tentang
PENATALAKSANAAN KASUS GANGGUAN JIWA
DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP)
Hal.
I. DESKRIPSI SINGKAT
Deteksi adalah langkah awal yang penting yang akan membawa orang yang sakit
mendapatkan pertolongan medis. Semakin cepat suatu penyakit, dalam hal ini
gangguan/penyakit jiwa, terdeteksi akan semakin cepat proses diagnosis didapatnya dan
semakin cepat pula pengobatan dapat dilakukan sehingga diharapkan akan memotong
perjalanan penyakit dan mencegah hendaya dan disabilitas.
Idealnya proses deteksi (dini) dapat dilakukan oleh setiap orang, artinya masyarakat paham
akan tanda-tanda awal gangguan jiwa, atau lebih luas lagi masalah kesehatan jiwa,
sehingga manakala masyarakat mendapati gejala-gejala awal tersebut mereka akan
memeriksakan diri ke dokter. Proses deteksi dapat juga dilakukan oleh para kader
kesehatan (jiwa) dan petugas kesehatan.
Dokter, memegang peranan penting dalam deteksi dini, posisi mereka strategis, karena
dengan mengenali adanya tanda dan gejala gangguan jiwa pada pasien yang datang
kepadanya akan membuat mereka menangkap kemungkinan adanya gangguan jiwa dan
melakukan pemeriksaan psikiatrik untuk menetapkan adakah gangguan jiwa yang dapat
terdiagnosis.
Modul ini membahas tentang prinsip umum layanan kesehatan jiwa, proses deteksi dini dan
tindak lanjutnya.
1
III. POKOK BAHASAN
Pokok bahasan pada modul ini adalah:
Pokok bahasan A : Prinsip umum layanan kesehatan jiwa
Pokok bahasan B : Pengertian dan fungsi deteksi dini masalah kesehatan jiwa
Pokok bahasan C : Prosedur melakukan deteksi dini masalah kesehatan jiwa dan tindak
lanjutnya
IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat
C. Studi kasus
D. Bermain peran
E. Praktik lapangan
2
d. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
e. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.
3
VII. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN A.
Prinsip umum layanan kesehatan jiwa
Dalam melakukan pelayanan kesehatan jiwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Komunikasi dengan pasien dan keluarga (carers)
2. Pemeriksaan (assessment)
3. Tatalaksana dan monitoring
4. Penggerakan dan penyediaan dukungan sosial
5. Perlindungan terhadap hak asasi
6. Perhatikan kesehatan secara umum
Dalam berkomunikasi dengan pasien dan keluarga, beberapa hal berikut akan
memperlancar dan mempermudah komunikasi yang dilakukan:
Upayakan selalu komunikasi yang jelas, empatik, dan sensitif terhadap usia, jenis
kelamin, kultur, dan perbedaan bahasa.
Selalu bersikap ramah, menghargai, dan tidak menghakimi.
Gunakan bahasa yang sederhana dan jelas.
Berikan respons yang sensitif dan sesuai terhadap keterbukaan informasi dari pasien
yang bersifat pribadi dan sulit diungkapkan (seperti penyerangan seksual atau
menyakiti diri sendiri)..
Berikan informasi tentang status kesehatannya dalam bahasa yang mereka pahami.
Tanyakan pemahaman orang tersebut terhadap kondisinya.
4
Jelaskan tujuan terapi dan buat rencana terapi dengan menghargai pilihan mereka
dalam terapi
Pikirkan rencana untuk keberlanjutan terapi dan lakukan pemantauan melalui
komunikasi.
Informasikan lama terapi yang diharapkan, kemungkinan efek samping dari
intervensi, pilihan tatalaksana alternatif lainnya, pentingnya kepatuhan terhadap
terapi, dan kemungkinan prognosis.
Jawab pertanyaan dan kekhawatiran tentang terapi, komunikasikan harapan yang
realistik, misalnya untuk fungsi yang lebih baik dan pemulihan.
Monitor hasil terapi, interaksi obat, efek samping
Fasilitasi rujukan ke spesialis, bila tersedia dan dibutuhkan.
Usahakan untuk menghubungkan orang tersebut ke dukungan masyarakat, bila ada
Dalam pemantauan, nilai kembali pemahaman pasien terhadap penyakitnya, terapi,
dan kepatuhan terhadap terapi, koreksi jika ada kesalahan.
Ajarkan kepada pasien dan keluarga untuk memantau gejala-gejala dan terangkan
kapan mereka harus mencari bantuan secepatnya.
Catat aspek penting interaksi pasien dengan keluarga maupun orang lain.
Gunakan sumber daya di keluarga dan masyarakat untuk pasien yang tidak patuh
terhadap terapi.
Pemantauan lebih sering dilakukan untuk ibu hamil dan menyusui, serta pada orang
dengan usia lanjut
Pastikan bahwa mereka diberikan tatalaksana secara menyeluruh, fisik dan jiwa.
5
Libatkan anak-anak dan remaja dalam pengambilan keputusan sesuai kapasitas
perkembangan mereka, beri mereka kesempatan untuk mendiskusikan secara
pribadi hal-hal yang menjadi kekhawatiran.
POKOK BAHASAN B
Pengertian dan fungsi deteksi dini masalah kesehatan jiwa
Deteksi merupakan tahap awal dari rangkaian proses penatalaksanaan penyakit, termasuk
gangguan jiwa. Ini adalah langkah sebelum dilakukannya proses diagnosis, yang membawa
seorang petugas medis untuk memutuskan melanjutkan ke tahap berikut yaitu proses
diagnosis.
Seyogyanya setiap pasien yang datang didekati dengan prinsip holistik, memperhitungkan
kemungkinan terjadinya semua penyakit, serta melakukan pemeriksaan status penyakit
dalam, neurologik dan psikiatrik.
Apabila tidak memungkinkan untuk melakukan penapisan dan pemeriksaan psikiatrik pada
seluruh pasien, maka perhatian terutama harus ditujukan kepada beberapa kelompok pasien
yang berisiko tinggi, yaitu:
1. Pasien dengan penyakit fisik kronis (infeksi & non-infeksi)
6
2. Pasien dengan keluhan fisik yang diduga ada hubungannya dengan masalah
kejiwaan (keluhan fisik timbul/memberat jika ada masalah psikis)
3. Keluhan fisik beraneka ragam/berganti-ganti, gangguan fisik/kelainan organik (-)
4. Pasien yang mengalami pengalaman hidup yang ekstrem (trauma psikologis, stress
yang berat, kehilangan)
5. Pasien dengan disabilitas
Penapisan/skrining selain oleh dokter dapat dilakukan juga oleh perawat, bahkan deteksi
dapat dilakukan oleh kader kesehatan jiwa. Sedangkan diagnosis medik, intervensi
farmakologis, rujukan dilakukan oleh dokter. Intervensi psikososial dapat dilakukan oleh
dokter dan/atau perawat.
POKOK BAHASAN C.
Cara Melakukan Deteksi Dini Gangguan Jiwa dan Tindak Lanjutnya
Biasanya deteksi dapat dilakukan oleh awam, kader kesehatan/kesehatan jiwa, perawat dan
dokter. Bedanya, setelah terdeteksi dokter dapat langsung melanjutkan ke proses
pemeriksaan dan diagnosis.
Tabel 1. Presentasi Umum Beberapa Gangguan Jiwa (diambil dari WHO mhGAP-IG Master
Chart)
Gangguan yang
Presentasi Umum
Harus Diperiksa
7
Gangguan yang
Presentasi Umum
Harus Diperiksa
8
Gangguan yang
Presentasi Umum
Harus Diperiksa
9
Sebagai kerangka berpikir, untuk memperjelas proses deteksi dan diagnosis gangguan jiwa,
dapat digunakan bagan di bawah ini.
Gambar 1. Skema proses deteksi dan diagnosis gangguan jiwa di Puskesmas (Modifikasi
Metode Dua Menit)
10
3. Keluhan Mental Emosional (ME)
Keluhan yang berkaitan dengan masalah kejiwaan (alam perasaan, pikiran dan
perilaku).
Contoh: mengamuk, bicara melantur, mendengar bisikan, melihat bayangan iblis,
telanjang di depan umum (gejala psikotik); cemas / takut tanpa sebab yang jelas,
gelisah, panik, pikiran dan/atau perilaku yang berulang (gejala neurotik/cemas);
murung, tak bergairah, putus asa, ide kematian (gejala depresi); penyalahgunaan
atau ketergantungan terhadap narkoba (gangguan penggunaan zat psikoaktif); ayan,
bengong, kejang-kejang (epilepsi); gejala pada anak-anak dan remaja seperti
kesulitan belajar, tak bisa mengikuti pelajaran di sekolah, (retardasi mental), atau
gangguan perkembangan., atau gejala psikotik pada anak seperti gejala autisme
pada kanak, hiperaktivitas, gangguan pemusatan perhatian dan sebagainya
Apabila pasien termasuk dalam kelompok yang berisiko gangguan jiwa, seperti disebutkan
di atas, maka dilakukan skrining dengan tiga pertanyaan:
1. Selama dua minggu terakhir bagaimana perasaan Bapak/Ibu?
2. Apakah Bapak/Ibu kehilangan minat atau rasa senang terhadap hal-hal yang dulunya
dinikmati?
3. Apakah Bapak/Ibu merasa tenaganya berkurang atau lelah sepanjang waktu?
Apabila pasien kurang paham dengan pertanyaan pertama dapat digunakan alternatif
pertanyaan:
Perasaan apa yang paling banyak Bapak/Ibu rasakan selama dua minggu terakhir,
apakah senang/gembira, sedih, cemas/kawatir, takut, atau marah?
Jika pertanyaan pertama dijawab bahwa yang dirasakan selama dua minggu terakhir
adalah cemas atau was-was atau kawatir, maka hasil skriningnya positif untuk anxietas
dan dilanjutkan dengan pemeriksaan diagnostik.
Jika pertanyaan pertama dijawab bahwa yang dirasakan selama dua minggu terakhir
adalah sedih/murung/tidak bahagia dan salah satu dari dua pertanyaan berikutnya
dijawab Ya, atau dua dari tiga pertanyaan penyaring tersebut positif, maka terindikasi
untuk depresi. Proses selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan untuk memastikan
ada atau tidaknya gangguan depresi.
11
Terkadang diperlukan kalimat peralihan sebelum menanyakan 3 pertanyaan skrining
tersebut di atas untuk membuat perpindahan topik lebih halus. Terutama perpindahan ke
topik yang sangat berbeda dari sebelumnya. Misalnya, setelah mendiskusikan masalah fisik
dan hendak beralih memeriksa status mental, atau untuk mengintroduksi topik yang sensitif.
Tindak lanjut
Setelah terdeteksi kemungkinan adanya satu atau lebih gangguan jiwa, maka selanjutnya
dilakukan proses diagnostik dengan wawancara psikiatrik dan pemeriksaan tambahan lain,
mengacu pada kriteria diagnostik dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ) atau International Classification of Diseases (ICD) untuk masing-
masing penyakit/gangguan jiwa.
VIII. REFERENSI
12
MATERI INTI 2.
WAWANCARA PSIKIATRIK
I. DESKRIPSI SINGKAT
Gangguan psikiatrik seringkali luput dalam perhatian kita saat berhadapan dengan pasien
di Puskesmas. Untuk itu diperlukan kemampuan khusus dalam melakukan pemeriksaan
awal sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan jiwa dapat terdeteksi
dengan lebih baik dan kita dapat memberikan penatalaksanaan yang komprehensif dan
paripurna. Modul ini akan menguraikan mengenai wawancara psikiatrik di fasilitas
kesehatan tingkat pertama.
IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat
C. Pemutaran video
D. Bermain peran
E. Praktik lapangan
13
C. Spidol
D. Slide presentasi
E. Lembar diskusi (Flip chart)
F. Video wawancara
G. Panduan bermain peran
H. Skenario bermain peran
I. Panduan praktik lapangan
14
1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan secara garis besar dalam waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.
2. Kegiatan peserta
a. Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
b. Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota kelompok
c. Melakukan kegiatan bermain peran dan mendiskusikannya
d. Menemukan psikopatologi yang ada pada pasien yang diperankan
e. Menanggapi kegiatan bermain peran dan diskusi yang disampaikan kelompok
lain
f. Mencatat hal-hal penting
15
VII. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN A. PENGERTIAN DAN PROSEDUR WAWANCARA PSIKIATRIK
1. Pengertian Wawancara Psikiatrik
Wawancara psikiatrik adalah suatu bentuk wawancara yang dilakukan oleh dokter
kepada pasien dengan tujuan untuk memperoleh data atau sekumpulan gejala yang
akan digunakan untuk menetapkan diagnosis dan rencana tatalaksana bagi pasien.
Selain sebagai alat bantu diagnostik, pada wawancara psikiatrik yang baik juga terdapat
komponen terapi. Dalam berelasi dengan pasien selama wawancara, seorang dokter
dengan bahasa verbal maupun non verbal dapat sekaligus memberikan dukungan,
menunjukkan penerimaan dan empati yang akan membuat pasien merasa lebih
nyaman. Dengan kata lain, wawancara psikiatri merupakan perangkat utama yang
diperlukan dalam melakukan penelusuran riwayat perjalanan penyakit (anamnesis),
gejala dan tanda gangguan psikiatrik (pemeriksaan status mental), menetapkan
diagnosis, merencanakan terapi, menentukan prognosis, dan juga sebagai alat untuk
memberikan terapi atau intervensi non-farmakologis (psikoterapi) bagi pasien dengan
problem psikiatrik.
16
bagi pasien; keluarga, teman, lingkungan, agama, dll. Dalam hal ini, isi wawancara
mirip seperti anamnesis untuk penyakit fisik.
c. Menutup Wawancara:
Saat mengakhiri wawancara, buatlah simpulan singkat hasil wawancara dan selipkan
kalimat suportif bagi pasien. Bantu pasien untuk melihat sisi lain dari
permasalahannya sehingga ia merasa lebih baik. Berikan penjelasan tentang
kemungkinan diagnosis dan rencana terapi. Berikan pasien kesempatan untuk
bertanya mengenai hal-hal yang masih kurang jelas dan akhiri wawancara dengan
membuat janji temu untuk pertemuan berikutnya bila diperlukan.
17
mengalami rasa khawatir, gugup, takut, bahkan bingung, sehingga sulit untuk
mengungkapkan permasalahan. Untuk membantu pasien agar dapat menceritakan
permasalahan yang dialaminya, pewawancara perlu menumbuhkan rasa percaya
pasien kepada pewawancara, memahami permasalahan tersebut, sehingga pasien
merasa dimengerti dan diterima.
Berikut ini adalah langkah-langkah dalam membina rapport:
1. Membuat suasana yang nyaman bagi pasien dan pewawancara
2. Menemukan hal-hal yang menyebabkan penderitaan pasien, dan memperlihatkan
kepedulian
3. Menunjukkan keahlian
4. Membangun sikap kepemimpinan (sebagai dokter dan terapis)
5. Menyeimbangkan peran sebagai pendengar yang berempati, seorang ahli, dan
sebagaiterapis.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari proses wawancara, perlu menerapkan
teknik mendengar yang efektif, seperti:
Duduk berhadapan dan agak membungkuk ke arah pasien, membuat
kontakmata
Rileks dan sikap terbuka, hangat dan empatik, memberi perhatian sepenuhnya
Suara lembut, tidak memotong pembicaraan
18
Tidak menghakimi, tidak memberi penilaian
3. Tunjukkan keahlian
Buat pasien memahami bahwa tidak hanya pasien sendiri yang menghadapi
masalah seperti sekarang.
Sampaikan pada pasien bahwa terapis familiar dengan masalah ini tunjukkan
pengetahuan yang dimiliki terapis.
Bicarakan hal-hal yang diragukan oleh pasien tentang kemampuan terapis,
bersama dengan keluarga atau teman yang mengantar pasien dengan
profesional.
Bangkitkan semangat pasien akan masa depannya.
5. Seimbangkan peran sebagai pendengar yang berempati, seorang ahli, dan sebagai
terapis.
Dalam melakukan wawancara psikiatri, kita harus dapat menyeimbangkan peran,
kapan harus menjadi pendengar yang berempati, seseorang yang ahli dengan
keilmuannya, dan sebagai terapis yang mengobati pasien.
19
2. Merespons dengan Empati
Empati adalah kemampuan untuk dapat memahami apa yang dirasakan oleh pasien,
bagaimana jika berada dalam posisi tersebut, namun tetap sebagai pihak yang
berdiri di luar masalah, sehingga tetap dapat bersikap objektif. Dapat jatuh dalam
simpati, bila terlarut dalam situasi yang dihadapi orang tersebut, lalu gagal bersikap
objektif. Simpati merupakan hal yang harus dihindari. Empati berkaitan dengan
kepedulian, pemahaman, serta sikap menghargai atau menghormati. Bersikaplah
apa adanya, jangan dibuat-buat, karena pasien akan dapat merasakan kepedulian
yang palsu. Respons terapis bisa berupa:
Memperlihatkan kepedulian kita melalui bahasa tubuh
Mempertahankan kontak mata, sesekali mengangguk, menampilkan ekspresi
yang sesuai, dll.
Ekspresi verbal singkat dapat memperlihatkan bahwa kita menghargai dan
memahami. Contoh : oh ya, mmm, saya mengerti
Saya dapat melihat bagaimana hal tersebut mengganggu Anda..
Hal tersebut pasti membuat Anda tidak nyaman..
Kesalahan yang sering dilakukan:
Mendengar sambil menulis atau kerja lain, pandangan menerawang
Tidak sabar, menyela/interupsi, berargumentasi
Banyak bicara atau menasehati, berbasa-basi
Terlalu cepat menyimpulkan
3. Observasi perilaku nonverbal (intonasi suara, gaya bicara, ekspresi wajah pasien)
Selama wawancara awal telah dimulai observasi kondisi dan perilakunonverbal
pasien. Komunikasi atau perilaku nonverbal yang dimaksud diantaranya:
Ekspresi wajah: tatapan mata, kerut dahi, alis, hidung dan kesesuaian
ekspresi wajah
Suara: nada, intonasi, jeda kata, cara bicara
Sikap tubuh: cara bersikap, gerakan tubuh, tangan, kaki
Reaksi fisiologis: wajah merah/pucat, berkeringat, napas tersengal, pupil mata
melebar
Penampilan: cara berpakaian, sikap dalam duduk dan berdiri
20
kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup secara tepat. Sedapat mungkin
bicaralah lebih sedikit dari pasien, kecuali saat membuat simpulan.
Memulai topik baru dengan pertanyaan terbuka yang luas; lanjutkan dengan
memfokuskan pada satu topik target; akhiri dengan serial pertanyaan yang semakin
menyempit, sesekali tertutup tipe ya/tidak.
Jika ingin menghindari pertanyaan tertutup, gunakan pertanyaan terbuka yang tajam
dan fokus. Contoh:
Apakah Anda mengalami sulit tidur? (jawaban yang muncul adalah: ya atau tidak)
lebih baik bertanya:
Apa yang terjadi saat Anda mencoba tidur?
Pendekatan yang baik adalah dengan mengkombinasikan keduanya, dari pertanyaan
luas ke pertanyaan yang terfokus dan tajam.
21
lalu.. apa yang terjadi kemudian?
Teknik Silence
terkadang pasien membutuhkan waktu untuk menangis, membutuhkan waktuuntuk
bercerita dalam kondisi yang mendukung
Teknik Dukungan Positif
Saya sangat menghargai Anda menceritakan kepada saya bahwa Anda berhenti
meminum obat. Dapatkah Anda memberitahukan kepada saya, apa masalahnya?
