Anda di halaman 1dari 26

TB MDR (MULTI DRUG RESISTANCE)

1. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobakterium Tuberculosis. TB Paru merupakan penyakt infeksi yang menyerang
paru-paru yang disebabkan oleh Mycobakterium Tuberkulosis, namun tidak menutup
kemungkinan penyakit ini bisa menyerang organ tubuh lain seperti otak, ginjal, tulang,
dll (TB Ekstra Paru).

Resistensi ganda adalah M. tuberkulosis yang resisten minimal terhadap


rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2
obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS.
Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi : (UI, 2006)
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
2. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan
Kategori resistensi M. tuberculosis terhadap OAT

Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB :

1. Mono-resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT


2. Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin.
3. Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan sekurang-kurangnya terhadap
isoniazid dan rifampisin.
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
5. Total drug-resistance : resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua.
Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai.

Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu


1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan panduan pengobatan yang tidak memadai, baik karena jenis
obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan Etambutol pada
awal pengobatan, maupun karena lingkungan itu telah tercatat adanya
resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya Rifampisin dan
INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat itu sudah cukup
tinggi.

1
3. Fenomena addition syndrome (crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan
dalam suatu panduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu
terjadi karena kuma TB telah resisten pada panduan yang pertama, maka
penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah
panjangnya daftar obat yang resisten saja.
4. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. Hal ini dilaporkan terjadinya di
India.
5. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang obat datang ke suatu
daerah dan kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
6. Pemberian obat TB yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, lalu setelah dua bulan berhenti lalu berpindah dokter
mendapat obat kembali untuk dua atau tiga bulan lalu stop lagi, dan demikian
seterusnya.

2. EPIDEMIOLOGI

WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008 menyatakan bahwa resisitensi


ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta
orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap
beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan
pula ditambah obat lainnya. (WHO, 2008)
Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari
Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka
kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16
minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian
berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York
dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang menyebutkan bahwa
setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan dari
Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti
detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten
terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat
macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan
masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan
SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah
41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM
dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%.

3. ETIOLOGI

2
LIMA PENYEBAB TERJADINYA TB-MDR (SPIGOTS ):
1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten.
Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya
pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama,
penjara dan keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak
sembuh dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta
memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat
pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah
banyak OAT yang resisten ( The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi
mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksious

4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA MDR- TB

Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan


lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan
hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB
resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia,
Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan
terjadinya penularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab
resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain :

1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK
Resisten yang natural
Resisten yang didapat
Ampli fier effect
Virulensi kuman
Tertular galur kuman MDR

2. FAKTOR KLINIK
A. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak mengikuti guideline
Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis
obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat

3
resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin
atau INH
Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan
pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi
karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang
pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah
panjang daftar obat yang resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga
membosankan pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan
kompllit atau sampai selesai gagal
Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum
setelah makan, atau ada diare
Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis
tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang
Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
C. Pasien
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
Masalah sosial
Gangguan penyerapan obat
3. FAKTOR PROGRAM
Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
Ampli fier effect
Tidak ada program DOTS-PLUS
Program DOTS belum berjalan dengan baik
Memerlukan biaya yang besar
4. FAKTOR AIDSHIV
Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar

4
Gangguan penyerapan
Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

5. FAKTOR KUMAN
Kuman M. tuberculosis super strains
Sangat virulen
Daya tahan hidup lebih tinggi
Berhubungan dengan TB-MDR

5. KATEGORI RESISTENSI M. Tuberculosis TERHADAP OAT


Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB:
1. Mono- resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
2. Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin
3. Multidrug-resistance (MDR): Kekebalan terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampicin.
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT
injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)
5. Total Drug Resistance : resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua.
Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai

6. PATOFISIOLOGI
Mekanisme TB MDR
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus
resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru
resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis
Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi
kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten obat disebut
dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu
terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb
sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat
tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi
sekunder (acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini
membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri
sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild
type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi
resisten OAT. Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya
5
merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT
sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu
penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi M.
Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah
kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan
proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek
pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan
atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi juga
merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV
menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan
penularan MDR Tb.

Mekanisme Klinis

Gejala Respiratorik :
1. Batuk kering yang berangsur-angsur menjadi produktif lebih dari 3 minggu,
kadang-kadang bercampur dengan dahak
2. Sesak napas dan nyeri dada

Gejala Sistemik :
Demam terutama dimalam hari
Berkeringat dingin malam hari tanpa aktivitas atau sebab yang jelas
Penurunan napsu makan
Penurunan berat badan

6
PATOFISIOLOGI
Sumber penularan M. Tuberkulosis

Saluran Pernafasan
(Droplet Nuclei, Airbone Infection)

Jaringan paru dan Alveoli Kekebalan Spesifik terhadap MTB Sintesa dan pelepasan zat pyrogen

Penyebaran Endogen (10%) Sembuh (90%) Hipotalamus

Ghon Fokus
(kuman dorman) TB primer Peningkatan suhu tubuh/ demam

Keradangan endogen/ reaktivasi TB Pasca primer MK: Gangguan Termoregulasi


Keradangan Eksoden/ reinfeksi

Infiltrasi sel-sel radang (PMN, MN, cell mast, limfosit T)

Inflamasi/ reaksi radang (rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolasia)

Penyebaran scr Bronchogen Penyebaran Limfohematogen

Proses destruktif paru Eksudasi cairan, deposit fibrin, infiltrasi leukosit PMN Pembesaran kelenjar limfe Basil TB meluas
(hilus, trakea, leher)
Lesi parenkim paru Penebalan alveolar capilari membran
Penekanan sal. Nafas/ bronkus Menembus vena pulmonalis
(infiltrat,fibroinfiltrat/ fibrosis, konsolidasi (restriksi/obstruksi)
eksudatif, tuberculoma, kavitas) Gas tidak dapat berdifusi dgn baik Basil masuk sistem vaskuler
Batuk Sesak
Ekskavasi+ulserasi dinding kavitas Kerusakan Parenkim paru MK: Gangguan pertukaran gas Menginfeksi organ selain paru
Pecahnya aneurisma rasmussen MK: Gangguan pola istirahat tidur, kelelahan
Penurunan complience paru Pleuritis dan penebalan pleura fiseralis/parietalis TB ekstra pulmoner
Batuk darah Penurunan ekspansi paru
Gesekan pleura dgn dinding paru/dinding dada
MK: Potensial Sumbatan Nafas Sesak
Cemas Nyeri pleuritik
Syok hipovolemik MK: Pola nafas tidak efektif
MK: Gangguan rasa nyaman nyeri

Penurunan kapasitas ventilas Sembuh Pengobatan TB Paru Gagal Pengobatan Suspek TB MDR
(9 kriteria suspek)
Penurunan suplai O2 tubuh Pemeriksaan DST

Positif MDR
Peningkatan kebutuhan O2 jaringan
Pengobatan
Ketidakseimbangan antara suplai O2 dgn kebutuhan
MK: Resiko terjadinya efek samping obat
MK: Intoleransi aktivitas Resiko penyebaran infeksi
Gangguan ADL Kecemasan
Anoreksia Gangguan konsep diri

7
7. SUSPEK TB-MDR

Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :


1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan dengan
rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 2
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat
OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 1
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan
atau kategori 2
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
9. TB-HIV
Pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan
mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.

8. DIAGNOSIS TB-MDR

Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan


Semua suspek TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan terdapat
M.tuberculosis yang rrsisten minmal terhadap rifampisi dan INH maka dapat
ditegakkan diagnosis TB-MDR
Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB-MDR didukung oleh:
pengenalan factor risiko untuk TB-MDR
pengenalan kegagalan obat secara dini
uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasi
Pengenalan kegagalan pengobatan secara dini :
Batuk tidak membaik yang seharusnya membaik dalam waktu 2 minggu
pertama setelah pengobatan
Tanda kegagalan : sputum tidak konversi , batuk tidak berkurang , demam ,
berat badan menurun atau tetap
Hasil uji kepekaan diperlukan :
Untuk diagnosis resistensi
Sebagai acuan pengobatan

