PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
2
malaria, DBD, diare, kolera, difteri, antrax, rabies, campak, pertusis, maupun
ancaman flu burung pada manusia. Penyakit-penyakit tersebut apabila tidak
dipantau dan dikendalikan maka akan mengancam kesehatan masyarakat
Indonesia dan menyebabkan KLB yang lebih besar atau bahkan dapat menyebar
ke negara tetangga lainnya.
Dengan latar belakang tersebut, Kementerian Kesehatan bekerjasama
dengan WHO dan the United States Centers for Disease Control and Prevention
(US CDC) membangun suatu sistem dalam upaya kewaspadaan dini dan respon
terhadap penyakit penyakit potensial KLB. Sistem ini dikenal dengan nama
Early Warning Alert and Response System (EWARS). EWARS adalah sistem
komputer berbasis jaringan yang melaporkan secara mingguan, yang dapat
menampilkan sinyal atau alert adanya peningkatan kasus melebihi nilai ambang
batas di suatu wilayah, baik wilayah kerja puskesmas, kabupaten maupun
propinsi. Sebanyak 21 jenis prioritas gejala penyakit potensial KLB yang harus
dilaporkan melalui EWARS (Depkes RI, 2008).
Pada tahun 2009 sudah ada 6 provinsi yang menggunakan EWARS yaitu
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat,
Sulawesi Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan pada tahun 2012
bertambah 10 provinsi yang menggunakan sistem tersebut, salah satunya adalah
Provinsi Jawa Tengah yang menerapkan EWARS secara serentak di 35
Kabupaten/Kota, termasuk Kabupaten Boyolali (Poskota, 2011).
Kabupaten Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang memiliki
cukup banyak penyakit potensial KLB seperti antrax, flu burung, pes, DBD dan
sebagainya. Penerapan EWARS sebagai suatu sistem kewaspadaan dini dan
respon terhadap KLB sangat membantu. Pengumpulan data dari Puskesmas dan
jaringannya (Bidan desa dan Puskesmas pembantu) telah dilakukan. Begitu pula
dari tingkat puskesmas ke tingkat kabupaten. Bahkan, setelah penerapan EWARS
kelengkapan dan ketepatan waktu laporan mingguan (W2) mengalami
peningkatan. Data dari Seksi Pencegahan dan Surveilans Dinas Kesehatan
Kabupaten Boyolali menunjukkan pada tahun 2011 kelengkapan laporan
Puskesmas adalah 89,19% dari target 90% dan ketepatan waktunya sebesar
5
68,96% dari target sebesar 80%. Sedangkan pada tahun 2012 kelengkapan laporan
EWARS sebesar 98,9%, dan ketepatan waktu sebesar 94,1%. Kegiatan
penyelidikan epidemiologi (PE) pada desa/kelurahan yang mengalami KLB
seluruhnya (100%) dilakukan dalam waktu < 24 jam.
Pada tahun 2013 terdapat perubahan tentang jenis gejala yang harus
dilaporkan melalui EWARS. Jika sebelumnya hanya 21 jenis gejala, pada akhir
tahun 2013 menjadi 23 jenis dan ada beberapa gejala yang ditambah serta diganti.
Dua gejala yang ditambahkan adalah Influenza Like Illness (ILI) dengan kode
pelaporan Y dan Tersangka Hand Foot Mouth Disease ( HFMD) dengan kode
Pelaporan Z. sedangkan gejala yang diganti adalah tersangka DBD yang diganti
dengan tersangka chikungunya, tersangka campak diganti dengan campak klinis
serta demam yang tidak diketahui sebabnya diganti tersangka leptospirosis. Jika
dilihat, perubahan ini menambah gejala yang harus diamati dan dilaporkan
sehingga seharusnya KLB yang terjadi makin sedikit. Berikut ini adalah tabel
perbandingan perubahan kode dan jenis gejala yang dilaporkan melalui EWARS.
