalah tahanan termal oleh konveksi.
Selanjutnya, tebal kritis didefinisikan sebagai radius luar dari insulasi yang dapat
memaksimalkan laju perpindahan kalor. Secara matematis, nilai q maksimal tercapai
apabila dq/dro bernilai 0. Dengan mengubah persamaan (1.6) menjadi dq/dro yang
bernilai 0, diperoleh bahwa
k
r o=
h (1.7)
di mana ro adalah tebal kritis insulasi.
Apabila radius luar bernilai kurang dari tebal kritis insulasi, laju perpindahan kalor
dapat meningkat dengan penambahan material insulasi. Namun, apabila radius luar
6

bernilai lebih dari tebal kritis insulasi, laju perpindahan kalor akan berkurang dengan
adanya penambahan material insulasi. Maka, dapat disimpulan bahwa material insulasi
dapat menahan panas dengan baik apabila radius luar dari insulasi memiliki nilai lebih
dari tebal kritisnya.

3. Pada sistem insulasi yang berlapis, bagaimana pengaruh tahanan kontak


termal terhadap kemampuan sistem insulasi tersebut?

Pada dasarnya, tahanan kontak termal merupakan hambatan terhadap perpindahan


kalor yang ditimbulkan oleh adanya kontak antarmaterial.

Gambar 3.1. Ilustrasi Perpindahan Kalor dengan Adanya Tahanan Kontak Termal
(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Menurut Gambar 3.1, dua buah permukaan batang padat dikontakkan dan terdapat
perbedaan temperatur pada kedua permukaan ujung batang sehingga terjadi
perpindahan kalor. Pada kasus ini, diasumsikan bahwa kedua sisi balok terinsulasi
dengan baik sehingga perpindahan kalor hanya terjadi pada arah aksial saja. Walaupun
kedua material dapat memiliki konduktivitas termal yang berbeda, fluks panas yang
melalui kedua material akan bernilai sama.

Gambar 3.2. Profil Temperatur Perpindahan Kalor Dua Material dengan Kontak
(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Berdasarkan profil temperatur, dapat dilihat bahwa terdapat penurunan temperatur
pada kontak antarmaterial. Temperatur yang jatuh ini dikatakan merupakan akibat dari
tahanan kontak termal.
Selanjutnya laju perpindahan kalor yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut.
T 1 T 3
q=
xA 1 xB (2.1)
+ +
k A A hc A k B A

di mana suku 1/hc A disebut sebagai tahanan kontak termal (R c) dan hc disebut sebagai
koefisien kontak.
7

Gambar 3.3. Model Kekasaran Permukaan pada Kontak Antarmaterial


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Tidak ada permukaan real yang halus secara sempurna. Kekasaran dari permukaan
material yang berkontak satu sama lain dapat menimbulkan resistansi kontak termal.
Terdapat dua hal yang berkontribusi pada timbulnya tahanan kontak termal, yaitu (1)
konduksi padat padat pada titik kontak, serta (2) konduksi oleh gas yang terperangkap
pada ruang kosong akibat kontak antarmaterial.
Dua faktor kontribusi tersebut dapat meghasilkan rumusan laju perpindahan kalor
pada sambungan sebagai berikut.
T 2 A T 2 B T T 2 B T 2 A T 2 B
q= +k f A v 2 A =
Lg Lg Lg 1/hc A (2.2)
+
2 k A Ac 2 k B Ac

Pada persamaan (2.2), suku pertama adalah laju perpindahan kalor dengan
memperhatikan faktor konduksi padat padat pada titik kontak di mana L g adalah
ketebalan ruang kosong dan Ac adalah luas kontak. Suku kedua adalah laju perpindahan
kalor oleh fluida yang mengisi ruang kosong di mana Av adalah luas ruang kosong dan
kf adalah konduktivitas termal fluida tersebut.
Sejauh ini, belum terdapat teori maupun korelasi empiris yang dapat memprediksi
tahanan kontak termal dari material. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kondisi
permukaan material yang kompleks pada kehidupan nyata.
Jadi, pada sistem insulasi berlapis, semakin besar nilai tahanan kontak termal,
semakin rendah laju perpindahan kalor, sehingga kemampuan sistem insulasi akan
semakin baik.

4. Perpindahan kalor yang terjadi pada sistem insulasi di dinding/atap rumah


juga dipengaruhi oleh faktor konveksi udara di sekitar rumah, yang akan
menentukan besarnya koefisien perpindahan kalor menyeluruh pada sistem.
Jelaskan pernyataan di atas.

Sistem insulasi menerapkan perpindahan kalor secara konduksi-konveksi yang


sangat sering ditemukan pada aplikasi sehari-hari. Misalnya, energi panas yang hilang
(heat loss) melalui dinding/atap rumah harus dihamburkan ke lingkungan melalui
konveksi. Dalam kasus perpindahan panas gabungan untuk sistem ini, ada dua nilai
koefisien konveksi (h); yaitu koefisien konveksi untuk dinding-udara dalam rumah (h 1)
dan koefisien konveksi untuk dinding-udara luar tabung (h2). Karena adanya
perpindahan panas secara konduksi pada alat tersebut, maka konduktivitas termal (k)
8

dan ketebalan dinding (x) juga harus diperhitungkan. Resistansi termal (R) untuk
sistem konduksi-konveksi merupakan total dari resistansi termal yang disebabkan oleh
masing-masing proses.

Gambar 4.1 Sistem Insulasi Konduksi-Konveksi


(Sumber:http://web.mit.edu/16.unified/www/FALL/thermodynamics/notes/node123.html)

Perpindahan panas konveksi pada fluida A adalah sebagai berikut.


Q
=h1 (T w 1T 1 ) (3.1)
A

Perpindahan panas pada fluida B yang juga disebabkan oleh konveksi adalah
sebagai berikut. Q
=h2 (T 2T w2 ) (3.2)
A

Sedangkan, perpindahan panas konduksi pada dinding yaitu.

Q k
= (T w 2T w1 ) (3.3)
Dengan ketiga persamaan di A atas,
x maka didapatkan hubungan antara besar
perpindahan panas dengan perbedaan temperatur keseluruhan ( T = T2-T1):

T 2 T 1=( T 2T w 2 ) + ( T w 2T w 1) + ( T w1T 1 )

Q Qx Q
T 2 T 1= + +
A h2 A k A h1
(3.4)
Tdengan perbedaahubungan antara besar perpindahan panas oleh n
Berdasarkan sistem perpindahan panas gabungan untuk sistem ini, maka terdapat
Q 1 x 1
istilah koefisien +
(
T 2T 1= perpindahan
A h2 k h1
+ kalor
)
emperatur keseluruhan
menyeluruh yang harus diperhitungkan. Koefisien
perpindahan panas menyeluruh adalah penjumlahan dari seluruh koefisien perpindahan
panas yang meliputi koefisien perpindahan panas konduksi, koefisien perpindahan
panas konveksi dan koefisien perpindahan panas radiasi, tetapi karena perpindahan
panas radiasi tidak begitu berpengaruh, maka koefisien perpindahan panas radiasi tidak
dimasukkan dalam perhitungan.
Besarnya koefisien perpindahan kalor menyeluruh suatu sistem insulasi seperti pada
dinding/atap rumah merupakan kebalikan dari tahanan keseluruhan. Tahanan
keseluruhan terhadap perpindahan kalor ini adalah jumlah semua tahanan perpindahan
9

panas pada sistem insulasi. Tahanan ini meliputi tahanan konveksi fluida dalam
ruangan, tahanan konveksi fluida di luar ruangan, dan tahanan konduksi karena tebal
dinding.

Adapun resistansi termal (Rth) masing-masing proses adalah sebagai berikut.

1 x 1 (3.5)
Rth = + +
h1 A kA h2 A
5.
Gambar 4.2. Resistansi Termal Keseluruhan Sistem Konduksi-Konveksi
(Sumber:http://www.engineersedge.com/heat_transfer/overall_heat_transfer_coef.htm)
Istilah koefisien perpindahan panas keseluruhan (U0) dapat didefinisikan dalam
persamaan.
Q = U0.A0.T (3.6)
Berdasarkan persamaan (3.4), maka didapatkan U0 sebagai berikut.

(3.7)

di mana,
Q = perpindahan panas keseluruhan (W)
A0 = luas permukaan yang dilewati panas (m2)
T = perbedaan temperatur keseluruhan (K)
h1 = koefisien perpindahan kalor konveksi pada dinding bagian dalam (W/mK)
h2 = koefisien perpindahan kalor konveksi pada dinding bagian luar (W/mK)
k = koefisien perpindahan kalor konduksi pada dinding (Wm1K1)
x = ketebalan dinding (m)

5. Bagaimana menentukan besarnya perpindahan kalor pada sistem dengan


penampang yang berbeda?
Hukum Fourier merupakan hukum empiris yang didasarkan hasil observasi. Hukum
ini menyatakan bahwa laju perpindahan kalor berbanding lurus dengan luas penampang
yang dilewati kalor dan perbedaan temperatur sepanjang aliran kalor tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat menuliskan hukum Fourier untuk
konduksi panas sebagai berikut:
T (4.1)
= x
10

T
di mana q ialah laju perpindahan kalor (W atau J/s), x merupakan gradien suhu

ke arah perpindahan kalor (oC/m), konstanta positif k adalah konduktivitas atau


kehantaran termal benda yang dilalui panas tersebut (W/moC), dan A adalah luas
penampang yang tegak lurus arah arus kalor (m2). Tanda minus yang diselipkan pada
persamaan tersebut bertujuan untuk memenuhi hukum kedua termodinamika yang
menyatakan bahwa kalor mengalir ke tempat yang lebih rendah dalam skala suhu.

a) Penerapan hukum Fourier pada bidang datar.


Dalam penerapan hukum Fourier pada suatu dinding datar, jika persamaan tersebut
diintegrasikan maka akan didapatkan
kA
= x (T 2 T 1 ) (4.2)
bilamana konduktivitas termal dianggap tetap, tebal dinding adalah x, sedangkan T1 dan
T2 adalah temperatur muka dinding. Jika konduktivitas berubah menurut hubungan
linear dengan temperatur, seperti k =k o (1+ T ) , maka persamaan aliran kalor
menjadi :
k o A
= [T 2T 1 + ( T 22T 21) ]
x 2 (4.3)

Gambar 5.1. Perpindahan Kalor Satu Dimensi Pada Dinding Komposit


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)

Jika terdapat lebih dari satu material pada dinding dan membentuk dinding
berlapis, maka laju perpindahan kalor adalah

T 2T 1 T 3T 2 T 4 T
3 (4.4)
kA kB kC
= xA = xB = xC
11

Penyelesaian persamaan tersebut secara simultan menghasilkan


T 1 T 4
q= (4.5)
x A xB xC
+ +
k A A k B A kC A

Hukum Fourier dapat dipandang dari sudut konsepsional lainnya. Laju perpindahan
kalor dapat dipandang sebagai aliran; perpaduan konduktivitas termal, tebal bahan, dan
luas merupakan tahanan terhadap aliran; suhu adalah fungsi potensial dari aliran,
sehingga persamaan Fourier dapat dituliskan sebagai

beda potensialtermal T menyeluruh (4.6)


Aliran kalor= q=
tahanan termal atau R th

dengan Rth adalah tahanan termal dari berbagai macam bahan tersebut (oC/W atau
o
F.h/Btu)

b) Penerapan hukum Fourier pada sistem radial silinder.


Suatu silinder termasuk ke dalam sistem satu dimensi bilamana suhu benda hanya
merupakan fungsi jarak radial dan tidak tergantung sudut azimuth atau letak pada
poros.

