Anda di halaman 1dari 5

SINDROMA BLEFAROFIMOSIS

Shanti F Boesoirie MD, Nila Anggraeni MD, Angga Kartiwa MD, Rinaldi Dahlan MD,
Kautsar Boesoirie MD, Lakshmi Thaufiq MD
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung

ABSTRACT
Introduction
Blepharophymosis syndrome is a very rare genetic disorder that inherited by autosomal
dominant. The disease have several signs such as telecanthus, inverse epicanthus, and
palpebral ptosis.
Objective
To report Blepharophymosis syndrome cases in one big family
Case report
To reported seven patients who had Blepharophymosis syndrome in one family. This
syndorome has been known as a hereditary anomaly. In ophthalmology examination we
found some clinical abnormality such as ptosis, epicanthus, and telechantus. All of the
patients underwent reconstruction Y to V plasty and frontalis sling surgery to repair the
telecanthus and ptosis with good result.
Conclusions
Blepharophymosis syndrome is a rare hereditary anomaly, and reconstruction with Y to
V plasty and frontalis sling procedure gave good result.

Keywords : Blepharophymosis, Sindroma Blefarofimosis, telekantus, ptosis, epikantus


inversus

PENDAHULUAN muliple atau Y to V plasty, yang


Sindroma Blefarofimosis, yang terkadang dikombinasikan dengan
biasanya terdiri dari ptosis dan epikantus pemendekan tendon kantal medial jika
merupakan kelainan genetik yang jarang diperlukan. Untuk mengkoreksi ptosis
ditemukan. Penyakit ini diturunkan pada blefarofimosis biasanya digunakan
secara autosomal dominan dalam suatu teknik frontalis sling karena ptosis yang
keluarga.1,2 Kelainan ini ditandai dengan menyertai kelainan ini biasanya berat.3
adanya telekantus (jarak antar kantus
medial yang lebar), epikantus inversus KASUS
(lipatan kulit yang meluas dari kelopak Sebuah keluarga didiagnosis sebagai
mata bawah ke kelopak mata atas), dan sindroma Blefarofimosis. Pasien 1 adalah
ptosis berat. Selain tanda yang telah seorang laki-laki berumur 65 tahun, yang
disebutkan, blefarofimosis dapat disertai merupakan ayah kandung dari pasien-
juga dengan ektropion kelopak mata pasien lain, dari istri pertama yang
bawah, perkembangan pangkal hidung merupakan saudara sepupunya, dan
yang buruk (saddle nose), hipoplasia tepi dikaruniai 5 orang anak (4 orang di
dari orbita superior, hipertelorisme, dan antaranya menderita sindroma
lateralisasi pungtum.3 Blefarofimosis). Anak pertama (pasien
Tindakan rekontruksi dapat no.2) seorang wanita berumur 45 tahun.
dilakukan secara bertahap atau sekaligus Anak kedua (pasien no.3) seorang wanita
dengan mengkoreksi telekantus dan berumur 44 tahun. Anak ketiga (pasien
epikantus menggunakan teknik Z plasty no.4) seorang wanita berumur 40 tahun.

1
Anak keempat (pasien no.5) seorang tidak terdapat hubungan keluarga dengan
wanita berumur 28 tahun yang dikaruniai pasien), Semua pasien didiagnosis
seorang anak (pasien no.7) berumur 11 Sindroma Blefarofimosis.
tahun. Serta pasien no.6 adalah seorang Pedigri dari keluarga tersebut adalah
wanita berumur 14 tahun merupakan sebagai berikut :
anak dari istri kedua (yang diketahui

2 3 4 5 6

Gambar 1. Pedigri Keluarga Subjek

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Oftalmologi Pre Operasi


Telekantus Mata Tinggi Lebar Margin Lipatan Fungsi Fenomena Epikantus Lateralisasi
(mm) Palpebra Palpebra Reflex Kelopak Levator Bell Inversus Pungtum
Distance
Pasien 1 Kanan 4 20 0 - 1 + + +
37mm Kiri 4 20 0 - 1 + + +
Pasien 2 Kanan 4 20 0 - 2 + + +
39mm Kiri 4 20 0 - 2 + + +
Pasien 3 Kanan 4 20 +1 - 1 + + +
37mm Kiri 4 20 +1 - 1 + + +
Pasien 4 Kanan 5 22 0 - 2 + + +
34mm Kiri 5 22 0 - 2 + + +
Pasien 5 Kanan 5 22 0 - 2 + + +
35mm Kiri 5 22 0 - 2 + + +
Pasien 6 Kanan 3 19 0 - 0 + + +
40mm Kiri 3 19 0 - 1 + + +
Pasien 7 Kanan 5 22 0 - 2 + + +
40mm Kiri 5 22 0 - 3 + + +