Tabel 1 Perbandingan Perubahan Kode dan Jenis Gejala Penyakit
Yang Dilaporkan Melalui EWARS
60
50
Jumlah
40 Tahun 2011
30 Tahun 2012
20 Tahun 2013
10
0
AFP
DBD
Hepatitis A
Diare
Antrax kulit
Difteri
leptospirosis
Campak
cikungunya
Rabies
Suspek antrax
Jenis KLB
Hal ini menjadi suatu pertanyaan apakah data yang dikumpulkan diolah
menjadi informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi masalah-masalah
yang sedang timbul serta dimanfaatkan untuk mengambil tindakan pengendalian
KLB?
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dirumuskan permasalahan Bagaimana
pemanfaatan EWARS untuk pengambilan keputusan dalam rangka kewaspadaan
dini dan respon terhadap KLB di Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengevaluasi pengelolaan dan pemanfaatan informasi Sistem Kewaspadaan
Dini dan Respons KLB EWARS dalam kegiatan surveilans di Kabupaten
Boyolali Jawa Tengah.
2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji pengelolaan informasi dalam EWARS dilihat dari aspek:
pelaporan data (ketepatan waktu, kelengkapan, input, proses, output)
analisis dan interpretasi data
umpan balik
8
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten /Provinsi
a. Sebagai bahan masukan bagi Petugas Surveilans Kabupaten atau District
Surveillance Officer (DSO) dan Petugas Surveilans Provinsi atau Provincial
Surveillnce Officer (PSO) dalam mengelola EWARS.
b. Sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan terhadap penerapan
EWARS.
2. Bagi peneliti
Menambah wawasan bagi penulis khususnya dalam hal sistim informasi
surveilans.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang evaluasi pemanfaatan EWARS di Kabupaten Boyolali
belum pernah dilakukan, namun penelitian terkait dengan evaluasi sistem
informasi sudah banyak dilakukan.
1. Chu et al., (2012) melakukan penelitian dengan judul The use of syndromic
surveillance for decision-making during the H1N1 pandemic: a qualitative
study. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data surveilans sindromik lebih
banyak digunakan untuk pemantauan aktivitas virus, mengukur dampak pada
sistem perawatan kesehatan dan menginformasikan pembukaan pusat penilaian
influenza di beberapa wilayah, dan mendukung komunikasi dan pesan, dari
pada untuk tujuan deteksi dini wabah. Data sindromik memiliki dampak
terbatas terhadap keputusan yang melibatkan operasional klinik imunisasi,
penutupan sekolah, mengirim surat informasi rumah dengan anak-anak sekolah
atau menyediakan rekomendasi kepada penyedia layanan kesehatan. Perbedaan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Chu et al., (2012) terletak pada unit
9
analisis dan subjek penelitian. Chu et al., (2012) menggunakan unit analisis
sistem surveilans sindromik khusus untuk penyakit H1N1 dan subjek
penelitiannya adalah dari kementerian kesehatan, dinas kesehatan provinsi dan
lembaga kesehatan masyarakat federal.
2. Halid, (2005) meneliti Pemanfaatan Sistem Informasi Manajemen
Kepegawaian sebagai Dasar Pengambilan Keputusan di Dinas Kesehatan
Propinsi Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SIMPEG belum
digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Perbedaan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Halid, (2005) terletak pada unit analisis dn
subjek penelitian. Halid, (2005) menggunakan unit analisis Bagian
Kepegawaian Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu yang mengelola SIMPEG
dan empat Unit Pelaksa Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu,
sedangkan subjek penelitiannya terdiri dari Kepala Dinas Kesehatan, Kepala
Bagian Tata Usaha, empat orang Kepala Sub Dinas Kesehatan Provinsi
Bengkulu, empat orang Kepala UPT Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu,
Kepala BKD, dua orang Pengelola SIMPEG, staf bagian kepegawaian UPT
masing-masing dua orang, satu orang yang memiliki masalah kepegawaian dari
masing-masing UPT dan dua orang yang memiliki masalah kepegawaian dari
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu.