Wrap Up SK3 Blok 19
Wrap Up SK3 Blok 19
Halaman Judul............................................................................................1
Daftar Isi.....................................................................................................2
Skenario 3...................................................................................................3
Brainstorming.............................................................................................5
Kerangka Konsep........................................................................................7
Sasaran Belajar...........................................................................................8
LO 1. Memahami dan Menjelaskan Cleft Palate........................................9
1.1 Definisi...........................................................................................9
1.2 Etiologi...........................................................................................9
1.3 Patogenesis.....................................................................................9
1.4 Klasifikasi.......................................................................................10
1.5 Pemeriksaan....................................................................................12
1.6 Rencana Perawatan.........................................................................13
LO 2. Memahami dan Menjelaskan Obturator...........................................15
2.1 Definisi...........................................................................................15
2.2 Klasifikasi.......................................................................................16
2.3 Indikasi dan Kontraindikasi............................................................18
2.4 Prosedur Perawatan........................................................................18
LO 3. Pandangan Islam...............................................................................20
Daftar Pustaka.............................................................................................21
2
Skenario 2
Langit-langit Berlubang
Seorang pasien laki-laki umur 50 tahun datang ke RSGMP Univ. YARSI ingin
dibuatkan alat untuk menutup lubang di langit-langit rahang atasnya yang telah ada
sejak lahir. Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluh sering terdesak saat
makan, gigi-gigi dicabut karena keropos dan pencabutan terakhir kurang lebih 1 tahun
yang lalu. Pasien belum pernah memakai gigi tiruan.
3
14, 35, 36 terdapat gambaran radiolusen pada periapikal
36, 35, 33, 32, 42, 43, 47 terdapat gambaran radiolusen pada mahkota gigi
Brainstorming
4
Kata kunci
- Cleft palate
- Karang gigi
- Berlubang pada gigi 14,32,33,35,36,42,43 dan 47
- Sisa akar pada gigi 15,13,12,11,22,23 dan 25
- Gigi hilang pada gigi 21,27,28,37,44 dan 46
- Sering tersedak saat makan
- Gigi dicabut karena keropos
- Pasien belum pernah memakai gigi tiruan
- Terakhir pencabutan 1 tahun lalu
- Gigi 14,35,36 radiolusen periapikal
- Gigi 36,35,33,32,42,43,47 radiolusen pada mahkota
Pertanyaan
1. Apa penyebab cleft palate dan patogenesisnya?
2. Apa klasifikasi dan definisi cleft palate?
3. Apa perawatan pertama yang dilakukan saat kunjungan dan rencana perawatan
pada kasus skenario?
4. Apa perawatan yang dilakukan untuk menangani cleft palate?
5. Apakah pada pasien cleft palate memiliki resiko karies yang tinggi?
6. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan?
7. Apakah diagnosis pada kasus?
Jawaban
1. Etiologi: kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, obat-obatan, infeksi,
merokok, minuman alkohol pada saat kehamilan
Patogenesis: usia kehamilan 6 minggu bibir atas dan langit-langit terbentuk
dari jaringan yang berada di kedua sisi tapi jaringan gagal bersatu
2. Definisi: cleft palate adalah celah pada palatum
3. Scalling, pencabutan sisa akar, penambalan gigi yang berlubang, pembuatan
interim
4. Pembuatan obturator
5. Iya, karna keadaan anatomi di daerah cleft, gigi yang berjejal, defek
hipoplastik, dan kesulitan membersihkan mulut yang berkaitan dengan
anatomi daerah cleft
6. Pemeriksaan klinis dan penunjang
7. Cleft palate bilateral complete
5
Kerangka Konsep
Cleft palate
6
Pemeriksaa Penatalaksanaan
n
Obturator
- Definisi
- Klasifikasi
- Indikasi dan
kontraindikasi
- Prosedur
Sasaran Belajar
7
2.2. Klasifikasi
2.3. Indikasi dan kontraindikasi
2.4. Prosedur perawatan
LO 3. Pandangan Islam
8
disebut sebagai velopharingeal inadequency. Oleh adanya gap tersebut, maka
udara akan memasuki rongga hidung menyebabkan resonansi suara
hipernasal (hypernasal voice resonance) dan emisi nasal. Efek sekunder
velopharyngeal inadequency diantaranya adalah kekacauan dalam
berbiacara.1
1.2 Etiologi
Terdapat dua faktor utama yang mendasari etiologi cleft palate, yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik dapat memicu adanya cleft
palate. Hal ini dapat diketahui dari beberapa stuid terhadap kasus-kasus
sindromik dan non sindromik. Kasus sindromik meliputi: sindrom Van der
Woude, sindrom Siderius X-linked n, sindrom Stickler, sindrom Loeys-Dietz,
Patau Syndrome. Sedangkan kasus non sindromik adalah: adanya variasi
gen. Jika seseorang lahir dalam keadaan cleft, maka orang tersebut akan
berpeluang memiliki anak yang cleft.
