Anda di halaman 1dari 15

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM INVESTASI

PERDAGANGAN
Oleh
Soemali, SH., MHum.1

Lidia Noor Yulyanti2

ABSTRAK
Penyelesaian sengketa investasi perdagangan dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu litigasi dan non litigasi. Salah satu bentuk penyelasain sengketa
nin litigasi yang biasa digunakan dalam investasi perdagangan adalah
arbtrase. Arbistrase mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia
semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada suatu perjanjian
yang bersifat tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak. Terhadap
putusan arbitrase pada dasarnya adalah bersifat final dan mengikat sehingga
dapat dieksekusi secara sederhana. Akan tetapi apabila salah satu merasa
dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada ketua Pengadilan Negeri
setempat.

Kata Kunci: Penyelesaian sengeta Non litigasi, Arbitrase, final dan mengikat.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Era perdagangan bebas menjadikan negara seakan-akan tanpa
batas khususnya dalam bidang perdagangan internasional atau dagang
internasional, yaitu yang melibatkan beberapa negara. Dalam menyongsong
perdagangan bebas diperlukan suatu perangkat aturan yang jelas dan
memadai, yang tidak menimbulkan masalah di kemudian hari dalam
mengadakan transaksi dagang. Timbulnya masalah dari perdagangan atau
dagang internasional umumnya berkaitan dengan risiko tertentu yang terjadi
karena penerapan peraturan hukum yang berbeda, apalagi jika salah satu
negara tidak mengakui hukum nasional negara asing. 3
Dalam menjalin hubungan dagang antara para pihak, baik dalam
skala domestik maupun internasional, para pihak senantiasa menghendaki
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
2
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
3

Keinichi Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company Inc.,


Printed In USA, 1990, h. vii

1
2

agar segala apa yang telah disepakati dan dituangkan kedalam perjanjian
dapat dipenuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, yaitu, sesuai
dengan tujuan diadakannya kesepakatan dalam kontrak tersebut.. Hal ini
mengandung maksud bahwa ikatan dagang yang telah disepakatinya
tersebut terdapat kepastian hukum terhadap segala hak dan kewajiban yang
timbul dari perjanjian dagang tersebut. Pemenuhan hak dan kewajiban
sebagaimana telah diperjanjikn akan menimbulkan proses resiprositas
diantara para pihak, dengan maksud agar para pihak yang telah mencapai
kata sepakat untuk mengadakan perjanjian dagangterjalin suatu hubungan
yang langgeng, sehingga dapat berlangsung untuk jangka panjang, serta
mencegah kemungkinan timbulnya sengketa.
Penyelesaian sengketa dagang baik domestik maupun internasional
semula diselesaikan oleh lembaga peradilan umum (litigasi), namun dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, sengketa dagang internasional tersebut
diselesaikan melalui lembaga di luar sidang pengadilan (non litigasi).
Penyelesaian dagang melalui lembaga peradilan umum dilangsungkan oleh
lembaga pengadilan negeri, sedangkan penyelesaian sengketa dagang
melalui lembaga non litigasi diselenggarakan oleh lembaga arbitrase.
Penyelesaian melalui lembaga arbitrase di Indonesia diawali pada
tahun 2007 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968
tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara
Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal.
Diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 (selanjutnya
disingkat UU No. 25 Tahun 2007) merupakan suatu bentuk ratifikasi dari
Konvensi International Centre for the Settlement of Investment Desputes
between States and Nationals of other States (ICSID). Meskipun telah ada
ketentuan yang mengaturnya, namun dibentuk juga peraturan yang mengatur
masalah arbitrase yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase (selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 1999).

Rumusan Masalah
1. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam investasi perdagangan
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
2. Upaya hukum para pihak yang menolak putusan arbitrase.

Metode Penulisan
1 . Pendekatan Masalah
Penelitian ini tergolong penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Statute approach
yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas
peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang
dibahas. Sedangkan conceptual approach yaitu pendekatan dengan cara
3

membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung


pembahasan.

2 . Sumber Bahan Hukum


a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat
berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada
kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu, UU No. 30
Tahun 1999 dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi
yang dibahas.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya
menjelaskan bahan hukum primer, dalam hal ini bahan hukum
sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku literatur,
catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku
dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.

PEMBAHASAN
A. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam investasi
perdagangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking
an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter,
instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid
the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".
Istilah arbitrase (arbitrage = arbitration) berasal dari bahasa Latin,
yakni arbitrari yang berarti suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh
seorang hakim (arbitrator) atau para hakim (arbitrator) berdasarkan
persetujan bahwa mereka tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan
oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. 4 H.M.N.
Putwosutjipto menerjemahkan istilah arbitration (Inggris) atau arbitrage
(Belanda) dengan perwasitan. Kemudian perwasitan itu didefinisikan sebagai
suatu peradilan perdamaian dimana para pihak bersepakat agar perselisihan
mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa
dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak
oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan
putusannya mengikat kedua belah pihak.5
Arbitrase menurut Subekti diartikan sebagai berikut: Arbitrase adalah
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para halim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati
keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim mereka pilih atau

Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum


Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, h. 58.

13
4

tunjuk tersebut.6 Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999


mengartikan arbitrase sebagai berikut: Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Memperhatikan definisi arbitrase sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa
di luar peradilan umum, didasarkan perjanjian, yang dibuat secara tertulis,
oleh para pihak yang bersengketa.
Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari
definisi perjanjian arbitrase, di antaranya:
1. perjanjian arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;
2. perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
3. perjanjian tersebut ditujukan untuk menyelesaikan sengketa yang
dilaksanakan di luar peradilan umum.
Penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan tidak cukup
hanya pada lembaga peradilan dalam arti Pengadilan Negeri saja, karena jika
dengan putusan peradilan tingkat pertama tersebut terdapat pihak yang
merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum pada peradilan yang
lebih tinggi yaitu upaya banding pada Pengadilan Tinggi. Jika putusan
Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah satu pihak merasa
keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi
pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu pihak merasa
keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada
kondisi yang demikian tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan
memerlukan waktu yang cukup lama, tentunya juga menyangkut masalah
biaya dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Sudargo Gautama, bahwa para pedagang pada umumnya
takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Tentunya banyak biaya yang
harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan
pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui eksekusi. 7 Oleh karena
itu tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan khususnya bagi para
pedagang kurang diminati, sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh
Ridwan Khairandy bahwa pada perkembanganya, terutama menyangkut
masalah transaksi (kerjasama) bidang dagang internasional, penyelesaian

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Djambatan,


Jakarta, 1992, h. 1.
6

Subekti, Arbitrase Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1981, h 5.


7
Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, (selanjutnya disingkat
Sudargo Gautama 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 2-3.
5

sengketa melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh pihak-pihak yang


bersengketa. Hal ini disebakan oleh adanya beberapa faktor, di antaranya: 8
1. lamanya proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara
perdata;
2. lamanya penyelesaian sengketa dapat pula disebabkan oleh panjangnya
tahapan penyelesaian sengketa,
3. lama dan panjangnya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan
tersebut tentunya membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya
biaya yang diperlukan;
4. sidang pengadilan di Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka,
padahal disisi lain kerahasiaan adalah sesuatu yang diutamakan di dalam
kegiatan dagang;
5. seringkali hakim yang menangani atau menyelesaikan sengketa dalam
dagang kurang menguasai substansi hukum sengketa yang bersangkutan
atau dengan perkataan lain hakim dianggap kurang profesional, dan
6. adanya citra yang kurang baik terhadap dunia peradilan Indonesia.
Penyelesaian sengketa dagang dapat dilakukan di luar lemabaga
peradilan yaitu penyelesaian dengan menggunakan jasa arbitrase (non
litigasi). Pada umumnya pengusaha asing lebih senang menyelesaikan
sengketa melalui lembaga arbitrase, dengan pertimbangan:
Pertama, pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui
perjanjian arbitrase di luar negeri karena menganggap sistem hukum dan
pengadilan setempat asing bagi mereka.
Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan bahwa hakim-
hakim negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang
melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang
rumit.
Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena
proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat
Mahkamah Agung.
Keempat, keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di
depan Pengadilan bertolak dari anggapan bahwa Pengadilan bersifat
subjektif kepada mereka, karena sengketa diperiksa dan diadili berdasarkan
bukan hukum negara mereka, oleh hakim bukan dari negara mereka.
Kelima, penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari siapa yang salah
dan siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan
dagang antar mereka.

Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Ghama Media,
Yogyakarta, 1999.
6

Keenam, penyelesaian sengketa melalui perjanjian arbitrase tertutup sifatnya,


sehingga tidak ada publikasi mengenai sengketa yang timbul. Publikasi
mengenai sengketa suatu yang tidak disukai oleh para pengusaha.
Dengan kondisi sebagaimana di atas, penyelesaian melalui lembaga
arbitrase mempunyai kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan
penyelesaian melalui jalur peradilan umum. Kelebihan tersebut di antaranya
adalah:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduran
dan administrasi;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempu-
nyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup
menge-nai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase;
e.
putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun
lang-sung dapat dilaksanakan.9
Arbitrase merupakan salah satu alternatif diantara sekian banyak
alternatif forum penyelesaiann sengketa dagang. Arbitrase termasuk dalam
model penyelesaian sengketa yang bersifat non ligitigasi (out of court dispute
settlement). Selain arbitrase, terdapat pula berbagai alternatif penyelesaian
sengketa dagang secara non litigasi, antara lain meliputi: negosiasi, mediasi,
konsiliasi, dan lain sebagainya. Di antara berbagai model penyelesaian
sengketa non litigasi tersebut, maka arbitrase yang memiliki ciri tersendiri
yang tergolong unik. Di satu pihak, arbitrase termasuk sebagai model non
litigasi, oleh karena menyangkut penyelesaian sengketa dagang di luar
lembaga peradilan atas dasar kesukarelaan para pihak. Para pihak yang
bersengketa memiliki otonomi luas (party autonomie) dalam dan menentukan
forum, aturan, prosedur, arbitrase, dan lain sebagainya yang dianggap sesuai
dengan kehendak bersama para pihak. Termasuk adanya prinsip private and
confidential yang merupakan ciri yang paling litigasi. Di pihak lain, putusan
yang telah dihasilkan melalui proses arbitrase bersifat final dan mengikat
(final and binding) sehingga putusannya dimungkinkan untuk dilaksanakan
sebagaimana layaknya sebagai putusan lembaga peradilan (enforceable).
Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat memberikan penyelesaian
sengketa dagang yang efektif dan efisien kepada pihak yang bersengketa.
Selain dari pada itu, dengan dimungkinkannya pelaksanaan putusan

Periksa Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999.


7

arbitrase melalui lembaga peradilan memberikan efek kepastian hukum


kepada pihak yang bersengketa.
Menurut. Subekti10 bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian
sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan
yaitu bahwa ia dilakukan :
a) dengan cepat;
b) oleh ahli dari;
c) secara rahasia.
Sementara itu Purwosutjipto11 mengemukakan arti pentingnya peradilan
wasit (arbitrase) adalah: Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan
cepat. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang
dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang
memuaskan para pihak. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan
keadilan para pihak. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum
tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang
bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki
oleh para pengusaha. Namun Lembaga arbitrase masih memiliki
ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan
arbitrase, ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan
negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai
upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Apabila hubungan dagang terjadi suatu sengketa, penyelesaian
sengketa dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya: 1) model
penyelesaian sengketa dagang dilakukan oleh dan melalui lembaga peradilan
(in court dispute settlement), 2) model penyelesaian sengketa dagang
dilakukan di luar lembaga peradilan (out of court dispute settlement), yang
masing-masing mempunyai karakteristik dan konsekuensi yang berlainan. 12
Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dasar
penunjukkan lembaga arbitrase oleh para pihak dalam hubungan dagang
adalah kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dagang tersebut. Hal ini
mengandung maksud bahwa penunjukkan penyelesaian sengketa dagang
oleh lembaga arbitrase harus dicantumkan secara jelas dalam klausula
dagang, sejalan dengan asas yang terkandung dalam kebebasan berkontrak,
yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 angka 1 KUH Perdata).
Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi

10
Subekti 1, Op. cit., h. 21
11

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jambatan, Jakarta: 1988.