Gambar 5.2. Perpindahan Kalor Satu Dimensi Melalui Silinder Bolong


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer Tenth Edition)

Untuk silinder yang panjangnya sangat besar dibandingkan diameternya, dapat


diandaikan bahwa aliran panas berlangsung menurut arah radial, sehingga koordinat
ruang yang kita perlukan untuk menentukan sistem tersebut hanya r. Pada silinder,
digunakan juga Hukum Fourier dengan luas bidang aliran kalor dalam sistem
silinder ini, adalah:
A r =2 rL (4.7)
12

Sehingga hukum Fourier menjadi:


dT
q r=k Ar
dr (4.8)

(4.9)
dT
q r=2 krL
dr

dengan kondisi batas


T = Ti pada r = ri
T = To pada r = ro
dengan kondisi batas tersebut, persamaan aliran panas untuk sistem silinder adalah

2 kL ( T iT o ) (4.10)
q=
ln ( r o /r i )

dan tahanan termalnya adalah:


ri
r o / (4.11)



ln
Rth =

Gambar 5.3. Perpindahan Kalor Satu Dimensi Pada Silinder Berlapis


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Konsep ini dapat juga digunakan untuk dinding lapis rangkap berbentuk silinder,
seperti halnya dengan dinding datar. Untuk sistem tiga lapis, persamaan aliran panasnya
adalah :
(4.12)
13

r1
r 2 / /k A +

r2
r3
r 4 //k C



r 3 / /k B + ln


ln
2 L(T 1 T 4)
q=

c) Penerapan hukum Fourier pada sistem radial bola.


Sistem berbentuk bola juga dapat ditangani sebagai satu dimensi apabila suhu
merupakan fungsi jari jari saja. Pada gambar, suatu bola berongga dengan jari jari
dalam ri, jari jari luar ro, dan panjang L dialiri kalor sebesar q. Suhu permukaan
dalamnya adalah Ti dan suhu permukaan luarnya adalah To.

Gambar 5.4. Perpindahan Kalor Satu Dimensi Pada Bola Berongga dan Berlapis
(Sumber: http://www.tekim.undip.ac.id/images/download/perpindahan_panas.pdf)

Luas bidang aliran kalor dalam sistem bola adalah


A r =4 r 2
(4.13)

sehingga hukum Fourier menjadi


dT
q=k 4 r 2
dr (4.14)

Kondisi batas untuk sistem ini adalah


T = Ti pada r = ri
14

T = To pada r = ro
dengan kondisi batas di atas, maka persamaan aliran kalor untuk sistem bola, adalah:
4 k (T iT o)
q= (4.15)
1/ r i1 /r o

Untuk dinding lapis rangkap berbentuk bola, seperti pada gambar, persamaan
Fourier menjadi:
r 1 1/r 2
1 / (4.16)

r 2 1/r 3
1 /

r 3 1/r 4
1 /





4 (T 1T 4 )
q=

6. Bagaimana pengaruh keberadaan sumber kalor di dalam sistem terhadap laju


perpindahan kalor yang dihasilkan?

Gambar
Pada beberapa proses 6.1. Pelat Datar
perpindahan kalor,dengan Sumber
misalnya pada Kalor
reaktor nuklir, konduktor
(Sumber:
listrik, maupun sistem Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
reaksi kimia, terdapat situasi di mana kalor dibangkitkan dari
dalam. Untuk sistem tunak yang disertai adanya kalor yang dibangkitkan, persamaan
laju perpindahan kalornya akan menjadi

(5.1)

(5.2)
15

Adanya perubahan pada laju perpindahan kalor akibat kehadiran sumber kalor di
dalam sistem, persamaan diferensial untuk tempertaur menjadi

(5.3)

Setelah diintegralkan dua kali didapatkan persamaan


(5.4)

Untuk boundary condition nya dikondisikan T(0) = T(L) = Tw. Substitusikan kondisi
L
a=
batas terhadap persamaan di atas sehingga menghasilkan b = Tw dan 2k .

Sehingga persamaan distribusi temperaturnya menjadi

(5.5)

Persamaan distribusi temperatur pada pelat datar dapat dilihat dengan bentuk parabola.

Grafik 1.1. Distribusi Temperatur untuk Pelat Datar dengan Distribusi


Sumber Kalor
(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)

Laju perpindahan kalor pada x = 0 didapatkan dengan mendiferensiasikan disribusi


temperaturnya,
(5.6)
16

Rumus ini adalah setengah dari total kalor yang tergenerasi dalam pelat datar. Pada x=L
akan memiliki nilai laju perpindahan kalor yang sama dengan arah yang berlawanan.

7. Jelaskan metode dalam menyelesaikan permasalahan perpindahan kalor yang


mengasumsikan arah aliran kalor 2 dimensi!
Konduksi terjadi ketika adanya gradien suhu melalui suatu padatan atau fluida
stasioner. Secara umum, konduksi dibagi menjadi 2 jenis, yakni konduksi tunak dan
konduksi tak tunak. Konduksi tunak adalah mekanisme perpindahan kalor secara
konduksi di mana tidak terdapat perubahan variabel tertentu terhadap perubahan waktu.
Untuk menyelesaikan masalah konduksi tunak, dapat digunakan metode analitik,
metode grafik, dan metode numerik.
a) Analisis Matematik
Pada metode ini, persamaan Laplace diselesaikan dengan cara pemisahan variabel
dan kunci dari metode ini adalah bahwa persamaan diferensial dapat dianggap
mempunyai bentuk hasil perkalian :
T = XY di mana X = X(x) dan Y = Y(y)
Untuk menetapkan bentuk fungsi X dan Y, diterapkan kondisi batas. Sebagai
contoh, pada plat siku-empat yang memiliki tiga sisi plat berada pada suhu tetap T1 dan
satu sisi lagi berada pada distribusi gelombang sinus.
Kondisi batasnya :
T T1
pada y = 0
T T1
pada x = 0
T T1
pada x = W

pada y = H

Gambar 7.1. Isoterm dan Garis Aliran Kalor Pada Plat Siku Empat
(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Sehingga didapat penyelesaian akhirnya yaitu :
sinh y / W x
T Tm sin T1 (6.1)
sinh H / W W