Faktor lingkungan juga menjadi penyebab adanya cleft palate. Kelainan cleft
palate dan kongenital semenjak lahir telah dihubungkan dengan maternal
hipoksia yang disebabkan oleh merokok, alkohol, atau beberapa obat
hipertensi. Faktor-faktor lingkungan yang masih dalam tahap penelitian
diantaranya adalah: faktor musim, nutrisi ibu dan intake vitamin, retinoid,
obat-obatan antikonvulsan, dan narkotika.2
1.3 Patogenesis
Pada minggu kelima sampai keenam pada prosesus frontonasalis adalah
terbentuk prosesus nasalis medialis dan prosesus nasalis lateralis, dan akhir
minggu keenam dan awal minggu ketujuh, prosesus maksilaris berkembang
kearah depan menuju kegaris tengah dibawah prosesus nasalis lateralis, dan
mendekati prosesus nasalis medialis untuk bersatu. Pada saat ini epitel,
kemudian pecah sehingga memungkinkan mesoderm bersatu sehingga bibir
berkembang dengan sempurna. Jika terjadi gangguan kegagalan ini fusi
prosesus maksilaris dengan prosesus nasalis medialis maka akan terjadi celah
bibir.
Proses fusi ini merupakan struktur garis median dari proses
pembentukan philtrum. Hal ini yang menyebabkan terjadinya unilateral atau
bilateral tetapi tidak digaris tengah. Terjadinya celah langit-langit, jika
prosesus maksilaris dengan prosesus frontonasalis dalam bidang horizontal
gagal bersatu. Celah langit-langit ini bervariasi, jika hanya satu lembeng
9
berfusi dengan septum nasalis maka terjadi celah langit-langit unilatetal, jika
kedua lembeng gagal berfusi terjadi celah langit-langit bilateral.
Perkembangan wajah yang normal tergantung dari pertumbuhan yang
harmonis dari bagian-bagian tertentu yang dapat bertumbuh secara dinamis.
Selama periode krisis perkembangan yang tidak sejalan dan adanya
kekurangan proliferasi dari pada mesoderm contoh membentuk jaringan ikat
penghubung yang melintasi garis fusi yang menjadi penyebab berbagai
macam proses embrio dalam pembentukan celah.3
1.4 Klasifikasi
Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
Golongan I : Celah pada langit-langit lunak.
Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen
insisivum.
Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada satu sisi.
Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada dua sisi.
10
Kelas V : defect bilateral maksila pada regio posterior, dengan gigi yang
tersisa pada regio anterior kedua sisi.
Kelas VI : defect bilateral maksila pada regio anterior, dengan gigi yang
tersisa pada regio posterior kedua sisi.
Menurut macamnya :
Congenital cleft palate : celah langit bawaan
Acquired cleft palate : celah langit yang didapat (trauma,penyakit/kanker)
Menurut derajatnya :
Complete cleft palate : celah langit-langit lengkap dimana kelainan yang
terdapat di langit-langit juga lingir alveolar dan bibir terkena, baik unilateral
maupun bilateral.
Incomplete cleft palate : celah langit-langit tidak lengkap dimana kelainan
bentuk hanya terjadi pada palatum durum atau palatum molle.
Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit menurut Kernahan dan Stark
(1958) yaitu:
Berdasarkan pada embriologi yang pakai formaen incisibum sebagai batas
yang memiskan celah pada palatum primer dari palatum sekunder.
Klasifikasi ini menggunakan metode strip-y.
