Hutan mangrove di Indonesia sekitar 8,6 juta hektar, terdiri atas 3,8 juta hektar di dalam
kawasan hutan dan 4,8 juta hektar di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan mangrove di
dalam kawasan hutan sekitar 1,7 juta hektar atau 44,73 persen dan kerusakan di luar kawasan
hutan 4,2 juta hektar atau 87,50 persen, antara tahun 1982-1993 telah terjadi pengurangan
hutan mangrove seluas 513.670 ha atau 46.697 ha per tahunnya (Gunawan dan Anwar, 2005).
Menurut Asian Wetland Bureau luas hutan mangrove Indonesia hanya tersisa 2,5 juta ha, dan
untuk pemulihan fungsi hutan mangrove diperlukan rehabilitasi atau restorasi.
Rehabilitasi hutan mangrove dengan cara menanam selama ini sangat tidak
sebanding dengan laju perusakannya yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk
merehabilitasinya. Kerusakan mangrove juga disebabkan oleh peningkatan penggunaan
lahan pantai serta pengelolaan ekosistem mangrove yang belum memperhatikan aspek
kelestariannya, dalam hal ini sekitar 22 persen penduduk Indonesia dengan tingkat
pertumbuhan 3,6 persen bermukim di kawasan pantai dan sekitar 50 persen ekonomi
mereka tergantung pada kemampuan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada
di wilayah pantai, termasuk hutan mangrove. Peningkatan jumlah penduduk juga
menstimulir perubahan hutan mangrove menjadi tambak, terlebih pada saat harga ikan
dan udang tinggi. Di Delta Mahakam, pertumbuhan luas tambak meningkat 50 kali lipat
dalam waktu 10 tahun.
Kecenderungan penurunan luas hutan dan kesulitan rehabilitasi mengindikasikan
kerusakan ekosistem dan degradasi ekosistem mangrove. Kerusakan tersebut disebabkan
oleh kegiatan konversi hutan menjadi lahan tambak, eksploitasi hutan dan penebangan
liar. Untuk melestarikan fungsi ekosistem mangrove tersebut upaya merehabilitasi daerah
pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove sudah dimulai sejak tahun 1970-an,
namun pencapaiannya sangat rendah. Sejak tahun 1999 hingga 2003 rehabilitasi baru
terealisasi seluas 7.890 ha atau lebih kurang 1.578 ha/tahun (Departemen Kehutanan,
2004).
Pada umumnya hutan mangrove pantai lebih tebal dibandingkan dengan hutan
mangrove sungai, akan tetapi mangrove sungai lebih panjang masuk ke daratan mengikuti
aliran sungai sampai batas salinitas yang tidak berpengaruh pada tumbuhan jenis mangrove.
Fungsi mangrove terhadap suplai energi keperairan pantai dapat dilihat dari perannya
dalam proses penguraian melepaskan unsur-unsur mineral seperti nitrogen, fosfor, dan
unsur esensial zat hara lainnya. Unsur mineral ini merupakan kunci kesuburan dalam
transfer energi dan rantai makanan. Detritus tumbuh-tumbuhan atau detritus organik
tersebut merupakan sumber bahan makanan bagi organisme di atasnya, seperti berbagai
jenis zooplankton, udang, ikan, kepiting, moluska, nematoda, dan amphipoda (Bismark
dan Sawitri, 2010).
Hutan bakau mampu menahan sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil
erosi atau aberasi pantai. Erosi di pantai Marunda yang tidak ada mangrove selama dua
bulan mencapai 2 m, sementara yang ada mangrove hanya 1 m (Sediadi, 1991). Dalam
kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove, Anwar (1998) dengan
mengambil lokasi penelitian di Suwung (Bali) dan Gili Sulat (Lombok), menginformasikan
laju akumulasi tanah adalah 20, 6 kg/m2/th atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi S.
alba); 9,0 kg/m2/th atau 6,4 mm/th (dominasi R. apiculata); 6.0 kg/m2/th atau 4,3 mm/
th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th (mangrove campuran). Dengan
demikian, rata-rata akumulasi tanah pada mangrove Suwung 12,6 kg/m2/th atau 9 mm/
th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th. Data lain menunjukkan
adanya kecenderungan terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/
th atas kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna mengantisipasi
permasalahan sosial pada lahan tersebut yang timbul pada masa mendatang.
89
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
Potensi serapan CO2 pada hutan mangrove strata I (umur 5 tahun) sebesar 18,65 CO2/
ha/tahun cukup besar jika dibandingkan dengan yang terjadi pada hutan pinus. Heriansyah
(2005) melaporkan bahwa tanaman pinus umur 5, 11, dan 24 tahun mengabsorsi masing-
masing sebesar 10,53 ton CO2/ha/tahun; 21,09 ton CO2/ha/tahun; dan 14,76 ton CO2/
ha/tahun. Hal ini dapat menunjukkan bahwa hutan mangrove ini pada kelas umur
yang sama yakni 5 tahun dengan tanaman yang di darat mampu menyerap CO2 dalam
jumlah yang lebih besar yakni 10,53 ton/ha/tahun untuk hutan pinus dan 18,65 ton/ha/
tahun untuk hutan mangrove. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa nilai kompensasi
yang dapat diperoleh dari hutan mangrove akan lebih besar jika dibandingkan dengan
nilai kompensasi karbon tanaman di darat (Holidah dan Saprudin, 2010). Hal ini juga
diungkapkan oleh Hilman (2007), bahwa nilai kompensasi rata-rata karbon tidak sama
pada setiap daerah tetapi tergantung kepada jenis tanaman, luas lahan, dan lokasi lahan.