Sekarang apabila kita perhatikan perangkat kondisi batas berikut:


T T1
pada y = 0
T T1
pada x = 0
T T1
pada x = W
T = T2 pada y = H
17

Dengan menggunakan kondisi batas tersebut, penyelesaiannya persamaan tersebut


menjadi suatu bentuk dari deret sinus Fourier. Maka bentuk akhir dari persamaan
tersebut menjadi :
T T1 2 (1) n 1 1 nx sinh( ny / W )
sin (6.2)
T2 T1 n 1 n W sinh( nH / W )

b) Metode Grafik

Gambar 7.2. Bagan Menunjukkan Unsur untuk Analisis Bujur Sangkar Kurvlinier
Aliran Kalor 2 Dimensi
(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)

Perhatikan sistem dua dimensi sebagaimana terlihat pada gambar 7.2, tampak
permukaan bagian dalam berada pada suhu T1, dan bagian luar pada T2. Kita ingin
menghitung perpindahan kalor. Garis-garis aliran kalor dan isoterm membentuk berkas-
berkas garis lengkung kurvilinear sebagaimana terlihat pada gambar 7.2. Aliran kalor
melintasi bagian-bagian kurvilinear ini diberikan oleh hukum Fourier, dengan
mengandaikan satu satuan kedalaman bahan:
T
q k x (1) (6.3)
y

Aliran kalor ini sama untuk semua bagian dalam jalur aliran kalor, dan aliran kalor
total ialah jumlah dari aliran kalor dalam semua jalur. Jika bahan ini dibuat sedemikian
x y
rupa, sehingga , maka aliran kalor akan sebanding dengan T melintas unsur
itu. Selanjutnya, karena aliran kalor harus konstan, maka T melintas masing-masing
unsur harus pula sama dalam jalur aliran-kalor yang sama. Jadi, T melintas unsur
diberikan oleh:
(6.4)
Tmenyeluruh
T
N
di mana N adalah banyaknya jenjang suhu antara permukaan dalam dan luar.
Selanjutnya, aliran kalor melalui setiap jalur harus sama karena tidak tergantung dari
18

dimensi x dan y, kalau keduanya ini dibuat sama. Jadi, perpindahan kalor total dapat
ditulis:
M M
q k Tmenyeluruh k (T2 T1 ) (6.5)
N N

di mana M adalah jumlah jalur aliran kalor. Sehingga, untuk menghittung perpindahan
kalor, kita hanya perlu menggambarkan bujursangkar kurvilinear ini, dan menghitung
banyaknya tambahan suhu dan jalur aliran kalor. Namun, kita perlu teliti dalam
menggambarkannya, supaya x y, daan garis-garis tegak lurus.
Ketelitian metode ini semata-mata bergantung dari ketelitian menggambarkan bujur
sangkar kurvilinear ini, dan menghitung banyaknya tambahan suhu dan jalur aliran
kalor. Namun, sketsa yang kasar pun bisa membantu kita dalam memperkirakan suhu
yang terdapat di dalam benda. Metode grafik yang disajikan ini, terutama hanyalah
mempunyai nilai sejarah saja. Namun, dapat menunjukkan hubungan antar jalur aliran
kalor dan isoterm. Metode ini banyak berguna dalam menyelesaikan soal-soal praktis.

c) Metode Numerik
Bila situasi yang dihadapi dibatasi kondisi geometri yang sedemikian rupa,
sehingga penyelesaian tersebut semakin kompleks dan sulit, maka pendekatan yang
tepat adalah pendekatan numerik dengan dasar sebagai berikut.
Terdapat benda dua dimensi yang terbagi atas sejumlah increment besarnya
(arah x dan y). Makin kecil increment-nya maka pendekatan terhadap distribusi
suhu juga semakin baik.
Pada kondisi itu tersebut diberikan titik-titik node, dengan m sebagai
pertambahan arah x, sedangkan n sebagai pertambahan arah y.
Penentuan suhu tiap titik digunakan persamaan iterasi Gauss-Siedel (tabel
lampiran) sebagai kondisi penentu.
Secara umum, dengan menggunakan persamaan-persamaan pada tabel
lampiran, didapatkan aproksimasi beda berhingga sebagai berikut:
Tm 1, n Tm 1, n 2Tm ,n Tm ,n 1 Tm , n 1 2Tm, n (6.6)
0 (27)
( x ) 2 ( y ) 2

jika x = y Tm 1, n Tm1, n Tm, n 1 Tm ,n 1 4Tm ,n = 0 (28) (6.7)

Jika ada unsur pembangkitan kalor maka persamaannya menjadi


Tm1,n Tm 1,n 2Tm ,n Tm ,n 1 Tm ,n 1 2Tm ,n q
0 (29) (6.8)
( x ) 2 ( y ) 2 k
q (x) 2
jika x = y Tm 1,n Tm 1,n Tm ,n 1 Tm ,n 1 4Tm ,n =0 (6.9)
(30)
k

Jika benda padat berada dengan perumukaan datar dalam kondisi batas konveksi
dan jika x = y, maka suhu permukaan harus dihitung dengan cara yang berbeda:
19

hx hx 1
2
Tm,n T 2Tm 1,n Tm,n 1 Tm,n 1 0 (31) (6.10)
k k 2
Jika benda padat berada dalam kondisi batas konveksi pada bagian sudut maka
y Tm,n Tm 1,n x Tm ,n Tm ,n 1 x y
k k h (Tm,n T ) h (Tm, n T ) (6.11)
(32)
2 x 2 y 2 2
hx hx
jika x = y 2Tm ,n 1 2 T Tm 1,n Tm ,n 1 0 (6.12)
(33)
k k

8. Apakah yang dimaksud dengan sistem tak tunak dalam perpindahan kalor?
Bagaimana metode penyelesaian dalam sistem perpindahan kalor tak tunak
tersebut?
a) Apakah yang dimaksud dengan sistem tak tunak dalam perpindahan kalor?
Pada konduksi tak tunak, temperatur merupakan fungsi dari waktu dan jarak. Atau
dengan kata lain, perpindahan kalor konduksi tunak terjadi jika suhu tidak berubah
terhadap waktu dan konduksi tunak terjadi jika suhunya berubah terhadap waktu,
sehingga pada persamaan perpindahan kalor konduksi tak tunak terdapat suku
T / t . Persamaan perpindahan kalor konduksi tak tunak dapat dituliskan secara

umum
(7.1)

di mana merupakan difusifitas termal.