Group I : Celah langit-langit primer. Dalam grup ini termasuk celah bibir,
dan kombinasi celah bibir dengan celah pada tulang alveolar. Celah terdapat
dimuka foramen insisivum.
Group II : Celah yang terdapat dibelakang foramen insisivum. Celah langit-
langit lunak dan keras dengan variasinya. Celah langit-langit sekunder.
11
Group III : Kombinasi celah langit-langit primer (group I) dengan langit-
langit sekunder (group II).4
1.5 Pemeriksaan
Beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG prenatal, namun
tidak terdapat skrining sistemin untuk celah orofasial. Celah palatum
tersendiri tidak dapat didiagnosa pada pemeriksaan USG antenatal. Ketika
diagnose antenatal dipastikan, rujukan ke ahli bedah plastic tepat untuk
konseling dalam usaha menghilangkab ketakutan. Setelah lahir, tes genetic
mungkin membantu menentukan perawatan terbaik untuk seorang anak,
khusunya juka celah tersebut dihubungkan dengan kondisi genetic.
Pemeriksaan genetic juga memberi informasi pada orang tua tentang resiko
mereka untuk mendapat anak lain dengan celah bibir atau celah palatum.
Celah palatum juga dapat didiagnosis dengan pemeriksaan fisik dengan
pemeriksaan fisik pada saat lahir.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan oral rutin yang dilakukan untuk mendapatkan informasi yang
berhubungan dengan abnormalitas gigi, lengkung rahang, palatum lunak,
palatum keras dan lidah.
Gigi hilang yang dapat mempengaruhi bunyi konsonan.
Lengkung alveolar sempit atau tidak.
Adanya fistula pada palatum lunak atau keras.
Malposisi memperberat keadaan si pasien hingga menghasilkan bunyi
berdesis seperti s dan z.
Pemeriksaan Penunjang
1. Cephaloroentgenographs
Merupakan X-ray kepala bagian lateral dan frontal. Digunakan untuk
mempelajari pertumbuhan fasial dan tengkorak, membantu melihat bentuk
atas dan bawah rongga mulut, termasuk tengkorak dan ukuran dan bentuk
bagian diatas palatum lunak yang mempengaruhi ruang pernafasan dan
membantu menentukan pembentukan spinal servikal dan ukuran serta
panjang palatum lunak.
2. Multiview vidiofluroscopy
Merupakan gambaran X-ray maksila dan mandibular (dari depan, samping
dan bagian bawah pada video tape) ketiga gambarnya digunakan untuk
mengevaluasi fungsi velofaringeal. Contoh : bicara dan mengunyah.5
12
1.6 Rencana Perawatan
Waktu optimal untuk rekontruksi celah bibir
Syarat umum dilakukan operasi adalah anak/bayi sehat, tidak menderita
penyakit atau kelainan sistemik. Selain syarat tersebut diatas, maka sebagai
pedomen yang harus diiluti The Rule Of Over 10s dari Millard, yaitu:
1. Umur anak minimal 10 minggu.
Pada saat seperti ini merupakan waktu yang tepat untuk dilakukan
rekontruksi, terutama perlu diperhatikan adalah system cardio respiration
dan daya tahan vaskular pulmonarnya. Pada penderita ini hendaknya diamati
tanda dan gejala gangguan tidur (sleep-apnea) dengan menanyakan kepada
orang tuanya apakah pasien kebiasaan mendengkur, gelisah, berkeringat
waktu malam, sulit bernafas, ataupun terlihat sianosis. Keadaan seperti ini
supaya dikonsultasikan kebahagian THT untuk ditangani.
2. Beratnya minimal 10 lbs (5 kg)
3. Hb minimal 10 gms (10 mg per 100 ml) dan lekosit tidak boleh diatas
10.000 sel per mm.
Selain kondisi fisik pasien waktu operasi atau jenis operasi yang harus
dipertimbangkan juga harus ada kerjasama yang baik dari anggota tim yang
merawat.
Persiapan pra bedah
Persiapan pra bedah penting sekali untuk mengurangi faktor resiko
karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian
keadaan penderita. Dalam persiapan inilah ditentukan adanya kontraindikasi
operasi, toleransi penderita terhadap tindakan bedah, dan ditetapkan waktu
yang tetap untuk dilakukan pembedahan.
