NEGARA MARITIM
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Ekonomi Pembangunan
Yang dibina oleh Bapak Agus Sumanto, S.E., M.SA.
Oleh:
Desi Sukamto (130431605465)
Devan Putra Prayoga (130431605462)
Dwi Wuri Rahayu (130431611264)
Eka Adiratna (130431615949)
Eka Bayu Setya Putra (130431611274)
1
April 2015
2
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
kami bisa menyalesaikan makalah Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia
Sebagai Negara Maritim ini dibuat berdasarkan tugas matakuliah Belajar dan
Pembelajaran yang dibina oleh Bapak Agus Sumanto. Tujuan penulisan makalah
ini tidak lain untuk meningkatkan kepahaman secara mendalam mengenai strategi
pembangunan ekonomi Indonesia, yang kelak berdampak terhadap kemampuan di
bangku perkuliaan yang lebih mumpuni. Penulis menyadari bahwa makalah yang
ditulis ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu tim penulis
mengharapkan masukan atau kritikan yang bermanfaat untuk penulis dalam
penyusunan makalah kami di lain hari.
3
Penulis
4
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................. 2
Daftar Isi...................................................................................................... 3
BAB I Pendahuluan..................................................................................... 4
1.1........................................................................................................... Latar
Belakang........................................................................................... 5
1.2...........................................................................................................
Rumusan Masalah............................................................................ 5
BAB II Pembahasan..................................................................................... 6
2.1........................................................................................................... Visi
Kelautan dalam Membangun Negara Maritim................................. 6
2.2........................................................................................................... Posisi
Strategis Wilayah Indonesia............................................................. 7
2.3........................................................................................................... Ocean
Policy............................................................................................... 11
2.4........................................................................................................... Arah
Strategi Pembangunan Negara Maritim........................................... 14
2.5...........................................................................................................
Tatakelola Kelautan......................................................................... 21
BAB III Kesimpulan.................................................................................... 23
Daftar Rujukan............................................................................................. 24
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa visi kelautan dalam membangun negara maritim?
2. Dimana letak posisi strategis wilayah Indonesia?
3. Apa yang dimaksud dengan ocean policy?
4. Bagaimana arah strategi pembangunan negara maritim?
5. Apa yang dimaksud dengan tatakelola kelautan?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui visi kelautan dalam membangun negara maritim.
2. Mengetahui dimana letak posisi strategis wilayah Indonesia.
3. Mengetahui tentang ocean policy.
4. Mengetahui arah strategi pembangunan negara maritim.
5. Mengetahui tentang tatakelola kelautan.
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
mewujudkan Indonesia sebagai Negara Maritim yang mensejahteraan rakyat
Indonesia. Keberhasilan ocean governance tidak dapat dilepaskan dari aransemen
kelembagaan, karena kelautan adalah multi sektor dan multi displin. Hal ini
sebagaimana yang disarankan Nichols dan Monahan (2003), bahwa dalam
menunjang mekanisme kerja kebijakan kelautan dan tatakelola kelautan, maka
diperlukan aransemen kelembagaan (institutional arrangement).
9
yang merupakan kelanjutan daratan wilayahnya sampai jarak 200 mil laut dari
garis dasar dan dalam hal tertentu dapat sampai 350 mil laut, tergantung jarak
tepian kontinennya.
Keempat, zona tambahan (contiguous zone), adalah zona maritim yang
berdampingan dengan laut teritorial dan merupakan area tambahan (Pasal 33
UNCLOS 1982). Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis
pangkal yang sama untuk lebar laut teritorial. Pada zona tambahan memiliki
kekuasaan terbatas untuk penegakkan hukum bea cukai, keimigrasian, fiskal, dan
saniter.