8
Bila kecurigaan resistensi sangat kuat kirim sampel sputum ke laborstorium untuk
uji resitensi kemudian rujuk ke pakar.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Radiologi :
Gambaran thorax menunjukkan adanya lesi berupa infiltrat, fibroinfiltrat/
fibrosis, konsolidasi/ kalsivikasi, tuberkuloma, dan kavitas.
2. Bronchografi :
Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau
kerusakan paru karena TB.
3. Laboratorium :
Darah : leukositosis/ leukopenia, LED meningkat
Sputum : BTA S/P/S, kultur sputum gram sensitivity, sputum media LJ,
DST, Gene-Xpert
Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)

Saat ini uji kepekaan M.tuberculosis secara tepat ( rapid test ) sudah direkomendasikan
oleh WHO untuk digunakan sebagai penampisan.
Metode yang tersedia adalah:

Line probe assey ( LPA )


Pemeriksaan molekuler yang di dasarkan pada PCA
Dikenal dengan Hain test/ Genotiype MDRTB plus
Hasil pemeriksaan dapat di peroleh dalam waktu kurang lebih 24 jam
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.tuberculosiss
yang resisten terhadap rifampisi ( R ) ternyata juga resisten terhadap
isoniasis ( H ) sehingga tergolong MDR

Gene Xpert
Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam

10. PENATALAKSANAAN TB-MDR

Klasifikasi OAT untuk MDR


Klasifikasi obat anti tuberkulosis dibagi atas 5 kelompok berdasarkan potensi dan
efikasinya, yaitu :
Kelompok 1: Sebaiknya digunakan karena kelompok ini paling
efektif dan dapat ditoleransi dengan baik (Pirazinamid, Etambutol)

9
Kelompok 2: Bersifat bakterisidal (Kanamisin atau kapreomisin
jika alergi terhadap kanamisin)
Kelompok 3: Fluorokuinolon yang bersifat bakterisidal tinggi
(Levofloksasin)
Kelompok 4: Bersifat bakteriostatik tinggi (PAS, Ethionamid,
Sikloserin)
Kelompok 5: Obat yang belum jelas efikasinya. Tidak
disediakan dalam program ini.
Kriteria utama berdasarkan data biologi dibagi menjadi 3 kelompok OAT :
1. Obat dengan aktiviti bakterisid : amnoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang
bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah : fluorokuinolon
3. Obat dengan aktiviti bakteriostatik : etambutol, cycloserin, dan PAS

Hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang


distandarisasi untuk pasien MDR TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor
mode, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT
masih sensitif.
Obat lini-2 yang digunakan yaitu golongan
fluorokuinolon,aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin + as
klavulanat.
Saat ini panduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih
sensitif minimal 2-3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin
dengan dosis 1000-1500 mg atau ofloksasin 600-800 (obat dapat diberikan single
dose atau 2 kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat
sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan.
Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi
pencegahan MDR TB.

Resistensi silang
Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam
memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau
paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.

Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin)
dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.

10
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
untuk semua fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati
karena beberapa kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat
menggantiakn ofloksasin di masa datang.
Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya
resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan
resistensi silang antara tionamid dengan tiosetason, galur yang biasanya resisten
dengan tiosetason biasanya masih sensitif dengan etionamid dan proteonamid. Galur
yang resisten terhadap etionamaid dan proteonamid biasanya juga resisten terhadap
tiosetason pada lebih dari 70% kasus.
Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin
dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten
silang terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga
menimbulkan resisten terhadap steptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin,
kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin.
Kesimpulan :
- Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
- Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin

Sikloserin dan terizidon


Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi
silang dengan obat golongan lain.

