Anda di halaman 1dari 10

SUKU KARO

SUKU Karo
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia.
Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami
(dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut
Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh
dengan perhiasan emas.

Eksistensi Kerajaan Haru-Karo

Kerajaan Haru-Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara
pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke
Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang
rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku
Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut.(Darman Prinst, SH :2004)
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan
Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang
dengan kerajaan-kerajaan tersebut.
Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa
keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.
Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal
dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta
Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan
lainnya. (D.Prinst, SH: 2004)
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-
Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad",
(1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun
tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M.
Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh
Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli
atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh
disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja
terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau kaum tiga
ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku
Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300)
orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan
terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum
tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut
sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee
yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Wilayah Suku Karo

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo
diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten
Karo karena meliputi:

Kabupaten Tanah Karo

Tanah Karo terletak di kaki Gunung Sinabung (foto diambil sekitar tahun 1917).
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini
adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang
sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan
produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh
nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung
Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak
keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk
masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah disebut trites.Trites ini disajikan pada saat
pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang
dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isilambung sapi/kerbau, yang belum
dikeluarkan sebagai kotoran.Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan
rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati.
Masakan ini merupakan makanan favorit yang suguhan pertama diberikan kepada yang
dihormati.

Kota Medan

Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Kota Binjai
Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan kota Medan
disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari kota Medan sebagai Ibu kota provinsi
Sumatera Utara.

Kabupaten Dairi

Wilayah kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya
melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian kabupaten Dairi yang merupakan
Taneh Karo:
Kecamatan Taneh Pinem
Kecamatan Tiga Lingga
Kecamatan Gunung Sitember

Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:


Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
Kecamatan Simpang Simadam

Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:


Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
Kecamatan Simpang Simadam

Marga

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima,
tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau
dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan
yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam
masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti
marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:

1. Karo-karo
2. Tarigan
3. Ginting
4. Sembiring
5. Perangin-angin

Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai
salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga
merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti
mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut
(b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama,
maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang
bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada
merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.

Marga Karo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Langsung ke: navigasi, cari
Merga Karo terdapat lima kelompok suku Karo, yaitu: Karokaro, Ginting, Tarigan, Sembiring,
dan Perangin-angin. Klan (nama keluarga) dalam suku bangsa Karo disebut merga berbeda
halnya dengan suku bangsa Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba) yang disebut dengan
marga.

Cabang-cabang merga suku Karo dan persebarannya.

A. Merga Karokaro dan cabang-cabangnya

1. Karokaro Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan.


2. Karokaro Surbakti di Surbakti dan Gajah.
3. Karokaro Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat
4. Karokaro Sinukaban di Kaban dan Sumbul.
5. Karokaro Barus di Barus Jahe, Pitu Kuta.
6. Karokaro Simbulan di Bulanjulu dan Bulanjahe.
7. Karokaro Jung di Kutanangka, Kalang, Perbesi, dan Batukarang.
8. Karokaro Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu).
9. Karokaro Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen.
10. Karokaro Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh.
11. Karokaro Kaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman, dan L. Lingga.
12. Karokaro Sinuhaji di Ajisiempat.
13. Karokaro Sekali di Seberaya.
14. Karokaro Kemit di Kuta Bale.
15. Karokaro Bukit di Bukit dan Buluh Awar.
16. Karokaro Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata.
17. Karokaro Samura di Samura.
18. Karokaro Sitepu di Naman dan Sukanalu

B. Merga Ginting dan cabang-cabangnya

1. Ginting Munte di Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tanggung, Munte, Rajatengah, dan
Bulan Jahe.
2. Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat.
3. Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung.
4. Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur.
5. Ginting Ajartambun di Rajamerahe.
6. Ginting Capah di Bukit dan Kalang.
7. Ginting Beras di Laupetundal.
8. Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, Tengging.
9. Ginting Jadibata di Juhar.
10. Ginting Suka Ajartambun di Rajamerahe.
11. Ginting Manik di Tengging dan Lingga.
12. Ginting Sinusinga di Singa.
13. Ginting Jawak di Cingkes (?)
14. Ginting Seragih di Lingga Julu.
15. Ginting Tumangger di Kidupen dan Kemkem.
16. Ginting Pase di . (lenyap?)

C. Merga Tarigan dan Cabang-cabangnya

1. Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga.
2. Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu.
3. Tarigan Silangit di Gunung Meriah.
4. Tarigan Tua di Pergendangen, Talimbaru.
5. Tarigan Tegur di Suka.
6. Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu.
7. Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun).
8. Tarigan Gana-gana di Batukarang.
9. Tarigan Jampang di Pergendangen.
10. Tarigan Tambun di Rakutbesi, Binangara, Sinaman dll.
11. Tarigan Bondong di Lingga.
12. Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu
13. Tarigan Purba di Purba (Simalungun)
D. Merga Sembiring dan Cabang-cabangnya

I. Sembiring Siman biang (Tidak biasa kawin campur darah dengan cabang Sembiring
lainnya, artinya: tidak diperbolehkan perkawinan dengan sesama merga Sembiring).

1. Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang Melas.


2. Sembiring Sinulaki di Silalahi.
3. Sembiring Keloko di Pergendangen.
4. Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri

II. Sembiring Simantangken biang (ada dilakukan perkawinan antara cabang merga
Sembiring)

1. Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya.


2. Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding.
3. Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan.
4. Sembiring Berahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang.
5. Sembiring Meliala di Sarinembah, Munte Rajaberneh, Kedupen, Kabanjahe, Naman,
Berastepu, dan Biaknampe.
6. Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga.
7. Sembiring Tekang di Kaban.
8. Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi.
9. Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte.
10. Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak (Deli).
11. Sembiring Busuk di Kidupen dan Lau Perimbon.
12. Sembiring Sinukapar di Pertumbuken, Sidikalang(?) Sarintono.
13. Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah.
14. Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding
E. Merga Peranginangin dan cabang-cabangnya
1. Peranginangin Namohaji di Kutabuluh.
2. Peranginangin Sukatendel di Sukatendel.
3. Peranginangin Mano di Pergendangen.
4. Peranginangin Sebayang di Perbesi, Kuala, gunung dan Kuta Gerat.
5. Peranginangin Pencawan di Perbesi.
6. Peranginangin Sinurat di Kerenda.
7. Peranginangin Perbesi di Seberaya.
8. Peranginangin Ulunjandi di Juhar.
9. Peranginangin Penggarus di Susuk.
10. Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang).
11. Peranginangin Uwir di Singgamanik.
12. Peranginangin Laksa di Juhar.
13. Peranginangin Singarimbun di Mardinding , Kutambaru dan Temburun.
14. Peranginangin Keliat di Mardinding.
15. Peranginangin Kacinambun di Kacinambun.
16. Peranginangin Bangun di Batukarang.
17. Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu.
18. Peranginangin Benjerang di Batukarang
Sebagian dari marga Peranginangin dan Sembiring dapat kawin sesamanya (antar cabang
merga).
Ada pula merga yang melakukan Sejandi yaitu perjanjian tidak saling mengambil atau tidak
mengadakan perkawinan antar merga bersangkutan, misalnya : antara Sembiring Tekang dengan
Karokaro Sinulingga dan antara Karokaro Sitepu dengan Peranginangin Sebayang.

Rakut Sitelu

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu
(artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu
tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang
dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga
kelompok, yaitu:
1. kalimbubu
2. anak beru
3. senina
Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang
mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga
inti.
Tutur Siwaluh
Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan
penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
1. puang kalimbubu
2. kalimbubu
3. senina
4. sembuyak
5. senina sipemeren
6. senina sepengalon/sedalanen
7. anak beru
8. anak beru menteri
Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-
kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan,
yaitu sebagai berikut:
1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini
dapat dikelompokkan lagi menjadi:
o Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok
tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A
bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai
anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi
kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
o Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada
dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh
karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang
terdapat dalam diri keponakannya.
o Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang
mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu
adalah berdasarkan perkawinan.
3. Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
4. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya
adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat
Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo
disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini
didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-
anak yang memperisteri dari beru yang sama.
7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri.
Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara
tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru
singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:
o anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi
telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru
yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak
kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai
anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai
pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
o Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala
sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara
perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara
perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan
sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri
yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai
petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara
adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru
ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Aksara Karo

Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada
saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna
melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x=
sikurun, ketelengen dan pemantek
Tari tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:
Piso Surit
Lima Serangkai
Terang Bulan

Kegiatan Budaya

Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".


Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
Ndilo Udan - memanggil hujan.
Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
Erpangir Ku Lau - Buang Sial.
Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena
terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi
(balita) yang terjalin dan tidak rapi.
Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari
keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit
kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

Merdang Merdem

Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo.
Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya
dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian
dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring
doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen
yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga
dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya
dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan
pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan
yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem
kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.
Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam
hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.
Hari pertama, cikor-kor.
Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai
dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya
lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari
kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.
Hari kedua, cikurung.
Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang
atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk
oleh masyarakat Karo.
Hari ketiga, ndurung.
Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai.
Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya
nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.
Hari keempat, mantem atau motong.
Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. Pada hari itu penduduk kampung
memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.
Hari kelima, matana.
Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi
kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-
kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk
bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai
dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat
perayaan pesta. Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi
yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak hanya
dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang
menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena
setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.
Hari keenam, nimpa.
Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat.
Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut
biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang
merdem tanpa kehadiran cimpa. Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti
dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang. Cimpa
atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari
lamanya. Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika
pulang.
Hari ketujuh, rebu.
Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari
tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua
penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau
ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling
menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan
tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk
kembali melakukan aktivitas sebagaimana hari-hari biasanya.

Piso Surit

Piso dalam bahasa karo sebenarnya berarti pisau dan banyak orang mengira bahwa Piso Surit
merupakan nama sejenis pisau khas orang karo. Sebenarnya Piso Surit adalah nama sejenis
burung yang suka bernyanyi. Kicau burung ini bila didengar secara seksama sepertinya sedang
memanggil-manggil seseorang dan kedengaran sangat menyedihkan.
Tarian Piso Surit adalah tarian yang menggambarkan seorang gadis yang sedang menantikan
kedatangan kekasihnya. Penantian tersebut sangat lama dan menyedihkan dan digambarkan
seperti burung Piso Surit yang sedang memanggil-manggil.
Lagu Piso Surit Diciptakan Oleh Djaga Depari salah seorang tokoh masyarakat karo sekaligus
komponis nasional pada masa orde lama.

Anda mungkin juga menyukai