Untuk keadaan tidak tunak atau terdapat sumber kalor di dalam benda, maka perlu
dibuat neraca energi sebagai berikut.

Sehingga persamaan konduksi tak tunak satu dimensi menjadi

(7.2)
20

Untuk yang alirannya lebih dari satu dimensi, hanya perlu memperhatikan kalor
yang dihantarkan ke dalam dan keluar satuan volume itu dalam ketiga arah koordinat.
Neraca energi di sini menghasilkan

(7.3)

b) Bagaimana metode penyelesaian dalam sistem perpindahan kalor tak tunak dengan
pendekatan kapasitas kalor tergabung?
Konsep Dasar Pendekatan Kapasitas Kalor Tergabung
Pada perpindahan kalor secara konduksi dalam keadaan transien/ tak tunak, variabel
t (waktu) berkontribusi dalam persamaan laju inventarisasi untuk kalor. Untuk
mengetahui pengaruh waktu terhadap distribusi temperatur dari benda padat dalam
keadan transien, perlu dilakukan penyelesaian persamaan yang melibatkan variabel t.
Namun, persamaan yang terbentuk pada umumnya kompleks untuk diselesaikan. Oleh
karena itu, penyederhanaan perlu dilakukan, yang salah satunya adalah dengan
pendekatan kapasitas kalor tergabung (lumped-heat-capacity method).
Pendekatan kapasitas kalor tergabung menganggap sistem memiliki temperatur
yang seragam. Sistem ini merupakan sistem ideal yang tidak terjadi pada kehidupan
nyata karena gradien temperatur akan terjadi pada material ketika terjadi perpindahan
panas secara konduksi. Semakin kecil ukuran dari material, asumsi keseragaman
temperatur semakin realistis.
Apabila terdapat sistem berupa bongkahan logam padat dengan temperatur tinggi
yang dimasukkan ke dalam wadah berisi air dingin, pendekatan kapasitas kalor
tergabung mengasumsikan temperatur bernilai sama pada semua bagian padatan.
Tahanan perpindahan panas yang terjadi pada sistem ini meliputi:
1 Resistansi internal, yaitu resistansi oleh konduksi dalam material; dan
2 Resistansi eksternal, yaitu resistansi antara padatan dan lingkungannya.
Distribusi temperatur yang seragam pada padatan dapat terjadi apabila resistansi
terhadap perpindahan panas oleh konduksi jauh lebih kecil dibandingkan dengan
resistansi antara padatan dan lingkungannya, atau yang berfokus pada resistansi akibat
konveksi pada permukaan padatan. Resistansi konveksi yang besar menyebabkan
gradien temperatur terjadi pada lapisan permukaan padatan sementara gradien
temperatur di dalam padatan bernilai mendekati nol. Jadi, pendekatan kapasitas kalor
tergabung juga mengasumsikan bahwa resistansi internal jauh lebih kecil dibandingkan
resistansi eksternal.
Perumusan Pendekatan Kapasitas Kalor Tergabung
21

Sebelum Gambar
dilakukan
8.1.perumusan, dilakukan
Model Pendekatan penentuan
Kapasitas besaran
Kalor yang berlaku dalam
Tergabung
persamaan, yang meliputi:
(Sumber: www.civilengineeringhandbook.tk)
t = waktu
T
= temperatur fluida
T0
= temperatur awal padatan

c = kalor spesifik atau kalor jenis padatan


= densitas padatan
V = volume padatan
h = koefisien perpindahan panas konveksi
A = luas permukaan padatan
E = laju alir energi masuk sistem
Eout
= laju alir energi keluar sistem
Eg
= laju generasi energi dalam sistem
Est
= laju kenaikan energi yang tersimpan dalam sistem
Perumusan dimulai dari konservasi energi sebagai berikut.
E Eout + Eg =Est
(7.4)
E dan Eg
bernilai 0 sehingga diperoleh
Eout =E st (7.5)

dT
hA ( T T ) =cV
dt
(7.6)
T =T 0
Dengan kondisi batas pada t = 0, mengintegralkan persamaan (7.6) menjadi
hA
T T ( )t
=e cV (7.7)
T 0T
22

Persamaan (7.7) merupakan bentuk penyederhanaan persamaan perpindahan kalor


tak tunak dengan pendekatan kapasitas kalro tergabung. Persamaan tersebut dapat
digunakan untuk menentukan waktu yang dibutuhkan padatan mencapai suatu
temperatur T, atau sebaliknya menentukan temperatur yang dicapai padatan pada
rentang waktu t.

Kriteria/ Persyaratan Pendekatan Kapasitas Kalor Tergabung


Alasan utama penggunaan pendekatan kapasitas kalor tergabung dalam
menyederhanakan persoalan transien, yaitu karena pendekatan ini adalah yang paling
sederhana. Selanjutnya, penentuan kondisi di mana pendekatan ini dapat berlaku
beserta akurasinya menjadi suatu hal yang penting.
Andaikan suatu sistem berupa pelat datar yang memiliki ketebalan L, luas area A,
dan konduktivitas termal k, dengan perpindahan panas konduksi keadaan tunak. Satu
T s1
sisi dipertahankan suhunya sebesar dan sisi lain terekspos pada fluida dengan
T T s1 T s2
temperatur < . Temperatur sisi yang lain berada pada nilai . Dengan
asumsi keadaan tunak, diperoleh neraca energi sebagai berikut.
kA (7.8)
( T T s 2 )=hA ( T s2 T )
L s1

Persamaan tersebut diubah sebagai berikut.


