Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
net/RamaSyafaradi/makalah-keuangan-daerah-28887453
diakses 04 januari 2017
1. Dasar Hukum
4. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara;
7. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
10. PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan PP No. 37 Tahun 2005, PP No.
37 Tahun 2006 dan PP No. 21 Tahun 2007;
19. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Estndar Pelayanan
Minimal;
21. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah;
22. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
23. Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
24.Permendagri No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
25.Permendagri No. 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemeriksaaan dalam rangka berakhirnya
Masa Jabatan Kepala Daerah;
26. Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat di
Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;
27. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negara No. 13
tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah menjadi
kebutuhan dalam rangka terciptanya good governance dan clean government yang menjadi
simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk itu upaya percepatan terhadap
keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen keuangan bagi pemerintah daerah sudah
selayaknya mendapat perhatian serius... Pengelolaan keuangan daerah sering
menghadapi masalah ketika perencanaan dan penganggaran tidak
dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan
sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini
menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan
penganggaran di daerah berdasarkan. Edy Marbyanto.
1. Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD
sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari
usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses
DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya
Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan
banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil
Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif
politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen
sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-
bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif
ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan
income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa
intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau
pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali
mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk
negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari
pihak eksekutif untuk menjinakkan hak budget DPRD ini misalnya
dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam
penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian Dana
Aspirasi yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel
untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten
di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar
rupiah per tahun.
2. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui
mekanisme musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan
pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah,
hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat
timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan
yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi
realisasinya sangat minim.
Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60%
dana APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah
30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan dana sektoral).
Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung
jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum
berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian
daerah, sisa dana diparkir di perbankan berbentuk Sertifikat BI.
Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah
berkelebihan uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi)
anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang
terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya
prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di
daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja
instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program
layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih
lesunya investasi sektor swasta.
Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga
gencar memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan
daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja
menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih
mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan
good governance di daerah.
Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah tidak efektifknya peran
inspektorat (dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya
dibentuk sebagai garda depan jaminan tegaknya good governance dan
menjadi instrumen strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul.
Opsi Kuratif