Anda di halaman 1dari 57

REFERAT

TUBERKULOSIS ANAK

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Stase Ilmu Kesehatan Anak

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Laily Babgei, Sp.A

Disusun Oleh :

Amalia Octavianny H2A012061

Kepaniteraan Klinik

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RSUD Dr. ADHYATMA, MPH

1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU KESEHATAN ANAK

REFERAT

TUBERKULOSIS ANAK

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Stase Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Dr. ADHYATMA, MPH

Disusun Oleh:

Amalia Octavianny H2A012061

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Tanggal : ...........................................

Pembimbing Klinik

Ilmu Kesehatan Anak

dr. Laily Babgei, Sp.A

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga
disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau
organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. 1
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan
orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah
diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.2
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda
dengan TB pada orang dewasa. Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak
sering kali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman
TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya.
Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis
yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan
undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya
adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga
penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan pengobatan TB dewasa.
Akibatnya penanganan TB anak kurang diperhatikan.2
Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat. Sekurang-
kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Di Indonesia
proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB yang ternotifikasi dalam
program TB berada dalam batas normal yaitu 8-11 %, tetapi apabila dilihat
pada tingkat provinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan
variasi proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8 15,9%. Untuk menangani
permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan tingkat global. 2
TB pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting dalam
pengendalian TB, dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi, salah
satunya adalah anak mengingat TB merupakan salah satu penyebab utama
kematian pada anak dan bayi di negara endemis TB. Penatalaksanaan kasus

3
TB pada anak merupakan upaya komprehensif, yang menggabungkan aspek
klinis, program serta upaya kesehatan masyarakat. 2

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga bisa mengenai
hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya
merupakan lokasi infeksi primer.1
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita
oleh anak <15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki
kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB,
pada tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi
ketika seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan
kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan
limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya
terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan
limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu,
seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung
serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah
seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.3
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB).
Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka
memercikkan kuman TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar
dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB
dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan
sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari
populasi dunia sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan
kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak
aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel
berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh seseorang
menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang
yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan
teratur.2

5
B. Epidemiologi
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan
bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M.
tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik
di negara berkembang maupun di negara maju.3,4
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara
berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 4050%
dari jumlah seluruh populasi. 2

Gambar 2.1 Jumlah populasi berdasarkan usia

Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun. 200 anak


di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun
akibat TB. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya
alat diagnostik yang child-friendly dan tidak adekuatnya sistem pencatatan
dan pelaporan kasus TB anak. Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak
mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan
strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif
pada morbiditas dan mortalitas anak. 2,4
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di
antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi
8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per
provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini
menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level
provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun

6
dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang
lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak
tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011
naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.2
C. Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya
yang merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari
Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M.
Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari
kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari
penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu
varian humanus, bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan
menginfeksi manusia M. Tuberkulosis varian humanus.5
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak
berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah,
serta memiliki ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6
mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan
merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara optimal pada
jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel
yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid
dari antibodi dan komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas
lipid (80%), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan
terhadap asam sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan
kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis
dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada dinding
selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti
carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di
udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari
keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.1
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di
dalam sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak
mengandung lipid. Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa

7
kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga
tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O 2
pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.4
M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning
telur dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara
lambat, dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis
dari media sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji
sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu.
Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu
dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji
sensitivitas terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.5
D. Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan
tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus
akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.2
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis)
yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan
jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis
dinamakan kompleks primer.3

8
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa
inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. 6
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler
spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas).3
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran
normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru
melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis
kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

9
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.6
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer
atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati,
tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap
hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari
dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada
bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah
menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi

10
infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah
dua tahun.2
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread.4
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB
pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi
sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan
manifestasi TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi
TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah
infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi
primer.2

11
Gambar 2.2 Patogenesis Tuberculosis Primer
Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar
(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)

Perjalanan alamiah

12
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang
konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu
kalender terjadinya TB di berbagai organ.3

Gambar 2.3 Kalender perjalanan penyakit TB primer

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin


biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB.
Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan
eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga
jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya
berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan
meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah
infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun
dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya
terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar
manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1
tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama
setelah diagnosis TB.3
E. Faktor Resiko