Selain penyelesaian batas maritim, ke depan, Indonesia harus mampu
melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam laut di luar wilayah
yurisdiksi Indonesia, seperti klaim terhadap landas kontinen sejauh 350 mil di
wilayah Samudera Hindia dan kawasan dasar samudera. Dalam konteks ekonomi
yang lain, Indonesia harus mampu memanfaatkan selat strategis seperti Selat
Malaka dan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai sumber pendapatan
negara dan rakyat, melalui pengembangan berbagai aktivitas ekonomi.. Dalam
pengembangan negara maritim, Indonesia harus memiliki visi outward looking
didasarkan pada peraturan internasional yang dimungkinkan untuk mendapatkan
sumberdaya alam laut secara global maupun mengembangkan kekuatan armada
laut nasional untuk dapat menguasai pelayaran internasional dengan menciptakan
daya saing sehingga kapal-kapal berbendera Indonesia menguasai pelayaran
internasional dan memiliki kekuatan laut (sea power) yang unggul.
Pengembangan pelabuhan-pelabuhan Indonesia yang kompetitif, efisien dan
maju disegenap wilayah Indonesia yang mampu mendorong terbangunnya
aktivitas ekonomi di seluruh kepulauan maupun jalur ALKI sehingga manfaat
peningkatan perdangangan dunia dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan
kemakmuran disegenap penjuru nusantara. Berkembangnya aktivitas ekonomi
berbasis sumberdaya kelautan dan fungsi laut harus dilakukan secara terpadu
dalam matra darat, laut dan udara.
Posisi Indonesia secara geo-poilitik dan geo-strategis tersebut harus
didukung dengan berdaulat terhadap wilayah NKRI secara nyata dilapangan
sehingga batas-batas wilayah dengan negara tetangga secara nyata dikuasai oleh
10
Indonesia melalui penguasaan yang efektif dan sea power yang unggul.
Keadaan tersebut juga harus diperkuat kemampuan mempertahankan dari segenap
ancaman baik dari dalam maupun dari luar NKRI melalui kemampuan maritime
security yang disegani secara global. Posisi strategis wilayah tersebut selanjutnya
dapat memberikan keunggulan Indonesia secara geo-ekonomi melalui
kemampuan mengelola dan memanfaatkan secara berkelanjutan sehingga
menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun
demikian penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan yang dilakukan secara
terpadu antara kawasan darat dan laut dalam wilayah NKRI serta kemampuan
memanfaatkan aktivitas global yakni pelayaran dan perdagangan global maupun
eksploitasi sumberdaya yang dimungkinkan berdasarkan peraturan internasional
(e.g. wilayah 200-350 mil laut, artik, antartitika) perlu disiapkan dengan seksama
demi keberlanjutan bangsa dan negara Indonesia dimasa yang akan datang.
11
5 Vietnam - UU No. 18/2007
6 Filipina - - -
7 Palau - -
UU No. Keppres No.
8 Papua Nugini UU No. 6 /1973
6/1973 21/1982
Canberra,
Perth, 16-02-
18/1971
9 Australia 1997 (belum
Jakarta, 9-10-
diratifikasi)
1972
10 Timor Leste - - - -
Jumlah Batas Maritim
Antar Negara yang
3 0 2 6
telah Dirafifikasi /
Diperjanjikan
Jumlah Batas Maritim
Antar Negara yang 1 3 7 3
Belum Diperjanjikan
Sumber: Dekin (2009)
Tidak perlu dilakukan perjanjian batas maritim
- Belum dilakukan perjanjian batas maritim
Keterangan:
1)
Batas laut teritorial yang diperjanjikan baru mencakup segmen Selat Malaka
bagian Tengah Timur dan Selatan, segmen Selat Singapura bagian Timur
belum diperjanjikan
2)
Batas Laut Wilayah di Selat Singapura diratifikasi dengan UU No 7/1973
(baru sebagian). Masih diperlukan penetapan batas di segmen dan Timur dan
akan menjadi trilateral dengan Malaysia
12
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU
RPJPN) disebutkan bahwa pembangunan adalah untuk mewujudkan
INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL, melalui Mewujudkan
Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional. Visi dan misi tersebut dilaksanakan dengan
menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar
pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas
sumberdaya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi; mengelola wilayah laut nasional untuk
mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi
kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan
laut secara berkelanjutan. Dengan demikian wilayah yang dikuasai dan dijaga
kedaulatannya dapat untuk memajukan bangsa dan mampu menjamin
kemakmuran antar generasi (intergerational welfare) bangsa Indonesia.
13
kebijakan di negeri ini baik pada tataran eksekutif (termasuk militer dan polisi),
legislatif, yudikatif serta segenap komponen bangsa.
Dalam rangka mengembangkan ocean policy maka diperlukan persyaratan
yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, kebijakan tersebut harus memiliki instrumen
yang efektif untuk menjalankannya (policy tools dll), dan instrumen tersebut
sebaiknya: (i) dapat diaplikasikan (applicability) secara leluasa dan universal serta
dapat ditegakkan secara hukum (enforceability); (ii) mempunyai kewenangan
administratif dan pengelolaan yang jelas. Kedua, kebijakan tersebut dapat
memberikan dampak terhadap perekonomian domestik maupun global. ketiga,
kebijakan tersebut harus efisien dan efektif atau cost effective secara ekonomi
serta adil (fairness), sehingga mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat. Keempat, kebijakan harus mampu mendorong kemandirian
rakyat dan berlandaskan nilai luhur agama dan moralitas.
Dengan demikian, keberadaan ocean policy akan memberikan sebuah
payung dan guide line bagi semua stakeholders dalam pembangunan nasional.
Pembangunan bidang kelautan menjadi sangat penting bagi keberlanjutan bangsa
dan negara sehingga bidang kelautan merupakan pilar utama pembangunan
ekonomi yang memiliki keterpaduan dengan bidang lainnya yang berbasiskan
aktivitas ekonomi daratan yang mampu memakmurkan bangsa dalam sebuah
negara kepulauan.
Sedangkan dalam konteks internasional, ocean policy dipahami sebagai
langkah antisipatif terhadap perubahan akibat adanya globalisasi dunia. Hal ini
telah diingatkan oleh Friedheim (2000) bahwa dampak dari perubahan politik
dunia sejak tahun 1980an yang ditandai oleh globalisasi dimana terjadi perubahan
cepat dalam bidang transportasi, komunikasi, interdependensi ekonomi,
peningkatan jumlah penduduk, meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya alam
dan biodiversitas spesies dunia serta berakhirnya perang dingin (dimana terjadi
perlombaan senjata: kimia, biologi dan nuklir) dan pada akhirnya memunculkan
suatu kesadaran akan pentingnya lingkungan di seluruh masyarakat dunia.
Kusumastanto (2003) menyatakan bahwa karakteristik laut berbeda dengan
darat, keberlanjutan (sustainability) pembangunan kelautan ditentukan oleh
kelestarian sumberdaya pulih (renewable resources) sehingga perlu adanya
14
ambang batas (threshold) aktivitas pembangunan ekonomi sektor lainnya pada
tingkat yang tidak membahayakan kelestarian sumberdaya pulih. Dengan
demikian keberhasilan pengelolaan pembangunan kelautan (ocean development
management) memerlukan keterpaduan perencanaan dan implementasi
pembangunan yang kuat agar tidak mengulang kesalahan pengelolaan
pembangunan di darat.
Secara global seharusnya semua negara di dunia mampu mengembangkan
suatu pola pemanfaatan yang berkelanjutan dan mempelajari bagaimana
mengimplementasikan prinsip pengelolaan kelautan (ocean management) yang
lestari karena laut setiap negara saling berhubungan (interconnected). Dalam
melaksanakan hal tersebut diperlukan kalkulasi biaya politik dan ekonomi atau
memahami bagaimana caranya memperoleh manfaat ekonomi secara yang
berkelanjutan dan konsisten dengan prinsip pengelolaan kelautan yang lestari.
Sekalipun pemikiran ini nampaknya lebih sustainable management minded
tetapi substansinya adalah bahwa ocean policy penting bagi negara-negara yang
masuk kategori wilayah kepulauan atau yang memiliki kepentingan terhadap
wilayah laut sangat tinggi dan masa depannya ditentukan oleh keberlanjutan
pengelolaan laut, seperti halnya negara-negara yang menguasai dunia sebelum
abad ke 19 karena memiliki ocean policy yang kuat sehingga menjadi negara
maritim yang kuat.
Sedangkan secara mikro adalah bagaimana ocean policy tersebut
diwujudkan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang kongkrit dan terfokus
untuk pembangunan kelautan yang bersifat integral. Kebijakan yang penting saat
ini untuk direalisasikan adalah bagaimana kelautan dapat mengentaskan bangsa
ini dari keterpurukan ekonomi dan memperbaiki kehidupan rakyat kecil yang
terhimpit di berbagai kawasan nusantara yakni kebijakan pengembangan investasi
bidang kelautan yang mencakup tujuh sektor yakni perikanan, pariwata bahari,
pertambangan laut, industri maritim, transportasi laut, bangunan kelautan, dan
jasa kelautan lainnya. Dengan demikian, ocean policy dapat dijabarkan oleh
pemerintah pusat dan daerah sebagai pembangunan yang berpihak kepada rakyat
serta kelautan dapat menjadi basis pembangunan ekonomi melalui adanya
15
keterpaduan antara aktivitas ekonomi kelautan dan daratan sehingga Indonesia
menjadi negara kepulauan yang makmur dan sejahtera.
16
Pengembangan perekonomian Indonesia belum memanfaatkan potensi
kelautan sengan sungguh-sungguh yang ditunjukkan belum optimumnya perhatian
terhadap ekonomi kelautan Indonesia. Potensi kekayaan pesisir dan laut belum
menjadi basis ekonomi bagi pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat dari
masih relatif tidak berkembangnya kontribusi ekonomi bidang kelautan dalam
GDP nasional. Dibandingkan nilai ekonomi kelautan Jepang, Korea Selatan, Cina,
mampu menyumbang hingga 48,4% bagi PDB nasionalnya, sedangkan ekonomi
kelautan Vietnam bahkan memberikan kontribusi sebesar 57,63% dari total GDP
pada tahun 2007 maka nampak ekonomi kelautan Indonesia kurang berkembang
walaupun potensi yang dimilikinya lebih besar.
Kontribusi ekonomi bidang kelautan dinegara-negara Eropa, juga
menunjukkan perkembangan, bahkan ada yang mencapai hampir 60% PDB.
Proporsi ini bisa dikatakan besar jika dilihat panjang pantai dan kekayaan laut
mereka memang relatif kecil jika dibandingkan Indonesia.
Bila dilihat dari kontribusi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Bruto
dibandingkan bidang lainnya sudah menunjukkan peran yang cukup besar namun
kurang berkembang. Berdasarkan perhitungan dengan berbagai keterbatasan data
yang tersedia, sejak tahun 1995-2005 kontribusi ekonomi bidang kelautan
diperkirakan berkisar pada 20,06 % pada tahun 2000 hingga 22,42% dari total
PDB pada tahun 2005, sektor pertambangan (minyak, gas dan mineral)
memberikan kontribusi terbesar diikuti industri maritim. Perkembangan
kontribusi bidang kelautan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. sebagai berikut:
17
Maritim 4 7 7 8 8 2 0 1 5 8 7
-
Pengilang
1,0 1,0 1,5 1,4 1.2 1,2 2,0 2,0 2,0 2,0 2,1
an
5 3 8 0 0 2 9 0 1 5 0
Minyak
Bumi
0,9 1,1 1,4 1,8 1,0 1,0 1,2 1,1 1,1 1,1 1,1
-LNG
9 1 9 8 8 3 0 1 3 2 4
-Industri
0,7 0,7 0,9 1,2 1,1 1,0 0,5 0, 0,7 0,5 0,5
maritim
0 3 0 0 0 7 1 70 1 1 3
lainnya
Transport 0,8 0,8 1,0 1,5 1,5 1,5 0,7 1,3 1,6 1,4 1,4
4.
asi Laut 3 6 8 5 1 8 4 9 7 9 8
Pariwisat 0,7 0,7 0,8 2,2 1,5 1,4 1,4 1,5 1,5 1,5 1,5
5.
a Bahari 9 3 6 1 3 4 7 6 2 1 2
Bangunan 0,7 0,6 1,0 1,5 1,2 1,0 0,9 0,9 0,5 0,7 1,0
6.