L
T s 1T s 2 kA R cond hL
= = = =Bi
T s 2T 1 R conv k (7.9)
hA
hL
Besararan k adalah parameter tak berdimensi yang dikenal dengan Angka Biot

(Biot Number). Angka Biot memberi informasi penurunan temperatur pada padatan
relatif terhadap perbedaan temperatur antara permukaan dan fluida. Melalui persamaan
(7.9), dapat dijabarkan hal-hal ini.
T
T s 2T
- Untuk Bi << 1, ( s 1T s 2) << ), sehingga asumsi temperatur

seragam pada padatan dapat terpenuhi.


- Untuk Bi << 1, R konduksi << R konveksi, sehingga asumsi resistansi internal
jauh lebih kecil dibanding resistansi eksternal juga terpenuhi.
Analisis keadaan transien konduksi dengan pendekatan kapasitas kalor tergabung
menghasilkan penyimpangan sekitar 5% ketika nilai Bi < 0,1 dengan
hs
Bi=
k (7.10)
23

di mana h adalah koefisien perpindahan panas konveksi, k adalah konduktivitas termal


V
s=
material sistem, serta s adalah panjang karakteristik di mana A .

Nilai Bi yang diterima untuk perhitungan dengan pendekatan kapasitas kalor


tergabung adalah Bi < 0,1. Maka, dalam menganalisis segala persoalan transien dengan
pendekatan ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan Bi berada
pada nilai yang seharusnya, yaitu di bawah nilai 0,1.

c) Bagaimana metode penyelesaian dalam sistem perpindahan kalor tak tunak dengan
pendekatan aliran kalor transien?
Pendekatan Aliran Kalor Transien
Dalam proses pemanasan atau pendinginan yang bersifat transien yang berlangsung
sebelum tercapainya keseimbangan, analisis perlu disesuaikan untuk memperhitungkan
perubahan energi-dalam (internal energy) benda menurut waktu. Demikian pula syarat-
syarat batas (boundary conditions) perlu disesuaikan agar cocok dengan situasi fisis
yang terdapat dalam masalah perpindahan-kalor tak-tunak (unsteady-state heat
transfer).

Gambar 8.2. Nomenklatur untuk Aliran Transien dalam Benda Padat Semi-Tak
Berhingga pada Gambar 8.2, yang berada pada
Perhatikan benda padat semi tak-terhingga
suatu suhu awal Ti(Sumber: Holman, J.P.
. Suhu permukaan Heat Transfer
tiba-tiba 10th
diturunkan Edition)
hingga menjadi T0. Kita akan
membuat persamaan yang menunjukkan distribusi suhu pada plat itu sebagai fungsi
waktu. Distribusi ini selanjutnya dapat kita gunakan untuk menghitung aliran kalor
pada setiap posisi x pada benda padat itu sebagai fungsi waktu. Dengan mengandalkan
sifat-sifat tetap, persamaan diferensial untuk distribusi suhu T(x, ) ialah
2 T 1 T
=
x2 (7.11)
Kondisi awal dan kondisi batas adalah
T (x,0) = Ti
T (0, ) = T 0 untuk >0
Soal ini dapat dipecahkan dengan teknik transform-Laplace. Penyelesaiannya
sebagai
24

T ( x , ) T 0 x
=erf
T iT 0 2
(7.12)
di mana fungsi galat (kesalahan) Gauss didefinisikan sebagai
x/2
x 2
erf =
2
e2 d
(7.13)
0

Perlu diingat bahwa dalam definisi ini adalah suatu variabel boneka (dummy
variable) dan integralnya merupakan suatu fungsi dari limit atasnya. Bila definisi
fungsi galat itu disisipkan pada Persamaan (2), persamaan untuk distribusi suhu
menjadi
T ( x , ) T 0 2 x /2 2
T iT 0
=
0
e d )
(7.14)
Aliran kalor pada posisi x didapatkan dari
T (7.15)
q x =kA
x

Dengan melaksanakan persamaan diferensial pada Persamaan (7.15) didapatkan


2
x
4 T iT 0 x 2
T 2 x /4

x
=( T iT 0 )


0
(
x 2 )

e

(7.16)
Pada permukaan, aliran kalor adalah
kA ( T 0T i ) (7.17)
q 0=

Fluks kalor permukaan ditentukan dengan mengevaluasi gradien suhu pada x = 0
dari Persamaan (7.17). Grafik distribusi suhu untuk benda padat semi-takberhingga
diberikan pada Grafik 1.2. Ringkasan daftar nilai-nilai fungsi kesalahan diberikan pada
Lampiran.

Grafik 1.2. Distribusi Suhu Pada Benda Padat Semi-Tak-Berhingga


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
25

Fluks kalor tetap


Untuk distribusi suhu awal seragam seperti di atas, dapat pula kita berikan fluks
kalor awal permukaan yang tetap sebesar q0 / A pada permukaan. Kondisi awal dan
kondisi batas pada Persamaan (7.11) menjadi
q0
T ( x ,0 )=T i
A
=k
T
]
x x=0
untuk >0

Penyelesaian untuk kasus ini

2 q 0 / x 2 q
T T i =
kA ( ) (
exp
4
0 1erf
kA
x
2 ) (7.18)

d) Bagaimana metode penyelesaian dalam sistem perpindahan kalor tak tunak dengan
pendekatan kondisi batas konveksi?
Metode Kondisi Batas Konveksi
Salah satu cara untuk menganalisis perpindahan kalor transien adalah dengan
penyelesaian yang diberikan dalam bentuk grafik. Untuk mendapatkan grafik yang
diinginkan maka ada beberapa hal yang harus dipahami yaitu kondisi batas konveksi,
angka biot, angka fourier, dan bagan heisler.
Masalah konduksi kalor transien berhubungan erat dengan kondisi batas konveksi
pada permukaan benda padat. Kondisi batas untuk persamaan diferensial itu tentulah
harus disesuaikan untuk dapat memperhitungkan perpindahan kalor konveksi pada
permukaan. Untuk persoalan benda padat semi-tak berhingga, hal tersebut dapat
dinyatakan dengan:
Kalor yang dikonveksi ke permukaan = kalor yang dikonduksi di permukaan

hA (T T ) x=0 =kA
T
x ]
x =0
(7.19)