13
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TBC
pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan
faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).3
1. Risiko infeksi TBC
Faktor risiko terjadinya infeksi TBC antara lain adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa yang TBC aktif (kontak TBC positif),
daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higieni dan
sanitasi yang tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan,
penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak pasien TB dewasa
aktif.3,4
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting aalah pajanan
terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA (+). Berarti,
bayi dengan seorang ibu dengan BTA sputum (+) memiliki risiko tinggi
terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar
pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei)
yang infeksius.3,4
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa keanak akan
lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum (+),
infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan
encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang
kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.4
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau
orang dewasa sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang
ditemukan didalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal
yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, kuman pada TB anak
biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih
lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit.
Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit
TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus,
sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada atau sedikitnya
produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim
menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.3,4
2. Risiko sakit TB

14
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit
TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama
adalah usia. Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya
belum berkembang sempurna (immature). Akan tetapi, risiko sakit TB ini
akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada
bayi yang terinfeksi TB, 43%nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia
1-5 tahun yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan
pada dewasa 5-10%. Anak berusia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi
mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB), dengan
angka angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.5
Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit
TB adalah satu tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan
pertama. Pada bayi, rentang waktu antara infeksi dan timbulnya sakit TB
singkat (<1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.4,5
Faktor risiko lain adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun
terakhir malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya HIV,
keganasan, transplantasi organ an pengobatan imunosupresi ), diabetes
mellitus dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada
epidemiologi TB adalah status sosial ekonomi yang rendah, pengahsilan
yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah,
dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat. Di negara maju,
migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di
Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti.4,5
Faktor lainnya yang mempunyai risiko terjadi penyakit TB adalah
virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksinya. Akan tetapi, secara
klinis hal ini sulit dibuktikan.5
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan immunokompromais
merupakan salah satu risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV,terjadi
kerusakan sisitem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami

15
re-aktivitas. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan
pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan resiko
terjadiya sakit TB pada pasen HIV dengan tuberkulin positif adalah 7-
10% per tahun,dibandingkan dengan pasain non HIV yang risiko
terjadinya sakit TB adalah 5-10% selama hidupnya. Pada tahun
1990,4,6%kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan
diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 14%pada tahun 2000.
Angka kejadian TB yang telah menurun pada awal abad ke-20 kembali
meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan
meningkatnya epidem HIV dan resistensi multiobat (Multi Drug
Resistence-MDR),bahkan sudah terjadi resistensi obat yang eksrim
( Extreme drug Resistence- XDR).2,4
Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat
di lihat pada tabel 2.1.

16
Tabel 2.1 Risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB
Umur saat Risiko sakit
Tidak sakit TB paru TB diseminata
infeksi primer
(milier, meningitis)
(tahun)
<1 50% 30-40% 10-20%
1-2 75-80% 10-20% 2-5%
2-5 95% 5% 0,5%
5-10 98% 2% <0,5%
>10 80-90% 10-20% <0,5%
Sumber: marais dkk, 2004 dan marais dkk.2006

F. Klasifikasi
Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:6,7
1. Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah
ke TB Anak:6,7
a. Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis:
adalah pasien TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya
positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau
diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB
paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
b. Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak
yang TB yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat
pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi
sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah
Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak
diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.

2. Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:6,7
a. Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

17
2) Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak
dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita
TB Ekstra Paru.
3) Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru
diklasifikasikan sebagai TB paru
b. Riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai
definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
2) Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT
lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru
atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya,
anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien
yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
c. Berat dan ringannya penyakit
1) TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB
kelenjar dllb. TB berat: TB pada anak yang berisiko
menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB
meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen,
termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten
obat, TB HIV.
2) Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek
TB pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV.

18
Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan
sebagai:
a) HIV positif
b) HIV negatif
c) HIV tidak diketahui
d) HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita
HIV diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti
HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan
hasil negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV
perlu diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan.
d. Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M.
tuberculosis terhadap OAT terdiri dari:
1) Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
salah satu jenis OAT lini pertama.
2) Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid
(H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3) Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang
resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau
tanpa OAT lini pertama lainnya.
4) Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
5) Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT
lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang
sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat.
Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap
rifampisin.
G. Diagnosis
1. Penemuan Pasien TB Anak4
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan
pemeriksaan pada :

19
a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud
dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering
bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah
terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif
dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak
erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada
bab profilaksis TB pada anak.
b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan
TB anak. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan
organ yang paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit
ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait.
Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
selain TB.
2. Manifestasi sistemik TB anak4
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan
upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai
dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah
reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
3. Manifestasi spesifik paru
a. TB Asimptomatis

20
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi
yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes
tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari
CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada,
walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang, demam
subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak
dengan individu dengan TB menular yg tes tuberkulin positif,
diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen
foto thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.4
b. TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer,
limfangitis dan limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit
ini adalah daerah adenitis yang relatif besar berbanding lokus pada
paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan
dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering
dinilai paling terafeksi.4
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit,
tapi akan terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan
oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial
dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut kepada
atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit
yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental
dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.3
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena
perbahan diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim.
Simptom yang paling sering adalah batuk non produktif dan dispneu.
Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda
adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.6