12
Ibid., h. 4.
8

Arbitrase sebagai bentuk perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak


yang terlibat dalam perdagangan baik nasional maupun internasional, maka
harus dibuat memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif perjanjian arbitrase, selain perjanjian harus dibuat oleh
pihak-pihak yang telah cakap bertindak dalam hukum dan sepakat antara
kedua belah pihak, perjanjian tersebut harus dibuat oleh pihak-pihak yang
demi hukum dianggap mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian.
Para pihak yang membuat perjanjian arbitrase tidak dibatasi hanya untuk
subjek hukum menurut hukum perdata, melainkan juga termasuk di dalamnya
subjek hukum publik. Meskipun sebagai salah satu pihak adalah subjek
hukum publik, tidaklah berarti arbiter dapat mengadili segala sesuatu yang
berhubungan dengan hukum publik. Sengketa yang melibatkan subjek
hukum publik diselesaikan melalui arbitrase yang sifatnya terbatas.
Syarat objektif perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa
yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan
atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) hanyalah sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa .
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase
hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.
Sementara itu ayat 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa
sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam B.W. Buku III bab
kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Penyelesaian perselelisihan melalui arbitrase adalah institusi hukum
alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan. Sebagian
pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka
melalui perjanjian arbitrase dari pada pengadilan. Pengusaha asing lebih
suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian arbitrase di luar pengadilan
karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi
mereka. Oleh karenanya bisa saja negara yang bersangkutan mempunyai
prasangka yang jelek terhadap sistem hukum negara di mana modal akan
ditanamkan, khususnya yang menyangkut masalah kepastian hukum dan
keadilan serta kredibilitas hakim penyelesaian sengketa tersebut. Oknum-
oknum yang cenderung mempersulit proses pencarian keadilan, peradilan
9

yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang dapat memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa
penyelesaian masalah secara arbitrase di Indonesia berkembang setelah
diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999. Penyelesaian melalui arbitrase
banyak dipilih karena sifat kerahasiaannya dan waktu yang dibutuhkan jauh
lebih pendek bila dibandingkan dengan penyelesaian melalui peradilan
umum. Selain itu penyelesaian melalui arbitrase lebih menjaga kerahasiaan
pihak-pihak

B. UPAYA HUKUM PARA PIHAK YANG MENOLAK PUTUSAN


ARBITRASE
Di atas telah dijelaskan bahwa arbitrase diatur dalam Rv., sebagai
satu-satunya aturan arbitrase yang berlaku umum pada masa pendudukan
Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia, hingga
dikeluarkannya Undang-undang No. 30 tahun 1999 ini.
Sebagaimana telah disinggung pada uraian terdahulu bahwa
keberadaan lembaga arbitrase diatur dalam RV mulai Pasal 615 sampai
dengan Pasal 651. Pasal 615 ayat (1) Rv. menguraikan: Adalah
diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang
mengenai hak-hak yang berada dalam kekuaaannya untuk melepaskannya,
untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau
beberapa orang wasit. Kemudian dalam ayat (3) Pasal 615 ayat (3) Rv.
ditentukan : Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain,
untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian
hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Ketentuan
tersebut jelas bahwa setiap orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada seorang atau beberapa
orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut menurut
asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang
bersengketa. Para pihak yang bersengketa berhak untuk melakukan
penunjukkan itu setelah ataupun sebelum sengketa terjadi, dilakukan dengan
pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian pokok mereka (Pactum De
Kompromitendo). Sedangkan penunjukan arbitrase sebagai cara
penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat
persetujuan arbitrase sendiri (Akta Compromis).
Sehubungan dengan macam-macam arbitrase, secara umum dalam
praktek dikenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu :
1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase);
2. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase). 13