Tindakan umum yang dilakukan setelah diputuskan melakukan
pembedahan dimaksudkan untuk mempersiapkan penderita agar hambatan
pasca bedah dapat dicegah. Hambatan-hambatan bedah dapat diperoleh dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis merupakan tindakan pertama
dalam proses pemeriksaan pasien. Tujuan anamnesis ini adalah untuk
memperoleh gambaran kesehatan pasien secara umum maupun khusus.
Sebelum tindakan bedah, perlu dilakukan beberapa pemeriksaan,
diantaranya pemeriksaan klinis, pemeriksaan klinik patologis, dan
13
pemeriksaan radiografis, sehingga diagnosa yang tepat ditegakkan dan
memperkecil risiko timbulnya keadaan patologis dikemudian hari.
Penataklaksanaan Bedah
1. Metode Barsky
Penataklaksanaan celah bibir dilakukan dengan labioplasti metode
barsky dipilih karena prolabium pendek dan sisi sebelah kiri sumbing tidak
komplit maka desain pada daerah tersebut dengan meninggikan titik dasar
hidung agar sesuai dengan tinggi pada sisi kanan sumbing yang komplit,
sehingga panjang insisi sebelah kiri dengan sebelah kanan sama.
Suntik daerah bibir yang akan dilakukan insisi dengan anestikum
umum yang mengandung bahan vasokontriksi. Insisi garis-garis yang telah
ditentukan dan dilakukan diseksi tumpul dan pisahkan kulit dengan otot bibir
sampai otot-otot bibir lepas dan dapat ditarik ke tengah untuk ditemukan
dengan otot-otot bibir disisi yang lain sehingga dapat bertemu dan otot tidak
tegang. Dilakukan penjahitan dimulai otot dengan otot menggunakan dengan
benang absorben 4.0, kemudian dan dijahit dengan benang non-absorben 5.0.
Kontrol pendarahan, orofaring pack dibuka, operasi selesai.
2. Metode Millard
Teknik perawatan celah bibir dengan metode Millard sebagai berikut:
- Menentukan titk tengah dari cupids bow, kemudian titik puncak cupids
bow dari sisi yang intak
- Sebelum melakukan insisi maka dilakukan dulu pembuatan pola
gambar untuk rotasi dari sisi medial dan pola advancement dari sisi
lateral dengan methylen blue atau gentian violet
- Daerah yang akan di insisi pada bibir kita anastesi secara infiltrasi
dengan memakai bahan anastesi lokal ditambah dengan vasokontriksi
- Insisi sesuai dengan pola rotasi pada vermilion, sehingga cupids bow
akan terotasi kebawah. Insisi dibuat agak sedikit tegak lurus dengan
mucocutaneus junction untuk menjaga keseimbangan bibir. Jika ketika
pembuatan pola rotasi, garis berlanjut lurus ke tubercle vermilion tegak
lurus dengan insisi pada 90 derajat ke mucocutaneus junction maka
jaringan ikat yang penting akan hilang
- Insisi sesuai dengan pola advencement pada sisi lateral
- Insisi AB terletak pada posisi philtrum colummela Z plasti dari bagian
atas tersembunyi pada lipatan dasar hidung
14
- Melakukan penjahitan dengan benang absorbel untuk otot dan benang
mon absorbel 3,0 4,0 5,0 untuk mukosa dan kulit
- Setelah selesai luka ditutup dengan kain kasa lunak dan diganti tiap
hari.