21
Gambar 2.4 Tuberkulosis primer dengan limfadenopati para-tracheal.

Gambar 2.5 Tuberkulosis primer infiltrat di paru-paru kanan lobus atas, serta
atelektasis
c. TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru
primer. Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak
mengalami kalsifikasi membesar dengan stabil membentuk caseous
centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent
membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan
besarnya jumlah basil TB, merupakan faktor yang menyebabkan
seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada

22
individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke
lobus lain dan ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini
adalah bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang
sampai berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan
penurunan bunyi nafas.4
d. TB Paru Kronis/ Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru
kronis sangat jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada anak-anak yang mempunyai strata sosioekonomi
yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB
yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja
berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang
dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak
dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia,
malaise, penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif,
nyeri dada dan hemoptisis.3
e. Efusi pleura

Gambar 2.6 Tuberkulosis primer serta efusi pleura kanan

Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat


dilokalisir atau digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura
TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir
tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy

23
berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis
nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi nafas.
Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa
minggu.7,8
f. Gejala klinis TB-ekstra paru pada anak
1) Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio
colli): Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm,
konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau
konfluens.
2) Tuberkulosis otak dan selaput otak:
a) Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali
disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang
terkena.
b) Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3) Tuberkulosis sistem skeletal:
a) Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang
(gibbus).
b) Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau
tanda peradangan di daerah panggul.
c) Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut
tanpa sebab yang jelas.
d) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4) Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi
ulkus (skin bridge).
5) Tuberkulosis mata:
a) Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
b) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6) Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB
ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-
organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan
adanya infeksi TB.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji tuberkulin

24
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang
mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara
intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan
terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara
mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU
secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan
terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali
hasilnya dilaporkan sebagai negatif.2,5
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi

10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya.

Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah,


tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi
M. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter
indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan
besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan

oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat

mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm


dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan
positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada
pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif

yang digunakan 5mm.2,5


Hasil uji tuberculin positif didapatkan pada :
1) Infeksi TB alamiah
a) Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b) Infeksi TB dan sakit TB
c) TB yang telah sembuh
2) Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3) Infeksi Mikrobakterium atipik
Uji tuberculin negatif dapat didapatkan pada :
1) Tidak ada infeksi TB
2) Dalam masa inkubasi infeksi TB

25
3) Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai
keadaan, sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap
tuberculin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa
keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk,
keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika,
penyakit morbili pertusis arisela, influenza, TB yang berat, serta
pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup yang dimaksud
dengan influenza adalah infeksi oleh virus influenza, bukan
batuk pilek panas biasa, yang umumnya disebabkan oleh
rhinovirus dan disebut selesma common cold).
Hasil Positif Palsu didapatkan pada :
1) Penyuntikan salah
2) Interpretasi tidak betul
3) Reaksi silang dengan Myocbacterium atipik
Hasil negatif palsu didapatkan pada :
1) Masa Inkubasi
2) Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
3) Interpretasi tidak betul
4) Menderita tuberculosis luas dan berat
5) Disertai infeksi virus (campak,rubella, cacar air, influenza,HIV)
6) Imunoinkompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
7) Demam
8) Leukositosis
9) Malnutrisi
10) Sarkoidosis
11) Psoriasis
12) Jejunoileal by pass
13) Terkena sinar ultraviolet (matahari,solaria)
14) Defisiensi pernisiosa
15) Uremia
b. Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan
antigen tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya
limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB maka
limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian di
kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat
membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5
c. Radiologi

26
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-
kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
1) Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
2) Konsolidasi segmental/lobar
3) Milier
4) Kalsifikasi dengan infiltrat
5) Atelektasis
6) Kavitas
7) Efusi pleura
8) Tuberkuloma
d. Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah
PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-
lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan
serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5
e. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari
pemeriksaan mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA,
pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan
karena sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas
lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak yang
memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan positif jika
terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih
digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk
pemeriksaan klinis rutin.2,5
f. Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma
yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai
karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia
langhans.2
g. Rapid Test TB
Rapid Test TB (Xpert MTB-RIF) adalah sebuah tes molekular
diagnostik baru yang saat ini sedang gencar di rekomendasikan oleh