22
Daftar Tilik Bermain Peran
VIII. REFERENSI
23
MATERI INTI 3.
GANGGUAN ANXIETAS
I. DESKRIPSI SINGKAT
Gangguan Anxietas atau Kecemasan termasuk salah satu gangguan yang paling sering
ditemui di masyarakat. Seringkali datang dalam bentuk berbagai keluhan somatik (fisik)
sehingga sulit untuk dikenali secara cepat dan mengakibatkan keterlambatan tatalaksana
secara tepat.Yang termasuk Gangguan Anxietas antara lain:
Gangguan Anxietas Fobik
Gangguan Anxietas Lainnya
o Gangguan Panik
o Gangguan Anxietas Menyeluruh
o Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi
Gangguan Obsesif-Kompulsif
Reaksi terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian
o Reaksi Stres Akut
o Gangguan Stres Pasca Trauma
o Gangguan Penyesuaian
Gangguan Disosiatif (Konversi)
Gangguan Somatoform
o Gangguan Somatisasi
Modul ini hanya akan membahas terutama tentang gangguan cemas menyeluruh, gangguan
panik, gangguan campuran anxietas dan depresi, dan gangguan somatisasi, mulai dari
pengenalan gejala, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, hingga melakukan rujukan
kasus di FKTP.
24
4. Melakukan rujukan kasus gangguan anxietas
IV. METODE
Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Langkah 1: Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
25
Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat
Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
Mengikuti permainan
Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.
26
Mempresentasikan hasil diskusi/melakukan bermain peran
Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
Mencatat hal-hal penting
Setiap orang dapat mengalami anxietas atau kecemasan yang normal apabila menghadapi
stimulus lingkungan atau stres sehari-hari, agar bergerak dan melakukan sesuatu. Anxietas
tersebut berupa suatu perasaan yang tidak nyaman, khawatir, disertai dengan gejala-gejala
otonom seperti sakit kepala, perspirasi, palpitasi, rasa tidak enak perut, atau kegelisahan
motorik. Namun tidak semuanya akan mengalami Gangguan Anxietas, jika dapat
beradaptasi dengan stres tersebut.Anxietas yang menetap dalam waktu lama, tidak mereda,
atau intensitas yang kuat, berulang dan mengganggu fungsi sehari-hari maka ini menjadi
tanda dari Gangguan Anxietas.
Gangguan anxietas merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling sering ditemui. The
National Comorbidity Study melaporkan bahwa 1 di antara 4 orang memenuhi kriteria
diagnosis untuk paling tidak salah satu gangguan anxietas, dengan rata-rata prevalensi 1
tahunnya adalah 17,7%. Wanita lebih sering mengalami anxietasdengan prevalensi seumur
hidup sebesar 30,5% sementara pada pria sebesar 19,2%.Kelompok usia dengan prevalensi
tertinggi adalah 30-44 tahun, dan rata-rata onset gangguan pertama kali adalah usia 11
tahun. Data nasional Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
untuk gangguan mental emosional (gejala depresi dan cemas) yang dideteksi pada
penduduk usia 15 tahun atau lebih, dialami oleh 6% penduduk atau lebih dari 14 juta jiwa.
Komorbiditas gangguan anxietas dengan gangguan psikiatrik lainnya sangat tinggi. Yang
paling sering adalah komorbiditas dengan gangguan depresi. Dari berbagai studi prevalensi
seumur hidup komorbiditas depresi dan cemas bahkan lebih dari 50%, lebih jelasnya seperti
tersebut berikut ini:
- Komorbiditas gangguan anxietas sosial dengan depresi 34-70%
- Komorbiditas gangguan stres pascatrauma dengan depresi 48%
- Komorbiditas gangguan panik dengan depresi 60-65%
- Komorbiditas dengan gangguan cemas menyeluruh dengan depresi 8-39%
- Komorbiditas gangguan obsesif kompulsif dengan depresi 67%
27
Penyebab terjadinya gangguan anxietasmerupakan kombinasi faktor biologis, psikologis dan
sosial, baik internal maupun ekternal. Faktor internal antara lain disposisi keluarga (genetik),
hiperaktivitas sistem noradrenergik, penyakit medis (contoh: hipertiroid, stroke, tumor
intrakranial), kepribadian (dependen, anankastik, cemas menghindar), pengalaman buruk
masa lalu, sedangkan faktor eksternal seperti stresor kehidupan dan penggunaan obat
terlarang/alkohol. Banyak obat (contoh: agonis adrenergik, kortikosteroid, antihipertensi,
bronkodilator) dapat menyebabkan palpitasi atau tremor dan gelisah, tetapi harus dibedakan
dengan diagnosis gangguan anxietas dalam pemeriksaan klinis, sebab gangguan anxietas
harus memenuhi kriteria diagnosis tertentu.
Pengaruh faktor psikologik termasuk anxietas terhadap faktor fisik antara lain:
1. sebagai penyebab atau pencetus penyakit fisik (asma, kolitis ulserativa)
2. menyebabkan kebiasaan tak sehat (makan berlebihan, merokok, minum alkohol
berlebihan)
3. mengakibatkan perubahan hormonal, imunologik, atau neurofisiologik yang
berkontribusi dalam mencetuskan atau mempengaruhi proses patologik fisik
4. mempengaruhi persepsi akan keparahan gejala
5. menentukan apakah seseorang akan mencari pertolongan dokter atau
mempengaruhi peran serta pasien dalam pengobatan.
Apabila gangguan anxietas tidak dikenali dan tidak ditata laksana akan menimbulkan
morbiditas/angka kesakitan yang besar, penggunaan layanan kesehatan yang tidak perlu,
dan timbulnya hendaya fungsi sehari-hari. Penelitian-penelitian terbaru juga menemukan
bahwa gangguan anxietas yang kronik akan meningkatkan risiko gangguan fisik, sebagai
contoh: meningkatnya risiko kematian pada penderita gangguan jantung. Pada berbagai
kondisi gangguan medis umum, lama rawat inap pada pasien yang mengalami gangguan
anxietas rata-rata lebih panjang 4-12 hari dibandingkan pasien tanpa gangguan anxietas.
Sementara itu, agak berbeda dengan istilah psikosomatik yang sering dikaitkan dengan
gangguan anxietas, yang menggambarkan sekelompok penyakit fisik yang (sebagian besar)
penyebabnya adalah faktor psikologik, saat ini tidak digunakan lagi. Psikosomatik adalah
studi sistematik terhadap faktor psikologik pada proses penyakit fisik. Diagnosis yang
dimaksud dengan psikosomatik dalam PPDGJ-III adalah F54. Faktor Psikologis dan Perilaku
yang Berhubungan dengan Gangguan atau Penyakit YDK. Jika memenuhi kriteria diagnosis
lain seperti gangguan anxietas atau depresi, maka diagnosis komorbid tersebut juga harus
tercantum. Menurut Franz Alexander, ada 7 penyakit yang terkait dengan psikosomatik ini,
28
yaitu: hipertensi, asma bronkial, neurodermatitis, ulkus peptikum, kolitis ulserativa, reumatoid
artritis dan tirotoksikosis.
Pokok Bahasan B:
PENGENALAN GEJALA DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS GANGGUAN ANXIETAS
I. Gejala dan Tanda Gangguan Anxietas
Gejala dan tanda gangguan anxietas diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Gejala dan tanda gangguan anxietassecara umumterdiri dari:
(1). komponen psikologik (kognitif, perilaku dan emosi), dan
(2). komponen fisik yaitu keluhan terhadap sistem jantung, pernafasan, neurologi,
muskuloskeletal, gastrointestinal dll.
Biasanya pasien datang berobat dengan keluhan fisik yang dikemukakan terlebih dahulu.
29
terbatas pada kondisi tertentu. Seringkali berkaitan dengan adanya stres lingkungan
yang kronis.
2. Gangguan Panik
a) Serangan anxietas berat atau ketakutan yang tidak dapat dijelaskan, berulang, timbul
mendadak, menghebat dengan cepat dan sering hanya berlangsung beberapa menit
saja.
b) Sering disertai gejala fisik: palpitasi, sesak atau nyeri dada, nafas pendek,
berkeringat, perasaan seperti tercekik, pusing, perasaan tidak nyata, takut hilang
kendali, takut akan mati atau menjadi gila.
c) Untuk diagnosis, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat
dalam masa waktu kira-kira 1 bulan; pada keadaan-keadaan yang sebenarnya
secara objektif tidak ada bahaya, tidak terbatas pada situasi tertentu, dengan
keadaan yang relatif bebas dari gejala anxietas dalam periode antara serangan-
serangan panik.
Tidak jarang pasien yang mengalami serangan panik mendatangi instalasi gawat darurat
karena keluhan fisik yang hebat, mengira sedang mengalami gangguan jantung. Pasien
dengan gangguan panik juga seringkali ketakutan akan kesendirian atau untuk pergi ke
tempat-tempat umum, dan ketakutan yang menetap akan kemungkinan mengalami
serangan lagi (anxietas antisipatorik).
30
Kehilangan minat/menurunnya semangat dalam melakukan aktivitas
Mudah lelah
Gangguan tidur
Konsentrasi menurun
Gangguan pola makan
Kepercayaan diri yang berkurang
Pesimistis
Rasa tidak berguna/rasa bersalah
4. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi memerlukan kriteria semua hal berikut:
a) Banyak keluhan fisik yang bermacam-macam, berulang, tidak dapat dijelaskan atas
dasar adanya kelainan fisik (tidak ditemukan adanya kelainan fisik), dan telah
berlangsung sedikitnya selama 2 tahun;
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.
Perbedaan yang jelas antara somatisasi dengan kondisi psikologik yang mempengaruhi
kondisi medis umum adalah pada somatisasi tidak ditemukan adanya kelainan fisik
meskipun keluhan fisik banyak dan sering berulang.
31
III. Langkah-langkah Penegakan Diagnosis Gangguan Anxietas:
a. Langkah 1: Dari keluhan fisik yang diutarakan, singkirkan adanya penyakit organik
dan penyalahgunaan zat, melalui anamnesis, pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang (bila perlu).
b. Langkah 2: Nilai komponen fisik dan psikologik (kognitif maupun perilaku dan
emosional)
c. Langkah 3: Nilai gejala dan tanda spesifik dari beberapa kriteria diagnosis gangguan
ansietas
d. Langkah 4: Singkirkan adanya depresi, terutama tanyakan 3 gejala utama:
sedih/murung, hilang minat dan semangat, mudah lelah/hilang energi.
e. Langkah 5: Singkirkan adanya psikotik, terutama tanyakan gejala halusinasi dan
waham.
Pokok Bahasan C:
PENATALAKSANAAN GANGGUAN ANXIETAS
Penatalaksanaan gangguan anxietas ada 2, yaitu melalui Intervensi Psikososial dan
Intervensi Farmakologis. Berikut ini adalah intervensi yang dapat dilakukan di FKTP:
I. Intervensi Psikososial
Lakukan konseling dalam komunikasi terapeutik, dorong pasien untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan, tentang gejala dan riwayat gejala
Beri penjelasan adanya pengaruh antara faktor fisik dan psikologis, termasuk
bagaimana faktor perilaku, psikologik dan emosi berpengaruh mengeksaserbasi
gejala somatik yang mempunyai dasar fisiologik.
Bicarakan dan sepakati rencana pengobatan dan tindak lanjut, bagaimana
menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali ke aktivitas normal.
Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas lambat).
Dalam keadaan panik atau cemas, maka bernafas akan lebih cepat. Belajar
mengendalikan pernafasan dengan bernafas lambat akan membantu kita merasa
lebih tenang dan rileks.
Anjurkan untuk berolah raga teratur atau melakukan aktivitas yang disenangi serta
menerapkan perilaku hidup sehat.
Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan manajemen stres dengan baik.
Gangguan anxietas kadang-kadang memerlukan terapi yang cukup lama, diperlukan
dukungan keluarga untuk memantau agar pasien melaksanakan saran terapi dengan
benar.
Perhatian khusus pada gangguan panik; beri saran untuk melakukan langkah-
langkah berikut jika terjadi serangan panik:
32
o Tetap tinggal di tempat hingga serangan berlalu
o Pusatkan perhatian untuk mengendalikan gangguan anxietas, bukan pada
gejala fisik
o Bernafas dengan lambat dan rileks. Hiperventilasi akan semakin menambah
anxietasnya.
33
Antidepresan memiliki efek sebagai anti anxietas, terdapat bukti yang baik bahwa
antidepresan terutama trisiklik dosis rendah cukup efektif. Dosis dapat dinaikkan
secara bertahap apabila tidak ada perubahan yang signifikan setelah 2-3 minggu:
fluoksetin 1x10-20 mg/hari atau sertralin 1x25-50 mg/hari atau amitriptilin 1x12,5-50
mg/hari. Catatan: amitriptilin tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit
jantung, dan pemberian berhati-hati untuk pasien lansia karena efek hipotensi
ortostastik (dimulai dengan dosis minimal efektif).
Pasien yang mendapatkan fluoksetin/sertralin dengan gejala kecemasan yang lebih
dominan dan/atau dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi dengan
antianxietas benzodiazepin. Obat-obatan antianxietas jenis benzodiazepin antara
lain: diazepam 1-2 x 2-5 mg atau lorazepam 1-2x0,5-1 mg atau klobazam 1-2 x 5-10
mg.
Setelah kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin dapat mulai ditappering-off perlahan
(kurang dari 25% dosis sebelumnya tiap 2 minggu), sementara antidepresan
diteruskan hingga 4-6 bulan sebelum di tappering-off. Yang harus dilakukan adalah
psikoedukasi bahwa saat penurunan dosis obat benzodiazepin mungkin dapat terjadi
sedikit perasaan tidak nyaman, biasanya dalam 2-3 hari akan kembali seperti biasa,
perlu melalui fase adaptasi pada penurununan obat.
Efek samping benzodiazepin termasuk sedasi dan efek pada kognitif dan psikomotor.
Pada penggunaan jangka panjang, dapat berhubungan dengan masalah
ketergantungan dan lepas obat. Hati-hati potensi penyalahgunaan pada
benzodiazepin.
Pokok Bahasan D:
RUJUKAN KASUS GANGGUAN ANXIETAS
Pasien dapat dirujuk apabila:
Gejala menetap, tidak ada perbaikan yang signifikan dalam 2 bulan terapi
Gejala progresif dan makin bertambah berat
Diperlukan tambahan psikoterapi kognitif dan perilaku sehubungan dengan
gangguan yang sudah berlangsung lama (kronis), adanya kepribadian premorbid
tertentu, atau adanya komorbiditas gangguan psikiatrik lain
Konfirmasi diagnosis atau meminta second opinion
Keterbatasan ketersediaan obat
34
REFERENSI
35
MATERI INTI 4.
GANGGUAN DEPRESI
I. DESKRIPSI SINGKAT
Depresi merupakan salah satu gangguan suasana perasaan, saat penderita mengalami
suasana perasaan yang tertekan, sedih, kehilangan minat dan tidak dapat menikmati
apapun serta semangat yang turun yang dapat menyebabkan terganggunya aktivitas sampai
paling tidak 2 minggu. Banyak orang dengan depresi juga disertai gejala kecemasan dan
gejala somatik (keluhan fisik) yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Modul ini terutama memfokuskan pada depresi sedang-berat, yang merupakan kasus yang
sering ditemui di masyarakat dan membutuhkan intervensi karena menimbulkan gangguan
fungsi dan tugas sehari-hari serta dapat menyebabkan dampak yang berat jika tidak segera
ditatalaksana, seperti tindakan bunuh diri.
36
V. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
a. Ceramah, tanya jawab
b. Curah pendapat
c. Studi kasus
d. Bermain peran
e. Praktik lapangan
37
2. Langkah 2: Penyampaian materi pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan A sampai dengan D secara garis besar
dalam waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.
Depresi adalah gangguan suasana perasaan, yang terutama ditandai dengan adanya
perasaan yang sedih/murung, kehilangan minat, tidak bertenaga dan mudah lelah. Gejala
tambahan pada gangguan depresi di antaranya konsentrasi dan perhatian berkurang,
38
gangguan pola makan, adanya gagasan atau perbuatan membahayakan diri/ bunuh diri,
gangguan tidur, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, pandangan masa depan yang
suram dan pesimistis, perasaan tidak berguna/ rasa bersalah dan sedih/murung setiap
waktu.
Data nasional Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 untuk
gangguan mental emosional (gejala depresi dan cemas) yang dideteksi pada penduduk usia
15 tahun atau lebih, dialami oleh 6% penduduk atau lebih dari 14 juta jiwa. Menurut WHO,
depresi terdapat pada sekitar 20% pasien di layanan primer, baik sebagai diagnosis sendiri
maupun komorbid dengan diagnosis fisiknya. Gangguan jiwa dan penyakit fisik akan saling
mempengaruhi secara timbal balik. Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas)
tahun 2004, terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dengan penyakit kronis
(penyakit jantung, asma, artritis) di masyarakat, dan penyakit jantung memiliki hubungan
yang terkuat (Idaiani S, Bisara D, 2009).
Depresi sendiri berada pada peringkat ke-3 sebagai penyebab beban akibat penyakit
berdasarkan DALYs (disability adjusted life years) pada tahun 2004, diestimasikan menjadi
peringkat ke-2 pada tahun 2020, dan akan menjadi peringkat ke-1 pada tahun 2030 (Global
Burden of Disease 2004 Update, World Bank & WHO 2008). Di Indonesia saat ini depresi
menempati peringkat ke-8 penyebab beban utama akibat penyakit berdasarkan DALYs
(disability-adjusted life year), sedangkan usia terbanyak yang dipengaruhi adalah usia
produktif antara 15-45 tahun (The Global Burden of Disease Study, 2010).
Penyebab terjadinya gangguan depresi merupakan kombinasi faktor internal dan ekternal.
Faktor internal antara lain disposisi keluarga (genetik), penyakit medis, kepribadian,
pengalaman buruk masa lalu, sedangkan faktor eksternal seperti stresor kehidupan dan
penggunaan obat terlarang/alkohol.
Beberapa proses penyakit fisik secara langsung akan mempengaruhi otak dan menimbulkan
perubahan zat kimia yang mengakibatkan depresi, selain bahwa penyakit kronis
menyebabkan depresi akibat beban psikologis dan disabilitas.
Faktor risiko yaitu faktor yang menyebabkan seseorang rentan terhadap gangguan depresi
meliputi:
a. Faktor Biologik: genetik, perubahan neurotransmitter/neuroendokrin, perubahan
struktur otak, vascular risk factors, penyakit/kelemahan fisik (kondisi medik kronik
&kondisi terminal)
39
b. Faktor Psikologik: tipe kepribadian (dependen, perfeksionis, introvert), relasi
interpersonal (disharmoni keluarga)
Depresi berhubungan dengan faktor-faktor risiko penyakit kronis dan gaya hidup (merokok,
pola makan dll) yang memperburuk kesehatan fisik. Selain itu depresi diketahui memiliki
beberapa efek biologis yang secara langsung mempengaruhi fisik. Depresi yang timbul
40
bersamaan dengan penyakit fisik akan mempengaruhi upaya terapi dan hasil
penatalaksanaan kesehatan, misalnya: mempengaruhi kepatuhan terapi dan perubahan
perilaku yang direkomendasikan dokter dan memperlambat pencarian pertolongan medis.
Depresi juga sering disertai dengan kecemasan. Komorbiditas depresi dan cemas bahkan
lebih dari 50% (Kessler RC, et al. Arch Gen Psychiatry. 1994;51:8-19).