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove, melaporkan bahwa nilai manfaat
hutan bakau dalam menyerap karbon dioksida adalah sebesar Rp 6.489.000.000/tahun
(LPPM, 2006).
90
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
91
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
92
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
93
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
Prinsip Konservasi
Keterbatasan luas dan sebaran ekosistem hutan mangrove, fungsi dan nilai ekosistem
mangrove yang tinggi bagi ekosistem lain, terutama ekosistem diperairan laut, pantai dan
pesisir serta ekosistem daratan, telah melibatkan berbagai sektor untuk mengelolanya.
Ekosistem mangrove dengan peran tersebut dikelola untuk dapat menunjang berbagai
aspek pembangunan terutama di sektor ekonomi. Sektor yang mengelola konservasi dan
pemanfaatan ekosistem mangrove diantaranya sektor kehutanan, pertanian, perikanan
dan kelautan, pertambangan, perhubungan dan pertahanan keamanan. Dilain pihak telah
terjadi degradasi ekosistem dan fungsi mangrove sehingga dalam pengelolaan pemanfaatan
diperlukan upaya konservasi dan rehabilitasi guna mempertahankan fungsi tersebut.
Karena tingkat kerusakan mangrove yang berdampak pada pengurangan luas hutan
mangrove, fungsi dan nilai manfaatnya sangat tinggi, perlu dirancang suatu penataan
wilayah pengelolaan mangrove. Hal ini merupakan salah satu strategi pemulihan ekosistem
untuk tujuan peningkatan pemanfaatannya oleh sektor-sektor yang membidangi berbagai
aspek kelestarian dan pemanfaatan, seperti fungsi ekosistem mangrove yang mendukung
produktivitas perikanan dapat dikelola oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan, sebagai
sumber pangan oleh Kementerian Pertanian, dan fungsi lindung serta konservasi oleh
Kementerian Kehutanan. Dengan demikian upaya pelestarian ekosistem, pemulihan
fungsi dan manfaat mangrove terbagi ke dalam tanggungjawab masing-masing sektor yang
mengelola wilayah pengelolaan mangrove tersebut.
Pengembangan fungsi pemanfaatan dan konservasi yang ditata dalam wilayah
pengelolaan perlu didukung dengan aspek hukum yang mengatur fungsi dan tanggungjawab
serta kolaborasi pengelolaan antar sektor yang terlibat dalam pengelolaan manfaat maupun
konservasi mangrove. Keterbatasan luas, tingginya nilai manfaat dan tingkat kerusakan
serta banyaknya sektor yang terlibat mengharuskan adanya peraturan pemerintah khusus
dalam pengelolaan mangrove. Peraturan dan penegakan hukum yang kuat diharapkan
mampu membawa masing-masing sektor terkait untuk mengelola kawasan mangrove
dengan prinsip konservasi agar nilai manfaat meningkat dan berkesinambungan.
94
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
Daftar Pustaka
Anwar, C. 2006. Prediksi Musim Puncak Buah Empat Jenis Mangrove Berdasar Hasil
Fenologinya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. III, No.3 : 237-247.
Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam dan A.J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bismark, M., E. Subiandono dan N.M. Heriyanto. 2009. Keragaman dan Potensi Jenis serta
Kandungan Karbon Hutan Mangrove di Sungai Subelen Siberut. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam Vol. V, No. 3 : 297-306. Badan Litbang Kehutanan.
Bogor.
Bismark, M dan R. Sawitri. 2010. Kelimpahan dan Keragaman Spesies Plankton di
Hutan Mangrove, Pulau Siberut. Info Hutan Vol. VII, No.1 : 77-87. Badan Litbang
Kehutanan. Bogor.
Christina. 1994. Musnahnya Hutan Bakau di Indonesia. Republika 169 (2), Hal. 9, 30
Juni 1994.
95
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
Direktorat Jenderal Bina Pesisir. 2004. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD). Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Gunawan, H dan C. Anwar. 2004. Keanekaragaman Jenis Burung Mangrove di Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. Vol. I, No.3 : 294-308. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Gunawan, H dan C. Anwar. 2005. Analisis Keberhasilan Rehabilitasi Mangrove di Pantai
Utara Jawa Tengah. Info Hutan Vol. II, No.4 : 239-248. Badan Litbang Kehutanan.
Bogor.
Halidah dan Saprudin. 2010. Potensi dan Nilai Jasa tidak langsung hutan mangrove di
Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Info Hutan Vol. VII, No.1 : 21-30. Badan Litbang
Kehutanan. Bogor.
Hilman, M. 2007. Indonesia Berharap Dapat Dana Kompensasi Emisi Karbon. Antara
News, 19 Januari 2007.
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia. 2006. Valuasi Ekonomi
Mangrove di Batu Ampar, Pontianak. http://www.imRed.Org .htm.
Macnae, W. 1968. A Genaral Account of the Fauna and Flora of Mangrove Swamps and
Forest in the Indo West Pasific Region. Adv.Mar.Biol.
Perum Perhutani KPH Purwakarta. 2005. Renstra Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove
KPH Purwakarta. Perum Perhutani KPH Purwakarta. Tidak diterbitkan.
Sediadi, A. 1991. Pengaruh hutan bakau terhadap sedimentasi di pantai teluk Jakarta.
Prosidings seminar IV, Ekosistem mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990:
101-110. Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta.
96