Anda di halaman 1dari 17

Pengertian, Tujuan, dan Teori

Kewirausahaan (Materi Kuliah)


Published: 06.03.12 01:42:18
Updated: 25.06.15 08:27:40
Hits : 271,487
Komentar : 2
Rating : 1

KEWIRAUSAHAAN

A. Pengertian Kewirausahaan

Secara harfiah Kewirausahaan terdiri atas kata dasar wirausaha yang mendapat awalan ke dan
akhiran an, sehingga dapat diartikan kewirausahaan adalah hal-hal yang terkait dengan
wirausaha. Sedangkan wira berarti keberanian dan usaha berarti kegiatan bisnis yang komersial
atau non-komersial, Sehingga kewirausahaan dapat pula diartikan sebagai keberanian seseorang
untuk melaksanakan suatu kegiatan bisnis.

Dalam bahasa Inggris wirausaha adalah enterpenuer, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh
Richard Cantillon, seorang ekonom Prancis. Menurutnya, entrepreneur adalah agent who buys
means of production at certain prices in order to combine them. Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, ekonom Perancis lainnya- Jean Baptista Say menambahkan definisi Cantillon dengan
konsep entrepreneur sebagai pemimpin. Secara umum banyak sekali definisi yang dikemukakan
oleh para ahli, mengenai kewirausahaan, dibawah ini akan saya kemukakan beberapa pendapat
tersebut, yang diambil dari berbagai sumber :

Harvey Leibenstein (1968, 1979), mengemukakan, kewirausahaan mencakup kegiatan-kegiatann


yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar
belum terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya
belum diketahui sepenuhnya.

Penrose (1963) : Kegiatan kewirausahaan mencakup indentifikasi peluang-peluang di dalam


sistem ekonomi. Kapasitas atau kemampuan manajerial berbeda dengan kapasitas
kewirausahaan.

Frank Knight (1921) : Wirausahawan mencoba untuk memprediksi dan menyikapi perubahan
pasar. Definisi ini menekankan pada peranan wirausahawan dalam menghadapi ketidakpastian
pada dinamika pasar. Seorang worausahawan disyaratkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi
manajerial mendasar seperti pengarahan dan pengawasan.

B. Tujuan Kewirausahaan
Seorang sosiolog bernama David McCleland mengemukakan bahwa, apabila sebuah negara
ingin menjadi makmur, minimal sejumlah 2% dari prosetase keseluruhan penduduk di negara
tersebut menjadi wirausahawan, Indonesia sendiri sampai saat ini menurut sebuah riset jumlah
penduduk yang menjadi wirausaha baru sekitar 0,18%, menurut informasi yang saya baca di
internet hari ini tanggal 5 Maret 2012 jumlahnya telah melonjak tajam menjadi maka tidaklah
mengherankan apabila saat ini, kondisi pereekonomian Indonesia tertinggal jauh dari negeara
tetangga yaitu Singapura yang memiliki prosentase wirausaha sebesar 7%, Malaysia 5%, China
10%, apalagi jika harus dibandingkan dengan negara adidaya Amerika Serikat yang hampir 13%
penduduknya menjadi wirausahawan.

Maka dari itu, dengan ditumbuh kembangkanya pengetahuan seputar kewirausahaan, akan
membangkitkan semangat masyarakat Indonesia khusunya generasi muda atau mahasiswa, untuk
ikut menciptakan lapangan kerja dengan berwirausaha, tidak hanya menjadi pencari kerja (job
seeking). Dengan dilandasi semangat nasionalisme bahwa bangsa Indonesia harus mampu
bersaing dikancah percaturan perekonomian dunia, maka akan banyak mahasiswa yang
termotivasi untuk meningktakan kualitas dirinya dan mencetuskan ide-ide kretaif dalam bidang
kewirausahaan yang berdaya saing tinggi.

Mengapa dengan semakin banyak wirausahawan disuatu negara akan meningkatkan daya saing
negara tersebut ?, jawabanya saya kira cukup jelas. Pertama, sebuah negara yang memiliki
wirausahawan banyak tentunya akan mendapatkan penghasilan yang besar dari sektor pajak, atas
kegiatan ekonomi yang mereka lakukan, coba bayangkan apabila suatu negara terlalu banyak
pegawai negeri sipil yang kurang atau bahkan tidak produktif, maka mereka setiap bulan
memakan anggaran negara untuk menggaji mereka, namun sumbangsih mereka pada
perekonimian nasional sangat minim baik dari segi pajak maupun tingkat konsumsi.

Mari kita lihat contoh lainya, dengan semakin banyak penduduk menjadi wirausaha, maka
ekonomi mereka akan mandiri, tidak akan bergantung pada sistem ekonomi kapitalis, dalam hal
ini pemerintah harus pro aktif menyediakan modal bagi para pengusaha agar benar-benar
produktif dengan bunga yang kompetitif, dan tidak menghancurkan pengusaha maupun
pemerintah, hasil keuntungan usaha mereka akan disimpan di bank-bank dalam negeri, sehingga
perputaran uang semakin lancar, dengan hal tersebut modal mereka akan bertambah sehingga
mampu menembus pangsa pasar global, yang nantinya menaikkan neraca ekspor-impor dan akan
menambah devisa negara secara signifakan, maka dengan hal tersebut sangatlah jelas, bahwa
kewirausahaan memiliki peran yang sangat penting untuk menaikkan harkat martabat suatu
bangsa dikancah internasional.