Kelautan 4 5 8 0 2 8 6 6 0 7 1
Jasa
0,9 0,7 1,5 1,1 1,1 1,1 1,4 1,2 1,2 1,3 1,3
7. Kelautan
7 8 6 9 5 0 6 0 8 4 2
Lainnya.
Jumlah
PDB 12, 11, 14, 18, 18, 20, 20, 20, 20, 20, 22,
Bidang 37 41 39 13 6 06 15 71 77 83 42
Kelautan
Sumber: Kusumastanto (1997, 2000, 2003), PKSPL-IPB (2007)
Sektor-sektor yang ada dalam bidang ekonomi kelautan ini memiliki nilai
ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang baik. ICOR merupakan indikator
untuk mengukur sejauh mana efisiensi dari suatu investasi dimana semakin rendah
angka ICOR menunjukkan investasi yang dilakukan semakin efisien. Berdasarkan
perhitungan Tabel Input-Output 2005, bahwa nilai ICOR terendah terdapat pada
sektor wisata bahari dengan nilai indeks ICOR sebesar 3,01. Hal ini menunjukkan
bahwa sektor wisata bahari merupakan bidang yang paling efisien dalam
penanaman investasi jika dibandingkan dengan bidang lain. Dalam hal efesiensi
18
penyerapan tenaga kerja dapat digunakan adalah ILOR (Incremental Labour
Output Ratio). Semakin besar nilai ILOR, maka penyerapan tenaga kerjanya akan
semakin tinggi. Perhitungan pada tahun 2005 menunjukkan koefisien ILOR
terbesar adalah sektor perikanan yaitu sebesar 14,02. Ini berarti sektor perikanan
adalah sektor yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi. Oleh karena itu,
pengembangan sektor ini akan mampu menjadi sebuah solusi bagi pengurangan
angka pengangguran terutama masyarakat di pesisir. Nilai ICOR dan ILOR ke
tujuh sektor dalam bidang kelautan tersebut disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai ICOR dan ILOR Bidang Kelautan berdasarkan Tabel I-O tahun
2005
19
jika dibandingkan dengan negara-negara produsen perikanan lainnya seperti China
(17 juta ton/tahun) dan Peru (10,7 juta ton/tahun). Produksi perikanan ini hampir
sama dengan negara-negara yang luas lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia
seperti Jepang (5 juta ton/tahun) dan Chile (4,3 juta ton/tahun). Salah satu faktor
yang menyebabkan rendahnya produksi adalah terjadinya kerusakan ekosistem
pesisir dan laut serta maraknya illegal fishing di Perairan laut Indonesia.
b. Sektor Wisata Bahari
Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang besar, selain potensi yang
didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna
maupun kamajemukan budaya yang menarik wisatawan. Pembangunan wisata
bahari dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata
secara optimal. Berbagai obyek dan daya tarik wisata yang dapat dimanfaatkan
adalah wisata alam (pantai), keragaman flora dan fauna (biodiversity), seperti
taman laut wisata alam (ecotourism), wisata bisnis, wisata budaya, maupun wisata
olah raga. Misalnya kawasan terumbu karang di seluruh perairan Indonesia
luasnya mencapai 7.500 km2 dan umumnya terdapat di wilayah taman nasional
laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu karang
tersebut. Potensi wisata bahari tersebut tersebar di sekitar 241 daerah
Kabupaten/Kota.
Statistik kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia menunjukkan
terjadinya peningkatan dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Kunjungan
wisatawan mancanegara pada tahun 2009 merupakan kunjungan tertinggi dalam
sepuluh tahun terakhir yaitu mencapai 6.323.730 kunjungan atau naik 1,43%.