Tabel 1: Klasifikasi OAT untuk MDR


Golongan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini Pertama Isoniazid (H) Pirazinamid (Z)
Rifampisin (R) Streptomisin (S)
Etambutol (E)
Golongan-2 Obat suntik lini kedua Kanamisin (Km)
Amikasin (Am)
Kapreomisin (Cm)
Golongan-3 Golongan Levofloksasin (Lfx)
Floroquinolone Moksifloksasin (Mfx)
Ofloksasin (Ofx)
Golongan-4 Obat bakteriostatik lini Etionamid (Eto) Terizidon (Trd)
kedua Protionamid (Pto) Para amino
Sikloserin (Cs) salisilat (PAS)
Golongan-5 Obat yang belum Clofazimin (Cfz) Clarithromisin
terbukti efikasinya dan Linezolid (Lzd) (Clr)
tidak Amoksilin/ Asam Imipenem (Ipm).
direkomendasikan Klavulanat
oleh WHO (Amx/Clv)

Strategi Pengobatan
11
Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi
penggunaan OAT dinegara tersebut. Dibawah ini beberapa strategi pengobatan TB-
MDR
Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien
yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak
tersedianya hasil uji kepekaan indivisual. Seluruh pasien akan mendapatkan
regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya
dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat
pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi
representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji
kepekaan individual.
Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Pilihan berdasarkan :
Ketersediaan OAT lini kedua (second-line)
Pola resistensi setempat dan riwayat penggunaan OAT lini kedua
Uji kepekaan obat lini pertama dan kedua

Paduan obat TB MDR di Indonesia

Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan terstandar, yang pada
permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR
(standardized treatment). Adapun paduan yang akan diberikan adalah :

Km Eto Lfx Cs Z-(E) / Eto Lfx Cs Z-


(E)

a. Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratoris.
b. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama paling
sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila hasil
pemeriksaan biakan bulan ke-8 belum terjadi konversi maka disebut gagal
pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT tanpa suntikan
setelah menyelesaikan tahap awal.
c. Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resisten.
d. Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada:
Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid Test, setelah
ada konfirmasi hasil uji resistensi M.tuberculosis dengan cara konvensional,
paduan OAT akan disesuaikan.

12
Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah
mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya, maka diberikan
levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten terhadap
levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah PAS dan levofloxacin
diganti dengan moksifloksasin, hal tersebut dilakukan dengan
pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli klinis atau tim ad hoc.
Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagai penyebabnya.
Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi
biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk,
produksi dahak, demam, penurunan berat badan.
e. Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh tim ahli klinis.
f. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan
sebagai berikut:

Cm Lfx Eto Cs Z (E) / Lfx Eto Cs Z (E)

g. Jika terbukti resisten terhadap kuinolon, maka paduan standar disesuaikan


sebagai berikut:

Km Mfx Eto Cs PAS Z (E) / Mfx Eto Cs PAS Z (E)

Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin dengan


dosis tinggi. Dilakukan pemantauan ketat keadaan jantung dan waspada
terhadap kemungkinan tendinitis/ ruptur tendon bila menggunakan levofloksasin
dosis tinggi.
h. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau pasien
TB-MDR/ HIV memerlukan penatalaksanaan khusus.

Prinsip Panduan Pengobatan TB-MDR

1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4 macam obat dengan
efektifitas yang pasti atau hampir pasti.
2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir dipastikan
ada pada fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila terbukti resisten
kanamisin.
3. Dosis obat berdasarkan berat badan.

13
Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan sekurang-kurangnya
selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Periode ini dikenal
sebagai fase intensif. Lama fase intensif: Pemberian obat suntik atau fase
intensif yang direkomendasikan adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik
diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil
sputum atau kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual
termasuk hasil kultur, sputum, foto thorax dan keadaan klinis pasien juga dapat
membantu memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik.
4. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
5. Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan
dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `
6. Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan rawat jalan. Obat per oral
diminum setiap hari. Pada fase intesif obat oral diminum didepas petugas
kesehatan kecuali pada hari libur diminum didepan PMO. Sedangkan pada
fase lanjutan obat oral diberikan maksimum 1 minggu dan diminum didepan
PMO. Setiap pemberian suntikan maupun obat oral dibawah pengawasan
selama masa pengobatan.
7. Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan Piridoxin (vit.B6),
dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin
8. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal

Dosis OAT

a. Dosis OAT ditetapkan dan diberikan berdasarkan berat badan pasien.


b. Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas
farmasi fasyankes Pusat Rujukan PMDT untuk 1 bulan mulai dari awal sampai
akhir pengobatan sesuai dosis yang telah dihitung oleh Tim Ahli Klinis. Jika
pasien diobati di fasyankes Pusat Rujukan PMDT maka paket obat yang sudah
disiapkan untuk 1 bulan tersebut akan di simpan di Poli DOTS Plus fasyankes
Pusat Rujukan PMDT.
c. Jika pasien meneruskan pengobatan di fasyankes sub rujukan/ satelit PMDT
maka paket obat akan diambil oleh petugas farmasi fasyankes sub rujukan/
satelit PMDT dari unit farmasi fasyankes Pusat Rujukan PMDT setiap 3 bulan
sesuai ketentuan yang berlaku. Pasien tidak diijinkan untuk menyimpan obat.
d. Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2: Perhitungan dosis OAT MDR


OAT Berat Badan (BB)
< 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70 kg
Pirazinamid 20-30 mg/kg/hari 750-1500 mg 1500-1750 mg 1750-2000 mg

14
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Etambutol 20-30 mg/kg/hari 800-1200 mg 1200-1600 mg 1600-2000 mg
Kapreomisin 15-20mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Levoflosasin 7,5-10 mg/kg/hari 750 mg 750 mg 750-1000 mg
Moksifloksasin 7,5-10 mg/kg/hari 400 mg 400 mg 400 mg
Sikloserin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
Etionamid 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
PAS 150 mg/kg/hari 8g 8g 8g

Fase fase Pengobatan TB-MDR

Fase Pengobatan intensif


Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi
(kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya
selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan
i. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
Menilai keadaan pasien secara cermat
Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang
intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan
berdasarkan:
Tidak ditemukan efek samping
Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan
sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDR

ii. Fase rawat jalan


Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan
oleh petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien.
Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya
pada libur.

Fase pengobatan lanjutan


Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR
mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter
setiap 1 bulan

Pemantauan dan Hasil Pengobatan

15
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak,
demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil
uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan
dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan.
Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:
Penilaian klinis termasuk berat badan
Penilaian segera bila ada efek samping
Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada
fase lanjutan
Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan
kegagalan pengobatan
Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan
(Kanamisin dan Kapreomisin)
Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid

Konversi dahak
definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama dari sediaan
apus dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal
ini digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama
pengobatan).

Penyelesaian pengobatan fase intensif


Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi
kultur
Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan
dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap
negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur

Lama pengobatan
Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur
Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18
bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek
lama pengobatan

Hasil pengobatan TB MDR (atau kategori IV)

16
Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol
program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari
sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika
hanya satu kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak
ada bukti klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh,
asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif
berturut-turut yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari
Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan
sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil
pemeriksaan bakteriologis
Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa
pengobatan TB MDR.
Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12
bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir
hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis
memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons
klinis, radiologis atau efek samping.
Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-
turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik
Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan
hasil pengobatan tidak diketahui

11. PENANGANAN EFEK SAMPING

A. Pemantauan efek samping selama pengobatan


OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih berat dan
lebih sering dari pada OAT lini pertama
Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat ditemukan dan ditangani
makin baik prognosanya, jadi pasien harus di monitor tiap hari
Efek samping sering terkait dosis
Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan pasien sehingga pasien
tidak menjadi takut saat mengalaminya dan drop-out
Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal harus
tercatat dalam pencatatan dan pelaporan

B. Tempat penatalaksanaan efek samping


RS rujukan TB MDR dan UPK satelit menjadi tempat penatalaksanaan efek
samping tergantung berat ringan gejala.
Dokter Puskesmas akan menatalaksana efek samping ringan dan sedang. Tim
klinis TB MDR di RS rujukan TB MDR akan mendapat laporannya

17
Pasien dengan efek samping berat atau serius dan pasien yang tidak
menunjukkan perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang
harus segera dirujuk ke Tim Klinis RS rujukan MDR dengan transportasi dari
Puskesmas

Efek samping berat atau serius:


Pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk dengan didampingi ke RS
rujukan TB MDR Contoh
kulit dan mata pasien nampak kuning
Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung
mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, bingung
Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema, harus segera
ditangani oleh dokter puskesmas sesuai standard penanganan syok sebelum
segera dirujuk ke RS rujukan TB-MDR
Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa (selaput
lendir) seperti mulut, mata dan dapat mengenai seluruh tubuh berupa
pengelupasan kulit (Steven Johnsons Syndrome)

12. PENGOBATAN TB-MDR PADA KEADAAN KHUSUS

Pengobatan TB-MDR pada wanita usia subur


Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan kehamilan.
pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia produktif yang akan
mendapat pengobatan TB MDR.