Penyelesaian persamaan tersebut telah dipecahkan oleh seorang ilmuwan bernama


Schneider. Hasilnya adalah
T T i
T T i
=1erf X exp
[ (
hx h 2
k
+ 2
k )] [
x 1erf X +
(h
k )]
(7.20)

x
di mana X = 2
Ti = suhu awal benda padat
T = suhu lingkungan
Penyelesaian itu disajikan dalam bentuk grafik dengan variabel sebagai berikut:
T = suhu lingkungan konveksi
T0 = suhu pusat untuk x = 0 dan r = 0
Ti = suhu awal yang seragam pada titik waktu nol
26

Grafik 1.3. Distribusi Suhu pada Benda Padat Semi-Tak-Berhingga dengan Kondisi
Batas Konveksi
(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Penyelesaian tersebut juga telah dikembangkan untuk berbagai bentuk geometri
lain. Kasus yang terpenting adalah yang berkaitan dengan plat yang ketebalannya kecil
sekali dibandingkan dengan dimensi lainnya, silnder yang diameternya kecil
dibandingkan dengan panjangnya, dan bola. Hasil analisis untuk bentuk-bentuk
geometri ini disajikan dalam bentuk grafik oleh Heisler.

Gambar 8.3. Benda Padat Satu Dimensi (a) Plat Tak-Berhingga; (b) Silinder Tak-
Berhingga; (c) Bola.
(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Dalam bagan-bagan yang terdapat beberapa variabel seperti berikut:
= T(x,) - T atau T(r,) T
i = Ti - T
0 = T0 - T
27

Jika suhu garis pusat yang dicari, maka hanya satu bagan yang diperlukan untuk
mendapatkan nilai o dan To. Untuk menentukan suhu di luar pusat, diperlukan dua
bagan untuk menghitung hasil
(7.21)

Grafik 1.4. Suhu Bidang Tengah Plat Tak-Berhingga untuk 0<Fo<4.


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)

Grafik 1.5. Suhu Sebagai Fungsi Suhu Pusat Pada Plat Tak-Berhingga.
(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
28

Rugi kalor untuk plat tak berhingga diberikan pada gambar di bawah ini, di mana
Q0 menunjukkan isi energi dalam awal benda, dengan suhu lingkungan sebagai dasar
rujukan:
(7.22)
Q o=cV (T iT )=cV i

Q adalah rugi kalor yang sebenarnya oleh benda itu pada waktu .

Grafik 1.6. Rugi Kalor Tak Berdimensi Pada Plat Tak-Berhingga


(Sumber: Holman, J.P. Heat Transfer 10th Edition)
Bagan-bagan Heisler hanya dapat digunakan jika angka Fourier lebih besar dari 0,2.

Fo= 2 >0,2 (7.23)
s

Penggunaan bagan ini terbatas pada kasus di mana


Tidak ada sumber panas internal;
Difusivitas termal dari benda bernilai konstan;
Permasalahan dapat dianggap sebagai satu dimensi;
Temperatur awal benda sama (uniform);
Sistem dikenakan perubahan temperatur dari lingkungan (atau dari
permukaan ketika 1/h = 0).
Untuk nilai-nilai angka Fourier yang lebih rendah dari 0,2, perhitungan dapat
dilakukan dengan menggunakan penyelesaian deret Heisler.

2.1.2. Tugas B
1. A furnace well is to be designed to transmit a maximum heat flux of 200 Btu/h.ft 3
of wall area. The inside and outside wall temperature are to be 2000 oF and 300oF,
respectively. Determine the most economical arrangement of bricks measuring 9
by 4 by 3 in. If they are made from two materials, one with a k of 0.44
Btu/h.ft.oF and a maximum usable temperature of 1500 oF and other with a k of
29

0.94 Btu/h.ft.oF and a maximum temperature of 2200 oF. Bricks made of each
material cost the same amount and may be laid in any manner.
Diketahui:
Untuk material 1 : k = 0,44 Btu/h ft 0F dan Tmax = 1500 0F
Untuk material 2 : k = 0,94 Btu/h ft 0F dan Tmax = 2200 0F
2
Q = 200 Btu/h ft
Batu bata tipe 2 memiliki nilai k lebih besar daripada tipe 1 (k2 > k1). Maka, batu
bata tipe 2 ditempatkan di dalam supaya dapat menahan suhu 2000oF.

Dengan asumsi tujuan adalah insulasi, maka susunan paling ekonomis adalah
susunan dengansebanyak-banyaknya erial dengan konduktivitas rendah. Untuk itu
harus dicari ketebalan minimum dari material 2 yaitu ketika suhu di sisi luar material
dalah 1500 0F, yaitu suhu dimana material 1 mulai dapat digunakan.
q = -k T/L
200 = -0,94 (1500 2000) / L
L = 2,35 ft
= 28,2 in
Karena ketebalan dari susunan bata tidak bisa tepat 28,2 in, maka dicari nilai
terdekat yang lebih besar dari ketebalan minimum yang bisa dihasillkan dari susunan
bata, yaitu 28,5 in. Setelah itu dihitug temperatur sisi luar material 2 untuk memperoleh
temperatur sisi dalam material
200 = -0,94 (T- 2000) / 2,375
T = 1494,7 0F
Dari nilai tersebut, dapat diperoleh ketebalan dari material 1 sebagai berikut:
200 = -0,44 (300 1494,7)/ L
L = 2,63 ft = 31, 56 in
Dengan asumsi yang sama seperti pada penentuan ketebalan sesungguhnya material
2, dapat diperoleh ketebalan sesungguhnya material 1, yaitu sebesar 32 in. Sehingga,
jumlah lapisan bata 1 yang dibutuhkan adalah
28 in/3 in = 9,4 10 lapisan
Jumlah lapisan bata 2 yang dibutuhkan adalah
31,56 in/3 in = 10,6 11 lapisan