27
WHO. Pemeriksaan Xpert MTB-RIF awalnya ditujukan oleh WHO
untuk pasien yang datang dengan multi drug resistance tuberculosis
(MTDR-TB) dan pasien HIV-TB.
Pemeriksaan baru ini sedang gencar direkomendaikan oleh
WHO karena dapat mendeteksi tuberculosis dengan cepat (dalam 2
jam) dan resistensi pasien terhadap rifampisin. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan di;uar ruangan laboratorium. Meski memiliki banyak
manfaat namun karena biaya penggunaannya yang masih tinggi,
pemeriksaan ini jarang dilakukan di Indonesia.
5. Penegakan Diagnosis
Diagnosisi kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak
terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda
klinis, uji tuberculin dan gambaran sugestif pada foto toraks. Meskipun
demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu dapat teridentifikasi,
sehingga analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat
diperlukan.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
pada pemeriksaan apusan langsung (direct smear), dan / atau biakan yang
merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard)atau gambaran PA TB
hanya saja diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah
perenkim yang jauh dari bronkus, sehingga hanya 10 15% pasien TB
anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman
TB. Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan radiologist. Oleh karena itu, analis kritis perlu dilakukan
terhadap sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis.
Kesulitan menegakkan diagmosis TB pada anak menyebabkan
banyak usaha membuat pedoman diagnosis dengan sistem skorsing dan
alur diagnostic, misalnya pedoman yang dibuat oleh WHO, stegen dan
jones, dan UKK respriologi PP IDAL.
Pedoman WHO untuk diagnosis TB anak:
a.Dicurigai tuberculosis
1) Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberculosis dengan
diagnosis pasti
2) Anak dengan :

28
a) Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita
campak atau batuk rejan
b) Berat badan menurun, batuk dan mengi tidak
membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit
pernapasan
c) Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.
3) Mungkin tuberculosis
Anak yang dicurigai tuberkulosisi ditambah :
a) Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih )
b) Foto tontgen paru sugestif tuberculosis
c) Pemeriksaan histologis biopsy sugestif tuberculosis
d) Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT
4) Pasti tuberculosis pada pemeriksaan langsung atau biakan
identifikasi Myobacterium tuberculosis pada karekateristik
biakan
Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI
merekomendasiskan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.9,10

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA(+)


keluarga
(BTA negatif
atau tidak
jelas)

Uji Tuberkulin Negatif - - Positif ( 10 mm


atau 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)

Berat badan / - BB/TB < 90% Klinis gizi -


Status Gizi atau buruk
BB/U < 80% atau BB/TB
< 70%
atau BB/U <
60%

Demam tanpa - 2 minggu - -


sebab yang jelas

29
Batuk - 3 minggu - -

Pembesaran - 1 cm, jumlah - -


kelenjar koli, > 1, tidak nyeri
aksila, inguinal

Pembengkakan - Ada - -
tulang / sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang

Foto Thorak Normal/kelainan Gambaran - -


tidak jelas sugestif TB

Catatan:
Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.
Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat datang.
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan
infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam
skor karena diperlakukan secara khusus.
Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,
maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG ( 7
hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan
merupakan alat diagnostik.
Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor 6, (skor maksimal
13).
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan
penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas,
pasien harus di rawat inap di RS.
Penegakan diagnosis tuberkulosis pada anak:
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter,

30
pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas
kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan
tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
b. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)
c. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA
positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis,
maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari
umur anak tersebut Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik
utama pada TB anak
d. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut
e. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka
dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak.
Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat
perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
f. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG
dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB anak
g. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
h. Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang
terbatas (uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka
evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat
didiagnosis TB dengan syarat skor 6 dari total skor 13.
i. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan
perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya
kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis,
adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah
dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak
memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan
perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada
anak tersebut pada saat diagnosis.

31
32
Alogaritma TB Anak

Gambar 2.7 Alogaritma TB Anak

33
H. Differential Diagnosis
1. Pneumoniae
Pneumonia adalah infeksi akut perenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstitiil, yang ditandai oleh demam, batuk, sesak
(peningkatan frekuensi pernafasan), nafas cuping hidung, retraksi dinding
dada dan kadang-kadang sianosis.3
Gejala klinis yang muncul tergantung dari umur pasien, dan
pathogen penyebabnya, sedangkan pada anak-anak bisa tidak muncul
gejala. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada,
grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan
grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis,
batuk,panas, dan iritabel.3
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,
batuk ( non produktif / produktif ), takipneu, dan dispneu yang ditandai
dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja,
dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif ), nyeri dada,
nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua kelompok umur, akan
dijumpai adanya nafas cuping hidung. 3
2. Bronkitis
Bronkitis adalah suatu peradangan pada saluran bronkial atau
bronki. Peradangan tersebut disebabkan oleh virus, bakteri, merokok,
atau polusi udara. Definisi bronkitis kronis adalah batuk disertai sputum
setiap hari selama setidaknya 3 bulan dalam setahun selama paling
sedikit 2 tahun berturut-turut.
Gejala klinisnya biasa dimulai dengan batuk.
a. Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada
awalnya pasien mengalami batuk produktif di pagi hari dan tidak
berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak
berwarna putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen.
b. Sesak nafas. Bila timbul infeksi, sesak napas semakin lama semakin
hebat. Terutama pada musim dimana udara dingin dan berkabut.
c. Sering menderita infeksi pernafasan (misalnya flu).