Pengobatan TB-MDR pada ibu hamil


Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR tetapi sampai saat
ini keamanannya belum diketahui
Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini
Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama sehingga
pengobatan bisa ditangguhkan sampai trimester kedua

Pengobatan TB-MDR pada ibu menyusui


Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB MDR harus
mendapat pengobatan penuh
Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan konsentrasi
yang lebih kecil

18
Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu sampai BTA nya
menjadi negatif atau ibu menggunakan masker N-95

Pengobatan TB-MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi hormon


Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral dengan rejimen
yang tidak mengandung riyfamycin
Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral sementara mendapat
pengobatan dengan rifampycin bisa memilih salah satu metode berikut:
gunakan kontrasepsi oral yang mengandung dosis oestrogen yang lebih besar
(50 g) atau menggunakan kontrasepsi bentuk lain

Pengobatan pasien TB-MDR dengan diabetes mellitus


Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama gangguan
ginjal dan neuropati perifer
Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi selama
pengobatan TB MDR, tetapi mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi
sehingga perlu penanganan khusus
Penggunaan ethionamida lebih sulit penanganannya
Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan
pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan

Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan ginjal


Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan ginjal harus
dilakukan dengan hati hati
Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan
pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus disesuaikan dengan
tabel diatas (jika terjadi gangguan ginjal).

Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan hati


OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini pertama
Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat pengobatan TB MDR jika
tidak ada bukti klinis penyakit hati kronis, karier virus hepatitis, riwayat akut
hepatitis dahulu atau pemakaian alkohol berlebihan.
Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas sehingga harus
lebih diawasi
Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan Pirazinamid
Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim
meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada tim therapeutic
advisory
19
Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama hepatitis akut,
kombinasi empat OAT yang tidak hepatotoksis merupakan pilihan yang paling
aman

Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan kejang-kejang (epilepsi)


Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat anti
kejang
Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian pengobatan anti
kejang diperlukan sebelum mulai pengobatan
Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini
Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus diatasi
Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang aktif
dan tidak cukup terkontrol dengan pengobatan
dengan gangguan psikiatris

13. STRATEGI DOTS PLUS

Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sana dengan strategi
DOT , dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan TB
MDR
Strategi DOTS plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR/XDR.
2. Strategi penemuan kasussecara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji
kepekaan yang terjaminmutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan
pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku
Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan
biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program
DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.

14. PEMBEDAHAN TB-MDR

Prosedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB-MDR. Dari hasil
beberapa penelitian pembedahan efektif dan relatif aman. Pembedahan tidak
diindikasikan pada penderita dengan gangguan paru luas bilateral. Pembedahan
dilakukan pada kasus awal-awal seperti kelainan suatu lobus atau paru dan setelah
pemberian pengobatan selama 2 bulan untuk menurunkan infeksi bakteri dalam paru.
Setelah pembedahan, pengobatan tetap diberikan selama 12-24 bulan.
20
ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian (Doegoes, 1999)


1. Aktivitas /Istirahat
- Kelemahan umum dan kelelahan.
- Napas pendek dgn. Pengerahan tenaga.
- Sulit tidur gn. Demam/kerungat malam.
- Mimpi buruk.
- Takikardia, takipnea/dispnea.
- Kelemahan otot, nyeri dan kaku.
2. Integritas Ego :
- Perasaan tak berdaya/putus asa.
- Faktor stress : baru/lama.
- Perasaan butuh pertolongan
- Denial.
- Cemas, iritable.
3. Makanan/Cairan :
- Kehilangan napsu makan.
- Ketidaksanggupan mencerna.
- Kehilangan BB.
- Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.
4. Nyaman/nyeri :
- Nyeri dada saat batuk.
- Memegang area yang sakit.
- Perilaku distraksi.
5. Pernapasan :
- Batuk (produktif/non produktif)
- Napas pendek.
- Riwayat tuberkulosis
- Peningkatan jumlah pernapasan.
- Gerakan pernapasan asimetri.
- Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan).
- Suara napas : Ronkhi
- Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
6. Kemanan/Keselamatan :
- Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.
- Demam pada kondisi akut.
7. Interaksi Sosial :
- Perasaan terisolasi/ditolak.

21
Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-
kapiler.
3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, penurunan geraan silia, stasis dari sekresi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan berhubungan dengan
infornmasi kurang / tidak akurat.

Intervensi
Diagnosa Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang
kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
Mendemontrasikan batuk efektif.
Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.

Rencana Tindakan :
1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan
frustasi.
3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4. Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi
alveolar.
5. Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan
sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk
pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi
sekret.
6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

22
7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan
hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila
tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan
mukus, yang mengarah pada atelektasis.
8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau
mulut.
9. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran.
Pemberian antibiotika.
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi
perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Diagnosa Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran
alveolar-kapiler.
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil :
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Rencana tindakan :
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi
pada sisi yang tidak sakit.
2. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan
tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai
akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock
sehubungan dengan hipoksia.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps
paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana teraupetik.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan
pernapasan lebih lambat dan dalam.

23
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan
sebagai ketakutan/ansietas.
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemeriksaan sputum dan kultur sputum.
Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Diagnosa Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
Tujuan : Kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori
Menu makanan yang disajikan habis
Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema

Rencana tindakan
1. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual.
R/ Dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan
dapat membantu memperbaiki kepatuhan teraupetik.
2. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan.
R/ Keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan.
3. Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan).
R/ Peningkatan tekanan intra abdomen dapat menurunkan/menekan saluran GI
dan menurunkan kapasitas.
4. Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan 1 jam sebelum dan
sesudah makan.
R/ cairan dapat lebih pada lambung, menurunkan napsu makan dan masukan.
5. Atur makanan dengan protein/kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien merasa
paling suka untuk memakannya.
R/ Ini meningkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah protein dan kalori
adekuat.
6. Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut
a. Vitamin B12 (telur, daging ayam, kerang).
b. Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging).
c. Thiamine (kacang-kacang, buncis, oranges).
d. Zat besi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayuran hijau, kacang segar).
R/ Masukan vitamin harus ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan
metabolisme dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jarinagn hepar.
7. Konsul dengan dokter/ahli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrien yang cukup.

24
R/ Kemungkinan diperlukan suplemen tinggi protein, nutrisi parenteral,total, atau
makanan per sonde.

DAFTAR PUSTAKA

Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Infeksi. Dalam : Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press, 1989 ; 13-7.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 3. Balai Penerbit FKUI; 2001.

25
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.
PDPI. Standard Pelayanan Medik Paru. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang
Jakarta; 1998
Rasad sjahrir, Sukonto Kartoleksono, dan Iwan Ekayuda. Radiologi Diagnostik. Balai
Penerbit FKUI; 2000.
Tam MC, Yew WW, Yuen YK. Treatment of Multidrug-Resistant and Extensively Drug-
Resistant Tuberculosis: Current Status and Future Prospects. [Online]. 2009.
[cited 2011 November 20]. Available from URL : http://www.medscape.com/
Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP
Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis ; 2000
Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia ; 2006.
World Health Organization. Guideline for the programmatic management of
drugresistant tuberculosis . Emergency Update 2008
Priantini NN. MDR-TB masalah dan penanggulangannya. Medicinal 2003;4:27-33
Why DOTS-Plus for MDR-TB (cited 2008 april).
http://www.who.int/gtb/publication/busdocs/
index.html
Rabia J, Elizabeth MS, Gail EL, Warren RM, Paul DH, Thomas CV . Drug Resistance in
Mycobacterium tuberculosis. Curr. Issues Mol.Biol.8:97-112

26

Anda mungkin juga menyukai