PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2
2.1.3 Faktor Resiko Asma3
3
atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe
lambat.
2.4.2 Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
2.4.3 Reaksi Asma Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
4
menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan
pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
2.4.6 Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul
adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule
protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan
metaloprotease sel epitel.
2.4.6 Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator
lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein
(ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil
derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
2.4.6 Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan
protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan
leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4,
IL-5 dan GM-CSF.
2.4.7 Airway Remodeling
Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang
ireversibel pada saluran nafas (airway remodeling) akibat fibrosis subepitelial,
hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi
mukus. Hal ini merupakan langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan
5
fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos, edem,
penebalan dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini bersifat responsif
secara parsil terhadap obat.
6
Gambar 3. Asthmatic airway
7
Tabel 2 Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan1
1. Anamnesis4 :
Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang
memburuk pada malam hari atau secara musiman.
8
Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada
keluarga
2. Pemeriksaan Fisik :
b) Pemeriksaan Thorak5
3. Pemeriksaan Penunjang :
Spirometri4 :
9
- ( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1 < 70% dari nilai prediksi
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
-
Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau
fungsi paru dalam periode tertentu misal 1 hari ( variabilitas
diurnal ), hari atau bulanan.
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO 2 justru mendekati
normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat
berat terjadi hiperkapnea (PaCO2 45 mmHg), hipoksemia, dan
asidosis respiratorik.
Foto Toraks5
10
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri,
obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada
serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.
2.1.7 Diagnosis Banding
Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang
perlu dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas.
Kategori Kriteria
11
a) Menghindari faktor resiko
12
Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu
ditingkatkan regimen obat bila tak terkontrol/atau terkontrol sebagian,
sedangkan bila terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan dosis dan langkah
terapi secara perlahan, hingga batas dosis obat minimal yang dapat
mengontrol.
Obat Asma
Controller Reliever
Anti IgE
Antikolinergik: Tiotropium
13
Obat pengendali (Controller)2
a) Kortikosteroid inhalasi3
14
Tabel 6. Obat dan Dosis Kortikosteroid Inhalansi untuk anak
b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol
pada asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu
pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau
tidak.
d) Methylxanthine
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas
lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi
menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala
dan memperbaiki faal paru.
e) Agonis 2 kerja lama (LABA) inhalasi
15
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>
12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi
otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan
mediator dari sel mast dan basofil.
f) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator,
juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien sisteinil).
16
Tabel 7. Obat asma controller4
17
Agonis beta 2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,
dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu
mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana
agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat
bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma
Kortikosteroid sistemik.
Antikolinergik
18
Tabel 8. Obat Reliever4
Tahap 1. Gejala asma sangat jarang, faal paru normal, tidak ada riwayat
pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi, maka pasien
diberikan obat penghilang gejala. Adapun yang direkomendasikan adalah
agonis beta-2 kerja singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah
SABA oral, kombinasi oral SABA dan teofilin/aminofilin atau
antikolinergik kerja singkat inhalasi Tahap 2 sampai dengan 5, pengobatan
pengontrol teratur jika perlu6.
Tahap 2. Ditemukan gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang
periodik, dengan atau tanpa riwayat pengobatan kortikosteroid inhalasi
sebelumnya, maka diberikan pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis
rendah dan penghilang gejala jika perlu. Alternatif pengontrol lainnya
adalah anti-leukotrien bagi pasien yang tidak tepat menggunakan
kortikosteroid inhalasi dan pasien dengan rhinitis alergika. Selain itu,
dapat pula diberikan teofilin lepas lambat kepada pasien dengan gangguan
asma malam hari6.
Tahap 3. Tahap ini untuk pasien yang tidak kunjung membaik di tahap 2
selama kurang-lebih 12 minggu dan diyakini tidak ada masalah lain seperti
19
kepatuhan, pencetus, dan lain-lain. Pasien diberikan pengontrol kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan agonis beta-2 kerja lama (LABA)
yang disebut LABACS. Alternatif lainnya sama dengan tahap 26.
Tahap 4. Tahapan setelah tahap 3 dimana harus dinilai apakah gejala
pasien sudah terkontrol sebagian atau belum terkontrol, kepatuhan pasien,
komorbiditas, dan pencetus. Pengobatan yang diberikan adalah LABACS
dimana kortikosteroid inhalasi diberikan dalam dosis sedang-tinggi6.
Tahap 5. Obat yang diberikan adalah LABACS dengan dosis
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan jika perlu dapat ditambahkan
kortikosteroid oral dosis terendah. Kortikosteroid oral bekerja sistemik
sehingga diharapkan dapat mempercepat penyembuhan, mencegah
kekambuhan, memperpendek hari rawat, dan mencegah kematian6.
2.1.10 Prognosis6
20
Asma biasanya kronis , meskipun kadang-kadang masuk ke periode
panjang remisi . Prospek jangka panjang umumnya tergantung pada tingkat
keparahan.
Fungsi paru-paru menurun lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan
asma , terutama pada mereka yang merokok dan pada mereka dengan produksi
lendir yang berlebihan ( indikator kontrol perlakuan buruk ) .
Kematian dari asma adalah peristiwa yang relatif jarang , dan kematian
asma yang paling dapat dicegah . Hal ini sangat jarang orang yang menerima
perawatan yang tepat untuk mati asma . Namun, bahkan jika tidak mengancam
nyawa , asma dapat melemahkan dan menakutkan . Asma yang tidak
terkontrol dengan baik dapat mengganggu sekolah dan bekerja , serta kegiatan
sehari-hari.
21
BAB III
RINGKASAN
Asma sudah lama dikenal namun baru akhir akhir ini menjadi masalah
kesehatan yang menonjol. Keradangan saluran nafas pada asma sangat komplek
dalam asal mula, regulasi dan outcome. Adanya predisposisi genetic yang terjadi
reaksi inflamasi alergi. Konsekuensi dari inflamasi kronik akan terjadi airway
remodeling.
Batuk, sesak nafas, wheezing merupakan trias gejala asma. Bila gejala dan
tanda tidak spesifik sulit dibedakan dengan penyakit lain, oleh sebab itu
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Faal paru yang menunjukkan obstruksi yang
reversible merupakan alat diagnosis pasti.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
4. Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium Tatalaksana Penyakit Respirasi
dan Kritis Paru. Jakarta : Perhimpunan Respirologi Indonesia.
5. Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya:
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.
6. Dewan Asma Indonesia. 2011. Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta: CV
Mahkota Dirfan; hal. 36-48.
24