34
d. Wheezing (mengi).Saluran napas menyempit dan selama bertahun-
tahun terjadi sesak progresif lambat disertai mengi yang semakin
hebat pada episode infeksi akut.
e. Pembengkakan pergelangan kaki dan tungkai kiri dan kanan.
f. Wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan.
g. Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek,
yaitu hidung meler, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot,
demam ringan dan nyeri tenggorokan. Pada bronkitis berat, setelah
sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi
selama 3-5 hari dan batuk bias menetap selama beberapa minggu.3
3. Bronkitis asmatis
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran
pernapasan yang dihubungkan dengan hiper-responsif, keterbatasan
aliran udara yang reversible dan gejala pernapasan. Pemicu yang
berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena
inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Faktor
yang dapat memicu yaitu allergen, polusi udara, infeksi saluran napas,
obat dan ekspresi emosi berlebihan.
Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini
bervariasi sesuai dengan rangasangan. Allergen akan memicu terjadinya
bronkhokonstriksi akibat dari pelebpasan IgE dependent dari mast sel
saluran pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin,
prostaglandin, leukotrin sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang
disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus
otot polos bronkhioler merupakan gejala serangan asma akut dan
berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner
dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Apabila tidak dilakukan
koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi gagal
napas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan,
inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot pernapasan. Interaksi
kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi
saluran napas.4
I. Tuberkulosis Anak dalam Keadaan Khusus

35
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi
minimal dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan
ataupun menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala
klinis yang berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.
1. TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat
paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB
pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak. TB
dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan
pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.
TB anak yang sudah mengalami perjalanan penyakit post primer,
dapat ditemukan hasil BTA positif pada pemeriksaan dahak, sama dengan
pada dewasa. Hal ini biasa terjadi pada anak usia remaja awal. Anak
dengan BTA positif ini memiliki potensi untuk menularkan kuman M
tuberculosis kepada orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu pada anak
terutama dengan gejala utama batuk dan dapat mengeluarkan dahak
sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis.
Selain itu apabila memungkinkan, spesimen untuk pemeriksaan
laboratorium dapat diperoleh melalui aspirasi dahak, bilasan lambung
atau induksi sputum.
Berdasarkan data Program TB Kementerian Kesehatan pada tahun
2011, prosentase kasus TB BTA positif pada anak 0-14 tahun adalah 6,3
% dari seluruh kasus TB anak, angka ini meningkat dari tahun 2010 yaitu
sebesar 5,3%.
2. Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada
Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB
dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau
meninggalkan gejala sisa pada anak. Anak biasanya datang dengan
keluhan awal demam lama, sakit kepala, diikuti kejang berulang dan
kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti bahwa anak telah
kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif.

36
Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis
dengan sistem skoring tidak direkomendasikan. Di rumah sakit rujukan,
akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dilengkapi dengan uji
tuberkulin, laboratorium darah serta pengambilan cairan serebrospinal
untuk dianalisis.
Apabila didapatkan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti
muntah-muntah dan edema papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan
kepala atau MRI, untuk mencari kemungkinan komplikasi seperti
hidrosefalus. Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah
melewati masa kritis, maka pemberian OAT dapat dilanjutkan dan
dipantau di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
3. TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala
klinis berat dan merupakan 37% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa
ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat
mata pada foto torak.
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
a. Kuman M. tuberculosis (jumlah dan
virulensi),
b. Status imunologis pasien (nonspesifik dan
spesifik), seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis,
diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan
kortikosteroid jangka lama
c. Faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar
matahari, perumahan yang padat, polusi udara, merokok,
penggunaan alkohol, obat bius, serta sosioekonomi).
Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat
disertai sesak nafas, ronki dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga
terjadi hipoksia, pneumotoraks, dan atau pneumomediastinum, sampai
gangguan fungsi organ, serta syok. Lesi milier dapat terlihat pada foto

37
toraks dalam waktu 23 minggu setelah penyebaran kuman secara
hematogen.
Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan
ukuran yang hampir seragam (13 mm). Jika dokter dan petugas di
fasyankes primer menemukan kasus dengan klinis diduga TB milier,
maka wajib dirujuk ke RS rujukan.
Diagnosis ditegakkan melalui riwayat kontak dengan pasien TB
BTA positif, gejala klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu
dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang
atau penurunan kesadaran. Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB
milier biasanya berjalan lambat. Respon keberhasilan terapi antara lain
adalah menghilangnya demam setelah 23 minggu pengobatan,
peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan
peningkatan berat badan.
Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang
dalam 510 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai
beberapa bulan. Pasien yang sudah dipulangkan dari RS dapat
melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.