Penerimaan devisa negara dari sektor pariwisata sejumlah US$ 6.292,3 juta atau
mengalami peningkatan sebesar 20,19% (Depbudpar, 2009).
c. Sektor Transportasi Laut
Jumlah kunjungan kapal di seluruh pelabuhan mengalami fluktuasi,
meskipun secara umum mengalami trend positif. Dalam kurun waktu 14 tahun
terakhir (1995-2008) di beberapa pelabuhan strategis telah mengalami
peningkatan jumlah kunjungan kapal lebih dari 45%. Tidak hanya itu,
penambahan jumlah gross ton kapal juga mengalami peningkatan lebih dari 50%.
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran kapal yang berlayar di perairan Indonesia
20
semakin bertambah besar dan nilai perdagangan melalui jasa perhubungan laut
semakin meningkat. Berdasarkan Kantor Administrasi Pelabuhan Indonesia,
jumlah kunjungan kapal diseluruh pelabuhan di Indonesia pada tahun 2008
mencapai 729.564 unit dengan jumlah total ukuran kapal sebesar 822.968.000 GT
(Dephub, 2008).
d. Sektor Industri Maritim
Industri maritim adalah salah satu sektor dalam bidang kelautan yang dapat
menjadi sumberdaya ekonomi potensial sebagai penyumbang penerimaan devisa
negara. Kegiatan ekonomi industri maritim ini diantaranya adalah yang mencakup
industri pengilangan minyak bumi dan LNG serta industri yang menunjang
kegiatan ekonomi di pesisir dan laut, yaitu industri galangan kapal, mesin kapal
dan jasa perbaikannya (docking).
Industri maritim nasional yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah
industri galangan kapal. Industri ini telah berkembang dan terbagi dalam tiga
kategori industri, yaitu: (i) industri pembangunan kapal, (ii) industri mesin, spare
parts, dan komponen yang diperlukan dalam konstruksi kelautan, serta (iii)
industri pemeliharaan dan perbaikan kapal. Dalam masa dua dekade terakhir,
ratusan hingga ribuan kapal telah dibangun oleh galangan kapal nasional yang
meliputi kapal niaga, kapal untuk tujuan tertentu, kapal ikan, dan kapal perang,
industri ini juga memerlukan dukungan industri mesin kapal dan sebagainya.
Dalam konteks pemeliharaan, galangan kapal Indonesia belum mampu melakukan
perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000 DWT, karena ukuran
docking domestik sangat terbatas.
e. Sektor Pertambangan (Energi dan Sumberdaya Mineral)
Menurut BPPT, dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam
Indonesia, sekitar 70% atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40
cekunguan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 cekungan baru diteliti
sebagian, sedangkan 25 cekungan belum terjamah. Diperkirakan ke 40 cekungan
itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7
miliar barel yang diketahui pasti, sebanyak 7,5 miliar barel diantaranya sudah
dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89.5 miliar barel berupa kekayaan belum
terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar
21
barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8
miliar terdapat di laut dalam. Cadangan minyak bumi di daerah pesisir di
Indonesia sampai dengan tahun 2007 telah mencapai 3,99 milliar barel dan yang
potensial mencapai 4,41 milliar barrel. Cadangan gas bumi di daerah pesisir secara
terbukti telah mencapai 106 TKK dan potensinya mencapai 59 TKK (DESDM,
2007). Selain potensi tersebut berbagai potensi mineral seperti timah, mangan,
bauksit, bijih besi, fosfor dan energi terbarukan yang tersedia di wilayah pesisir
dan laut Indonesia namun belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi tersebut
dapat dikembangkan apabila investasi dan keberpihakan kebijakan terhadap
kelautan dapat ditingkatkan.
f. Sektor Bangunan Kelautan
Sektor bangunan kelautan merupakan potensi ekonomi kelautan yang
diantaranya berasal dari kegiatan penyiapan lahan sampai konstruksi bangunan
tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal di wilayah pesisir dan laut. Salah
satu bangunan kelautan yang menjadi fokus utama adalah bangunan pelabuhan.