Selanjutnya ditinjau dari segi GNP (Gross National Product), apabila semakin banyak uang yang
dihasilkan oleh putra-putri bangsa Indonesia, karena berwirausaha maka uang yang dihasilkan
berpeluang semakin besar, berbeda dengan gaji yang nominalnya relatif tetap. Akan
meningkatkan GNP yaitu keseluruhan barang dan jasa yang diproduksi warga negara penduduk
tersebut dimanapun berada (di dalam dan luar negeri), dengan meningkatkan GNP ini akan
semakin memperkuat ekonomi nasional secara makro, dan mempercepat roda pembangunan
nasional, karena ketersediaan anggaran semakin meningkat.
Dari beberapa dampak positif kewirausahaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kewirausahaan bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan secara umum
meningkatkan harkat dan martabat pribadi wirausahawan serta bangsa dan negara, dengan
pengetahuan tersebut diharapkan akan semakin banyak warga negara Indonesia khusunya
mahasiswa yang terjun dalam dunia usaha, namun perlu diperhatikan dalam berusaha harus
mengedepankan kejujuran, sehingga apa yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi masyarakat
luas.

C. Teori Kewirausahaan

Seiring berjalanya waktu, kewirausahaan semakin berkembang, maka lahirlah berbagai macam
teori tentang kewirausahaan, akan coba saya uraikan berbagai teori kewirausahaan, diantaranya
adalah sebagai berikut :

1. Neo Klasik

Teori ini memandang perusahaan sebagai sebuah istilah teknologis, dimana manajemen
(individu-individu) hanya mengetahui biaya dan penerimaan perusahaan dan sekedar melakukan
kalkulasi matematis untuk menentukan nilai optimal dari variabel keputusan. Jadi pendekatan
neoklasik tidak cukup mampu untuk menjelaskan isu mengenai kewirausahaan. Dalam teori ini
kemandirian sangat tidak terlihat, wajar saja, karena ini memang pada masa lampau dimana
belum begitu urgen masalah kemandirian, namun cukup bisa menjadi teori awal untuk
melahirkan teori-teori berikutnya.

2. Kirzerian Entrepreneur

Dalam teori Kirzer menyoroti tentang kinerja manusia, keuletanya, keseriusanya,


kesungguhanya, untuk swa(mandiri), dalam berusaha, sehingga maju mundurnya suatu usaha
tergantung pada upaya dan keuletan sang pengusaha.

Dari berbagai disiplin ilmu, lahirlah teori kewirausahaan yang dipandang dari sudut pandang
mereka masing-masing, Teori ekonomi memandang bahwa lahirnya wirausaha disebabkan
karena adanya peluang, dan ketidakpastian masa depanlah yang akan melahirkan peluang untuk
dimaksimalkan, hal ini berkaitan dengan keberanian mengambil peluang, berspekulasi, menata
organisasi, dan melahirkan berbagai macam inovasi. Teori Sosiologi lebih mempelajari tentang,
asal-usul budaya dan nilai-nilai sosial disuatu masyarakat, yang akan berdampak pada
kemampuanya menanggapi peluang usaha dan mengolah usaha, sebagai contoh orang etnis cina
dan padang dikenal sebagai orang yang ulet berusaha, maka fakta dilapangan menunjukkan,
bahwa banyak sekali orang cina dan padang yang meraih kesuksesan dalam berwirausaha.
Selanjutnya teori psikologi, menurut saya teori ini lebih menekankan pada motif individu yang
melatarbelakangi dirinya untuk berwirausaha, apabila sejak kecil ditanamkan untuk berprestasi,
maka lebih besar kemungkinan seorang individu lebih berani dalam menanggapi peluang usaha
yang diperolehnya.

Yang terakhir adalah teori perilaku, bagaimana seorang wirausahawan harus memiliki kecakapan
dalam mengorganisasikan suatu usaha, memanaje keuangan dan hal-hal terkait, membangun
jaringan, dan memasarkan produk, dibutuhkan pribadi yang supel dan pandai bergaul untuk
memajukan suatu usaha.

Habib Amin Nurrokhman


/www.habibamin.blogspot.com
Menjadi seorang wirausahawan (entrepreneur) sering kali hanyalah sebuah pelarian dari
kegagalan memperoleh pekerjaan melalui jalur formal. Stigma ini menjadi semakin kuat karena
banyak wirausahawan (yang sukses sekalipun), pada awalnya tidak pernah memiliki cita-cita
menjadi seorang pengusaha. Orientasi lulusan perguruan tinggi (PT) di Indonesia memang
sebagian besar adalah bekerja (pada orang/perusahaan), sehingga tidak mengherankan setiap
diadakan penerimaan pegawai ataupun job fair selalu penuh sesak dipenuhi oleh para lulusan PT.

Keterbatasan lapangan kerja baru di Indonesia, sedikit banyak disebabkan oleh keadaan
perekonomian Indonesia yang belum pulih setelah badai krisis di tahun 1998. Banyak
perusahaan atau pabrik yang menghentikan atau menutup usahanya pada tahun 1998-an, belum
memulai kembali kegiatannya karena masih menyelesaikan hutang ataupun kewajiban terhadap
pihak lain. Disamping itu serbuan barang-barang impor dari China dengan harga sangat murah
dan mutu yang beragam, menyebabkan pemilik perusahaan atau pabrik memilih untuk putar
haluan menjadi reseller barang-barang impor dari China tersebut dibandingkan dengan
memproduksinya.

Menurut data Business Development Center, setiap tahun jumlah fresh graduate di seluruh
Indonesia adalah 2.784.000 dari 2.784 PT, padahal lapangan kerja baru yang tersedia hanya
sekitar 75.000 setiap tahunnya. Sehingga bagi lulusan PT lainnya yang tidak terserap, sebagian
memilih untuk menganggur atau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, sebagian
memilih mencoba keperuntungan dengan menjadi wirausahawan. Hanya sebagian kecil saja dari
lulusan PT yang langsung memutuskan untuk berwirausaha saat lulus. Kesan inilah yang
menonjol dan terlihat di masyarakat, sehingga kemudian menjadi stigma bahwa lulusan PT yang
memutuskan berwirausaha adalah orang-orang yang tersingkir.

Lepas dari stigma tersebut, sesungguhnya menjadi menjadi seorang wirausahawan bukanlah
pekerjaan yang dapat dilakukan secara iseng. Menjadi seorang wirausahawan berarti memadukan
perwatakan pribadi, keuangan dan sumber-sumberdaya di dalam lingkungannya. Wirausahawan
adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan
bisnis, mengumpulkan sumber-sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan
daripadanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses, termasuk di dalamnya
mengambil risiko dan bagaimana menghasilkan kombinasi baru dengan cara memperkenalkan
produk-produk atau proses-proses atau mengantisipasi pasar atau mengkreasikan tipe organisasi
baru.

Dampak yang dihasilkan dari kegiatan wirausaha antara lain adalah dapat memindahkan sumber
daya ekonomi dari wilayah yang kurang produktif ke wilayah yang lebih produktif untuk
memperoleh penghasilan yang lebih besar, dan semakin besar (Winarso Drajad Widodo, 2005).
Oleh karena itu Pemerintah saat ini lebih mendorong masyarakat untuk menjadi wirausahawan di
berbagai bidang, baik berupa usaha kecil menengah (UKM) ataupun mikro. Bahkan untuk
menunjukan keseriusannya Pemerintah membentuk kementerian yang mengurusi UKM, melalui
Keputusan Presiden RI No.58 Tahun 1993.

Konsep entrepreneurship (kewirausahaan) memiliki arti yang luas. Salah satunya, entrepreneur
adalah seseorang yang memiliki kecakapan tinggi dalam melakukan perubahan, memiliki
karakteristik yang hanya ditemukan sangat sedikit dalam sebuah populasi. Definisi lainnya
adalah seseorang yang ingin bekerja untuk dirinya.

Kata entrepreneur berasal dari kata Prancis, entreprendre, yang berarti berusaha. Dalam konteks
bisnis, maksudnya adalah memulai sebuah bisnis. Kamus Merriam-Webster menggambarkan
definisi entrepreneur sebagai seseorang yang mengorganisir, memenej, dan menanggung risiko
sebuah bisnis atau usaha.

Latar Belakang
Menurut UU No.18 tahun 1999 yang dimaksud dengan pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan
atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan yang masing-
masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Dalam UU yang sama disebutkan bahwa jasa konstruksi adalah layanan jasa perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan konstruksi, yang masing-masing dikenal dengan sebutan konsultan
perencana (jasa perencanaan), kontraktor (jasa pelaksanaan) dan konsultan MK Manajemen
Konstruksi (jasa pengawasan).

Pada era tahun 1990-an pembedaan fungsi dan tanggung jawab tersebut sangat kentara, bahkan
seakan telah menjadi dikotomi diantara ketiganya. Pada masa itu umumnya perusahaan
konstruksi memposisikan diri menjadi salah satu dari tiga fungsi tersebut. Sejalan dengan
bertambahan kebutuhan dan berjalannya waktu, mulai banyak kontraktor yang menyediakan jasa
konsultasi yang sering disebut dengan istilah design & built. Layanan design & built ini seakan
memotong jalur birokrasi dan komunikasi antara perencana dengan pelaksana, sehingga
menghemat waktu dan juga biaya.
Awal tahun 2000, sejalan dengan maraknya proyek pertambangan, lingkup pekerjaan kontraktor
design & built ini bertambah lagi untuk melakukan penyediaan bahan atau alat tertentu yang
dibutuhkan oleh proyek tersebut. Pengembangan metode ini kemudian dikenal sebagai EPC,
yaitu Engineering (rekayasa/perencanaan), procurement (pembelian) dan construction
(konstruksi). Metamorfosa menjadi EPC ini tidak hanya dilakukan oleh kontraktor, namun juga
oleh konsultan. Bahkan tiga besar kontraktor EPC saat ini di Indonesia yaitu IKPT, Rekayasa
Industri dan Tripatra awalnya adalah konsultan.

Jadi Apa EPC itu?


Menurut Pandri Prabono (Dirut Tripatra Engineering), EPC adalah kontraktor yang mendesain
sampai dengan membeli peralatan serta membangun suatu fasilitas. Jadi berangkat dari nol, maka
semuanya harus dilakukan oleh kontractor EPC.

Oleh karena itu kontraktor EPC ini unik karena klien (pemilik proyek) cukup mengatakan
kebutuhan suatu fasilitas yang ingin dibangunnya di lokasi mereka, kontraktor EPC yang akan
menyiapkannya sampai fasilitas tersebut dapat berfungsi. Engineering adalah mencari teknologi
yang sesuai dan berlanjut mendesain aneka peralatan teknik untuk menerjemahkan teknologi
tersebut, procurement adalah membelikan semua peralatan yang diperlukan itu dari berbagai
sumber dalam dan luar negeri. Kemudian construction adalah menyambung dan membangun
agar semua peralatan terhubung dan bisa bekerja sesuai desain. Dapat dikatakan sebuah
kontraktor EPC memang harus menguasai banyak aspek, mulai dari sipil, arsitektur, kimia
proses, listrik, mekanikal, dan lainnya.
Keunikan lainnya adalah bahwa kontraktor EPC harus mampu menghadapi tantangan non-teknis
(namun dapat berakibat kepada sisi keteknikan), seperti akan membangun suatu fasilitas gas di
suatu lokasi, kontraktor EPC harus mampu menterjemahkan keadaan yang mendukung fasilitas
gas tersebut saat pembangunan maupun saat beroperasi nantinya, sehingga akses jalan, akses
pelabuhan dan lainnya harus sudah diperhitungkan. Jangan sampai peralatan yang didesain tidak
dapat dibawa ke site karena jalannya yang kekecilan atau karena ada halangan bentang jembatan
yang terbatas dan lain-lainnya. Perlu pengalaman dan penguasaan lapangan dalam hal ini. Tidak
cukup hanya kemampuan teknologi semata.

Saat ini memang sebagian besar proyek yang ditangani oleh kontraktor EPC adalah proyek-
proyek bidang oil & gas atau pertambangan, namun bukan berarti tidak dapat diterapkan pada
bidang lain. Sejalan dengan semakin banyaknya kebutuhan pembangunan fasilitas-fasilitas
lainnya, jenis proyek yang ditangani oleh kontraktor EPC dapat lebih beragam.

Dilema
Ada hal yang menjadi bahan pembicaraan mengenai kecenderungan perusahaan konstruksi
beralih menjadi kontraktor EPC, yaitu mengenai kesempatan berusaha bagi perusahaan-
perusahaan konstruksi berskala kecil dan menengah. Seperti kita ketahui bersama, bahwa
kemampuan untuk melakukan EPC hanya dapat dilakukan oleh perusahaan dengan modal kuat,
karena beberapa proyek EPC menggunakan skema pembayaran turn key lump sum, yang
memaksa kontraktor EPC berkecenderungan untuk melakukan penghematan dengan cara
melakukan kegiatannya secara in house hampir pada seluruh bidang, yang tentunya akan
menutup peluang perusahaan konstruksi kecil dan menengah untuk turut berkontribusi dalam
proyek tersebut sebagai sub-contractor.

Nama-nama kontraktor EPC di Indonesia


1. AMEC Berca. Memiliki headquarter di UK. Perusahaan ini di Indonesia joint-venture dengan
grup Berca. Project mereka saat ini banyak untuk TotalFinaElf (d/h Total Indonesie).

2. Bechtel Indonesia. Dulu memakai nama PT Purna Bina Indonesia.


3. Citra Panji Manunggal *). Spesialis di pipeline dan Stations.

4. Inti Karya Persada Teknik *). Secara tradisi IKPT adalah rajanya LNG. Ini dikarenakan
IKPT menerima banyak repeat order untuk train-train LNG PT Badak. IKPT adalah salah satu
anak perusahaan dari grupnya Bob Hassan. Salah satu project mereka yang cukup besar adalah
Ujung Pangkah Amerada Hess.

5. Kellog Brown and Root (KBR Indonesia). Adalah branch KBR (giant group di bawah
Halliburton) di Jakarta. Di South East Asia pusatnya di Singapore. Kalau tidak salah, KBR
Jakarta mengerjakan banyak sub project baik dibawah KBR Singapore maupun Houston.
Reputasi KBR di LNG (baik liquefaction maupun terminal) sudah tidak perlu diragukan lagi. In
fact KBR sangat dekat dengan IKPT.

6. McDermott. McDermott perusahaan EPCI yang cukup memimpin dengan spesialisasinya di


bidang manufacturing and service. Memiliki proyek yang umumnya merupakan industri energi
dan pembangkit listrik. McDermott beroperasi di 23 negara dan memiliki lebih dari 20.000
karyawan.

7. Rekayasa Industri (Persero) *). Secara struktur sebenarnya berada di holding PT Pupuk
Sriwijaya dan memang traditionally dikenal sebagaia raja dan spesialis seluruh EPC fertilizer
di Indonesia. Saat ini cukup expansif termasuk menyerbu proyek proyek migas dan bio-diesel.

8. Saipem Indonesia. Berada di bawah grup ENI International (Italy) dan yang ada di Jakarta
adalah hasil merger dengan Sofresid. Grup mereka berspesialis di platform dan offshore.

9. Technip Indonesia. Untuk South Eas Asia, Technip berpusat di Kuala Lumpur. Sebagai
raksasa EPC dunia berbasis di Paris, Technip mengerjakan project-project di seluruh dunia mulai
dari migas dan infrastructure.

10. Tripatra Engineering *). Dikenal sebagai perintis EPC di bidang migas, mendahului EPC lain
di Indonesia termasuk mengerjakan giant NSO MobilOil dan jejak kaki mereka di Caltex sangat
impresif. Tripatra didirikan oleh Pak Iman Taufik (perintis industri migas dan pendiri Guna
Nusa). Tripatra saat ini merupakan anak usaha Indika Enegy.

11. WorleyParsons. Di Indonesia berbendera CeriaWorley. WorleyParsons adalah spesialis


engineering dan sudah berkaliber internasional dan menangani mulai dari mining (core bisnis
mereka di Australia) sampai infrastructure.
*) Perusahaan Lokal

Dipublikasi di Konstruksi | Meninggalkan komentar

Etika & Pengertiannya


Posted on 15 September 2010 by spegen
Etika (ethics), secara etimologi berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu Ethos, yang dalam bentuk
tunggal memiliki banyak arti: watak, perasaan, sikap dan cara berpikir, sedangkan dalam bentuk
jamak dituliskan Ta Etha yang artinya adat kebiasaan (Bertens, 2002). Ada 2 (dua) teori besar
mengenai etika ini, yaitu Utilitarism dan Deontologi.

Teori Utilitarism ini disistematisasikan oleh filsuf Inggris John Stuart Mill dalam bukunya On
Liberty. Teori ini memandang segalanya berdasarkan asas kemanfaatan yang paling banyak
membawa kebahagiaan bagi banyak orang. Salah satu contoh implementasi dari teori ini adalah
pemilu, dimana pemenang pemilu ditentukan oleh suara terbanyak. Teori ini juga mengilhami
perlakuan diskriminasi terhadap minoritas. Teori ini juga dikatakan sebagai
konsekuensionalisme, dimana segala keputusan dilihat dari tinjauan konsekuensi (yang paling
menguntungkan).

Teori Deontologi, adalah teori yang dijelaskan secara logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel
Kant. Kata deon berasal dari Yunani yang berarti kewajiban, sehingga dapat dikatakan bahwa
teori ini menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik apabila didasari
atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan, tanpa
memikirkan akibat atau konsekuensinya, atau dengan kata lain suara terbanyak bukanlah ukuran
untuk menentukan kebaikan.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika,
sebagai berikut: Terminius Techicus, bahwa etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang
mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. Dan Manner dan Custom, Membahas
etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia
(In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian baik dan buruk suatu tingkah laku
atau perbuatan manusia. Etika dapat dijadikan sumber nilai dan agama (bukan agamanya, tapi
aksesoris dari implementasi agama tersebut)
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara
lain:
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The
principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan
manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. (The science of
human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi


manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu
berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam
menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang
tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat
diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi
menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya. Etika bukan
mengenai benar atau tidak benar, karena seringkali sesuatu hal yang benar dianggap tidak etis
atau sebaliknya, sehingga perilaku tidak etis tidak dapat dihukum.
Etika & Etiket
Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut memiliki
arti yang berbeda. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berkaitan dengan
moral (mores), sedangkan kata etiket adalah berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama
dalam pergaulan formal atau merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan
antar manusia yang beradab.

Persamaan antara keduanya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya
keduanya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya
seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.

(Dari berbagai sumber)

Dipublikasi di Ethics | Meninggalkan komentar

Tender: Bukan Untuk Memilih Kucing Dalam Karung


Posted on 14 September 2010 by spegen

Tender atau pelelangan pekerjaan (bidding), adalah salah satu sistim pengadaan barang atau jasa.
Dalam kaitannya dengan jasa konstruksi, pelelangan pekerjaan umumnya dilakukan untuk
menyeleksi pelaksana jasa konstruksi yang dilakukan oleh pemilik proyek (owner), untuk
memperoleh pelaksana jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan sesuai persyaratan
yang telah ditentukan dengan harga yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi mutu
maupun waktu pelaksanaannya. Tender pekerjaan jasa konstruksi secara umum dapat dibagi
menjadi 2 (dua) berdasarkan kepemilikannya, yaitu proyek yang dimiliki oleh Pemerintah, dan
proyek yang dimiliki oleh swasta.
Tender Proyek Pemerintah
Tender proyek milik Pemerintah, harus mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) No.18
Tahun 2000 mengenai Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Bahan/Jasa Instasi Pemerintah, yang
secara umum dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu: Pelelangan umum, Pemilihan langsung
dan Penunjukan Langsung.
Pelelangan umum yang dimaksud dalam Keppres No.18 Tahun 2000 adalah serangkaian
kegiatan untuk menyediakan kebutuhan barang/jasa dengan cara menciptakan persaingan yang
sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat, berdasarkan metode dan
tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan diikuti oleh pihak-pihakyang terkait secara taat asas
sehingga terpilih penyedia barang/jasa terbaik.
Pemilihan langsung dan penunjukan langsung, dapat dilakukan apabila pelelangan umum sulit
dilaksanakan, seperti target waktu yang singkat ataupun spesifikasi barang atau jasa yang hanya
dapat dipenuhi oleh sedikit pemasok.
Sumber pendanaan ada kalanya mempengaruhi cara tender yang dipilih, misal untuk proyek-
proyek yang didanai oleh pinjaman luar negeri umumnya harus dilakukan International
Competitive Biding (ICB) dan harus melibatkan kontraktor internasional, atau walaupun
pendanaan oleh pinjaman luar negeri, namun pesertanya dibatasi hanya kontraktor dalam negeri,
atau yang dikenal sebagai Local Competitive Bidding (LCB). Adapun proyek-proyek yang
didanai oleh APBN, APBD atau instansi BUMN, biasanya mengacu pada Keppres No.18 Tahun
2000 tersebut.

Tender Proyek Swasta


Ketentuan mengenai tender proyek milik swasta biasanya diatur sendiri oleh masing-masing
pemilik, meskipun demikian, ketentuan tersebut tetap mengacu pada standar kontrak tertentu
seperti Federation Internationale Des Ingenieurs Conseils (FIDIC), Joint Contract Tribunal (JCT)
dari RIBA atau Article & Conditions of Building Contract (ACBC) dari Singapore/Hong Kong
Institute of Architech.
Ada kalanya pemilik (owner) mengundang terlebih dahulu beberapa calon kontraktor untuk
melakukan presentasi mengenai kemampuan dan juga portfolio dari masing-masing kontraktor
sebelum diundang untuk mengikuti tender. Tahap ini sering disebut sebagai tahap pra-kualifikasi.
Berdasarkan cara pembukaan dokumen penawaran yang diajukan oleh peserta, tender dapat
dibagi menjadi 2 (dua), yaitu tender terbuka, dimana pembukaan dan bembacaan dokumen
penawaran dari peserta tender dilakukan di depan seluruh peserta, sehingga masing-masing
mengetahui harga penawaran pesaingnya. Sedangkan tender tertutup, adalah kebalikannya.
Kejujuran, fairness, kehati-hatian dan kesetaraan (apple to apple) adalah prinsip yang harus
dipegang dalam penyelenggaraan lelang.

(Sumber: Buku Referensi Untuk Kontraktor PT PP (Persero))

Dipublikasi di Konstruksi | Meninggalkan komentar


Mengapa Memilih Jadi Kontraktor?
Posted on 14 September 2010 by spegen

Industri konstruksi memegang peranan penting dalam perkembangan perekonomian suatu


negara, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Pada periode 1974-2000, laju
pertumbuhan rata-rata industri konstruksi Indonesia, mencapai 7.7%, lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu sebesar 5.47% (Van Dalen,
2003). Industri ini juga menyerap banyak tenaga kerja, yaitu mencapai 7% 8% dari angkatan
kerja nasional. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa industri konstruksi merupakan lokomotif
perekonomian nasional (http://www.gapensi-online.com).

Namun, dalam perjalanannya sebagai bagian lokomotif perekonomian nasional, industri


konstruksi pernah mengalami keterpurukkan hingga titik terendah dalam sejarah, saat terjadi
krisis ekonomi pada tahun 1998 yang lalu, yang menyebabkan industri konstruksi nasional
mengali mati suri sampai lebih dari 3 (tiga) tahun, sampai dengan tahun 2001
(www.tempo.co.id).

Seiring dengan mulai pulihnya perekonomian nasional, ditunjang oleh adanya kecenderungan
menurunnya suku bunga perbankan, industri konstruksi mulai bergerak kembali; bahkan, pada
tahun 2007, pertumbuhan industri konstruksi diperkirakan dapat mencapai 9.4% (Laporan
Kebijakan Moneter Bank Indonesia Triwulan III tahun 2006). Pertumbuhan industri konstruksi
ini, diperkirakan akan terus meningkat, sejalan dengan optimisme perbaikan ekonomi ke depan
yang dibarengi dengan meningkatnya daya beli masyarakat.
Industri jasa konstruksi yang merupakan bagian dari industri konstruksi yang akan terpengaruh
secara langsung dengan keadaan industri konstruksi nasional. Ervianto (2003), menyatakan
bahwa industri jasa konstruksi adalah industri yang bergerak dalam bidang material untuk
konstruksi bangunan. Kegiatan yang termasuk di dalam industri ini antara lain meliputi usaha
jasa perencanaan konstruksi, usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan usaha jasa pengawasan
konstruksi, yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi
dan pengawas konstruksi (UU No.18 Tahun 1999, mengenai jasa konstruksi, pasal 4 ayat 1).
Masing-masing sektor dalam industri konstruksi saling berkait, saling menunjang dan saling
melengkapi.

Meningkatnya pertumbuhan industri jasa konstruksi akan senantiasa diikuti pula dengan
meningkatnya jumlah perusahaan penyedia jasa konstruksi terutama pelaksana konstruksi atau
sering disebut kontraktor. Peningkatan jumlah kontraktor per tahun adalah sebesar 17%-20%
(www.pu.go.id), sedangkan jumlah kontraktor yang ada sampai dengan tahun 2005 adalah 52.362
perusahaan (www.gapensi-online.com). Jumlah tersebut adalah adalah jumlah kontraktor yang
tercatat menjadi anggota Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia) atau
baru sekitar 64.85% dari seluruh kontraktor di Indonesia (www.pajak.go.id).

Karakteristik industri pelaksana jasa konstruksi ini sangat spesifik dan sangat berbeda dengan
industri-industri jasa lainnya (www.gapensi-online.com). Sifat spesifik tersebut ditandai oleh
faktor-faktor sebagai berikut:

1. Industri ini merupakan bisnis dengan risiko tinggi yang penuh dengan ketidakpastian
dengan laba yang rendah.

2. Pasar (market) sangat dikuasai oleh Pelanggan (buyer market), oleh karena kepentingan
Pelanggan sangat dilindungi dengan adanya: konsultan pengawas, bank garansi, asuransi,
prosedur kompetisi dan adanya sanksi-sanksi terhadap kontraktor, namun sebaliknya
kepentingan kontraktor hampir tidak dilindungi sama sekali.

3. Harga jual atau nilai kontrak bersifat sangat konservatif, sedangkan biaya produksi
mempunyai sifat yang sangat fluktuatif.

4. Kualitas standar dan jadwal waktu pelaksanaan ditetapkan oleh Pelanggan.

5. Proses konstruksi yang selalu berubah akibat dari lokasi dan hasil karya perencanaan
yang selalu berbeda karakteristiknya.

6. Reputasi dari Kontraktor sangat mempengaruhi pengambilan keputusan dari Pelanggan.

Faktor-faktor tersebut di atas menunjukan bahwa kontraktor sebagai pelaksana jasa konstruksi
memiliki posisi yang lemah dan selalu dikalahkan. Apalagi dengan banyaknya jumlah kontraktor
ini yang disertai pula peningkatan jumlah kontraktor tiap tahunnya yang melebihi pertumbuhan
industri konstruksi sendiri, menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara supply dan
demand.
Tapi dengan resiko seperti tersebut di atas, mengapa orang-orang tetap banyak yang tertarik
untuk menjadi kontraktor?

Dipublikasi di Konstruksi | Meninggalkan komentar

Marketing Kamuflase Dalam Strategi Pemasaran


Posted on 6 September 2010 by spegen

Perilaku etis penting diperlukan


untuk meraih sukses dalam sebuah bisnis. Walaupun hal ini sudah disadari dan dimengerti oleh
para pebisnis, namun pada kenyataannya banyak pemasar (marketer) tidak mengidahkan hal
tersebut. Pemasar lebih berpeluang untuk melakukan tindakan melanggar etika karena adanya
tuntutan untuk menyeimbangkan target penjualan perusahaan dengan kebutuhan konsumen.

Sehingga untuk memenuhi tuntutan tersebut, seorang pemasar sering melakukan tindakan yang
kurang atau bahkan tidak etis, seperti melakukan strategi marketing kamuflase. Strategi ini
dilakukan untuk membingungkan konsumen dan pada akhirnya konsumen akan melakukan
kesalahan dalam pengambilan keputusan.

Marketing Kamuflase

Pengertian gramatikal dari kamuflase adalah perubahan bentuk, rupa, sikap, warna dan
sebagainya; menjadi lain agar tidak dikenali; penyamaran; pengelabuan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia KBBI, hal. 499). Tidak berbeda dengan arti gramatikalnya, yang dimaksud dengan
marketing kamuflase (camouflage marketing) adalah usaha dari pemasar dalam memasarkan
suatu produk kepada konsumen dengan melakukan tindakan atau perilaku yang mirip dengan
produk pesaingnya yang biasanya adalah market leader (Theodore Levitt, Innovative
Immitation). Strategi ini dilakukan karena merupakan sebuah jalan pintas (short cut) yang ampuh
untuk mencuri perhatian konsumen.
Strategi ini adalah merupakan bagian dari strategi imitasi yang sering dilakukan oleh follower.
Strategi imitasi produk barangkali dapat menjadi strategi yang lebih menguntungkan
dibandingkan dengan strategi inovasi yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan waktu yang
lebih lama. Hal inilah yang membuat follower memilih untuk menjalankan strategi imitasi.

Dalam pemasaran, para pemasar dari produk follower menggunakan istilah yang sama dengan
produk market leader untuk menyamarkan produk mereka dengan lingkungan sekitar, terutama
ketika bertarung di pasar modern. Sehingga apabila produk market leader telah memiliki banyak
rak di retailer-retailer, maka sang follower akan memiliki kesempatan untuk menyamarkan
produk mereka.

Ada beberapa kejadian yang diharapkan dari para follower dengan melakukan marketing
kamuflase ini yaitu:

1. Adanya harapan bahwa konsumen salah dalam membeli produk. Contohnya adalah
banyaknya taxi (cab) yang berwarna dan berlogo mirip sekali dengan taxi Blue Bird.

2. Adanya harapan, konsumen akan melakukan perbandingan harga sebelum melakukan


pembelian. Packaging yang mirip dapat menciptakan persepsi bahwa isinya sama dalam
soal rasa dan kualitas. Konsumen yang price sensitive kemudian akan memilih produk
follower karena umumnya follower menawarkan harga yang lebih rendah.

3. Adanya harapan bahwa konsumen akan berpikir bahwa produk follower adalah turunan
atau masih satu saudara dengan merek lain, hal ini mengingat biasanya perusahaan
memiliki warna korporat tertentuyang secara konsiten diterapkan pada setiap merek
mreka dan turunannya.