4. Tuberkulosis Tulang/ Sendi


Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 17% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:
tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi lutut
(gonitis).
Gejala dan tanda spesifik spesifik berupa bengkak, kaku,
kemerahan, dan nyeri pada pergerakan dan sering ditemukan setelah
trauma. Bisa ditemukan gibbus yaitu benjolan pada tulang belakang yang
umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda
peradangan. Warna benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan,
dan menimbulkan abses dingin. Kelainan neurologis terjadi pada keadaan

38
spondilitis yang lanjut, membutuhkan operasi bedah sebagai
tatalaksananya.
Kelainan pada sendi panggul dapat dicurigai jika pasien berjalan
pincang dan kesulitan berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan
di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang
ditemukan atrofi otot paha dan betis. Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan adalah foto radiologi, CT scan dan MRI. Prognosis TB tulang
atau sendi sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau
tulangnya.
Pada kelainan minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi
pada kelainan yang sudah lanjut dapat menimbulkan sekuele (cacat)
sehingga mengganggu mobilitas pasien.
5. Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan
skrofula, merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling
sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus
timbul 69 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa
kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian.
Lokasi pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal
anterior, submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal,
epitroklear, atau daerah aksila. Kelenjar limfe biasanya membesar
perlahan-lahan pada stadium awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe
bersifat kenyal, tidak keras, discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan,
kelenjar sering terfiksasi pada jaringan di bawah atau di atasnya.
Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi infeksi bilateral
dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan leher-bawah
saling bersilangan.
Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran foto
toraks terlihat normal. Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan
histologis dan bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, yang dapat
dilakukan di fasilitas rujukan.
6. Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga
pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus

39
efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan
dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak
dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer
yang gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
Gejala dan tanda awal meliputi demam akut yang disertai batuk
nonproduktif (94%), nyeri dada (78%), biasanya unilateral (95%). Pasien
juga sering datang dalam keadaan sesak nafas yang hebat. Pemeriksaan
foto toraks dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir selalu
terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya.
Untuk diagnosis definitif dan terapi, pasien ini harus segera
dirujuk. Penunjang diagnostik yang dilakukan di fasilitas rujukan adalah
analisis cairan pleura, jaringan pleura dan biakan TB dari cairan pleura.
Drainase cairan pleura dapat dilakukan jika cairan sangat banyak.
Penebalan pleura sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.

7. Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas
dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat
penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.
Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di
tempat yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah
parotis, submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain
itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang
disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat
subkutan dalam yang keras (firm), berwarna merah kebiruan, dan tidak
menimbulkan keluhan (asimtomatik). Infiltrat kemudian meluas/
membesar dan menjadi padat kenyal (matted and doughy). Selanjutnya
mengalami pencairan, fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan kulit),
membentuk ulkus berbentuk linear atau serpiginosa, dasar yang
bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi bergaung (inverted),
berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang sedikit

40
lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut/sikatriks berupa
pita/benang fibrosa padat, yang membentuk jembatan di antara ulkus-
ulkus atau daerah kulit yang normal.
Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak
dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang
fluktuatif. Diagnosis definitif adalah biopsi aspirasi jarum halus/ BAJAH/
fine needle aspiration biopsy=FNAB,) ataupun secara biopsi terbuka
(open biopsy). Pada pemeriksaan tersebut dicari adanya M. tuberculosis
dengan cara biakan dan pemeriksaan histopatologis jaringan. Hasil PA
dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat
sel datia Langhans, sel epiteloid, limfosit, serta BTA. Tatalaksana pasien
dengan TB kulit adalah dengan OAT dan tatalaksana lokal/topikal dengan
kompres atau higiene yang baik.
8. Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun
penjalaran langsung.
Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai,
yaitu sekitar 15% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa
dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1). Pada
peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat
membentuk satu kesatuan (konfluen).
Pada perkembangan selanjutnya, omentum dapat menggumpal di
daerah epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga
pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar
limfe yang terinfeksi dapat membesar, menyebabkan penekanan pada
vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.
Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala
klinis umum TB anak. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya
massa intraabdomen dan adanya asites. Kadang-kadang ditemukan
fenomena papan catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya

41
massa yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada
obstruksi usus dan asites.
Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen
melalui vena porta atau jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe
porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke hati. Lesi TB di hati
dapat berupa granuloma milier kecil (tuberkel). Granuloma dimulai
dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai
reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag
dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, sel
datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan limfosit T.
Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan.
Beberapa pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan adalah foto polos
abdomen, analisis cairan asites dan biopsi peritoneum. Pada keadaan
obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi.
9. Tuberkulosis Mata
Tuberkulosis pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan
kornea, sehingga sering disebut sebagai keratokonjungtivitis fliktenularis
(KF). Keratokonjungtivitis fliktenularis adalah penyakit pada konjungtiva
dan kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul
inflamasi yang disebut flikten pada daerah limbus, disertai hiperemis di
sekitarnya. Umumnya ditemukan pada anak usia 315 tahun dengan
faktor risiko berupa kemiskinan, kepadatan penduduk, sanitasi buruk, dan
malnutrisi.
Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi,
fotofobia, dan dapat mengeluarkan sekret mata, disertai gejala umum TB.
Untuk menyingkirkan penyebab stafilokokus, perlu dilakukan usap
konjungtiva. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk
mencari penyebabnya seperti uji tuberkulin, pemeriksaan radiologis, dan
pemeriksaan feses. Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus
fasikuler, parut kornea, dan perforasi kornea. Penggunaan kortikosteroid
topikal mempunyai efek yang baik tetapi dapat menyebabkan glaukoma
dan katarak.
10. Tuberkulosis Ginjal

42
Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya
bertahun-tahun. TB ginjal merupakan hasil penyebaran hematogen.
Fokus perkijuan kecil berkembang di parenkim ginjal dan melepaskan
kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar akan terbentuk dekat
dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman melalui fistula ke
dalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter,
prostat, atau epididimis.
Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal,
hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopis. Disuria,
nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria makroskopis dapat
terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit. Superinfeksi dengan
kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat
memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Hidronefrosis
atau striktur ureter dapat memperberat penyakitnya. BTA dalam urine
dapat ditemukan. Pielografi intravena (PIV) sering menunjukkan massa
lesi, dilatasi ureter-proksimal, filling defect kecil yang multipel, dan
hidronefrosis jika ada striktur ureter. Sebagian besar penyakit terjadi
unilateral. Pemeriksaan pencitraan lain yang dapat digunakan adalah
USG dan CT scan.
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT
juga dilakukan penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Apabila
diperlukan tindakan bedah, dapat dilakukan setelah pemberian OAT
selama 46 minggu.
11. Tuberkulosis Jantung
Tuberkulosis yang lebih umum terjadi pada jantung adalah
perikarditis TB, tetapi hanya 0,54% dari TB anak. Perikarditis TB
biasanya terjadi akibat invasi kuman secara langsung atau drainase
limfatik dari kelenjar limfe subkarinal.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun.
Nyeri dada jarang timbul pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan
suara jantung melemah dengan pulsus paradoksus. Terdapat cairan
perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik.

43
Basil Tahan Asam jarang ditemukan pada cairan perikardium, tetapi
kultur dapat positif pada 3070% kasus. Hasil kultur positif dari biopsi
perikardium yang tinggi dan adanya granuloma sering menyokong
diagnosis TB jantung. Selain OAT diberikan juga kortikosteroid.
Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi
penyempitan perikard.
J. Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan)
dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
1. Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
2. Pemberian gizi yang adekuat.
3. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
Paduan OAT Anak Prinsip pengobatan TB anak:
1. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler.
2. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan.
3. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
a. Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat (H,R,Z), tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
b. Tahap Lanjutan, diberikan 2 macam obat (R,H) selama 4-10 bulan
selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat
ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada
anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum
obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
c. Etambutol ditambahkan pada kasus berat seperti TB milier,
meningitis TB, TB tulang dan TB ekstra paru berat lainnya.

44
4. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain -
lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
5. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam
3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid
ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.
6. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
a. Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
b. Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
7. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
8. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.