Pokok bahasan B:
PENGENALAN GEJALA DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS GANGGUAN DEPRESI
Menurut Mitchel PB (1998), Depresi yang ditemui di praktik umum sering bersamaan dengan
gangguan fisik, atau mungkin datang dengan keluhan fisik dan bukan keluhan
psikologik.Menurut Katon W et al (1982):
a. Pasien medik yang juga menderita gangguan mental lazimnya datang dengan keluhan:
- kelelahan
- insomnia
- nyeri
- gejala gastrointestinal atau
- gejala somatik lain
Bukan mengatakan:
- saya depresi atau
- ada yang tidak beres dengan mental saya
41
Dua atau lebih penyakit kronik
Kehilangan minat terhadap aktivitas seksual
Umur lanjut
Obesitas
Kerabat tingkat pertama dengan riwayat depresi
Lingkungan rumah yang miskin, kesulitan keuangan
Perubahan hidup yang besar
Kehamilan atau pasca persalinan
Terisolasi dari pergaulan sosial
Kelelahan : 86%
Insomnia : 79%
Mual : 51%
Dispnea : 38%
Palpitasi : 38%
Nyeri punggung : 36%
Diare : 29%
Nyeri kepala : 28%
Nyeri dada : 27%
Gejala seksual : 23%
Nyeri ekstremitas : 20%
Pusing : 19%
Nyeri perut : 18%
Tinitus : 18%
Nyeri sendi : 16%
42
5. Gangguan tidur
6. Gangguan pola makan/nafsu makan
7. Berpikir tentang kematian, melukai diri atau bunuh diri
i. Keluhan fisik (contoh: sakit kepala) yang merupakan gejala penyerta depresi sering
menyulitkan pemeriksaan depresi, sebab justru diutarakan pertama kali oleh pasien.
Maka perlu dilakukan pemeriksaan apakah keluhan tersebut diakibatkan oleh kondisi
medis atau psikologis (depresi). Melalui wawancara psikiatrik, klinisi perlu menilai lebih
dalam keluhan fisik pasien, seperti: awitan, frekuensi (hilang timbul atau terus menerus),
intensitas, lokasi serta keluhan memberat/timbul dalam kondisi apa. Kemudian perlu
ditanyakan apa saja yang dilakukan untuk menghilangkan keluhan tersebut, diantaranya
penggunaan obat-obatan, penggunaan napza, dan apakah dengan konsumsi obat
tersebut keluhan membaik atau tidak. Klinisi perlu menyingkirkan kemungkinan adanya
penyakit fisik/organik (melalui wawancara maupun pemeriksaan fisik dan penunjang).
Akhir-akhir ini Ny. SB semakin mengalami kesulitan untuk menjalankan aktivitas yang
selama ini Ia lakukan (membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci pakaian). Ia
tidak mampu untuk bangun dan menyiapkan kebutuhan anak-anak di pagi hari.Suami juga
melaporkan bahwa Ny. SB seringkali mudah tersinggung dan sangat mudah marah.
43
Gangguan jiwa apa yang mungkin dialami?
Setelah itu tanyakan keluhan lain yang dialami pasien, tanyakan gejala-gejala depresi, baik
gejala utama maupun gejala tambahan. Jika keluhan fisik diutarakan pertama kali, tanyakan
gejala depresi dimulai dari keluhan yang berhubungan dengan fisiknya, misalnya: mudah
lelah dan aktivitas yang menurun. Setelah itu tanyakan gejala lainnya. Jangan lupa untuk
menilai adanya ide bunuh diri, kekuatan dari ide tersebut, kemampuan pasien
mengendalikan ide bunuh diri tersebut.
Ny. SB menyatakan bahwa ia merasa sedih terus menerus, menghindari aktivitas yang dulu
Ia sukai dan nikmati bersama teman-teman tidak ada yang membuat saya merasa
senang sekarang. Berhenti makan dan kehilangan berat-badan yang bermakna. Selama
proses wawancara, ia bergerak dan berbicara sangat lambat.Ia sering menyatakan bahwa ia
tidak berguna, ibu yang jahat karena tidak menjaga anak-anak dan suaminya dengan baik.
Berharap tidur dan tidak pernah bangun lagi.
Gejala-gejala apa saja yang membuat kita berpikir bahwa Ny. SB mengalami
Gangguan Depresi? Ingat kembali gejala-gejala depresi.
ii. Untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi dan tata laksana yang sesuai, kita perlu
menyingkirkan adanya psikotik dan mania. Perlu dibedakan pula apakah pasien dalam
masa berkabung (2 bulan), karena pada masa berkabung ada fase-fase untuk
beradaptasi sehingga di tahap awal cukup diberikan intervensi psikososial, belum perlu
diberikan antidepresan. Jika berlanjut, dan intensitas gejala cukup berat maka perlu
diberikan tata laksana yang sesuai.
44
Untuk memudahkan penegakan diagnosis depresi, berikut ini adalah langkah-langkah dalam
menilai dan menegakkan diagnosis depresi sedang - berat.
Penting:
Langkah-langkah menilai dan menegakkan diagnosis Gangguan Depresi Sedang -
Berat:
Langkah1: menyingkirkan kemungkinan penyakit organik dan penyalahgunaan zat
Langkah 2: menilai 2 dari 3 gejala utama depresi
Langkah 3: menilai minimal 3 dari 7 gejala tambahan depresi
Langkah 4: berlangsung minimal 2 minggu
Langkah 5: menilai adanya gangguan fungsi
Langkah 6: menyingkirkan adanya psikotik dan mania
Langkah 7: menyingkirkan adanya gejala tambahan (seperti ide bunuh diri, penyakit
fisik yang menyertai/memperburuk)
45
Pengingat: Gangguan Psikotik
Ditemukan gejala:
a. Halusinasi
b. Waham
c. Bicara kacau, tidak dimengerti, irrelevant
d. Menarik diri, agitasi, disorganisasi perilaku, stupor
Merupakan gejala utama (pada Gangguan Psikotik); atau gejala tambahan (pada
Gangguan Depresi dengan Ciri Psikotik).
Perhatian dalam pemberian terapi jika ada penyakit fisik yang menyertai:
Berikan tatalaksana pada kedua gangguan fisik maupun mental
Gangguan Depresi dapat memengaruhi kepatuhan dan ketaatan terhadap pengobatan
46
Keluhan-keluhan somatik
Prestasi disekolah menurun
Menarik diri dari pergaulan atau aktivitas sosial
Berat badan bertambah atau menurun dengan drastis
Agresi, agitasi atau iritabilitas (mudah marah)
Konsumsi berlebih: rokok, alkohol dan narkoba
47
Risiko penurunan fungsi fisik meningkat
Pokok bahasan C:
PENATALAKSANAAN GANGGUAN DEPRESI
Penatalaksanaan gangguan depresi yang dapat dilakukan di FKTP ada 2, yaitu Intervensi
Psikososial dan Intervensi Farmakologis.
I. Intervensi Psikososial
Intervensi psikososial antara lain adalah psikoedukasi, penilaian dan tata laksana stresor
psikososial, pengembangan jaringan sosial, membentuk program aktivitas fisik dan
pemantauan regular secara berkala.
Psikoedukasi
Tujuan utama psikoedukasi adalah untuk menginformasikan dan memberikan
edukasi kepada pasien dan keluarga tentang gejala depresi bahwa:
Depresi merupakan masalah yang lazim dan dapat terjadi pada semua orang
Depresi bukanlah kelemahan atau kemalasan, penderita sebenarnya berusaha
untuk mengatasinya. Orang yang mengalami depresi cenderung memiliki pikiran
negatif yang tidak realistik tentang diri, tentang hidup, dan tentang masa depan.
Hal-hal tersebut adalah gejala dari depresinya.
Tatalaksana efektif adalah mungkin. Tatalaksana memerlukan waktu beberapa
minggu untuk menurunkan gejala depresi.
Ketaatan pada pengobatan adalah hal penting
Hal-hal yang perlu ditekankan:
48
Pentingnya melanjutkan aktivitas sederhana yang biasanya menarik atau yang
dapat menciptakan rasa nyaman dan membangun rasa percaya diri, meskipun
saat ini mungkin terasa tidak menarik.
Manfaat aktivitas fisik dan sosial
Pentingnya mencoba untuk mempertahankan siklus tidur yang teratur (pergi tidur
di jam yang sama, jumlah jam tidur sama, hindari tidur terlalu banyak)
Dorong penderita untuk melawan rasa pesimis dan pikiran mengkritik diri sendiri
Mengenali pikiran untuk melukai diri atau bunuh diri segera mencari
pertolongan ke fasyankes
Pada usia lanjut, penting untuk melanjutkan terapi terhadap masalah fisik yang
selama ini dialami
b. Penilaian dan tata laksana stresor psikososial
Beri kesempatan untuk bicara, sebisa mungkin di tempat yang terjaga privasinya.
Tanyakan pemahaman pribadi tentang sebab gejala yang dialami
Tanyakan tentang stresor psikososial saat ini dan kemungkinan cara
penyelesaian masalah dari stresor psikososial itu atau jika ada kesulitan
membina relasi, dapat mencari bantuan layanan di komunitas yang tersedia
Nilai dan tatalaksana situasi apa pun terkait perlakuan salah, perilaku kekerasan
(KDRT), dan penelantaran (anak atau usia lanjut). Kontak sumber daya legal dan
komunitas, sesuai kebutuhan.
Konsentrasi pada langkah kecil yang spesifik yang dapat diambil oleh penderita
untuk mengurangi atau mengatasi masalah tersebut, hindari pengambilan
keputusan atau perubahan hidup yang besar, saat kondisi belum stabil.
Identifikasi anggota keluarga yang mendukung dan libatkan mereka sebanyak
mungkin, sesuai kebutuhan.
49
c. Pengembangan jaringan sosial
Identifikasi aktivitas sosial sebelumnya, yang jika dimulai kembali, akan
berpotensi memberikan dukungan psikososial langsung atau tidak langsung
(pertemuan keluarga, jalan-jalan bersama teman, mengunjungi tetangga, aktivitas
sosial di tempat kerja, aktivitas di masyarakat)
Bangun kekuatan dan kemampuan orang tersebut dan berdayakan secara aktif
untuk kembali ke aktivitas sosial sebelumnya sebisa mungkin
50
dan pandangan kabur
Efek samping ini bersifat individual, ringan dan biasanya menghilang dalam 7-10
hari. Antidepresan selanjutnya justru akan memerbaiki fungsi kognitif.
4. Tentang penghentian obat.
Sebaiknya diminum sekitar 6 bulan1 tahun terutama pada pasien episode
pertama.
Antidepresan tidak menimbulkan ketergantungan. Ada beberapa pasien
yang mengeluhkan adanya rasa tidak enak saat menghentikan terapi
terutama pada antidepresan yang berefek pendek seperti amitriptilin.
Gejala tersebut biasanya ringan dan akan sembuh dengan sendirinya,
namun dapat terasa lebih berat terutama bila distop secara langsung.
Harus berkonsultasi dengan dokter sebelum menghentikan obat
C. Pemilihan antidepresan
Pilih antidepresan dari formularium nasional yang berlaku
Pertimbangkan pola gejala, efek samping, dan riwayat pengobatan sebelumnya
Untuk kondisi komorbiditas, pertimbangkan potensi penyakit akibat obat atau
interaksi obat
Mengkombinasikan antidepresan dengan medikasi psikotropik lain memerlukan
pengawasan dari spesialis
Perhatian:
Orang dengan ide bunuh diri
Pilihan pertama: SSRI
Pantau secara berkala (misalnya 1 kali seminggu)
Pastikan untuk tidak memberikan obat berlebihan (misalnya hanya untuk 1
minggu)
Remaja 12 tahun
Jika intervensi psikososial terbukti tidak efektif, pertimbangkan fluoksetin
(bukan SSRI lain atau TCA).
Sedapat mungkin, konsultasikan dengan spesialis jika merawat remaja
dengan fluoksetin.
Pantau remaja yang menggunakan fluoksetin secara teratur (idealnya sekali
seminggu) untuk memantau kemunculan ide bunuh diri selama bulan pertama
tatalaksana. Katakan pada remaja dan orangtuanya mengenai meningkatnya
risiko munculnya ide bunuh diri dan bahwa mereka harus segera
menghubungi jika mereka mendapati ciri tersebut muncul lagi.
51
Usia lanjut
TCA harus dihindari, sedapat mungkin. SSRI adalah pilihan pertama.
Pantau efek samping secara hati-hati, khususnya efek samping dari TCA.
Pertimbangkan meningkatnya risiko interaksi obat dan berikan waktu yang
cukup panjang untuk respon (minimal 6 12 minggu sebelum
mempertimbangkan bahwa pengobatan tidak efektif, dan 12 minggu jika ada
respons parsial dalam periode ini).
Pasien dengan penyakit kardiovaskular
SSRI adalah pilihan pertama.
JANGAN meresepkan TCA bagi orang yang memiliki risiko aritmia jantung yang
serius atau yang baru mengalami infark miokard.
Dalam semua kasus kardiovaskular, ukur tekanan darah sebelum meresepkan
TCA dan observasi apakah orang tersebut mengalami hipotensi ortostatik begitu
penggunaan TCA dimulai.
52
- 12 bulan dan (b) telah mampu untuk menjalankan rutinitas harian selama jangka
waktu tersebut.
Proses penghentiansebagai berikut:
Diskusikan terlebih dahulu dengan penderita mengenai penghentian
tatalaksana.
Untuk TCA dan sebagian besar SSRI (tapi lebih cepat untuk fluoksetin): Kurangi
dosis secara bertahap (tiap 1-2 minggu) selama paling tidak jangka waktu 4
minggu; beberapa orang membutuhkan jangka waktu yang lebih lama.
Ingatkan penderita mengenai kemungkinan timbulnya gejala-gejala penghentian
obat saat menghentikan atau mengurangi dosis, dan bahwa gejala-gejala
tersebut biasanya ringan dan terbatas tapi dalam kasus tertentu bisa menjadi
berat, khususnya jika pengobatan dihentikan secara mendadak.
Beritahukan mengenai gejala awal kambuh lagi (mis. perubahan pada tidur atau
selera makan selama lebih dari 3 hari) dan kapan harus datang untuk tindak
lanjut rutin.
Pantau dan tatalaksana gejala penghentian obat antidepresan(gejala umum: pusing,
kesemutan, cemas, iritabilitas,kelelahan, sakit kepala, mual, masalah tidur)
- Gejala ringan: tenangkan penderita sambil tetap pantau gejala-gejala yang
timbul.
- Gejala berat: perkenalkan ulang antidepresan dalam dosis yang efektif dan
kurangi secara bertahap.
- Konsultasikan dengan spesialisjika gejala terus berlanjut.
Pantau kekambuhan (gejala depresi yang muncul kembali selama penghentian obat
antidepresan): resepkan antidepresan yang sama dengan dosis yang efektif
sebelumnya jika gejala-gejalanya muncul kembali, lanjutkan hingga 12 bulan ke
depan.
FLUOKSETIN
Efek samping yang berat (ini jarang terjadi)
ditandai akathisia (kegelisahan atau ketidakmampuan untuk duduk diam);
pendarahan yang tidak normal pada mereka yang secara rutin mengkonsumsi aspirin
dan obat-obatan non-steroid anti inflamasi lainnya.
Efek samping yang umum (kebanyakan efek samping menghilang setelah beberapa hari;
tidak ada yang permanen)
53
gelisah, gugup, insomnia, anoreksia dan gangguan-gangguan gastrointestinal, sakit
kepala, disfungsi seksual (reversibel).
Menentukan dosis fluoksetin pada orang berusia lanjut atau sakit secara medis
Mulai pengobatan dengan tablet 10 mg sekali sehari atau 20 mg selang sehari sekali
selama 1 2 minggu dan kemudian naikkan menjadi 20 mg jika bisa ditoleransi.
Sebaiknya obat diminum setelah makan.
Jika tidak ada respon selama 6 12 minggu atau respon parsial dalam 12 minggu,
naikkan dosis secara bertahap (dosis maksimal 60 mg).
Naikkan dosis secara lebih pelan dan bertahap daripada pada orang dewasa yang
sehat.
AMITRIPTILIN
Efek samping (ini jarang terjadi)
Aritmia jantung
Efek samping yang berat (kebanyakan efek samping menghilang setelah beberapa hari;
tidak ada yang permanen).
54
hipotensi ortostatik (berisiko jatuh), mulut kering, konstipasi, sulit BAK, pusing,
pandangan kabur dan efeksedasi.
Hati-hati
risiko terjadi pergantian menjadi mania, khususnya pada orang dengan gangguan
bipolar;
terganggunya kemampuan untuk melakukan tugas-tugas tertentu yang
membutuhkan keterampilan (mis. menyetir) ambil langkah pencegahan sampai
terbiasa dengan pengobatan;
risiko menyakiti diri sendiri (sampai mematikan jika overdosis);
kurang efektif dan lebih berefek sedasi berat jika diberikan kepada pengguna tetap
alkohol.
Memberikan dosis amitriptilin kepada orang berusia lanjut atau sakit secara medis
Mulai dengan 12,5 mg pada waktu tidur.
Naikkan sebanyak12,5 - 25 mg per minggu, bertujuan untuk mencapai target dosis
50 75 mg dalam waktu 4 6 minggu.
Jika tidak ada respon dalam 6 12 minggu atau hanya respon parsial dalam 12
minggu, naikkan dosis secara bertahap (dosis maksimal 100 mg) dalam dosis yang
terpisah.
Pantau hipotensi ortostatik
55
Pokok bahasan D:
RUJUKAN KASUS GANGGUAN DEPRESI
REFERENSI
56
3. World Health Organization (2009) Pharmacological treatment of mental disorders in
primary health care. Geneva: World health Organization.
4. World Health Organization (2010). mhGAP Intervention Guide for mental,
neurological and substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva:
World Health Organization.
5. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks synopsis of psychiatry. 9th ed
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
57
MATERI INTI 5.
GANGGUAN PSIKOTIK
I. DESKRIPSI SINGKAT
Psikosis adalah kondisi mental/jiwa saat realitas menjadi sangat terdistorsi yang berakibat
pada timbulnya gejala seperti waham, halusinasi dan gangguan pikiran. Orang dengan
skizofrenia atau gangguan psikotik lainnya tidak hanya menderita gejala psikosis, tetapi juga
gejala lain seperti psikomotor yang abnormal, gangguan mood/afek, defisit kognitif, dan
perilaku yang kacau. Modul ini membahas tentang berbagai gejala gangguan psikotik,
bagaimana melakukan diagnosis dan diagnosis banding, serta penatalaksanaan gangguan
psikotik yang berupa intervensi farmakologik dan intervensi psikososial.
IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
a. Ceramah, tanya jawab
b. Curah pendapat
c. Studi kasus
58
d. Bermain peran
e. Praktik lapangan
Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Langkah 1: Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat
Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
Mengikuti permainan
Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.
59
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.
Psikosis adalah kondisi mental/jiwa saat realitas menjadi sangat terdistorsi yang berakibat
pada timbulnya gejala seperti waham/delusi (keyakinan yang salah yang dipertahankan),
halusinasi (persepsi sensorik tanpa adanya sumber rangsangan) dan gangguan pikiran.