2. A 32.4-cm-OD pipe, 145-cm long, is buried with its centerline 1.2 m below the
surface of the ground. The ground surface is at 280 K and the mean thermal
conductivity of the soil is 0.66W/m.K. If the pipe surface is at 370K, what is the
heat loss per day from the pipe?
30

Diketahui:
OD = 32.4 cm = 0.324 m
r = 0.162 m
L = 145 cm = 1.45 m
D = 1.2 m
Menghitung shape factor dari kasus ini dengan menggunakan bantuan tabel 3.1
yang terdapat di buku J.P Holman edisi 6.

Karena D > 3r dan L >> r maka,


2 (1.45)
2 L =4.549 4.55
S = ln ( D /r ) = ln ( 1.2 )
0.162

Masukkan dalam rumus heat loss,

q=k S T =( 0.66 ) ( 4.55 )( 370280 )=270.27 W

1 W = 3.41 Btu/jam,
3.41 Btu/ jam
270.27 W =921.62 Btu / jam
1W

Btu 24 jam
921.62 =22118.88 Btu /hari
jam 1 hari

3. It is known that oranges can be exposed to freezing temperatures for short


periods of time without sustaining serious damage. As a representative case,
consider a 0.10-m-diameter orange, originally at a uniform temperature of 5 oF,
suddenly exposed to surrounding air at -5oF. For a surface coefficient, between
the air and orange surface, of 15 W/m 2.K, how long will it take for the surface of
the orange to reach 0oC?
3
Properties of the orange are the following: = 940kg/ m ; k = 0,47 W/mK, Cp
= 3,8kJ/kgK
Diketahui:
D = 0,1 m r0 = 0,05 m
T0 = 5C
T = -5C
T = 0C
h = 15W/m.K
31

3
= 940kg/ m
k = 0,47 W/mK

Cp = 3.8kJ/kgK = 3800 J/kgK
Memeriksa syarat rumus lumped-heat capacity dapat digunakan apabila:
Bi < 0,1
h(V / A )
<0,1
k

0,05


3

= 0,05 < 0,1


(15)(4 /3)( )

= 0,5319< 0,1 (tidak sesuai)

Oleh karena bilangan Biot yang diperoleh > 0,1 maka persamaan lumped-heat
capacity tidak dapat digunakan. Sehingga penyelesaian soal menggunakan distributed
parameter.
t k .t ( 0,47 ) t
Fo= 2 = 105 t
r0 = . cp . r 0 2
(940)(3800)(0,05)2 = 5,26 x

Kemudian menggunakan grafik 4.9 (Center temperature for a sphere of radius r 0)


pada buku Heat Transfer - J.P Holman dengan data:
0 T T 0(5 ) k 0,47
= = = = 0,5 =
1 T 0T 5(5 ) hr 0 15 (0,05) =

0,627

maka bilangan Fourier yang didapatkan yaitu Fo 0,31 sehingga


Fo = 5,26 x 10-5 t
0,31 = 5,26 x 10-5 t
1 menit 1 jam
t = 5893,5 sekon . 60 s = 98,22 menit . 60 menit = 1,63 jam

Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan jeruk untuk mencapai suhu 0 oC yaitu
sekitar 1,63 jam.

4. This problem involves using heat-transfer principles as a guide for cooking a


lamb roast. The roast is to be modeled as a cylinder, having its length and
32

diameter equal to each other, with properties being those of water. The roast
weight 2.25 kg. Properly cooked, every portion of the meat should attain a
minimum temperature of 95oC. If the meat is initially at 5 oC and the oven
temperature is 190oC, with a surface coefficient of 15 W/m 2.K, what is the
minimum cooking time required?
Diketahui :
D
D silinder = L silinder k air 5 oC = 0,575 W/m.K
m = 2,25 kg h = 15 W/m2.K
T x = 95oC
( , ) = 1000 kg/m3
o
Ti = 5 C =0,137 x 105 m2 /s L=D
T0
= 190oC

Mencari nilai r0
Persamaan (1) = (2)
m m
= V= (1)
V m
=2 r 0

L = D L = 2r 2,25 kg 3
2 =2 ( 3,14 ) r 0
V = r 0 L 1000 kg /m 3

V = r 02 ( 2r 0 ) =2 r 03 (2)


2,25 kg
r 0= 3
kg
1000 3 . 2. 3,14
m

Mencari Angka Biot


hr
Bi= o
k

15 W /m2 K 0,071m
Bi=
0,575 mW / K
Bi=1,852

Karena Bi > 0,1, maka penyelesaian soal ini tidak dapat menggunakan metode
kapasitas kalor tergabung.
Penyelesaian soal juga tidak dapat menggunakan metode kondisi batas konveksi
karena roast bukan merupakan silinder tak-berhingga. Oleh karena itu, digunakanlah
metode aliran kalor transien dalam benda padat.
Persamaan distribusi suhu pada aliran kalor transien
33

T (x , )T o x
=erf
T iT o 2 a

95190 x
=erf
5190 2 a

x
erf =0,514
2 a

Menggunakan tabel fungsi galat pada lampiran A buku Holman, Heat transfer.
x x
erf
2 a 2 a

0,48 0,503
0,50 0,521
x x
erf =0,514
Melakukan interpolasi untuk mendapatkan nilai 2 a pada 2 a

x
0, 48
2 a 0,5140,503
=
0,500,48 0,5210,503

x
=0,492
2 a

0,071
=0,492
2 0,137 x 105

=15338,23 s atau 4,3 jam

Jadi, waktu minimum yang digunakan untuk memasak daging tersebut adalah sekitar
4,3 jam.
34

Anda mungkin juga menyukai