45
Gambar 2.8 Tatalaksana Tuberkulosis Anak

Gambar 2.9 Skema Pemberian OAT pada Anak

Tabel 2.2 Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya

46
47
Tabel 2.3 Dosis kombinasi pada TB anak

Keterangan :
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
3. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur).
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
5. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
7. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
Pemantauan Pengobatan
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pada fase intensif pasien TB
anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan
kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol
tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien
harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis
berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam
menghilang, dan batuk berkurang.
Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan
sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau
tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk

48
ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk
diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti
foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai
pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang
positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien
TB BTA pos.
Efek Samping Pengobatan TB
Efek Samping pengobatan TB Anak Pasien dengan keluhan neuritis
perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan
makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100
mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/
hari direkomendasikan diberikan pada :
1. bayi yang mendapat ASI eksklusif
2. pasien gizi buruk,
3. anak dengan HIV positif.
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali
mulai dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan dan menunjukan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.
Pengobatan Ulang TB anak

49
Anak yang pernah mendapatkan pengobatan TB, apabila datang
kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut
benar benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan sistem skoring
atau pemeriksaan dahak. Apabila hasil evaluasi menunjukan hasil positif,
anak diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Pada pasien tb anak yang pernah
mendapat pengobatan tb, tidak dianjurkan dilakukan uji tuberkulin ulang.
Tatalaksana Non Medikamentosa
1. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila
pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan
pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan
pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu
upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan
pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment).
Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang
telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan
angka kesembuhan yang tinggi.2
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima
komponen yaitu sebagai berikut : 2,12
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan
dana.
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.
2. Sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus
dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan

50
kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan
dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan
pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang
mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak
disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya
infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan
cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji
tuberkulin.3,5
3. Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena
pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka
waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain
itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan
asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang
baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil
yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar
mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena
sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang disekitarnya.
Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB
berat.3,5
K. Pencegahan
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia
sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10
ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan
(penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak
menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan
pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih
dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan
kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian
vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5

51
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara
0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier,
meningitis TB dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan
perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem
skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan
positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan
di beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak negara
lain, temasuk Indonesia.
Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang
serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan
limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi
imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi
imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur,
BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan optimal.5
2. Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer
dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder
mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada
kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10
mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada
anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum
positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan
ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap
negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA
sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi
tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji
tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih
lanjut.2,3
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah
terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif,

52
sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi
kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-
anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan
imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau
pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin
dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk
kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer,
profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk
menilai respon dan efek samping obat.3,5
L. Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang
besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan
nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran
mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.13,14
M. Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT
terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika
kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan
gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan
hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi,
yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap
terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple
terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi
karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun
ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. 14
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan
Rifampin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi.
Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada

53
pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka
kematian hampir mencapai 100%.12,14

54
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga
disebut dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke
bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari
pulmonary TB.
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak
spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain.
Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama
(>2 minggu) dan/ atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun
tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan, anoreksia dengan
failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan
biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare persisten serta
malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin,
interferon, radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi
anatomi. Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB.
Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase
intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan
atau lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis,
osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata,
telinga tengah dan kulit dapat terjadi.

B. Saran
1. Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan
tingginya biaya pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu,
pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya penting yang harus

55
dilakukan. Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai
faktor resiko infeksi TB.
2. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, diperlukan usaha
penyegaran kembali tentang TB anak, khususnya bagi dokter umum
maupun dokter anak yang sering menangani kasus TB anak.
3. Memberikan penyuluhan tentang tuberculosis dewasa maupun
anak dan cara pencegahan yang dapat dilakukan kepada masyarakat.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia (Konsensus TB). 2011. Hal.1-5.
2. Depkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI.2013
3. IDAI. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Jilid 1.
Jakarta. IDAI. 2010
4. Depkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI.2014
5. Garna. H, Melinda. H, Rahayuningsih. S.E. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-3. Bandung : Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran. 2009
6. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosisin children. 2nd edition.
Geneva: WHO Document Production Services; 2014. Hal.33-40
7. Retno Widyaningsih, Amar Widhiani, Endah Citraresmi SMF Anak RSAB
Harapan Kita. Ko infeksi Tuberkulosis dan HIV pada Anak. Sari Pediatri
Vol. 13, No. 1, Juni 2011
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2010
9. Mansjoer, Arief M. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi Ke-3. Jakarta:
Media Aesculapius. 2015
10. PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.
Jakarta. 2005
11. WHO Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta.
2009
12. Hassan R, Alatas H. Tuberkulosis pada anak. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak. Vol II. 11th ed. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia:2007.h.573-84.
13. Behrman R E, Kliegman R M. Esensi pediatric Nelson. Edisi ke -5.
Jakarta: EGC; 2010. h.431-49.

14. Latief A, dkk. Diagnosis Fisis Pada Anak. Ed ke-2. Jakarta: CV Sagung
Seto, 2013.

57

Anda mungkin juga menyukai