Sindrom ini dapat diakibatkan oleh berbagai kondisi, termasuk gangguan psikiatri
(skizofrenia dan gangguan terkait), gangguan medik (trauma fisik, epilepsi lobus temporalis,
60
demensia, penyakit neurologik dan endokrin, kelainan metabolik) dan gangguan
penyalahgunaan zat (terutama amfetamin dan halusinogen)
Psikosis sering kali mulai terjadi pada usia 15 25 tahun, laki-laki sering mengalaminya
lebih awal. Awitannya dapat mendadak ataupun perlahan-lahan. Psikosis Akut adalah
psikosis yang terjadi kurang dari 3 bulan atau perburukan gejala psikosis yang sudah ada,
dapat merupakan episode pertama atau kekambuhan. Seringkali didapati fase pre-psikotik
yang ditandai oleh munculnya gejala negative yang kemudian diikuti oleh gejala positif yang
jelas. Jika lebih dari 3 bulan maka disebut Psikosis Kronis.
Perjalanan penyakit pada sebagian orang akan relatif stabil, namun sebagian lagi akan
mengalami perburukan yang progresif yang mengakibatkan disabilitas yang makin lama
makin berat.
Penyebab psikosis dapat bermacam-macam dan biasanya tidak ada faktor tunggal.
Beberapa faktor yang berkontribusi antara lain faktor genetik (tidak pernah 100%, berkisar
antara 5% pada orang tua sampai 45% pada saudara kembar identik dari orang dengan
skizofrenia), faktor neurotransmiter, faktor kepribadian dan faktor stresor kehidupan.
Dampak gangguan psikotik sangat luas, mulai dari beban ekonomi yang langsung akibat
biaya pengobatan dan biaya lain (misalnya biaya transport), biaya yang tidak langsung
(misalnya kehilangan pencaharian, menurunnya produktivitas), maupun biaya yang tidak
terlihat seperti beban psikologis dan sosial (akibat rasa malu, stigma dan diskriminasi).
Perjalanan penyakit yang kronis dengan banyak episode kekambuhan serta terjadinya
peristiwa-peristiwa kekerasan mengakibatkan timbulnya berbagai perlakuan salah serta
pelanggaran HAM yang diterima oleh orang dengan gangguan psikosis, misalnya
penelantaran dan pemasungan.
Untuk memperkirakan jumlah penderita gangguan psikotik di wilayah kerja kita, dapat
digunakan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 yang mendapatkan prevalensi gangguan jiwa
berat (skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya) sebesar 1,7 per seribu; dan
61
mengalikannya dengan jumlah penduduk total. Sebenarnya ada data untuk tiap provinsi dan
kabupaten jika ingin menghitung dengan lebih akurat.
Orang dengan psikosis dapat menunjukkan gejala-gejala seperti distorsi pikiran dan
persepsi, emosi yang tidak patut atau rentangnya sempit, pembicaraan yang inkoheren atau
irelevan, halusinasi, waham/delusi, kecurigaan berlebihan dan tak berdasar. Dapat terlihat
abnormalitas perilaku yang berat, seperti perilaku disorganisasi, agitasi, eksitasi, dan
inaktivitas/overaktivitas, juga gangguan emosi, seperti apati atau diskoneksitas antara emosi
yang di utarakan dengan afek yang diobservasi (seperti ekspresi wajah dan bahasa tubuh).
Salah satu pembagian gejala psikotik yang sangat beragam itu adalah dengan
mengelompokkan menjadi dua, Gejala Negatif dan Gejala Positif (Tabel )
Gejala positif pada umumnya akan berespon lebih baik terhadap pengobatan antipsikotik
dibandingkan dengan gejala negatif.
Pasien biasanya datang ke puskesmas dengan diantar oleh satu atau lebih anggota
keluarga atau masyarakat. Sering kali tidak mudah untuk menjalin komunikasi dengan
pasien tersebut. Dia dapat berperilaku kacau bahkan agresif, jalan pikirannya tidak mudah
dipahami, menolak untuk berbicara, merasa tidak sakit dan tidak perlu mendapat
pengobatan. Dalam hal ini petugas kesehatan harus tetap tenang dan menerapkan metoda
wawancara yang telah dibahas sebelum ini serta memperhatikan aspek keselamatan semua
pihak.
Upayakan selalu untuk tetap mengutamakan pasien, keterangan dari pengantar atau
keluarga akan memberi tambahan maskan yang berarti.
62
Meskipun kuat dugaan bahwa pasien yang dating menderita psikosis, tetapi penegakkan
diagnosis tetap harus dilakukan dengan benar. Pertama-tama diperiksa apakah didapati
tanda-tanda psikosis, seperti:
Pembicaraan yang inkoheren atau irelevan
Delusi/waham
o Kecurigaan atau keyakinan yang jelas keliru dan dipertahankan
o Keyakinan bahwa pikirannya dimasukkan dari luar atau tersiar
Halusinasi
o Mendengar suara atau melihat sesuatu yang tidak nyata
Perilaku menarik diri, agitasi atau disorganisasi
o Contoh: diam saja tidak mau merespon, marah-marah dan beringas, penampilan
yang tidak lazim, tidak rapi, perawatan diri buruk
Mengabaikan tanggung jawab yang biasa dikerjakan terkait dengan pekerjaan, sekolah,
rumah tangga, dan aktivitas sosial
Setelah ditetapkan bahwa pasien tersebut mengalami psikosis, maka diperiksa selanjutnya
untuk menjawab pertanyaan: apakah pasien menderita psikosis akut atau kronis, apakah
pasien mengalami episode manik akut dan apakah ada kondisi penyerta yang dialami
pasien.
63
Selanjutnya perlu ditetapkan apakah episode psikosis ini bukan Episode Manik Akut
dengan memeriksa apakah didapatkan:
1. Selama periode beberapa hari terjadi mood yang meningkat (gembira berlebihan)
atau iritabel (mudah marah); tenaga dan aktivitas yang berlebihan; bicara berlebihan;
dan kurang hati-hati atau sembrono.
2. Riwayat sebelumnya pernah mengalami depresi, atau penurunan tenaga dan
aktivitas.
Jika ini adalah Episode Manik Akut maka kemungkinan pasien tersebut menderita
Gangguan Bipolar dan harus dilakukan tatalaksana yang sesuai.
Rencana Penatalaksanaan
1. Intervensi psikososial
2. Intervensi farmakologik
64
o Tiap orang punya kemampuan untuk pulih;
o Sedapat mungkin tetap melanjutkan aktivitas sosial, pendidikan, dan
pekerjaan yang biasanya dilakukan;
o Pengobatan yang baik akan mengurangi penderitaan dan masalah akibat
penyakitnya;
o Penting untuk minum obat secara teratur;
o Tiap orang berhak untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan pengobatannya;
o Penting untuk menjaga kesehatan (dengan diet sehat, tetap aktif secara fisik,
mempertahankan kebersihan diri)
o Bicarakan dengan dokter apabila ada keluhan atau pertanyaan tentang
penyakit dan pengobatannya.
65
Fasilitasi hubungan dengan sumber-sumber di bidang kesehatan dan sosial demi
terpenuhinya kebutuhan fisik, mental dan sosial keluarga.
Dorong secara aktif orang dengan psikosis untuk mencoba kembali aktivitas sosial,
edukasional, dan okupasional yang sesuai dan disarankan oleh anggota keluarga.
Fasilitasi keterlibatan kembali dalam aktivitas ekonomi dan sosial, termasuk
dukungan pekerjaan yang sesuai dengan konteks sosial dan budaya.
Orang dengan psikosis sering kali didiskriminasi, oleh karenanya penting untuk
mengatasi pandangan negatif baik internal maupun eksternal dan bekerja untuk
mencapai kemungkinan kualitas hidup terbaik.
Bekerja sama dengan agen-agen lokal untuk menggali kemungkinan-kemungkinan
kerja dan pendidikan, berdasarkan kebutuhan dan tingkat keterampilan orang
tersebut.
Jika diperlukan dan tersedia, pikirkan kemungkinan adanya dukungan
perumahan/bantuan hidup.
Pertimbangkan secara matang kapasitas fungsional dan kebutuhan akan dukungan
dalam rangka memberikan petunjuk dan memfasilitasi pengurusan perumahan yang
optimal
Pertimbangkan hak asasi orang tersebut.
3. Tindak Lanjut
Orang dengan psikosis diminta untuk datang kontrol secara teratur.
Kontrol awal sebaiknya sesering mungkin, bahkan setiap hari, sampai gejala akutnya
mulai berespons dengan pengobatan. Setelah gejala-gejala menunjukkan respons,
kontrol satu kali sebulan atau satu kali dalam 3 bulan dapat direkomendasikan sesuai
dengan kebutuhan klinis dan faktor-faktor yang mungkin laksana seperti ketersediaan
staf, jarak dari klinik, dll.
Pelihara harapan dan optimisme yang realistis selama terapi.
Di setiap kontrol, lakukan penilaian gejala, efek samping obat dan ketaatan terhadap
pengobatan. Ketidaktaatan terhadap pengobatan umum terjadi dan pelibatan pelaku
rawat adalah penting dalam periode tersebut.
Nilai dan kelola kondisi medis penyerta.
Nilai kebutuhan akan intervensi psikososial di setiap kunjungan kontrol
Intervensi Farmakologik
1. Memulai medikasi antipsikotik
Untuk mengontrol gejala-gejala psikotik akut secara tepat, sebaiknya memulai terapi
antipsikotik secepatnya sesudah penilaian.
Pertimbangkan terapi intramuskular akut jika terapi oral tidak mungkin dilaksanakan.
66
JANGAN meresepkan injeksi depo/jangka panjang untuk mengontrol gejala-gejala
psikotik akut secara tepat.
Resepkan 1 antipsikotik dalam 1 waktu (monoterapi)
Start low, go slow: Mulai dengan dosis rendah yang ada dalam kisaran terapeutik
(lihat tabel medikasi antipsikotik untuk detilnya) dan naikkan dosis secara perlahan
hingga mencapai dosis efektif terendah, untuk tujuan menurunkan risiko efek
samping.
Coba melakukan terapi pada dosis optimum sedikitnya 4 6 minggu sebelum
mempertimbangkan bahwa obat tersebut tidak efektif.
Haloperidol atau Klorpromazin oral sebaiknya ditawarkan secara rutin pada orang
dengan gangguan psikotik.
67
oleh gerakan-gerakan otot yang involunter, khususnya wajah, tangan, dan dada.
Medikasi Antikolinergik:
o Triheksifenidil (Benzhexol) digunakan dengan dosis 4 12 mg per hari.
Efek samping meliputi sedasi, kebingungan, dan gangguan memori, terutama
pada usia lanjut. Efek samping yang jarang meliputi glaukoma sudut tertutup,
miasthenia gravis, obstruksi gastrointestinal.
o Jika terjadi distonia atau parkinsonisme yang berat dipertimbangkan
pemberian injeksi difenhidramin (antihistamin dengan efek antikolinergik yang
kuat) atau sulfas atropin.
o Hindari pemberian rutin obat antikolinergik sebagai profilaksis.
68
3. Menghentikan medikasi antipsikotik
Untuk psikosis akut, lanjutkan terapi antipsikotik hingga 12 bulan setelah remisi
total.
Untuk orang dengan psikosis kronik, pertimbangkan penghentian tatalaksana jika
orang tersebut stabil untuk beberapa tahun, titik beratkan pada risiko kekambuhan
setelah penghentian di samping kemungkinan efek samping medikasi,
pertimbangkan pilihan pasien melalui konsultasi dengan keluarga.
Jika memungkinkan, KONSUL KE SPESIALIS terkait keputusan penghentian
medikasi antipsikotik.
Beberapa Obat Antipsikotik yang tersedia:
69
4. Kebutuhan klinis untuk menjamin kepatuhan pasien.
Karena sifatnya depot, maka penyerapan obat injeksi ini sangat lambat, kadar
puncak baru tercapai setelah injeksi kelima. Demikian pula penurunan kadar setelah
pengurangan dosis atau penghentian obat akan berlangsung lambat.
Injeksi depot antipsikotik tidak boleh digunakan pada kasus akut dan
kegawatdaruratan, karena kadar puncak plasma tidak dapat dicapai dalam waktu
yang singkat, sedangkan itu diperlukan untuk mengontrol agitasi atau
kedaruratannya.
VIII. REFERENSI
70
2. Departemen Kesehatan RI (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa III (PPDGJ III). Jakarta, Depkes RI.
3. Semple D et al. (2005) Oxford Handbook of Psychiatry. Oxford, Oxford University Press.
4. World Health Organization (2009) Pharmacological treatment of mental disorders in
primary health care. Geneva: World health Organization.
5. World Health Organization (2010). mhGAP Intervention Guide for mental, neurological
and substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva: World Health
Organization.
71
MATERI INTI6
I. DESKRIPSI SINGKAT
72
IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat
C. Studi kasus
D. Praktik lapangan
1. Kegiatan Fasilitator
73
a. Menyampaikan Pokok Bahasan 1 sampai dengan 3 secara garis besar dalam
waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang kurang
jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.
1. Kegiatan Fasilitator
a. Membagi peserta kedalam kelompok kecil (1 kelompok : 6-7 orang)
b. Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
c. Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca kasus dan pertanyaan
yang akan didiskusikan dalam kelompok kemudian dipresentasikan
d. Meminta masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya
e. Meminta kelompok lain untuk menanggapi
f. Menyimpulkan hasil diskusi
2. Kegiatan peserta
a. Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
b. Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota kelompok
c. Mempresentasikan hasil diskusi
d. Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
e. Mencatat hal-hal penting
74
VII. URAIAN MATERI
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN ANAK
Untuk menilai tahapan perkembangan anak dapat dilihat dari aspek perkembangan
motorik kasar, motorik halus, bahasa, personal sosial, emosional dan kognitif. Jika kita
berhadapan dengan seorang anak yang dicurigai mengalami gangguan perkembangan,
maka kita perlu melakukan pemeriksaan pada anak apakah perkembangannya saat ini
sesuai dengan anak-anak seusianya. Cara yang paling mudah adalah membandingkan
dengan perkembangan saudara atau anak lain yang tumbuh kembangnya normal. Atau
dapat menggunakan patokan perkembangan anak yang ada dalam modul tumbuh kembang.
Contoh berikut untuk perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa dan kognitif anak:
Perkembangan Motorik Kasar
Tengkurap 4 bulan
Terlentang dan tengkurap 5 bulan
Duduk ditopang 5 bulan
Duduk tanpa ditopang 6 bulan
Merayap 7 bulan
Duduk sendiri 8 bulan
Merangkak 8 bulan
Rambatan 9 bulan
Berjalan 12 bulan
Berjalan mundur 14 bulan
Berlari 16 bulan
Berjalan naik tangga 20 bulan
Melompat 27 bulan
Perkembangan motorik halus
Telapak tangan terbuka 3 bulan
Menyatukan kedua tangan 4 bulan
Memindahkan benda antara kedua tangan 5 bulan
Meraih unilateral 6 bulan
Mengambil benda kecil dengan jari 9-11 bulan
Minum dari gelas sendiri/menggunakan sendok 12 bulan
Mencoret 12 bulan
Meniru membuat garis 15 bulan
Menyusun 2 kubus 15 bulan
Menyusun 3 kubus 16 bulan
Membuat garis spontan 18 bulan
Membuat garis horisontal dan vertikal 25-27 bulan
Meniru membuat lingkaran 30 bulan
Membuat lingkaran tanpa melihat contoh 3 tahun
Perkembangan Berbahasa
Reaksi terhadap suara 0,5 bulan
Senyum sosial 5 minggu
Mengeluarkan suara aguu-aguu.. 2 bulan
Menggumam 6 bulan
Mengucapkan dada-dada.. 8 bulan
Kata pertama yang benar 11 bulan
Kata kedua yang benar 12 bulan
Kata baru 4-6 kata 12-15 bulan
Menguasai 7-20 kata 16-17 bulan
Menguasai 50 kata, kalimat pertama (2 kata) 18-30 bulan
75
Kalimat terdiri dari 3 kata 2-3 tahun
Perbendaharaan sampai 14000 kata, menyebut 3 kata sifat, kegunaan benda, 3-5 tahun
bicara sebagian/seluruhnya dimengerti, menyebut 4 warna, menyebut jenis
kegiatan
Pengertian bahasa yang lebih kompleks, ucapan dan nada sudah lebih jelas dan 6 tahun
bulat
GANGGUAN PERKEMBANGAN
76
Disabilitas
litas Intelektual/Retardasi Mental
Disabilitas intelektual atau retardasi mental ditandai dengan gangguan pada
beberapa area perkembangan seperti kognitif, bahasa, motorik, dan sosial, selama periode
perkembangan. Kemampuan intelektual yang rendah menurunkan
menurunkan kemampuan anak untuk
beradaptasi terhadap tuntutan-tuntutan
tuntutan dalam kegiatan sehari-hari
sehari hari pasien. Tes Intelligence
Quotient (IQ) dapat menjadi petunjuk tingkat kemampuan intelegensi atau kecerdasan
seseorang, apabila ada tenaga psikolog yang berkompetensi untuk melakukan tes IQ.
Prevalensi disabilitas intelektual adalah 1-3
1 3 % dari populasi umum. Penyebabnya
bersifat multifaktorial, dapat disebabkan oleh ada gangguan selama kehamilan, setelah lahir,
ataupun penyebab yang tidak diketahui. Penyebab yang berkaitan
berkaitan dengan kondisi selama
kehamilan misalnya gangguan genetik atau kromosom, infeksi, radiasi, trauma, penggunaan
alkohol atau zat psikoaktif lain selama kehamilan, toksin, nutrisi ibu hamil, atau kelainan
bawaan yang dapat dialami oleh janin. Faktor sekitar
sekitar kelahiran anak yang mungkin
berkontribusi antara lain trauma lahir, prematuritas dan infeksi. Pasca kelahiran anak juga
terdapat risiko lain yang dapat berkaitan seperti infeksi, toksin, nutrisi dan faktor psikososial
keluarga.
Algoritma penilaian ada atau tidaknya gangguan perkembangan pada anak:
77
Klasifikasi Disabilitas Intelektual atau Retardasi Mental (RM):
78
tugas yang sederhana untuk bina diri dan melakukan pekerjaan keterampilan. Apabila
dilakukan tes IQ, nilai berkisar antara: 25 40.
Beberapa gangguan fisik atau mental yang sering menyertai disabilitas intelektual, antara
lain:
Epilepsi
Gangguan perilaku seperti: hiperaktivitas, impulsivitas, perilaku menyakiti diri sendiri,
agresif, menentang
Gangguan mood : depresi
Gangguan cemas: cemas perpisahan, gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik,
gangguan cemas menyeluruh
Gangguan makan:menolak makan, pica (memakan bahan-bahan yang bukan
makanan)
Gangguan mental organik oleh karena kondisi medis umum
Gangguan psikotik
Gangguan mood sering ditemukan pada anak RM karena terdapat gangguan belajar,
kesulitan dalam bergaul dan berinteraksi sosial dan kepercayaan diri yang kurang
Keluhan yang muncul dapat berupa : mudah untuk menangis, mudah marah, sulit
tidur, agitasi, mood yang labil, sulit bergauldengan anak seusianya.
Anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif atau gangguan spektrum autisme
adalah biasanya memiliki hambatan dalam perilaku sosial, komunikasi dan bahasa; memiliki
rentang minat dan aktivitas yang terbatas dan dilakukan secara berulang-ulang. Gangguan-
gangguan tersebut dimulai pada masa bayi atau kanak awal. Biasanya, namun tidak selalu,
juga dapat disertai dengan disabilitas intelektual.
79
Gambaran klinis anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif atau gangguan
spektrum autisme:
Hendaya kualitatif dalam interaksi sosial
Gangguan komunikasi verbal, non verbal dan bermain
Aktivitas dan minat yang terbatas
Perilaku stereotipik (berulang-ulang dan tidak spesifik, tidak ada maksud yang jelas)
Emosi yang sering tidak stabil
Respon berlebih atau kekurangan terhadap beberapa stimuli sensorik
Gejala-gejala perilaku lain yang terkait (seperti hiper/hipo-kinesis, agresi, tantrum,
melukai diri, rentang perhatian pendek, kurangnya kemampuan untuk berfokus pada
tugas, insomnia, masalah makan)
Faktor etiologi
Sampai saat ini penyebab pasti gangguan autisme masih belum diketahui. Faktor yang
berperan antara lain:
Genetik
Biologis
Imunologis
Perinatal: infeksi, komplikasi kehamilan dan kelahiran
Neuroanatomis
Biokimia
Psikososial dan keluarga
80
Beri penghargaan/hadiah untuk setiap perilaku baik yang dilakukan anak dan tidak
memberikan penghargaan/hadiah untuk perilaku yang bermasalah
Lindungi anak dari kemungkinan perilaku kekerasan
Berkomunikasi dan berbagi informasi dengan orang tua lain yang memiliki anak
dengan masalah yang sama
Kontak pihak sekolah dengan persetujuan anak tersebut dan orang tua, kemudian
berikan saran sederhana seperti:
Minta agar anak dapat duduk di barisan depan kelas
Beri anak waktu tambahan dalam memahami dan mengerjakan tugas
Membagi tugas yang panjang dan kompleks menjadi beberapa bagian yang lebih
sederhana
Memantau adanya kemungkinan perilaku yang tidak wajar atau kekerasan dari
teman sebaya dan ambil langkah yang sesuai untuk menghentikan hal tersebut.
Berikan dukungan untuk mengantisipasi situasi sulit dalam hidup.
Fasilitasi dan berkolaborasi dengan layanan rehabilitasi berbasis komunitas.
Bantu untuk melindungi hak asasi anak dan keluarga
Berikan dukungan pada pelaku rawat
Rujuk ke spesialis, jika tersedia, untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Pantau secara teratur
Pendekatan psikofarmaka dapat diberikan untuk membantu mengatasi perilaku
pasien yang maladaptif
GANGGUAN PERILAKU
Beberapa jenis gangguan perilaku pada anak dan remaja, antara lain:
Gangguan dalam atensi yang berat dan tidak mampu untuk fokus, berhenti
mengerjakan tugas secara berulang-ulang sebelum menyelesaikannya dan pindah
mengerjakan tugas lainnya
Aktivitas berlebihan yang berat: lari-lari berputar yang tidak bisa dikontrol, sulit untuk
dapat duduk diam, bicara terus atau bergerak terus
Impulsivitas yang berlebihan: melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu
Perilaku berulang dan mengganggu yang lain (temper tantrums yang sering dan
berat, perilaku yang kejam, tidak patuh yang berat, mencuri)
Perubahan yang tiba-tiba dalam perilaku atau hubungan dengan teman sebaya
termasuk kemarahan dan penarikan diri
81
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan gangguan dengan
gejala:
Gangguan atensi yang berat dan tidak mampu untuk fokus, berhenti mengerjakan
tugas secara berulang-ulang sebelum menyelesaikannya dan pindah mengerjakan
tugas lainnya.
Aktivitas berlebihan yang berat: lari-lari berputar yang tidak bisa dikontrol, sulit untuk
dapat duduk diam, bicara terus atau bergerak terus.
Impulsivitas yang berlebihan: melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu,
perilaku berulang dan mengganggu yang lain (temper tantrums yang sering dan
berat, perilaku yang kejam, tidak patuh yang berat, mencuri)
Perubahan yang tiba-tiba dalam perilaku atau hubungan dengan teman sebaya
termasuk kemarahan dan penarikan diri.
Gejala-gejala GPPH ini pada umumnya telah timbul sebelum anak berusia 12 tahun.
Walaupun demikian, biasanya orang tua dari anak dengan GPPH baru membawa
anaknya ke ruang konsultasi saat anak mulai bersekolah secara formal, oleh karena
pada saat ini mereka dituntut untuk mampu mengontrol perilaku mereka dan mengikuti
peraturan yang berlaku di sekolah. Keluhan yang sering disampailkan adalah anak
nakal, tidak kenal takut, berjalan-jalan di dalam kelas, seringkali berbicara dengan
kawannya pada saat pelajaran berlangsung, dsb. Pada anak yang berusia kurang dari 4
tahun, kondisi ini seringkali sulit dibedakan apakah anak menderita gangguan ini atau
merupakan suatu hal yang wajar sesuai dengan tingkat perkembangannya. Namun pada
anak dengan GPPH, gejala yang muncul tampak lebih sering dan intensitasnya lebih
beratjika dibandingkan dengan anak lain dengan taraf perkembangan yang sama.
Epidemiologi
Prevalensinya di seluruh dunia diperkirakan berkisar antara 2 9.5 % dari anak-anak usia
sekolah. Anak laki-laki dikatakan memiliki insidensi yang lebih tinggi untuk mengalami
gangguan ini dibandingkan dengan anak perempuan, dengan rasio 3-4 : 1. Remaja dan
dewasa lebih sedikit dibandingkan dengan anak sekolah dasar
Etiologi
Sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari GPPH. Dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan dikatakan adanya keterlibatan dari
faktor genetik
struktur anatomi
82
neurokimia otak
dalam terjadinya GPPH.
Komorbiditas
Anak dengan GPPH mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami
gangguan belajar
gangguan cemas
gangguan mood
gangguan penggunaan zat
dibanding dengan populasi umum
83
84
TATA LAKSANA GANGGUAN PERILAKU
Terdapat beberapa tatalaksana gangguan perilaku, antara lain:
Psikoedukasi keluarga
Pertimbangkan pelatihan keterampilan bagi keluarga, bila tersedia
Hubungi guru (jika anak bersekolah dan setelah mendapatkan persetujuan dari anak
dan orangtua),
), berikan saran dan perencanaan kebutuhan pendidikan khusus.
Antisipasi adanya perubahan kehidupan yang besar (seperti pubertas, mulai
bersekolah, atau kelahiran saudara kandung) dan aturlah dukungan personal dan
sosial.
Psikoedukasi keluarga
Menerima anak apa adanya dan memberikan perawatan dan dukungan yang optimal
bagi anak
Konsisten dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak
Beri penghargaan pada perilaku baik yang dilakukan anak dan hindari konfrontasi
langsung dengan anak
Mulai modifikasi perilaku dengan berfokus pada beberapa perilaku bermasalah yang
jelas terlihat dan yang mungkin dilakukan anak
Beri instruksi yang singkat dan jelas serta tekankan
tekankan secara tegas pada anak untuk
melakukannya
Jangan pernah menggunakan kata-kata
kata kata atau tindakan kekerasan pada anak. Lebih
banyak menekankan pada penghargaan daripada hukuman, misalnya tunda/tidak
85
memberikan penghargaan atau hadiah (contoh melakukan aktivitas yang
menyenangkan bagi anak) setelah anak berperilaku tidak sesuai.
Sebagai pengganti hukuman, dapat menggunakan time out yang singkat dan jelas,
yaitu memisahkan sementara anak dari lingkungan yang menyenangkan baginya
sebagai bagian dari usaha memodifikasi perilaku
Jangan lupa untuk membahas hal ini setelah anak tenang
Psikoedukasi keluarga
Beberapa cara psikoedukasi keluarga yang dapat dilakukan untuk menghadapi anak dengan
gangguan perilaku antara lain:
Menerima anak apa adanya dan memberikan perawatan dan dukungan yang optimal
bagi anak
Konsisten dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak
Beri penghargaan pada perilaku baik yang dilakukan anak dan hindari konfrontasi
langsung dengan anak
Mulai modifikasi perilaku dengan berfokus pada beberapa perilaku bermasalah yang
jelas terlihat dan yang mungkin dilakukan anak
Beri instruksi yang singkat dan jelas serta tekankan secara tegas pada anak untuk
melakukannya
86
Jangan pernah menggunakan kata-kata atau tindakan kekerasan pada anak. Lebih
banyak menekankan pada penghargaan daripada hukuman, misalnya tunda/tidak
memberikan penghargaan atau hadiah (contoh melakukan aktivitas yang
menyenangkan bagi anak) setelah anak berperilaku tidak sesuai.
Sebagai pengganti hukuman, dapat menggunakan time out yang singkat dan jelas,
yaitu memisahkan sementara anak dari lingkungan yang menyenangkan baginya
sebagai bagian dari usaha memodifikasi perilaku
Jangan lupa untuk membahas hal ini setelah anak tenang
Kontak pihak sekolah dengan persetujuan anak tersebut dan orang tua, kemudian
berikan saran sederhana seperti:
Minta agar anak dapat duduk di barisan depan kelas
Beri anak waktu tambahan dalam memahami dan mengerjakan tugas
Membagi tugas yang panjang dan kompleks menjadi beberapa bagian yang
lebih sederhana
Memantau adanya kemungkinan perilaku yang tidak wajar atau kekerasan
dari teman sebaya dan ambil langkah yang sesuai untuk menghentikan hal
tersebut.
Beri dukungan pada keluarga dan nilai dampak psikososial masalah anak bagi
keluarga
Tatalaksana obat
Terdapat beberapa prinsip dalam penggunaan obat dalam tatalaksana GPPH, antara lain:
Konsultasikan ke spesialis untuk kemungkinan penggunaan obat untuk mengatasi
gangguan perilaku
Penggunaan obat golongan methylphenidate bagi anak dengan GPPH harus dengan
supervisi spesialis (psikiater)
Gunakan obat hanya sebagai bagian dari rencana tatalaksana menyeluruh yang
melibatkan intervensi psikologis, perilaku dan edukasional
Methylphenidate
Penggunaan obat ini dibatasi pada beberapa negara. Ada beberapa hal yang harus dinilai
sebelum menggunakan methylphenidate, antara lain:
Fungsi jantung dan pembuluh darah, karena metilphenidate tidak boleh digunakan
pada anak dengan penyakit jantung dan pembuluh darah
Berat dan tinggi badan
Risiko penyalahgunaan obat
87
Penyakit medis yang menyertai (misal penggunaannya perlu berhati-hati pada anak
dengan epilepsi)
Gangguan mental yang lain (dapat menambah gejala cemasa dan kontra indikasi
pada gangguan psikosis)
Sediaan obat methylphenidate yaitu tablet immediate release(10 mg) dan tablet extended
release(18 mg, 20 mg, 36 mg). Penggunaan awal 5mg tablet immediate release (satu atau
dua kali sehari di pagi dan siang hari) dan bisa ditingkatkan perlahan-lahan dalam 4-6
minggu dengan dosis maksimal 1mg/kgBB/hari, dibagi dua dosis. Penggunaan tablet tablet
extended release satu kali sehari di pagi hari. Efek samping yang sering terjadi antara lain:
insomnia, nafsu makan menurun, anxietas, perubahan mood. Efek samping lain yang
mungkin timbul, namun jarang: nyeri perut, pusing, mual, muntah, tic. Perlu konsultasikan ke
spesialis untuk penggunaan obat methylphenidate.
REFERENSI
1. World Health Organization. mhGAP Intervention Guide: for mental, neurological and
substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva: World Health
Organization, 2010.
2. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan gangguan mental emosional anak usia 6 tahun ke
bawah. Jakarta: Depkes RI, 2005.
3. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2011
4. Buku Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas
5. Kaplan and Sadock Comprehensive Textbook of Psychiatry, 2007.
88
MATERI INTI 7.
GANGGUAN DEMENSIA PADA LANSIA
I. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini akan mempelajari materi bagaimana melakukan pemeriksaan, menegakkan
diagnosis, melakukan intervensi serta rujukan kasus demensia. Metode yang digunakan
dalam modul ini meliputi ceramah, tanya jawab, diskusi kasus, bermain peran dan praktik
lapangan.
II.TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu melakukan penegakan diagnosis
dan penatalaksanaan gangguan demensia.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi atau materi ini peserta mampu:
1. Memahami definisi, masalah, penyebab, macam dan dampak dari gangguan demensia
2. Melakukan pengenalan gejala, identifikasi kasus, dan diagnosis gangguan demensia
3. Melakukan penatalaksanaan gangguan demensia
4. Melakukan rujukan kasus
IV. METODE
89
V. MEDIA DAN ALAT BANTU
Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Langkah 1: Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat
Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
Mengikuti permainan
Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.
90
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan
yang diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.
DEMENSIA
Bertentangan dengan pendapat umum, demensia bukan bagian dari proses penuaan
normal yang akan dialami oleh semua lansia, melainkan merupakan suatu penyakit.
Demensia dapat terjadi pada Lanjut Usia karena penyakit Alzheimer, stroke berulang,
trauma kepala, dan gangguan faal tubuh (hormonal, nutrisi, defisiensi vitamin) alkohol dan
91
lain lain. Dua jenis demensia yang tersering terjadi adalah demensia tipeAlzheimer dan
demensia vaskuler (pasca "Stroke").
Penyakit Alzheimer merupakan penyebab tersering demensia pada usia tua (50 60%
dari seluruh demensia). Prevalensi Alzheimer meningkat seiring dengan meningkatnya usia
(> 65 tahun 3 5 %, > 85 tahun 50%); dapat muncul pada usia 40 60 tahun (10%) ada
riwayat pada keluarga (genetik autosomal dominan). Rasio wanita : pria = 2 : 1. Alzheimer
bersifatmultifaktorial, dapat disebabkan interaksi faktor genetik dan lingkungan. Beberapa
hal yang ditengarai menjadi faktor risiko adalah: peningkatan usia, riwayat keluarga, wanita,
pendidikan yang rendah, riwayat cedera kepala.
Pada demensia dapat dijumpai Sindrom ABC, yaitu gangguan pada aktivitas hidup
sehari-hari (Activities of daily living), gangguan psikologis dan perilaku (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia, BPSD) sebagai kondisi penyulit yang akan dijelaskan
kemudian, dan hendaya fungsi kognitif (Cognitive deficits).
Amnesia-Defisit Memori
Afasia
Berupa gangguan atau hilangnya kemampuan untuk menulis atau berbicara, yang dapat
bermanifestasi sebagai kesulitan untuk mencari kata atau afasia nominal dan afasia
reseptif atau kesulitan untuk mengerti pembicaraan.
Apraksia
92
memakai pakaian, menyuapkan makanan ke mulut, dll.Apraksia merupakan penyebab
utama hilangnya kemandirian pasien.
Agnosia
Merupakan suatu kegagalan mengenali stimulus sensori secara akurat walaupun tidak
ada defisit sensori. Dapat berupa agnosia visual, yang berakibat terjadinya
penyalahgunaan obyek yang digunakan sehari-hari; atau prosopagnosia
(ketidakmampuan untuk mengenali wajah, termasuk keluarga dan teman dekat).
Hendaya kognitif tersebut dapat diperiksa menggunakan instrumen AMT & MMSE.
Namun kedua instrument tersebut tidak dapat mendeteksi gangguan pada fungsi eksekutif,
yang dapat diperiksa menggunakan Clock Drawing Test atau uji menggambar jam.
Untuk menegakkan diagnosis demensia, selain penurunan fungsi kognitif diperlukan pula
bukti bahwa terjadi penurunan aktivitas harian yang mengganggu fungsi sosial maupun
pekerjaan. Hal ini dapat diperiksa menggunakan Instrumental ADL dari Lawton yang
mengukur kemampuan untuk bepergian sendiri, berbelanja, memasak, menggunakan
telepon serta mengelola keuangan; atau dengan Basic ADL dari Barthel yang mengukur
kemampuan yang lebih mendasar seperti untuk naik turun tangga, makan, mandi, buang air
besar / kecil, dan berpakaian.
93
Algoritma Diagnosis
Perburukan gejala&hendaya?
Gambaran atipikal:
Jika terdapat hendaya Jika awitan mendadak Awitan <60 tahun
dan durasi singkat
dalam tes kognitif &
fungsional Jika gangguan lebih Hipotiroidisme
Telah berlangsung 6 sering di malam hari Penyakit
bulan ada perubahan kardiovaskular
kesadaran Riwayat ISK / HIV
ada disorientasi Riwayat cedera
kepala / stroke
DEMENSIA DELIRIUM RUJUK
Penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu
kegiatan harian seseorang (mandi, berpakaian)
94
Tidak ada bukti klinis atau temuan dari pemeriksaan khusus yang menyatakan
bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain
yang dapat menimbulkan demensia
Tidak ada serangan apopleptik mendadak atau gejala neurologik kerusakan otak
fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapang pandang maya dan
inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu
Awitan mendadak atau deteriorasi yang bertahap, disertai adanya gejala neurologis
fokal
Suatu kebingungan akut yang ditandai dengan disorientasi, bicara ngelantur, gelisah, sulit
mengalihkan perhatian, ketakutan dan lain-lain yang disebabkan oleh gangguan
metabolisme di otak akibat gangguan metabolik/ infeksi/ trauma kepala/ efek samping obat
dan sebagainya.
Delirium dan demensia sering terjadi bersamaan. Umumnya pasien dengan demensia
lebih rentan untuk mengalami delirium. Sebaliknya, delirium yang tak tertangani atau
berlangsung berkepanjangan dapat berlanjut menjadi demensia.
95
(infeksi, dehidrasi), konsumsi obat (antibiotik, antikolinergik), atau terjadi perubahan
lingkungan (mis. pindah ke rumah anak, dirawat di RS, dll).
Delirium perlu dicurigai jika terdapat perubahan status mental mendadak dan berfluktuasi
(dalam hitungan hari sampai minggu), gangguan lebih sering di malam hari dan berkaitan
dengan hendaya kesadaran bila ada disorientasi terhadap waktu / tempat. Bila hal in terjadi,
lakukan pemeriksaan dengan CAM (Confusion Assessment Method) untuk memastikan
adanya delirium, kenali penyebab (faktor predisposisi dan presipitasi), lakukanpenanganan
penyebab se-optimal mungkindan/atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap.
BPSD
BPSD-Kelompok Gejala
Gambaran BPSD yang berbeda muncul pada tahapan penyakit yang berbeda pula.
Gejala afektif cenderung terjadi pada fase awal penyakit (Reisberg et al., 1989; Rubin et al.,
1988). Sementara gejala agitasi dan psikotik sering dijumpai pada pasien dengan hendaya
kognitif sedang; namun akan menurun pada tahap lanjut demensia, kemungkinan
disebabkan oleh deteriorasi kondisi fisik & neurologis pasien(Tariot and Blazina, 1994).
Sebagian besar BPSD cenderung memuncak sebelum tahap lanjut demensia. Beberapa
BPSD menetap lebih lama dibanding yang lain, seperti wandering dan agitasi yang dapat
berlangsung hingga 2 tahun lebih (Devanand).
Anxietas
Manifestasi umum anxietas pada demensia adalah sindrom Godot. Pasien dengan
sindrom ini akan bertanya berulang-ulang tentang suatu halakibat defisit kognitif dan
ketidak mampuan menyalurkan kapasitas berpikir yang tersisa secara produktif. Hal ini
dapat menjengkelkan keluarga dan pelaku rawat (Reisberg et al., 1986). Gejala
96
anxietaslain yang menjadi karakteristik pasien demensia adalah ketakutan ditinggalkan,
yang dapat tampak segera setelah pelaku rawat pergi ke ruangan lain atau
diekspresikan sebagai permintaan untuk tidak ditinggalkan sendirian. Rasa takut ini
dapat mencapai proporsi fobia karena anxietasnya tidak sebanding dengan bahaya riil.
Pasien juga dapat mengembangkan fobia lain, seperti takut akan keramaian, bepergian,
gelap, atau aktivitas seperti mandi.
Depresi
Munculnya depresi pada demensia biasanya berkaitan dengan faktor lingkungan dan
psikososial. Gejala depresi pada pasien demensia sering berfluktuasi. Pasien lebih
menunjukkan keluhan mengasihani diri, sensitivitas terhadap penolakan, anhedonia dan
gangguan psikomotor dibanding pasien depresi non-demensia. Sekitar 11-23% pasien
yang awalnya didiagnosis depresi pseudodemensia atau demensia reversibel akan
berubah menjadi demensia ireversibel tiap tahun. Depresi mayor pada demensia
berkaitan dengan peningkatan angka mortalitas, namun tidak ada akselerasi penurunan
kognitif.
Psikosis
Psikosis pada demensia dapat dianggap sebagai BPSD bila diketahui tidak ada riwayat
gangguan psikotik sebelum awitan demensia. Gambarannya sangat berbeda dari
psikosis pada skizofrenia karena adanya faktor neurokimiawi dan psikologis spesifik
pada demensia. Waham yang bizzare jarang ada, halusinasi biasanya bersifat visual, ide
suisidal aktif juga jarang dijumpai. Gejalanya meliputi:
o Misidentifikasi
Tidak seperti halusinasi yang terjadi tanpa stimulus eksternal, misidentifikasi
merupakan mispersepsi dari stimuli eksternal yang dielaborasi menjadi suatu
keyakinan dengan intensitas waham. Terdapat empat tipe utama:
97
Terdapat hubungan antara mispersepsi visual dan halusinasi pada pasien
dengan hendaya kognitif sedang. Mereka dengan agnosia visual (kesulitan
mengenali wajah atau obyek) mungkin mengalami masalah dengan sensitivitas
kontras cahaya sehingga batas antara gelap dan terang menjadi kabur. Oleh
karena itu pemeriksaan fungsi visual dan auditorik menjadi bagian esensial
pengkajian pasien demensia dengan halusinasi.
o Waham
Waham merupakan faktor risiko untuk agresi fisik, setidaknya berdasarkan hasil
studi Deutsch et al (1991) dan Gilley et al (1997). Terdapat lima jenis waham
yang lazim terjadi pada demensia, yaitu:
4. Pengabaian
Orang dengan demensia kerap meyakini bahwa dirinya diabaikan, atau bila
dirawat inap, ia membayangkan ada konspirasi untuk menyingkirkannya.
Meski fungsi intelektual menurun seiring progresivitas demensia, pasien
masih memiliki sedikit tilikan terhadap kondisinya. Kesadaran bahwa dirinya
menjadi beban mungkin menjelaskan waham ini.
98
5. Ketidaksetiaan/cemburu
Terkadang pasien dengan demensia meyakini pasangannya tidak setiabaik
secara seksual maupun emosional. Keyakinan ini juga dapat meluas ke
pelaku rawat lain.
Agitasi
Agitasi terbagi menjadi empat bagian, yaitu perilaku fisik non-agresif (mondar-mandir,
wandering, menyembunyikan barang, menanggalkan pakaian sembarangan), perilaku
verbal non-agresif (negativisme, mengeluh, interupsi, terus menerus bertanya atau
menyuruh), agresi fisik (memukul, mendorong, menggigit, meludah), dan agresi verbal
(berteriak, memaki, ledakan kemarahan). Perilaku fisik non-agresif terlihat pada pasien
dengan hendaya fungsional sedang sampai berat, sementara perilaku verbal non-agresif
lebih sering teramati pada wanita dengan demensia dan depresi, kondisi kesehatan
buruk disertai nyeri kronis, hendaya kognitif ringan sampai sedang dan relasi sosial yang
buruk. Agresi fisik dan verbal cenderung lebih sering terjadi pada pasien demensia
dengan relasi sosial yang buruk. Agresi fisik tipikal untuk pasien pria dengan hendaya
kognitif berat dan sering dikaitkan dengan adanya waham, sementara agresi verbal
berkaitan dengan depresi dan masalah kesehatan.
Wandering
Merupakan salah satu masalah perilaku paling menyulitkan yang sering menyertai
demensiaterutama dalam hal beban yang ditimpakan pada pelaku rawatjuga penyebab
tersering rujukan ke layanan psikiatrik. Terdapat beberapa tipe perilaku yang tercakup dalam
wandering (Hope dan Fairburn, 1990):
99
o Berjalan tanpa tujuan atau menuju tujuan yang tidak tepat, berjalan di malam hari
o Berulang kali mencoba meninggalkan rumah atau keluyuran di luar rumah
Sindrom Disinhibisi
Disinhibisi adalah dampak dari instabilitas dan impulsivitas emosi serta daya nilai dan
tilikan yang buruk. Ekspresinya berupa ledakan kemarahan, membuka pakaian di depan
umum atau berkendara dalam keadaan mabuk. Hal ini dapat mengakibatkan konsekuensi
serius, misalnya memicu tidak kekerasan, kesulitan ekonomi dan sosial, bahkan
membahayakan nyawa.
Sebagian besar BPSD dapat dipahami bila kita melihat secara sistematis alasan di balik
perilaku tersebut. Untuk itu, kita harus memahami penyakit dan orang yang hidup dengan
demensia. Dalam mengkaji berbagai faktor yang berperan pada timbulnya BPSD, dapat
digunakan akronim PIECES, yaitu:
PENATALAKSANAAN DEMENSIA
100
Modifikasi faktor resiko yang memperlambat atau memperbaiki penyebab reversibel
yang menyebabkan demensia
Tatalaksana gejala dan perilaku lain yang dapat memperburuk demensia (BPSD)
Kontrol:
DM
HT
Dislipidemia
Aktivitas fisik
Umum:
Spesifik:
101
Bantu untuk mengenal waktu dengan menggunakan jam besar, kalender harian
Bicara dengan kalimat sederhana dan jelas (satu atau dua tahap saja), bila perlu
gunakan isyarat atau sentuhan lembut
Manajemen perilaku atau manipulasi situasi merupakan strategi awal untuk BPSD
ringan sampai sedang
Modifikasi lingkungan:
Tempat tinggal familiar, perabot tidak banyak berubah tempat, hindari pola
kompleks
102
Kamar mandi mudah dijangkau, pintu tidak terkunci, lantai tidak licin
Tambahkan hand-rails atau ramps dan beri tanda lokasi penting (cth. kamar
mandi, kamar tidur)
Masase/pemijatan, olahraga
Wandering batasi akses, kenakan tanda pengenal, atau ciptakan lingkungan yang
aman bagi pasien untuk wandering di dalam/sekitar rumah
Disorientasi beri petunjuk waktu (jendela, jam, kalender) yang jelas, mengulang
informasi tempat dan orang yg baru dijumpai
Disinhibisi seksual kenakan pakaian yang nyaman tapi sulit dilepas sendiri; bila
tidak mungkin diberi pengertian sediakan tempat yang aman bagi pasien namun
tidak mengganggu orang
Gangguan tidur beri aktivitas dan batasi tidur siang, cukup pajanan sinar matahari,
perhatikan higiene tidur
o Harus ada indikasi dan target perilaku yang jelasdepresi, halusinasi, waham,
agitasi
o Pilih obat yang dengan efek samping minimal dan efikasi maksimal
o Pertimbangkan peningkatan kerentanan terhadap efek simpang obat serta
penurunan fungsi ginjal dan hati terkait usia
103
o Pertimbangkan risiko vs manfaat pemberian obat
o Gunakan dosis efektif minimal dan hanya untuk durasi tertentu. Mulai dengan
memberikan haloperidol 0.5 mg per oral, atau i.m. bila perlu
Perilaku yang berespons terhadap obat: Perilaku yang tidak responsif terhadap obat:
VIII.REFERENSI
1. World Health Organization. mhGAP Intervention Guide: for mental, neurological and
substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva: World Health
Organization, 2010.
2. A.D.E.P.T A Dementia Education Physician Teaching Program for Family
Physicians, Janssen-Ortho
3. Bpsd slide kit educational pack. Available at www.ipa-online.org
104
LAMPIRAN
1.. Tenaga kesehatan mampu membina rapport dengan pasien dan keluarga:
a. Mengucapkan salam
b. Berkenalan dengan pasien dan keluarga
c. Membuat kontrak pertemuan dengan jelas (waktu,topik, tempat)
105
AMT (Abbreviated Mental Test, Uji Mental Singkat)
8-10: Normal
106
Mini Mental State Examination
Nama pasien : Nama pemeriksa :
Usia : Tanggal : ..
Pendidikan : Waktu : ..
107
Aktivitas Hidup Harian (ADL) Barthel
Membersihkan diri
Menggunakan jamban
Makan
Berpindah / berjalan
Memakai baju
Mandi
TOTAL
1 membutuhkan bantuan
2 mandiri
Interpretasi:
18-20 mandiri
108
IADL (INSTRUMENTAL ACTIVITY OF DAILY LIVING)
Ketergantungan
No Aktivitas 0 1 2
0 1 2
1 Menggunakan telepon
0 1 2
2 Bepergian sendiri dengan bis, kereta atau taksi
0 1 2
3 Belanja bahan makanan dan pakaian
0 1 2
4 Menyediakan makanan/ tata meja
0 1 2
5 Melakukan pekerjaan rumah tangga
0 1 2
6 Minum obat sendiri
0 1 2
7 Mengatur keuangan sendiri
109
CAM (CONFUSION ASSESSMENT METHOD)
Awitan Akut
1) Apakah terdapat bukti perubahan status mental akut dari kondisi dasar pasien?
Inatensi
2)
b. (Jika ada atau abnormal) Apakah perilaku ini berfluktuasi selama wawancara
(cenderung hilang timbul atau meningkat dan menurun keparahannya)?
_____ YA
_____ TIDAK
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
3) Apakah proses pikir pasien mengalami disorganisasi atau inkoheren, seperti meracau
atau bicara tidak nyambung, alir pikir tidak logis, atau beralih dari satu subyek ke subyek
lain tanpa dapat diramalkan?
110
Perubahan Tingkat Kesadaran
_____Alert (normal)
_____Tidak pasti
Disorientasi
5) Apakah pasien mengalami disorientasi saat wawancara, seperti merasa di tempat lain,
tidur di bed yang salah, atau salah memperkirakan waktu?
Hendaya Memori
Gangguan Persepsi
ilusi, atau misinterpretasi (contoh, menganggap suatu benda bergerak padahal tidak)?
Agitasi Psikomotor
8)
111
b. Selama wawancara, apakah pasien menunjukkan penurunan aktivitas motorik, seperti
gerakan melambat, pandangan kosong, bertahan pada satu posisi dalam waktu lama,
atau bergerak sangat pelan?
INTERPRETASI CAM
Untuk hasil positif pada CAM yang mengindikasikan adanya delirium, pasien harus
menunjukkan:
DAN
2) Inatensi
DISERTAI
ATAU
112
MATERI INTI 8.
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRIK
I. DESKRIPSI SINGKAT
Kegawatdaruratan psikiatrik adalah suatu kondisi yang ditandai oleh adanya gangguan
pada pikiran, perasaan dan perilaku seseorang yang memerlukan perhatian dan
intervensi terapeutik segera. Termasuk di dalamnya kondisi yang berhubungan dengan
gaduh gelisah dan percobaan bunuh diri. Modul ini akan menguraikan mengenai
tatalaksana kegawatdaruratan psikiatri mulai dari pengenalan gejala, penegakan
diagnosis, menyusun rencana intervensi, hingga melakukan rujukan kasus.
IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat
113
C. Studi kasus
D. Bermain peran
E. Praktik lapangan
Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut :
A. Langkah 1 : Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
a. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
b. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c. Fasilitator mempresentasikan kondisi kegawatdaruratan psikiatri untuk stimulus
curah pendapat tentang pengenalan kondisi kegawatdaruratan psikiatri, strategi
umum penanganan kagawatdaruratan psikiatri dan penatalaksanaan
d. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
c. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
d. Melakukan permainan peran
114
e. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas dan
perlu diklarifikasi.
115
VII. URAIAN MATERI
116
2. Algoritma diagnosis kondisi kegawatdaruratan psikiatri
Apabila menemukan kasus/pasien dengan kondisi kegawatdaruratan psikiatri, dibuat
alur pikir untuk menentukan diagnosis secara cepat, dan memisahkan pasien yang
memerlukan penanganan segera. Diagnosis dibuat secara hierarkis, dimulai dari
diagnosis gangguan jiwa akibat penyakit organik yang mengancam nyawa hingga
ditegakkan gangguan jiwa lainnya.
Alur diagnosis pasien dengan kondisi kegawatdaruratan psikiatri adalah sebagai berikut:
Pada pasien dengan kondisi kegawatdaruratan psikiatri, yaitu gaduh gelisah dan
percobaan bunuh diri, pertama kita selalu pikirkan apakah kondisi tersebut disebabkan
atau berkaitan dengan: (1). delirium, (2). demensia, (3). penyalahgunaan napza, (4).
gangguan psikotik, (5). efek samping obat yang berat, atau (6). agitasi pada
anxietas/depresi. Satu per satu penyebab/keterkaitan tersebut disingkirkan hingga
mendapatkan diagnosis kerja secara cepat.
117
1. DELIRIUM
A. Pengertian Delirium
Delirium didefinisikan sebagai gangguan kesadaran, atensi, kognitif, dan persepsi
yang merupakan sebuah sindrom psikiatri umum yang sering menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Delirium merupakan sebuah
sindrom neuropsikiatrik dengan onset akut, ditandai dengan gangguan kesadaran
yang fluktuatif, gangguan atensi, gangguan kognitif, gangguan persepsi, dan
bersifat reversibel. Delirium juga merupakan gangguan dari sistem saraf pusat
yang mengancam nyawa namun juga bersifat reversibel dan ditandai oleh
penurunan akut dalam tingkat kesadaran dan kognitif, gangguan pada atensi,
gangguan persepsi, aktivitas psikomotor abnormal, dan gangguan dalam siklus
tidur. Pada gangguan delirium juga teradapat gangguan orientasi waktu, orang
dan tempat.
B. Frekuensi
Di luar Indonesia, delirium memiliki angka prevalens 10-30% dari seluruh pasien
yang dirawat di rumah sakit, dimana pada populasi pasien lanjut usia didapati 10-
15% dengan delirium pada saat masuk rawat dan 10-40% mengalami delirium
saat dirawat di rumah sakit.Sedangkan di Unit Gawat Darurat didapati angka
kejadian delirium 12-50% dengan lebih dari 60% tidak dikenali oleh sistem
kesehatan.
C. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk delirium dibedakan menjadi faktor predisposisi dan faktor
presipitasi.Faktor predisposisi adalah hal-hal yang mempermudah terjadinya
delirium pada seseorang, sedangkan faktor presipitasi adalah hal-hal yang
mencetuskan atau mempercepat timbulnya delirium pada seseorang. Faktor
predisposisi delirium terdiri dari :
- Usia lanjut
- Demensia
- Polifarmasi
- Gangguan penglihatan/pendengaran
- Dehidrasi
- Gangguan ginjal kronik
- Gangguan neurologis
- Gangguan fungsional/disabilitas fisik
118
Faktor presipitasi atau pencetus delirium terdiri dari :
2. KEGAWATDARURATAN NAPZA
Napza adalah setiap bahan kimia /zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi fungsi tubuh secara fisik dan psikologis. Napza berdasarkan efek
yang ditimbulkannya dapat dibagi menjadi:
119
Benzodiazepin Metamfetamin PCP
Opioid Kokain Kanabis (dosis tinggi)
Solven Magic mushrooms
Kanabis (dosis rendah)
Napza dengan cara kerja sebagai depresan akan memperlambat atau menekan
sistem syaraf pusat dan pesan yang dikirim ke otak. Juga memperlambat detak
jantung dan pernafasan. Efek depresan dapat memberikan gejala sebagai berikut:
Napza yang memiliki efek stimulan akan mempercepat atau merangsang kerja
sistem susunan syaraf pusat dan pesan ke dan dari otak. Stimulan juga
meningkatkan detak jantung, tekanan darah dan suhu tubuh dan sering membuat
orang lebih sadar dan waspada. Efek yang dapat ditimbulkan dapat bermanifestasi
sebagai:
120
Napza yang memiliki efek halusinogen akan mempengaruhi persepsi orang yang
menyebabkannya melihat atau mendengar sesuatu secara terdistorsi.
3. GANGGUAN PSIKOTIK
Pasien dengan kegawatdaruratan psikotik datang dengan :
Agitasi psikomotor yang progresif meningkatnya aktivitas motorik yang tidak
bertujuan secara progresif, mondar mandir, disertai dengan rasa kecemasan.
Agresivitas verbal marah-marah tanpa sebab yang jelas, mengancam.
Agresivitas fisik, perilaku kekerasan (violence) memukul/menyerang orang
lain, merusak/melempar barang.
Halusinasi, terutama halusinasi dengar. Pasien dapat tampak berbicara kepada
seseorang yang tidak dilihat keberadaannya oleh orang lain. Risiko perilaku
kekerasan semakin mengancam jika halusinasi dengar berupa command
hallucination atau halusinasi perintah, yang mengendalikan/memerintahkan
pasien untuk melakukan perilaku kekerasan tersebut.
Waham, terutama wahamkejar yang kuat, disertai sikap bermusuhan (paranoid),
waham kendali, waham pengaruh, dan waham kebesaran.
4. BUNUH DIRI
A. Jenis perilaku bunuh diri
Jenis perilaku bunuh diri antara lain :
1) Ancaman bunuh diri, yaitu perilaku seseorang untuk melakukan bunuh diri
apabila keinginan atau harapannya tidak terpenuhi
2) Isyarat atau gelagat yaitu bentuk perilaku bunuh diri yang diwujudkan dalam
bentuk perubahan tingkah laku atau kebiasaan yang tidak biasa kemudian
dilanjutkan dengan percobaan bunuh diri
121
3) Percobaan bunuh diri, yaitu perilaku bunuh diri dalam bentuk percobaan
mencederai diri sendiri dengan berbagai cara. Cara yang digunakan
bermacam-macam, meminum racun serangga, menembak diri, gantung diri,
terjun dari ketinggian dan sebagainya.
Tanda pikiran
Tanda-tanda pikiran bahwa seseorang berada dalam risiko atau tindakan
bunuh diri diantaranya apabila pasien mengatakan hal-hal sebagai berikut :
- Saya tidak membutuhkan apa-apa lagi
- Saya tidak bisa berbuat apapun yang baik
- Saya tidak bisa berpikir benar
- Saya berharap saya mati
- Segalanya akan lebih baik tanpa saya
- Semua masalah akan berakhir secepatnya
- Tidak ada yang dapat menolong saya
Tanda perasaan
Tanda-tanda perasaan yang dapat diidentifikasi sebagai risiko bunuh diri
antara lain :
- Putus asa
- Marah
122
- Rasa bersalah
- Tidak berarti
- Kesepian
- Sedih
- Tidak ada harapan
- Tidak tertolong
Tanda perilaku
Tanda-tanda perilaku yang dapat dilihat pada pasiendengan risiko dan
tindakan bunuh diri diantaranya :
- Menarik diri
- Tidak tertarik dengan hal-hal yang dulu disukai
- Penyalahgunaan alkohol atau zat
- Perilaku yang tidak menentu
- Perubahan perilaku drastis
- Impulsif
- Mutilasi diri
- Mengembalikan semua barang-barang, mengubah surat wasiat,
menitipkan hal-hal yang dicintai
STRATEGI UMUM
Lakukan penilaian adanya bahaya melukai/menyakiti diri sendiri maupun orang lain.