Keuntungan yang diperoleh follower dengan melakukan marketing kamuflase ini adalah
terjadinya pembentukan awareness terutama jika produk tersebut menggunakan merek atau
kemasan yang mirip-mirip atau dimirip-miripkan.

Kebingungan konsumen memang menjadi alasan yang paling utama dari marketing kamuflase.
Itu sebabnya kamuflase sering dikatakan sebagai strategi merek yang kurang percaya diri.
Biasanya kamuflase dilakukan oleh merek-merek yang tidak memiliki biaya promosi yang besar
atau bahkan tidak melakukan promosi sama sekali. Mereka lebih berharap mereknya dapat
menempel pada merek lain di pasaran.

Disamping adanya keuntungan, setidaknya ada 2 (dua) alasan mengapa orang melakukan
marketing kamuflase menurut Steven Schnaars (2002), yaitu:

Playing Catch Up, mengejar ketertinggalan, karena gagal menemukan produk baru yang inovatif
sehingga membuat produk dari produsen lain yang dianggap lebih menguntungkan.

Watchful Waiting, adanya kesempatan untuk memasukan produk mereka ke pasar.


Dalam buku Managing Imitation Strategies (Schnaars, Steven P; Free Press:2002) disebutkan
bahwa maketing kamuflase dapat dibagi menjadi 4 (empat) model, yaitu:

1. Counterfeits/Product Pirates, adalah produk kembar yang memakai merek dagang yang sama
seperti aslinya. Ini adalah usaha perampokan. Murni illegal. Sering juga disebut dengan
pemalsuan merek atau pembajakan.

2. Knockoff/Clones, adalah produk yang benar-benar meniru produk aslinya (terutama kemasan
dan merek) sama sekali, hal ini dimungkinkan karena tidak ada pendaftaran paten atau merek
terhadap produk aslinya. Hal ini sering terjadi pada produk-produk tradisional. Mungkin apabila
di Indonesia seperti produk tradisional petis, kerupuk udang, dodol garut, telur asin dan
sebagainya.

3. Design Copies/Trade Dress, adalah menjual gaya, design fashion dari produk populer pesaing.
Karena ditekankan pada gaya dan fashion maka, produk imitasi ini mengabaikan hal teknologi
atau inovasi. Contoh sepatu olah raga.

4. Creative Adaptations, mengambil produk yang telah ada, lalu meningkatkan atau
mengadaptasikan dengan segmen produk yang baru.

Dari ke-empat model di atas, hanya counterfeits/product pirates saja yang dapat dijerat hukum,
hal ini karena knockoff/clones, design copies/trade dress maupun creative adaptions berada pada
wilayah abu-abu dalam koridor hukum di Indonesia.

Market Leader-pun Melakukan Marketing Kamuflase

Walaupun kebingungan konsumen terhadap praktek marketing kamuflase ini tidak menyebabkan
konsumen terkecoh kemudian serta merta membeli produk tersebut. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Prof. Murray Tong, dari Guelph University Canada, yang
menyatakan bahwa 80% konsumen sadar bahwa produk yang biasa mereka beli telah ditiru
kemasannya oleh produk pesaing (Rahmat Susanta, Majalah Marketing, November 2004).

Namun ternyata bukan hanya follower saja yang melakukan marketing kamuflase. Market leader
pun dapat terpancing untuk melakukan strategi yang sama, terutama apabila mereka (market
leader) kurang percaya diri menghadapi kompetitor atau pendatang baru. Sehingga akhirnya
terjadi fighting brand. Kasus yang sering dijadikan contoh adalah perseteruan antara Super mie
Sedaaap (Indofood) dengan Mie Sedaap (Wings). Disini Indofood sebagai market leader mie
instant dalam kemasan, merasa perlu melakukan kamuflase pada salah satu produknya yaitu
super mie untuk menghambat sepak terjang pendatang baru yang mengusik keberadaan
Indofood sebagai market leader. Apabila kita coba tengok ke belakang, keberadaan Mie Sedaap
juga pada awalnya adalah kamuflase pada kemasan mereka menyerupai kemasan Indo mie.

Marketing kamuflase bukan tanpa resiko. Resiko yang dapat dialami oleh follower kamuflase
adalah bahwa setiap tindakan promosi yang dilakukan follower justru hanya akan meningkatkan
awareness dan penjualan market leader.
Penutup

Persaingan usaha dari hari ke hari semakin ketat, banyak strategi marketing tercipta ataupun
diciptakan untuk menyiasati hal ini. Berbagai cara dilakukan pemasar untuk menarik perhatian
konsumen yang pada akhirnya konsumen akan memutuskan untuk membeli produk tersebut.

Marketing kamuflase adalah salah satu strategi tersebut yang secara sadar ataupun tidak telah
dilakukan oleh para pemasar di Indonesia apapun bidang usaha yang dilakukan, termasuk
konstruksi. Strategi ini berada pada wilayah abu-abu (grey area) dalam koridor hukum di
Indonesia, karena belum ada satupun pelaku marketing kamuflase ini yang dinyatakan bersalah
secara hukum. Koridor yang paling mungkin dilakukan hanyalah etika pemasar dalam
mengambil strategi pemasarannya.

Anda mungkin juga menyukai