Perawatan sesudah bedah
Instruksi pasca operasi, menjaga luka operasi agar tetap kering, diet
bertahap cair sampai lunak tinggi kalori tinggi protein, bila sudah sadar dan
pulih kembali dapat langsung pulang, pemberitahuan mengenai kondisi yang
biasa terjadi setelah operasi kepada orang tua pasien seperti rasa sakit dan
tidak nyaman mencapai puncaknya pada waktu kembalinya sensasi dan
menggunakan obat sesuai anjuran dokter. Obat-obatan yang diberikan pasca
operasi adalah antibiotik, analgetik, dan antiinflamasi. Setiap hari dibersih
luka dan dilakukan dressing pada hari ke-7 untuk dilakukan pelepasan jahitan
selang seling serta hari ke-14 untuk diakukan pelepasan jahitan seluruhnya.6
LO 2. Memahami dan Menjelaskan Obturator
2.1 Definisi
Obturator merupakan 1) sebuah protesa maksilofasial yang digunakan untuk
menutup bukaan jaringan kongenital atau dapatan, khususnya palatum keras
dan/atau struktur-struktur jaringan lunak/alveolar yang berdekatan. 2)
komponen protesa tersebut pas dan menutupi defek dalam rongga mulut atau
defek tubuh lainnya. 3) protesa maksilofasial yang digunakan untuk menutup,
atau menjaga integritas rongga mulut dan bagian-bagian nasal yang
diakibatkan oleh proses penyakit kongenital, dapatan, atau perkembangan,
seperti kanker, celah palatal, osteoradionekrosis palatum. Protesa tersebut
memfasilitasi bicara dan penelanan dengan menggantikan kehilangan jaringan
tersebut karena proses suatu penyakit dan dapat mengurangi regurgitas nasal
dan hypernasal speech, meningkatkan artikulasi, penelanan, dan
pengunyahan.7
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan pembuatannya obturator dibagi menjadi
Obturator pembedahan
Obturator interim
Obturator definitif
Obturator pembedahan dibuat sebelum dilakukan pembedahan melalui
proses pencetakan dan model gigi sebelum pembedahan setelah dilakukan
batasan pembedahan oleh operator bedah. Proses pembuatannya dibantu
15
dengan pemeriksaan radilogis. Obturator pembedahan diinsersi dan difiksasi
dengan menggunakan sekrup atau kawat. Tujuan obturator ini untuk
memisahkan rongga mulut dan rongga hidung, memberikan dukungan bagi
medikamen pasca bedah, melindungi cangkokan sebagai penutup luka, dan
meminimalisir kontaminasi area bedah. Selain itu pemasangan obturator
memberikan pasien kemampuan untuk berbicara dan menelan segera setelah
pembedahan.8
Obturator pembedahan dilepaskan pada hari ke 7-10 setelah pembedahan.
16
5. Oklusi posterior pada area defek tidak dibuat hingga luka bekas operasi telah
sembuh sempurna.
6. Pada pasien yang sudah memiliki gigi tiruan dapat dilakukan adaptasi
sehingga dapat berperan sebagai obturator pembedahan.9
Kontraindikasi.
- Jaringan pendukung dalam kondisi tidak sehat dan tidak stabil
- Frekwensi karies tinggi.
- Usia masih terlalu muda.
- Penderita dengan sosial ekonomi rendah.11
2.4 Prosedur Perawatan
17
1. Memeriksa keadaan rongga mulut secara seksama sebelum dilakukan
operasi dan mendiskusikan rencana perawatan dengan ahli bedah
sehubungan dengan garis insisi yang akan dilakukan dan banyaknya
reseksi.
2. Mengambil pencetakan pra-bedah dari lengkung rahang maksila dengan
irreversible hydrocolloid (alginate). Cetakan di cor dengan gypsum tipe 3
untuk mendapatkan model kerja dan membuat gars batas dari reseksi
maksila. Desain di tinjau kembali dengan dokter bedah untuk
memverifikasi cakupan reseksi yang direncanakan.
3. Memodifikasi model untuk mendapatkan kontur anatomi normal.
4. Manipulasi kawat stainless steel orthodontic ukuran gauge 19 untuk
membuat cengkram C yang melibatkan area retentive infrabulge labial
dari sisa gigi sehat pada area non reseksi dan/atau pada daerah reseksi.
5. Fabrikasi pelat digabungkan dengan cengkram dengan akrilik resin
polimerisasi panas dengan cara konvensional. Dilakukan finishing dan
polishing pada plat palatal dengan cara biasa.
6. Pasang kembali plat palatal pada model rahang atas dan membuat bentuk
template vakum dari plat. Dengan catatan permukaan fasial pada sisi
defek dari model harus benar-benar tercatat seluruhnya dalam
pembentukan template vakum sampai pada area perbatasan.
7. Lepas plat palatal dari model dan di transfer ke template vakum yang telah
dibentuk.
8. Pemisahan model definitive menurut garis yang akan direseksi dan
dipisahkan dari bagian yang akan dipotong dari model. Gunakan bagian
sisa (struktur normal) dari model untuk membuat protesis.
9. Pasang kembali bagian yang tersisa dari model (bersama dengan plat
palatal ke template vakum yang telah dibentuk).
10. Buat gigi palsu dengan menambahkan autopolimerisasi akrilik resin yang
sewarna dengan gigi pada daerah cetakan gigi dalam template vakum
yang telah dibentuk. Juga membuat sayap pada fasial (seragam 2-3 mm
tebalnya) dengan menambahkan akrilik resin autopolimerisasi berwarna
pink (Teknik Sprinkle-on).
11. Setelah polimerisasi sempurna, pelepasan model dari template vakum
yang telah dibentuk/ lepaskan protesa dari vakum template secara hati-
hati. Potong akrilik resin yang berlebih dari fasial sayap dan finishing dan
polishing dari protesa dengan cara konvensional.
18
12. Desinfeksi alat protesa sebelum dicoba pada mulut pasien dengan larutan
glutaraldehid 0,2%. Penyesuaian minor dilakukan agar protesa dapat
duduk sepenuhnya pada posisinya segera setelah operasi. Tempatkan
surgical pack pada area defek sebelum penempatan obturator jika
diperlukan.
13. Pasien di jadwalkan untuk kontrol rutin agar dapat dilaksanakan
pemeriksaan dari jaringan penyembuhan dan penyesuaian obturator.12
LO 3. Pandangan Islam
Boleh atau tidak menggunakan gigi tiruan2
Boleh bagi seseorang ketika ada giginya yang rontok, untuk diganti dengan
gigi palsu, karena semacam ini termasuk bentuk menghilangkan cacat tubuh.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan salah
seorang sahabat yang terpotong hidungnya, untuk menambal hidungnya
dengan perak. Namun malah membusuk. Kemudian beliau mengizinkan
menambal hidungnya dengan emas. Demikian pula gigi. Ketika ada gigi
seseorang yang rontok, dia boleh memasang gigi palsu sebagai penggantinya,
dan hukumnya tidak masalah. (Fatawa Nur ala Ad-Darb,).
DAFTAR PUSTAKA
19
J. 37 (2). Available at URL doi:10.1597/1545-
1569(2000)037<0112:PPFASP>2.3.CO;2.
2. Zucchero TM, et al. Interferon regulatory factor 6 (IRF 6) gene
variants and the risk of isolated cleft lip or palate. 2004. United
Kingdom: New England Journal of Medicine.
3. Petterson. Cleft lip and cleft palate. BC Decker Inc. 2000.
4. Sloan GM (2006). Posterior pharyngeal flap and sphincter
pharyngioplasty: the state af the art. Cleft PalateCraniofac. J. 37 (2):
112-22.
5. Jones, M.C., 2002, Prenatal Diagnosis of Cleft Lip and Palate:
Detection Rates, Accuracy of Ultrasonography, Associates
Anomalies, and Strategies for Conseling. Cleft Plate-Craniofacial
Journal, March 2002, Vol.39 No.2
6. Driana Pertama W., dan Soelistiono. Labioplasti metode Barsky
dengan anestasi local pada penderita celah bibir bilateral inkomplit.
Maj Ked Gi Desember 2008; 15(2): 131-4.
7. The academy of prosthodontics. The Glossory of Prosthodontic
Terms. JPD 2005:(94)1.
8. Hupp JR, Ellis III E, dan Tucker MR. Contemporary Oral and
masillofacial surgery: 6th ed. 2014. Missouri: Elsevier
9. Keyf F. Obturator prostheses for hemimaxillectomy patients. J.Oral
Rehab. 2001; 28:821-29.
10. Mantri A, Khan Z. Prosthodontics rehabilitation of acquired
maxillofacial defects [internet]. Tersedia pada:
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/31110.pdf
11. Sjamsuhidajat, R. Karnadihardja, Warko. Prasetyono, T. Rudiman,
Reno. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. 2011. Jakarta: EGC
12. Keyf F. Obturator prostheses for hemimaxillectomy patients. J.Oral
Rehab. 2001; 28:821-29.
13. Balts AM. Hukum Gigi Palsu. https://konsultasisyariah.com/19582-
hukum-gigi-palsu.html. Diakses pada tanggal 3 April 2017
20