Dapat dilakukan di dalam maupun di luar gedung layanan kesehatan.
Penting untuk memperhatikan keselamatan staf, anggota tim dan keselamatan pasien
Jangan menolong sendiri, minimal 4 orang dalam 1 tim
Cegah perlukaan
Cek benda-benda berbahaya yang mungkin disembunyikan seperti senjata, gunting,
pisau atau benda berbahaya lainnya.
Menyadari bahwa semua pasien memiliki potensi untuk melakukan kekerasan.
MODIFIKASI LINGKUNGAN
Ciptakan lingkungan dengan kebisingan minimal atau rangsangan minimal untuk
mengurangi kecemasan pasien.
123
Pencahayaan ruangan cukup untuk mengurangi ilusi dan mispersepsi lingkungan yang
dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan atau agresif.
Ciptakan lingkungan yang aman dan tidak mengancam.
PRINSIP WAWANCARA
Lakukan pengkajian pada area yang tertutup (privasi). Privasi merupakan bagian
penting untuk membentuk interaksi yang terapeutik, tetapi bagaimanapun harus
tetap memperhatikan keamanan pribadi. Berbicara dengan pasien di daerah terbuka,
dilakukan terutama jika pasien berada di bawah pengaruh obat (mabuk) atau gangguan
kognitif; ini dilakukan untuk mempertahankan keamanan petugas. Tentu saja, ketika
pasien secara mental stabil, privasi sangat penting dalam proses pengumpulan data
dan memungkinkan petugas kesehatan untuk memperoleh informasi.
Ciptakan hubungan terapeutik, diawali dengan mengucapkan salam dan
memperkenalkan diri.
Yakinkan bahwa pasien berada di tempat yang aman, tenaga kesehatan akan
melindungi pasien dari dari kemungkinan melukai diri maupun orang lain.
Apabila pasien gaduh gelisah dengan membawa senjata tajam, maka yakinkan pasien
berada dalam keadaan aman dan secara perlahan diminta untuk meletakkan
senjatanya.
Lakukan komunikasi terapeutik:
a. Bicara dengan tenang ajak pasien untuk tenang
b. Vokal jelas dan nada suara tegas
c. Intonasi rendah
d. Gerakan tidak tergesa-gesa
e. Pertahankan posisi tubuh
f. Hargai dan bicarakan dengan sopan pendapat pasien yang berbeda meskipun hal
tersebut adalah waham atau halusinasinya
Selama melakukan pengkajian awal, kumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang
riwayat pasien (baik saat ini maupun riwayat sebelumnya), yang dapat dilakukan
dengan berdiskusi dengan pihak yang merujuk, anggota keluarga
(allo/heteroanamnesis) dan pasien sendiri (autoanamnesis).
Pertanyaan difokuskan pada keluhan saat ini menggunakan kalimat pendek dan mudah
dipahami.
Lakukan wawancara dengan tetap memperhatikan keselamatan petugas dan pasien
dengan memperhatikan jarak yang aman 2-3 langkah dari pasien
124
Gunakan diagram alur berpikir di atas (algoritma utama) untuk menyingkirkan masalah
terkait penyakit fisik dan ketergantungan zat/alkohol yang mungkin mengancam nyawa
atau pertimbangkan gangguan jiwa lainnya baik psikotik maupun non-psikotik (depresi,
anxietas, dll).
Identifikasi kemungkinan penyebab
a. Kondisi organik (demam, kejang/epilepsi, trauma kepala, keganasan, kesadaran
yang menurun, kepikunan progresif pada orang tua), dan penggunaan zat
psikoaktif dan alkohol.
b. Kondisi mental, ada atau tidaknya gangguan jiwa (gangguan psikotik, gangguan
suasana perasaan (mood), gangguan anxietas, gangguan kepribadian)
Kaji riwayat penyakit dan riwayat pengobatan medis dan psikiatrik sebelumnya
Nilai juga derajat fungsi, berat ringannya gejala psikiatri, adanya penyakit penyerta
(komorbiditas), kualitas dan ketersediaan sistem pendukung serta sumber bantuan
lainnya.
1. Pada pasien yang mengalami perubahan mendadak dalam fungsi fisik (penurunan
mobilitas, perubahan nafsu makan, sulit tidur, gelisah), kognitif (bingung, sulit
konsentrasi, respons lambat), persepsi (halusinasi visual atau auditorik), dan
perilaku sosial (tidak kooperatif), cek apakah ada faktor risiko predisposisi delirium.
2. Lakukan pemeriksaan fisik (status generalis, status neurologis) yang cermat serta
lakukan pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit, kimia darah
(glukosa sewaktu, tes fungsi hati, fungsi ginjal), urinalisis, EKG, dan foto toraks
untuk menyingkirkan faktor presipitasi delirium.
3. Untuk membantu menegakkan diagnosis delirium dapat digunakan instrumen CAM
(Confusion Assessment Method).
4. Mengingat sifat delirium yang fluktuatif, sebaiknya pemeriksaan dilakukan
serial/beberapa kali dengan memperhitungkan variasi diurnal dan info dari berbagai
sumber (keluarga, perawat, dll).
Pemeriksaan fisik
a. Riwayat penyakit medik: pemeriksaan fisik terutama kesadaran dan tanda vital
serta pemeriksaan neurologis
b. Riwayat penggunaan obat, zat psikoaktif, dan alkohol
c. Riwayat penyakit psikiatrik: pemeriksaan status mental dan riwayat psikososial
125
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan seperti: darah perifer lengkap, urinalisa
lengkap, elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, radiologi, dan EKG (jika
tersedia, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik secara menyeluruh
4. Pemeriksaan penunjang
- Darah lengkap
- SGOT/SGPT
- Ureum/Creatinin
1. Wawancara
Lakukan prinsip wawancara seperti pada prinsip wawancara psikiatrik
Wawancara pada pasien dengan waham kejar dan paranoid yang kuat: tetap
hargai dan sopan dalam wawancara, tetap jaga dalam suasana yang formal.
Kalimat singkat dan mudah dipahami, kendalikan situasi, bersikap tenang
namun tegas. Yakinkan bahwa ia berada di tempat yang aman, tenaga
kesehatan akan melindungi pasien dari kemungkinan melukai diri sendiri
maupun dari orang lain.
126
Jaga keamanan diri pewawancara
Singkirkan kemungkinan penyebab organik dan penyalahgunaan napza.
Pada saat awal menghadapi gawat darurat bunuh diri maka lakukan penilaian kondisi
pasien dengan:
1. Lakukan wawancara untuk mengkaji kemungkinan penyebab
a. Penyakit fisik seperti epilepsi, tumor, penyakit Alzheimer, multiple sklerosis,
trauma, keganasan terutama di kepala dan leher, penyakit autoimun,
penyakit ginjal, sindroma nyeri kronik dan HIV/AIDS
b. Riwayat Gangguan Jiwa dan Komorbiditas Gangguan Jiwa
Pikiran dan perilaku bunuh diri seringkali ditemukan pada seseorang dengan
gangguan jiwa, terutama Gangguan Depresi, Gangguan Bipolar, Skizofrenia,
Gangguan Stres Pasca Trauma, Anxietas, Gangguan Penyalahgunaan Zat,
dan Gangguan Kepribadian seperti Gangguan Kepribadian Antisosial dan
Gangguan Kepribadian Ambang
127
- Kondisi akut seperti dipermalukan, rasa putus asa, rasa bersalah dan malu
- Masalah komorbiditas kesehatan, terutama yang saling memperberat atau
diagnosis baru
- Umur (usia lanjut dan dewasa muda), jenis kelamin (laki-laki), tidak menikah,
hidup sendiri
- Homo seksual
Faktor protektif :
- Dukungan sosial yang positif
- Spiritualitas
- Tanggungjawab pada keluarga, aset ekonomi
- Memiliki anak atau hamil
- Kepuasan hidup
- Memiliki kemampuan membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak
- Memiliki ketrampilan menyelesaikan masalah
- Hubungan terapeutik yang positif
- Memiliki hobi, aktivitas rekreasional
128
e. luka memar akibat jatuh atau membentur benda keras
f. bau muntah racun serangga
g. tanda-tanda Intoksikasi obat-obatan tertentu
Berpikir dan bersikap kritis, selalu sadar bahwa kedaruratan bisa muncul di mana dan
kapan saja.
Tetap tenang
Perlu kontrol terhadap perasaan bingung, aneh, atau depresi
Bersikap suportif
Jaga jarak aman, termasuk bila diperlukan lakukan fiksasi
Tawarkan pilihan, contoh apakah pasien mau mengontrol dirinya, minum obat, atau
dibantu dengan menggunakan fiksasi
Tegaskan bahwa perilaku kekerasan tidak dapat ditolerir dan yakinkan bahwa pasien
akan aman
Lakukan dokumentasi terhadap hal-hal yang dilakukan terhadap pasien maupun keluarga
Hal-hal yang harus dihindari dalam menghadapi pasien dengan kegawatdaruratan psikiatri :
Mengancam
Menertawakan pasien saat melakukan wawancara
Merasa tidak adekuat ataupun sangat tidak pasti
Merasa terancam
Sering menghakimi
Marah terhadap keluarga yang membawa
129
Penanganan pasien dengan kegawatdaruratan psikiatri dilakukan oleh tim
kegawatdaruratan, yang terdiri dari :
a.Tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dll)
b. Tenaga keamanan (satpam, hansip, pamong praja, keamanan desa, dll) yang telah dilatih
untuk melakukan manajemen gaduh gelisah
c. Tokoh masyarakat (Lurah/Kepala Desa, RT, RW, tokoh agama, tokoh wanita) yang telah
dilatih untuk melakukan manajemen gaduh gelisah
Alat-alat:
a. Alat fiksasi fisik untuk tangan dan kaki yang aman
Alat fiksasi fisik dapat dibuat dari bahan atau kain yang kuat tetapi halus seperti kain
blacu dengan ukuran manset panjang 40 cm x lebar 20 cm x tinggi 0.5 cm. Memiliki 2 tali
pengikat, 1 tali pengikat digunakan untuk mengikat manset, tali lainnya yang lebih kokoh
digunakan untuk mengikat ke tempat tidur. Alat fiksasi disiapkan empat buah, masing-
masing untuk dua untuk lengan dan dua untuk tungkai.
b. Jaket fiksasi yang dipergunakan untuk pasien dengan hiperaktivitas motorik
c. Alat injeksi spuit 3 cc
Sediaan obat-obatan:
1. Obat oral
a. Haloperidol tablet 0,5 mg, 1,5 mg, dan 5 mg
b. Clorpromazine tablet 25 mg, 100 mg
c. Risperidone tablet 2 mg
d. Diazepam tablet 2 mg, 5 mg
130
e. Lorazepam 2 mg
f. Propanolol 10 mg, 40 mg
2. Obat injeksi
a. Haloperidol injeksi 5 mg (kerja singkat).
Catatan: Haloperidol decanoas (depo, kerja panjang) bukan untuk kegawatdaruratan.
b. Diazepam injeksi 10 mg
c. Chlorpromazine injeksi 25 mg
d. Sulfas Atropin injeksi
e. Diphenhidramin injeksi
131
B. Tawarkan untuk mengontrol kondisi gaduh gelisah dengan pemberian medikasi oral
seperti Haloperidol 2 x 2,5 mg (untuk pasien yang baru pertama kali minum obat
antipsikotik) atau 2 x 5 mg atau lebih disesuaikan dosis yang pernah efektif
sebelumnya (untuk pasien yang pernah mendapatkan antipsikotik). Terapi oral dapat
diberikan tunggal atau menggunakan kombinasi diazepam tablet 2 - 5 mg atau
lorazepam 1 2 mg untuk membantu pasien merasa tenang (dan bukan untuk tidur)
agar evaluasi dapat dilakukan.
Untuk pasien usia 6-18 tahun Haloperidol dapat diberikan dengan dosis 2 x 0,5-2,5
mg.
Klorpromazine bisa diberikan dengan dosis 100 300 mg
C. Bila terapi oral ditolak atau gagal, dapat diberikan injeksi tunggal Haloperidol 2,5 - 10
mg (I.M.) yang dapat diulang setiap 30 menit hingga mencapai dosis maksimal 30 mg
ATAU Diazepam injeksi 10 mg (I.V. lebih baik, dapat diberikan I.M. bila I.V sulit
dilakukan, kontraindikasi pada penurunan kesadaran) yang dapat diulang setiap 30
menit hingga mencapai dosis maksimal 20 mg. Kombinasi keduanya dapat diberikan
bila kondisi gaduh gelisah pasien sangat berat. Perhatikan tanda-tanda efek samping
pemberian haloperidol. Untuk pasien usia 6 12 tahun Haloperidol injeksi dapat
diberikan dengan dosis awal 1- 2,5 mg. Sementara pasien usia 12- 18 tahun dapat
menggunakan Haloperidol injeksi dengan dosis 2,5 - 5 mg. Dosis ini dapat diulang
setiap 30 menit sampai dengan dosis maksimal 10 mg per hari.
D. Bila pasien sulit untuk ditenangkan untuk pemberian injeksi, dapat dilakukan tindakan
pengikatan fisik (restraint) dengan tujuan untuk membantu pasien mengendalikan
diri, menjaga keselamatan pasien, dan memudahkan pemberian obat.
132
Lakukan kontrak/kesepakatan untuk mengontrol perilakunya.
Pilih alat pengikat yang aman dan nyaman, terbuat dari bahan katun.
Pengikatan dilakukan oleh min. 4 orang; satu orang memegang kepala pasien, 2
orang memegang ekstremitas atas dan 1 orang memegang ekstremitas bawah.
Pengikatan dilakukan ditempat tidur bukan di sisi tempat tidur dengan posisi
terlentang, kedua kaki lurus, satu lengan di samping badan, satu lengan ke arah
kepala.
Ikatan sebaiknya tidak terlalu kencang, juga tidak longgar untuk mencegah cedera.
Beri bantal di daerah kepala.
Lakukan observasi pengekangan setiap 30 menit. Hal-hal yang perlu diobservasi:
o tanda-tanda vital
o tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan proses pengikatan
o nutrisi dan hidrasi
o sirkulasi dan rentang gerak ekstremitas (kuat lemahnya ikatan)
o higiene dan eliminasi
o status fisik dan psikologis
o kesiapan klien untuk dilepaskan dari pengikatan, termasuk tanda vital
Lakukan perawatan pada daerah pengikatan, pantau kondisi kulit yang diikat
(warna, temperatur, sensasi), lakukan latihan gerak pada tungkai yang diikat
secara bergantian setiap 2 jam, lakukan perubahan posisi pengikatan.
Libatkan dan latih pasien untuk mengontrol perilaku sebelum ikatan dibuka secara
bertahap.
Kurangi pengekangan secara bertahap, misalnya: ikatan dibuka satu persatu
secara bertahap dimulai dari pergelangan tangan yang tidak dominan, dilanjutkan
pergelangan tangan lainnya, selanjutnya jika pasien tidak menunjukkan perilaku
agresif lepaskan pengekangan pada pergelangan tangan kanan dan terakhir
tangan kiri.
Jika klien sudah mulai dapat mengontrol perilakunya, maka pasien sudah dapat
dicoba untuk berinteraksi tanpa pengikatan dengan terlebih dahulu membuat
kesepakatan yaitu jika kembali perilakunya tidak terkontrol maka pasien akan
diisolasi/dilakukan pengikatan kembali.
133
Tindak Lanjut dan Rujukan
Lakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki layanan psikiatri atau RS
Jiwa, bagi pasien dengan perilaku kekerasan yang tidak teratasi di puskesmas.
134
Tatalaksana Khusus
Terapi Intoksikasi Opioid:
Nalokson 0,2-0,4 mg (1 cc) atau 0,01 mg /kg berat badan IV, IM, atau
subkutan, bila belum berhasil dapat diulang sesudah 3-10 menit
sampai 2-3 kali dan pasien dipantau selama 24 jam
Apabila tidak ada nalokson maka diberikan terapi simptomatik,
apabila pasien gelisah maka dapat diberikan antipsikotik secara oral
atau suntikan (lihat bab gaduh gelisah)
Mengatasi penyulit sesuai dengan kondisi klinis
Bila kondisi fisik membutuhkan perawatan intensif maka dirujuk ke
rumah sakit
135
Apabila pasien gelisah maka dapat diberikan antipsikotik, haloperidol 5
mg IM, yang dapat diulang per 30 menit, sampai dosis maksimal 30
mg/hari
Apabila kesadaran menurun maka rujuk pasien ke rumah sakit
136
Terapi Intoksikasi Inhalansia:
Pertahankan Oksigenasi
Simptomatik
Pasien dengan gangguan neurologik bermakna, misalnya neuropati atau
persistent ataxia, harus mendapatkan evaluasi formal dan observasi ketat,
sehingga pasien harus dirujuk
NON PSIKOFARMAKA
Tips perawatan pasien dengan penyalahgunaan Napza
1. Komunikasi terapeutik
137
Bicara dengan tenang
2. Jika ditemukan gejala putus zat maka hindarkan pasien dari stimulus lingkungan yang
berlebihan seperti pencahayaan yang terlalu terang atau lingkungan yang berisik
3. Berikan edukasi mengenai kondisi pasien secara jelas dan singkat
4. Persuasi pasien untuk tidak gelisah
5. Edukasi pasien dan keluarga untuk melanjutkan pengobatan untuk masalah
penyalahgunaan Napza di institusi yang terkait
6. Psikoterapi suportif dengan memberikan pujian bagi pasien apabila ia bersikap tenang
7. Observasi adanya tanda-tanda risiko bunuh diri pada pasien
ALGORITMA PENATALAKSANAAN
Bila pasien tidak kooperatif/tidak bersedia per oral, atau gagal, berikan injeksi I.M. jangka
pendek (short acting):
Haloperidol injeksi 5 mg i.m (short acting). pemberian diulang setelah 30 menit. Max
30 mg/hari.
Chlorpromazine injeksi 25 - 50 mg i.m, pemberian dapat diulang setelah 1 - 4 jam. Max
200 mg/hari.
Untuk haloperidol (tidak untuk chlorpromazine) dapat dikombinasikan dengan diazepam 10 mg
i.m dalam spuit terpisah, untuk meningkatkan efektivitas dan mengurangi jumlah dosis yang
diperlukan. Dosis max diazepam: 20 mg.
Dosis anak dan remaja: 138
Pasien usia 12- 18 tahun dapat menggunakan Haloperidol injeksi dengan dosis 2,5 - 5 mg. Dosis
ini dapat diulang setiap 30 menit sampai dengan dosis maksimal 10 mg per hari.
Jika kondisi telah teratasi maka pasien cukup stabil untuk dirujuk ke RS atau
dikembalikan kepada obat oral; jika kondisi tidak membaik atau terjadi perburukan
segera RUJUK
Tanda-tanda Tanda-tanda
Pencederaan Fisik Intoksikasi
139
tentang hal-hal yang dikuatirkan dan atau buruk, memberi kuliah tentang nilai-
pikiran bunuh diri nilai kehidupan
d. Menyediakan diri tunjukan minat, e. Menjanjikan untuk menjadikan hal ini
pengertian, dan dukungan rahasia, karena bila situasi darurat terjadi,
e. Mau mendengarkan ijinkan untuk kita wajib mengontak keluarga atau orang
mengekpresikan perasaannya, terima, terdekat pasien untuk melakukan upaya
dan sabar pengamanan pertama
f. Harapan tawarkan harapan yang f. Pemberian antidepresan terutama
merupakan alternatif yang tersedia golongan tipikal seperti amitriptilin
namun jangan pastikan bahwa alternatif sebaiknya dihindari pada fase-fase awal
itu akan mengubah segalanya. risiko bunuh diri karena dapat
g. Jejaring bantuan dapatkan kerjasama memperbesar risiko percobaan bunuh diri
dan bantuan profesional kesehatan jiwa
secepat mungkin
3. Tindakan-tindakan Khusus
Mereka yang telah merencanakan bunuh Perlu untuk dirawat
diri saat ini Menyingkirkan alat-alat
Membina hubungan terus dengan pasien
dan kontak sumber dukungan terdekat
Mereka yang tampak gelisah dan sulit Lakukan manajemen gaduh gelisah seperti
mengendalikan diri yang tercantum pada Bab 2.