13
Ibid., h. 19.
10

Arbitrase ad-hoc atau volunter arbitrase sifatnya tidak permanen atau


insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan
menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai
diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun lenyap dan berakhir
dengan sendirinya. Arbiter yang menanganai penyelesaian sengketa ini
ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian
pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian
sengketa, tenggang waktu penyelesaiann sengketa tidak memiliki bentuk
yang baku. Hanya saja dalam pemilihan dan penentuan tidak boleh
menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.
BATAS WAKTU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
LEMBAGA ARBITRASE

Huruf Pasal Uraian Pointer Jumlah hari


N E G O S IAS I
A 6 (2) Pertemuan langsung 14
M E D IAS I
B 6 (4) Melalui mediator independen A + 14 14
C 6 (5) Penunjukkan mediator oleh
Lembaga Arbitrase B+7 7
D 6 (6) Melalui mediator yang ditun-
juk oleh Lembaga Arbitrase C + 30 30
E 6 (7) Pendaftaran kesepakatan di PN A/B/D + 30 30
F 6 (8) Pelaksanaan kesepakatan F + 30 30
JANGKA WAKTU PENYELESAIAN SENGKETA
MELALUI LEMBAGA ALTERNATIF PENYELE- 125
SAIAN SENGKETA DAN PELAKSANAAN PUTUSAN
AR B I TRAS E
G Persetujuan untuk melaksanakan - -
penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dan penunjukan arbiter
H 14 (3) Pengangkatan arbiter tunggal G + 14 14
I 15 (3) Pengangkatan arbiter dalam
Majelis arbitrase G + 30 30
J 15 (4) Pengangkatan arbiter ketiga dalam
Majelis arbitrase I + 14 14
K 16 (2) Penentuan atau penolakan oleh Arbiter H/J + 14 14
L 24 (3) & Tuntutan ingkar terhadap arbiter H/I + 14 14
24 (4)
M 38 Pemasukan surat permohonan gugatan - -
N 39 Jawaban oleh termohon arbitrase M + 14 14
O 40 (2) & Panggilan untuk menghadap di depan N + 14 14
41 sidang arbitrase
P 44 (2) Panggilan ke-2 untuk menghadap di - -
Depan sidang arbitrase
Q 44 (2) Pemeriksaan sidang tanpa kehadiran P + 10 10
Termohon
R 48 JANGKA WAKTU PENYELESAIAN
11

SENGKETA MELALUI ARBITRASE - 180


S 57 Putusan diucapkan R + 30 30
T 58 Koreksi putusan S + 14 14
U 59 (1) Pendaftaran di Pengadilan Negeri S + 30 30
V 62 (2) Eksekusi oleh Pengadilan Negeri U + 30 30
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE 270
W 71 Permohonan pembatalan putusan U + 30 30
K 72 (2) Putusan permohonan pembatalan pu-
tusan arbitrase oleh Mahkamah Agung W + 30 30
Y 72 (4) Pengajuan banding ke Mahkamah Agung W + 30 30
Z 72 (5) Putusan oleh Mahkamah Agung atas R + 60 60
banding putusan pembatalan
AA 74 (2) Penundaan tugas arbiter (48) R + 60 60
AB 75 (3) Pengangkatan arbiter pengganti R + 30 30
JANGKA WAKTU TAMBAHAN 150

TOTAL JANGKA WAKTU YANG DIPERLUKAN 455

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan maksimum jangka


waktu penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam waktu 180 (seratus
delapan puluh) hari terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase tersebut.
Selain itu Undang-undang juga melahirkan tanggung jawab perdata bagi
arbiter atau majelis arbitrase atas pemenuhan perjanjian penyelesaian
sengketa diantara arbiter atau majelis arbitrase trersebut denga para pihak
yang bersengketa.
Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan. Karena para arbitrator ditunjuk oleh masing-masing
pihak yang bersengketa, maka logisnya putusan arbitrator harus ditaati oleh
kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak mau tunduk pada putusan
tersebut, maka ia menjadi pihak yang melakukan wanprestasi. Putusan
arbitrase adalah putusan terakhir, termasuk dalam kesepakatan kedua belah,
bahwa putusan wasit maupun putusan terakhir, jadi tidak ada banding atau
kasasi, sesuai dengan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase
secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa
(Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999).
Terhadap putusan Arbitrase Internasional diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, namun penyelesaiannya
harus melalui lembaga ICSID dan putusan arbitrase internasional tersebut
harus ditempuh dengan syarat-syarat bahwa, putusan Arbitrase Internasional
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan
negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
12

multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase


Internasional, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan
dengan ketertibann umum, putusan Arbitrase Internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan segelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999):
Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan
setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, penyampaian
berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus disertai dengan: lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase
Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan
naskah terjemahann resminya dalam Bahasa Indonesia, lembar asli atau
salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional
sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam Bahasa Indonesia, keterangan dari perwakilan diplomatik
Republik di negara tempat Putusann Arbitrase Internasional tersebut
ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik
Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional, (Pasal 68 UU No. 33 Tahun 1999).
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaann, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan
palsu; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil
dari hasil tipu muslihat yang dilakukann oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa sebagaimana Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan
dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri
sebagaimana Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan
putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Apabila
13

permohonan dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut


akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan diterima. Terhadap putusan Pengadilann Negeri dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta
memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung
sesuai dengan Pasal 172 UU No. 30 Tahun 1999.
Berdasarkan uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas
dapat dijelaskan bahwa putusan arbitrase sifatnya final, namun jika dengan
putusan tersebut ada pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
pembatalan atas keputusan arbitrase tersebut. Permohonan pembatalan atas
putusan arbitrase diajukan kepada Pengadilan Negeri pada daerah hukum di
mana para pihak tersebut bersengketa.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penyelesaian masalah secara arbitrase di Indonesia didasarkan atas UU
No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian melalui arbitrase dapat menekan lamanya
waktu, biaya dan tenaga serta sifatnya tertutup, sehingga sangat tepat
untuk para pebisnis dari negara asing.
2. Putusan Arbitrase pada hakikatnya adalah bersifat final dan mengikat
secara langsung terhadap pihak yang bersengketa. Karena
Penyelesaian menggunakan arbitrase merupakan pilihan kedua belah
pihak yang bersengketa dan seharusnya hasil keputusan arbiter tersebut
mengikat kedua belah pihak, namun jika hasil keputusan arbitrase
tersebut merugikan salah satu pihak, maka upaya hukum para pihak
yang menolak putusan arbitrase adalah mengajukan permohonan
pembatalan keputusan arbitrase tersebut pada Pengadilan Negeri.
B. Saran
1. Penyelesaian secara arbitrase di Indonesia nampaknya kurang
sosialisasi, sehingga sebagian masyarakat belum mengetahui eksistensi
lembaga arbitrase untuk itu hendaknya mengenai eksistensi lembaga
arbitrase ini disosialisasikan kepada masyarakat luas.
2. Penyelesaian secara arbitrase merupakan suatu hasil kesepakatan
kedua belah pihak yang ditungkan dalam perjanjian, untuk itu kaitannya
dengan upaya hukum permohonan pembatalan keputusan pada
Pengadilan Negeri, hendaknya Pengadilan Negeri mempertimbangkan
14

kesepakatan kedua belah pihak dan menekan waktu dalam menerbitkan


penetapan atas permohonan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991.

Boediono, Ekonomi Internasional, BPFE, Yogyakarta, 2001.

Keinichi Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company


Inc., Printed In USA, 1990

Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan


Hukum Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.

Pitlo, Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta, 1986.

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1,


Djambatan, Jakarta, 1992.

Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara


Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1998.

Ricky W. Griffin dan Michail W. Pustay, Bisnis Internasional, Jilid I, Indeks,


Jakarta, 2005.

Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Ghama


Media, Yogyakarta, 1999.

Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum,


Pustaka Kartini, Jakarta, 1995.

_______, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,


1989.

Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Jakarta


1998.

Subekti, Arbitrase Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1981.


15

_______, Hukum Perjanjian, , Intermasa, Jakarta, 1991.

Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya


Bakti, Bandung, 1999.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty,


Yogyakarta, 1979.

Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht,


Terjemahan Adiwimarta, Gajahmada, Yogyakarta, 1962.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur


Bandung, 1991.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengetahuan Ratifikasi Trade


Relate Asfect Propertu Rungkit.

Anda mungkin juga menyukai