Pada pasien 1, 2, 3, 4, 5 dan 7 tanpa dilakukan Y to V plasty karena


dilakukan operasi untuk mengurangi ukuran mata secara vertikal dan
keadaan epikantus inversus dengan horisontal terlalu kecil.
teknik Y to V plasty, dan untuk mengatasi Setelah operasi, semua pasien
ptosisnya dilakukan frontalis sling untuk diberikan antibiotika oral dan salep mata.
membentuk lipatan kelopak mata. Pada Jahitan dibuka 5 hari setelah operasi.
pasien no. 6, untuk mengatasi ptosis Tidak tampak adanya tanda-tanda infeksi
dilakukan frontal sling pada kedua mata, pada semua pasien.

2
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Oftalmologi Pasca Operasi
Pasien Telekantus Mata Tinggi Lebar Margin Lipatan
(mm) Palpebra Palpebra Reflex Kelopak
Distance
1 35mm Kanan 7 22 +4 +
Kiri 7 22 +3 +
2 35mm Kanan 9 22 +4 +
Kiri 9 22 +4 +
3 35mm Kanan 9 21 +4 +
Kiri 8 21 +3 +
4 33mm Kanan 9 23 +4 +
Kiri 8 23 +4 +
5 33mm Kanan 8 23 +4 +
Kiri 8 23 +4 +
6 40mm Kanan 7 19 +2 +
Kiri 7 19 +2 +
7 35mm Kanan 9 24 +3 +
Kiri 9 24 +3 +

PEMBAHASAN infertilitas sedangkan tipe 2 dapat


Sindroma Blefarofimosis merupakan mengenai pria dan wanita. 4.
kelainan genetik yang bersifat autosomal Gambaran klinis dari Blefarofimosis
dominan dimana terdapat kelainan pada berhubungan dengan displasia dari
kromosom 3q23 yang bertanggung jawab palpebra berupa fisura palpebra yang
dalam pembentukan kelopak mata, dan kecil, epikantus inversus dan ptosis.
pada penelitian single linkage study Tanda-tanda lain berupa adanya
didapatkan bahwa terdapat kromosom telekantus dan kadang-kadang terjadi
lain yang bertanggung jawab terhadap ambliopia pada sebagian kasus.5
kelainan ini yaitu kelainan pada Epikantus ditandai dengan adanya
kromosom 7p21p13.9 Penelitian yang lipatan kecil pada kulit kantus medial
dilakukan oleh De Baire dkk dari palpebra inferior yang berjalan ke
menunjukkan terdapat mutasi gen palpebra superior dan terletak lebih
FOXL2 pada 67% pasien, dengan total lateral dari kantus medial. Lateralisasi
21 mutations (17 mutasi baru) disertai dari kantus medial terjadi pada semua
satu mikrodelesi. 9,10 kasus, namun pada beberapa kasus
Pada tahun 1971, Kohn dan Romano terdapat abnormalitas panjang pada
menggambarkan blefarofimosis ini ligamen kantus medial. Palpebra inferior
dengan lima tanda klinis, yaitu biasanya berbentuk cekungan abnormal
blefarofimosis, blefaroptosis, epikantus ke arah bawah yang cenderung terletak
inversus, dan telekantus, walaupun dapat menjauh dari bola mata. Cekungan ini
berhubungan dengan kelainan okular umumnya terdapat pada setengah lateral
lain, lakrimal, hidung dan aurikula.10 dari palpebra inferior. Pada beberapa
Menurut Zlotogora, Sindroma kasus, dinding medial orbita tampak
Blefarofimosis terbagi menjadi 2 tipe, lebih jauh dari normal. Pada keadaan
yaitu kelainan kelopak mata yang normal fisura palpebra horisontal pada
kompleks diikuti dengan kelainan pada dewasa adalah 25-30 mm, namun pada
ovarium, tipe kedua tanpa disertai Blefarofimosis berkisar 20-22 mm.2
kelainan pada ovarium. Tipe pertama Epikantus inversus cenderung membaik
mengenai wanita yang disertai dengan dengan bertambahnya usia. Pada

3
umumya hampir semua pasien sebelum keadaan epikantus diperbaiki
Blefarofimosis menderita ptosis yang atau dikurangi.2
tidak dapat diperbaiki dengan sempurna

Tabel 3. Perubahan Klinis Mata Subjek Sebelum dan Setelah Operasi


Pasien Sebelum Operasi Setelah Operasi
1

Penatalaksanaan sindroma buruk ( 4 mm), sehingga teknik koreksi


blefarofimosis ini adalah dengan bedah pada keluarga ini dilakukan
tindakan rekontruksi yang dilakukan dengan cara suspensi frontal (frontal
dengan teknik operasi Y to V plasty. sling) pada kedua mata.
Dengan cara membuat insisi berbentuk Y Koreksi ptosis yang digunakan pada
dari arah hidung ke kantus medial dijahit keluarga ini dilakukan dengan teknik
menjadi huruf V yang berguna untuk rhomboid ganda dan bahan sintetik yang
mengkoreksi lipatan epikantus dan digunakan adalah mersilene mesh.
memperpendek tendon kantus medial Keuntungan teknik rhomboid ganda
sehingga telekantus dapat dikoreksi.6 adalah letak jahitan akan berbentuk
Selanjutnya penatalaksanaan ptosis pada lengkungan kurva linier yang sejajar
semua pasien dilakukan dengan teknik dengan alis mata.
frontal sling pada mata kanan dan kiri. Pada pasien-pasien ini untuk
Ptosis pada keluarga ini termasuk mengatasi lagoftalmus diberikan salep
dalam golongan ptosis berat (kelopak mata bila hendak tidur, serta disarankan
mata 4 mm) dan fungsi levator yang untuk latihan mengedip. Prognosis untuk

4
keadaan ptosis keluarga ini adalah dubia 6. Collin JRO, A Manual of Systemic Eyelid
ad bonam. Surgery. 2nd edition. Churchill
Livingstone, Edinburgh, 1989 : 41-72,
DAFTAR PUSTAKA 156-158.
1. Baere, ED, et al. Spectrum of FOXL2 7. Yin Wong Tin. The Ophthalmology
gene mutations in blepharophymosis- Examination Review., World Scientific
ptosis-epicanthus inversus (BPES) Publishing Co. Pte. Ltd, Singapore, 2001
families demonstrates a genotype- : 291-293.
phenotype correlation. Human 8. Small, RG. Frontalis Sling for
Molecular Genetics, Vol.10, Oxford Congenital Ptosis. Manual of
University Press. Belgium, 2001, 1591- Oculoplastic Surgery. Levine, MR. 3th
1600. edition. Butterworth Heinemann.United
2. Johnson, CC. Surgical repair of the States of America. 2003 : 107-112.
syndrome of epicanthus inversus, 9. Elfride De Baere, Michael J. Dixon,
blepharophymosis and ptosis. Arch Kent W. Small, Ethylin W. Jabs, et all.
Ophthal. Pennsylvania. 1964 : 510-516. Spectrum of FOXL2 gene mutations in
3. McKusick Victor A. Blepharophymosis, blepharophimosis-ptosis-epicanthus
Ptosis, and Epicanthus inversus; BPES. inversus (BPES) families demonstrates a
Alternative titles; symbols. Johns genotypephenotype correlation. Human
Hopkins University. OMIM - Online Molecular Genetics. 2001; 10(15) :1591-
Mendelian Inheritance in Man.htm. 1600
updated : 9/20/2002. 10. S-Y Wu, L Ma, Y-J Tsai and J Z-C Kuo.
4. American Academy of Ophthalmology. One-stage correction for
Orbit, Eye Lid and Lacrimal system, blepharophimosis syndrome. Eye . 2008;
Basic and Clinical Science course, (22): 380388
section 7. American Academy of 11. Nuruddin, Murtuza FRCS, FCPS,
Ophthalmology, San Fransisco, 2003- Osmani, Munirujzaman MSc, DCO.
2004 :149-151. Two-Stage Correction of
5. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology A Blepharophimosis Syndrome: Analysis
Systemic Approach. 5th edition. of Surgical OutcomeAsia-Pacific
Butterworth Heineman, Philadelphia, Journal of Ophthalmology. Eye . 2012;
2002 : 36-39. 1(6): 345348

Anda mungkin juga menyukai