Mereka yang memiliki rasa nyeri dan sesak Bantu untuk mengurangi rasa nyeri dan
sesak.
Mereka yang dengan perilaku bunuh diri Lindungi dari bahaya seperti yang dulu
sebelumnya pernah dilakukan.
140
4. Manajemen untuk mencegah percobaan bunuh diri berikutnya
Apabila pasien dengan percobaan bunuh diri sudah stabil kondisi baik fisik maupun
mentalnya, maka tindakan berikutnya adalah untuk memastikan keadaan pasien
aman. Langkah-langkah yang dapat dilakukan:
1) Awasi, jangan biarkan pasien sendirian. Selama 24 jam sebaiknya pasien
termonitor oleh keluarga/tenaga kesehatan
2) Simpan benda-benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri seperti benda
tajam, tali, ikat pinggang, racun serangga.
3) Apabila pasien minum obat-obatan psikiatri, pastikan obat benar-benar diminum
dan dalam jumlah yang sesuai.
4) Buat kontrak dengan pasien bahwa ia tidak akan melakukan tindakan bunuh diri
dalam jangka waktu tertentu, misalnya sampai dengan pertemuan berikutnya,
atau akan menghubungi tenaga kesehatan apabila muncul keinginan untuk
bunuh diri. Pada saat pasien berobat lagi, buat kontrak lagi, demikian
seterusnya.
5) Tegakkan hubungan saling percaya dengan pasien
6) Jangan menghakimi perilaku pasien.
7) Tingkatkan harga diri pasien dengan memberikan kesempatan pasien
menceritakan aspek positif dirinya, menyusun rencana jangka pendek dan
memberikan kesempatan pasien untuk melaksanakan rencananya dengan
sukses.
8) Kerahkan dukungan keluarga/orang terdekat. Edukasi keluarga atau orang
terdekat agar memberikan dukungan kepada pasien.
9) Ajak pasien untuk mengenali potensi penyelesaian masalah yang selama ini
efektif dan memperkenalkan cara-cara penyelesaian masalah lain yang mungkin
lebih baik.
Tindak Lanjut/Rujukan
Apabila pasien tidak memiliki keluarga atau keluarga tidak mampu merawat pasien di
rumah maka pasien perlu dilakukan hospitalisasi. Perlu diinformasikan apa yang
akan dilakukan di tempat rujukan, misalnya kemungkinan pemberian obat,
psikoterapi, termasuk perawatan lanjutan dari risiko akibat tindakan percobaan
bunuh diri.
141
REFERENSI :
142
MATERI INTI 9.
PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN
I. DESKRIPSI SINGKAT
.
Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik
baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan
atau asuransi kesehatan sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan.
Sistem rujukan yang efektif menjamin hubungan yang baik diantara semua tingkat sistem
kesehatan dan membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan sedekat mungkin
dengan lingkungan tempat tinggalnya. Sistem rujukan juga membantu pemanfaatan
sumberdaya rumah sakit dan pelayanan primer secara efektif.
- klien mendapatkan pelayanan yang optimal pada tingkat pelayanan kesehatan yang
sesuai dan tidak memerlukan pembiayaan yang tidak perlu
- fasilitas rumah sakit digunakan secara optimal dan cost-efektif
- klien yang membutuhkan pelayanan spesialistik dapat mengakses pelayanan pada
waktu yang tepat
- meningkatnya pemanfaatan dan kualitas pelayanan di pelayanan primer.
Modul ini akan menguraikan mengenai tatacara merujuk pasien dan rujukan balik mulai dari
pengertian rujukan berjenjang dan rujuk balik, ketentuan umum rujukan dan rujuk balik, dan
ruang lingkup rujukan dan rujuk balik.
I. TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Tujuan Pembelajaran Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu melakukan rujukan pasien secara
berjenjang baik vertikal maupun horizontal dan menerima pasien rujuk balik.
b. Tujuan Pembelajaran Khusus :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu:
1. Menerima dan menatalaksana pasien rujuk balik
2. Melakukan rujukan pasien secara berjenjang
3. Melakukan komunikasi dengan pemberi pelayanan kesehatan tingkat dua dan tiga
143
II.POKOK BAHASAN
Pokok bahasan pada modul ini adalah :
Pokok bahasan A : Pengertian sistem rujukan dan rujuk balik
Pokok bahasan B : Ketentuan umum rujukan dan rujuk balik
Pokok bahasan C : Ruang lingkup dan tata cara rujukan dan rujuk balik
III.METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
1. Ceramah, tanya jawab
2. Curah pendapat
3. Diskusi kelompok
144
Kegiatan Peserta
a) Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b) Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
c) Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
d) Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum
jelas dan perlu diklarifikasi.
Kegiatan Peserta
a) Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b) Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan
yang diberikan
c) Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.
145
merawat.
c. tatacara rujukan
hal-hal yang penting dalam merujuk pasien diantaranya :
- Surat rujukan. Surat rujukan harus dibuat dalam bentuk baku, yang memuat
ringkasan kondisi pasien, penatalaksanaan yang telah diberikan, dan alasan
khusus mengapa merujuk pasien. Dalam surat rujukan tersebut juga disertakan
tempat tujuan rujukan.
- Bila diperlukan, dapat dilakukan komunikasi dengan fasilitas penerima rujukan.
Pada kondisi gawat darurat, petugas dari fasilitas yang merujuk menyertai pasien
selama perjalanan ke fasilitas penerima rujukan.
146
d. fasilitas penerima rujukan
Fasilitas penerima rujukan harus memastikan bahwa pasien akan menerima
pelayanan yang berkualitas sesuai standar pelayanan. Apabila pasien telah
mendapatkan penatalaksanaan dan berada dalam kondisi stabil, maka rujukan balik
ke fasilitas yang merujuk perlu segera direncanakan.Dalam membuat rujukan balik,
disertakan informasi-informasi tentang pemeriksaan khusus yang telah dilakukan,
diagnosis dan penatalaksanaan yang dilakukan, dan instruksi penatalaksanaan yang
bisa dilakukan di fasilitas perujuk. Fasilitas penerima rujukan juga bisa memberikan
feedback kepada perujuk tentang tatacara merujuk, sehingga bisa meningkatkan
kualitas rujukan selanjutnya.
147
Prinsip Dasar Tatalaksana Skizofrenia di FKTP yaitu:
Fase Akut: untuk mengendalikan gejala, mencegah perilaku yang berisiko bagi diri
maupun orang lain, dan meningkatkan pemahaman keluarga tentang gangguan
skizofrenia.
Fase Rumatan: terapi ditujukan untuk mencegah kekambuhan, mencegah perilaku yang
merugikan serta meningkatkan kepercayaan diri dan keterampilan sosial untuk memperbaiki
derajat fungsi pasien dan membatasi disabilitas :
148
Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama : merupakan pelayanan kesehatan dasar yang
diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua : merupakan pelayanan kesehatan spesialistik
yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga : merupakan pelayanan kesehatan sub
spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis
yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik
SIstem rujukan berjenjang :
Pelayanan rujukan pada pasien jiwa terbagi atas rujukan internal (parsial) dan
eksternal(horisontal dan vertikal).
Rujukan Partial adalah pengiriman pasien ke pemberi pelayanan kesehatan lain
dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu
rangkaian perawatan pasien di fasilitas kesehatan tersebut.
Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan
yang sifatnya sementara atau menetap.
Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang
berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat
pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan
yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:
1. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
2. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang
lebih rendah dilakukan apabila :
1. Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
2. Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam
menangani pasien tersebut;
3. Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan
pelayanan jangka panjang; dan/atau
149
4. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan
medis, yaitu:
1. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama
2. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat kedua
3. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes primer.
4. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
5. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier
hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya,
merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
1. Terjadi keadaan gawat darurat psikiatri ataupun kondisi kegawat daruratan mengikuti
ketentuan yang berlaku yakni bencana. Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat dan atau Pemerintah Daerah
2. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien;
3. Kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat
dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
4. Pertimbangan geografis; dan
5. Pertimbangan ketersediaan fasilitas
Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara
horizontal maupun vertikal.
Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau
ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang
berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
150
SIstem rujuk balik
Pelayanan Rujuk balik adalah Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita di
Fasilitas Kesehatan atas rekomendasi/rujukan dari Dokter Spesialis/Sub Spesialis Jiwa
yang merawat. Rujuk balik dilakukan berdasarkan pertimbangan klinis medis oleh Dokter
spesialis/Sub Spesialis Jiwa bahwa kondisi pasien memungkinkan untuk ditangani di fasilitas
tingkat pertama dalam hal ini Puskesmas. Dokter di Puskesmas dapat menindak lanjuti
pengelolaan pasien dengan memberikan obat-obat jiwa yang tersedia di Puskesmas.
Pelayanan rujuk balik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita di
fasilitas kesehatan atas rekomendasi/ rujukan dari Dokter Spesialis/ Sub Spesialis yang
merawat.Pelayanan rujuk balik umumnya diberikan kepada penderita penyakit kronis
dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka
panjang yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama atas rekomendasi/ rujukan
dari Dokter Spesialis/ Sub Spesialis yang merawat.
1. Bagi Peserta
151
2. Bagi Faskes Tingkat Pertama
152
sangat penting mengingat sebagian pasien jiwa memiliki gangguan dalam tilikan diri
sehingga mereka tidak menyadari akan kondisinya. Penjelasan yang diberikan sekurang-
kurangnya meliputi:
1. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
2. alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
3. risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
4. transportasi rujukan; dan
5. risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan
153
2. Atas pertimbangan geografis dan keselamatan pasien tidak memungkinkan untuk
dilakukan rujukan dalam satu kabupaten, maka diperbolehkan rujukan lintas
kabupaten.
3. Setelah dilakukan rujukan berjenjang dan mendapat penanganan yang susuai dapat
dikembalikan atau ditindak lanjuti di tempat pelayanan kesehatan sebelumnya.
154
kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter
dan/atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama.
5. Rujukan Parsial
a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan
kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang
merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.
b. Rujukan parsial dapat berupa:
1)pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan
2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien
dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.
1. Jenis penyakit
Jenis penyakit yang bisa dialihkan pelayanannya dari Dokter Spesialis/Subspesialis
ke pemberi pelayanan pertama adalah penyakit kronis yang bersifat stabil, yaitu :
a. Diabetus Mellitus
b. Hipertensi
c. Jantung
d. Asma
e. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
f. Epilepsy
g. Schizophrenia
h. Stroke
i. Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)
2. Penderita yang berhak memperoleh layanan rujuk balik adalah penderita dengan
diagnosa penyakit kronis yang telah ditetapkan dalam kondisi terkontrol /stabil oleh
Dokter Spesialis/ Subspesialis dan telah mendaftarkan diri untuk menjadi peserta
rujuk balik.
155
Kriteria skizofrenia yang dirujuk dari Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama ke
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut adalah :
a. Rujukan rutin
Penderita Skizofrenia setiap tahunnya minimal 3-4 kali mendapatkan rujukan rutin ke FKRTL
untuk menjalani evaluasi medis secara rutin dalam rangka deteksi dini komorbiditas atau
komplikasi.Rujukan ini bersifat konsultasi dan pemeriksaan penunjang.
b. Rujukan Emergency
Rujukan emergency diberikan pada penderita Skizofrenia yang mengalami kondisi akut
yang mengancam jiwa atau orang lainsehingga memerlukan perawatan intensif di rumah
sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai sehingga mampu menurunkan
angka mobiditas dan mortalitas yang tinggi (Sindrom neuroleptik maligna, indikasi bunuh
diri, indikasi perilaku kekerasan yang tidak dapat dikendalikan dengan pemberian obat
yang ada, kondisi medis umum berat, EPS berat yang tidak teratasi, gaduh gelisah berat
yang tidak tertangani di fasilitas tingkat pertama, kekambuhan karena kesinambungan
obat yang tidak terjamin).
156
membuat surat rujuk balik dengan mencantumkan diagnosis dan penatalaksanaan yang
dilakukan.
- Dokter faskes pertama menerima rujukan dan melakukan penatalaksanaan terhadap
pasien, sesuai rujuk balik yang diberikan oleh Dokter Spesialis/Subspesialis.
- Pelayanan oleh dokter faskes pertama dilakukan selama 3 bulan
- Setelah 3 bulan, peserta dapat dirujuk kembali oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ke
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan untuk dilakukan evaluasi oleh dokter
spesialis/sub-spesialis.
Pada saat kondisi peserta tidak stabil, peserta dapat dirujuk kembali ke dokter
Spesialis/Sub Spesialis sebelum 3 bulan dan menyertakan keterangan medis
dan/atau hasil pemeriksaan klinis dari dokter Faskes Tingkat Pertama yang
menyatakan kondisi pasien tidak stabil atau mengalami gejala/tanda- tanda yang
mengindikasikan perburukan dan perlu penatalaksanaan oleh Dokter Spesialis/Sub
Spesialis.
- Apabila hasil evaluasi kondisi peserta dinyatakan masih terkontrol/stabil oleh dokter
spesialis/sub- spesialis, maka pelayanan program rujuk balik dapat dilanjutkan kembali
Program rujuk balik untuk pasien dengan gangguan jiwa berat (Skizofrenia) adalah :
a. Rujukan rutin :
bila pemeriksaan rutin tidak ada kelainan
bila onset lebih dari lima tahun dan dapat diberikan rekomendasi latihan kognitif
sederhana
b. Rujukan urgent
Bila serangan kejang dan gejala perilaku emosi sudah teratasi
Bila skizofrenia sudah mengalami remisi
Bila kondisi intoksikasi atau putus zat teratasi
Bila terdiagnosis pasti skizofrenia tanpa penyulit
Bila komorbiditas sudah stabil
Bila target remediasi kognitif tercapai
Bila sudah ditentukan rencana rehabilitasi lanjutan
c. Rujukan emergensi
Bila sindrom neuroleptic maligna sudah teratasi
Indikasi bunuh diri sudah tidak ada atau mampu dikendalikan
Bila perilaku kekerasan minimal atau bisa dikendalikan
EPS teratasi
157
Gaduh gelisah tertangani
VIII. REFERENSI
158
Materi Inti 10.
PENCATATAN DAN PELAPORAN
I.DESKRIPSI SINGKAT
Puskesmas merupakan ujung tombak sumber data kesehatan. Pencatatan dan pelaporan
pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas merupakan suatu alat untuk memantau kegiatan
pelayanan kesehatan jiwa, baik bagi kepentingan pasien yang bersangkutan, maupun bagi
petugas kesehatan yang melayani serta pihak perencana dan penyusun kebijakan.
Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas juga merupakan fondasi dari data
kesehatan. Sehingga diharapkan terciptanya sebuah informasi yang akurat, representatif
dan reliable yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan perencanaan kesehatan.
Setiap program akan menghasilkan data. Data yang dihasilkan perlu dicatat, dianalisis dan
dibuat laporan. Data yang disajikan adalah informasi tentang pelaksanaan progam dan
perkembangan masalah kesehatan masyarakat. Informasi yang ada perlu dibahas,
dikoordinasikan, diintegrasikan agar menjadi pengetahuan bagi semua staf puskesmas.
Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas masihmenggunakan
sistem yang beragam. Di antaranya ada yang masih menggunakan SP2TP yaitu suatu
sistem pencatatan dan pelaporan terpadu di puskesmas yang tadinya seragam untuk
seluruh Puskesmas di Indonesia,namun tidak sedikit yang telah menggunakan ICD-10
Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas merupakan suatu alat
untuk memantau kegiatan pelayanan kesehatan jiwa, baik bagi kepentingan pasien yang
bersangkutan, maupun bagi petugas kesehatan yang melayani serta pihak perencana dan
penyusun kebijakan.
Tujuan dibuatnya standar pencatatan dan pelaporan ini adalah
1. Memberikan acuan tentang pencatatan dan pelaporan sesuai kebutuhan puskesmas
maupun dinas kesehatan.
2. Memberikan informasi kepada pihak terkait untuk dapat mempergunakannya sebagai
pertimbangan dalam menentukan kebijakan
159
Pokok bahasan C :Teknis dan Prosedur Pencatatan dan Pelaporan
Pokok bahasan D : Isi Pencatatan dan Pelaporan
Pokok bahasan E: Petunjuk Pengisisan Form Pencatatan dan Pelaporan
IV. METODE
1. Ceramah, tanya jawab
2. Curah pendapat
3. Diskusi kelompok
Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut :
Langkah 1 : Penyiapan proses pembelajaran
a. Kegiatan Fasilitator
1. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
2. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
3. Fasilitator mempresentasikan materi tentang pencatatan dan pelaporan
untuk stimulus curah pendapat
4. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
b. Kegiatan Peserta
1. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
2. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
3. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
4. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.
160
Langkah 2 : Penyampaian materi pembelajaran
a. Kegiatan Fasilitator
1. Menyampaikan Pokok Bahasan 1 sampai dengan 5 secara garis besar
dalam waktu yang singkat
2. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal
yang kurang jelas
3. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
4. Menyimpulkan materi bersama peserta
b. Kegiatan Peserta
1. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
2. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan
yang diberikan
3. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.
VII.URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN A. PENCATATAN
1. Pengertian Pencatatan
Pencatatan adalah cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk
mencatat data yang penting mengenai pelayanan tersebut dan selanjutnya disimpan
sebagai arsip di Puskesmas.
161
POKOK BAHASAN C. TEKNIS DAN PROSEDUR PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan melibatkan petugas pendaftaran, dokter, psikolog, perawat dan petugas
khusus pencatatan dan pelaporan. Dalam pelaksanaannya bisa menyesuaikan situasi dan
kondisi di lapangan. Namun secara umum dapat digambarkan dalam diagram alur berikut
ini:
1. Pasien mendaftar ke petugas pendaftaran.
2. Petugas akan melakukan pencatatan dalam buku register pendaftaran atau langsung
di input ke sistem informasi puskesmas.
3. Kemudian petugas akan menyampaikan form rekam medis kepada dokter.
4. Dokter mencatat data anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosa dan terapi dalam rekam
medis.
5. Apabila pasien diperiksa oleh psikolog, bidan ataupun perawat terlebih dahulu dan
dilakukan dignosa oleh petugas selain dokter,maka pencantuman diagnosa harus
dalam supervisi dokter.
6. Petugas akan memasukkan data yang ditulis oleh dokter tersebut ke dalam buku
register harian.
7. Berdasarkan register harian, petugas akan memasukkan data tersebut dalam sistem
informasi puskesmas dalam format LB
8. Data tersebut disajikan dalam SP2TP untuk kemudian disampaikan ke dinas
kesehatan sebagai bentuk pelaporan.
Catatan: Apabila tersedia Sistem Informasi Puskesmas, pencatatan dan pelaporan
dimungkinkan diakomodir dalam suatu sistem terpadu.
162
7. Gangguan Penyalahguna NAPZA (F10#)
8. Percobaan Tindakan Bunuh Diri (X84)
VIII.REFERENSI
163