Pelabuhan adalah pusat aktivitas perekonomian barang dan jasa (antar pulau,
ekspor maupun ekspor), sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam
pembangunan kelautan. Sistem pelabuhan Indonesia disusun menjadi sebuah
sistem nasional yang terdiri atas sekitar 1.887 pelabuhan pada tahun 2007.
Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan strategis utama, yang dianggap
sebagai pelabuhan komersial dan dioperasikan oleh empat BUMN yakni PT
Pelabuhan Indonesia I, II, III and IV maupun pelabuhan lainnya. Selain potensi
tersebut aktivitas bangunan kelautan lainnya seperti konstruksi bangunan lepas
pantai, pipa dan kabel bawah laut merupakan peluang ekonomi yang sangat
potensial bagi Indonesia.
g. Sektor Jasa Kelautan
Jasa kelautan merupakan salah satu sektor yang berpotensi menjadi sumber
penerimaan devisa negara melalui beberapa kegiatan yang bersifat menunjang dan
memperlancar kegiatan pengangkutan yang meliputi jasa pelayanan pelabuhan,
jasa pelayanan keselamatan pelayaran dan kegiatan yang memanfaatkan kelautan
sebagai jasa seperti perdagangan, pendidikan, pelatihan, penelitian dan lain-lain.
Lebih rinci lagi potensi ekonomi dari sektor jasa kelautan dapat berupa aktifitas
22
ekonomi yang meliputi jasa perdagangan, penelitian, arkeologi laut dan benda
muatan kapal tenggelam, jasa pengelolaan kabel dan pipa di dasar laut serta jasa-
jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengolahan
limbah secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang
kehidupan manusia.
Di bidang pengembangan sumberdaya manusia khususnya dalam bentuk
pendidikan dan pelatihan guna menghasilkan tenaga yang terampil dalam
melaksanakan pembangunan pembangunan kelautan di dalam maupun luar negeri,
diantaranya dalam rangka mengisi peluang kebutuhan tenaga kepelautan
(seafarer) yang dibutuhkan oleh dunia. Selain itu, keamanan dan keselamatan
pelayaran merupakan sektor ekonomi yang potensial disamping peran TNI AL
dalam menjaga kedaulatan NKRI.
23
bidang unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan
pembangunan yang bersifat terkordinasi dan terintegrasi antar institusi pemerintah
dan sektor pembangunan. Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan
sebuah tatakelola kelembagaan kelautan (ocean governance).
Kooiman et.al (2005) mendefinisikan tatakelola (governance) sebagai
keseluruhan interaksi antara sektor publik dan sektor privat untuk memecahkan
persoalan publik (societal problems) dan menciptakan kesempatan sosial (social
opportunities). Dalam konteks kelautan, tata kelola dapat didefinisikan sebagai
sejumlah kebijakan dalam bidang hukum, sosial, ekonomi, dan politik yang
digunakan untuk mengatur dan mengelola kelautan dalam rangka mencapai
kesejahteraan bangsa. Tatakelola memiliki dimensi internasional, nasional dan
lokal dan termasuk aturan-aturan yang mengikat secara hukum. Dengan demikian,
pendekataan kelembagaan (institutional arrangement) diharapkan mampu
mewujudkan Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional (National Ocean
Development Policy) yang terintegrasi dan holistik.
Institutional arrangement mencakup dua dominan dalam suatu sistem
ketatanegaraan yakni eksekutif, legislative dan yudikatif. Dalam konteks itu, maka
kebijakan kelautan pada akhirnya menjadi kebijakan negara yang nantinya
menjadi tanggung jawab bersama pada semua level institusi eksekutif, legislatif
dan yudikatif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor
pembangunan. Sementara pada level legislatif adalah bagaimana lembaga ini
mampu menciptakan instrumen kelembagaan (peraturan perundang-undangan)
pada level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan
kelautan (Kusumastanto, 2003, 2010).
24
BAB III
KESIMPULAN
25
Daftar Rujukan
Badan Pusat Statistik [BPS]. 2010. Statistik Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia
Muhjidin, A.M. 1993. Status Hukum Perairan Kepulauan Indoesia dan hak Lintas
Kapal Asing. Bandung: Alumni.
26