KEBUTUHAN PENCERNAAN
(GASTROENTRITIS AKUT/GEA)
MAKALAH
oleh
Paian Tua
TINJAUAN TEORETIS
2.1 GASTROENTERITIS
1.Konsep Penyakit Gastroenteritis
a) Pengertian
Gastroentritis ( GE ) adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan
usus yang memberikan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah (Sowden,et
all.1996).
Gastroenteritis diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau
bentuk tinja yang encer dengan frekuensi yang lebih banyak dari biasanya
(FKUI,1965).
Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinal yang
disebabkan oleh bakteri yang bermacam-macam,virus dan parasit yang patogen
(Whaley & Wongs,1995).
Gastroenteritis adalah kondisi dengan karakteristik adanya muntah dan
diare yang disebabkan oleh infeksi,alergi atau keracunan zat makanan ( Marlenan
Mayers,1995 ).
46
b) Anatomi Fisiologi Usus Halus
Gbr.1.Usus Halus
Usus haus adalah tabung yang kira-kira sekitar 2,5m dalam keadaan hidup.
Usus halus memanjang dari lambung dalam atau sampai katup ileo-kolika tempat
bersambung dangan usus besar.Usus halus terletak di daerah umbilikus dan
dikelilingi oleh usus besar. Selama proses pencernaan normal, kimus
meninggalkan lambungdan memasuki usus halus. Usus halus merupakan sebuah
saluran yang berdiameter 2,5 cm, merupakan saluran paling panjang tempat
proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan. Lapisan usus halus teriri dari :
Lapisan mucosa (sebelah atau bagian dalam)
Lapisan otot melingkar (m.sirkular)
Lapisan otot pemanjang(m. longitudinal)
Lapisan serosa (sebelah atau bagian luar)
Terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum.enzim dari pancreas(amylase)
dan empedu di lepaskan ke duodenum.Nutrisi hampir seluruhnya di absorbs oleh
duodenum dan jejunum, ileum mengabsorbs vitamin tertentu, zat besi dan garam
empedu.
1. Duodenum
Duodenum di sebut juga usus duabelas jari, panjangnya 25cm, berbentuk
sepatu kuda melengkung kekiri, pada lengkungan ini, terdapat pancreas. Pada
bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit dan disebut
46
papila. Pada papilla vaterii ini bermuara sauran empedu(duktus coledocus dan
saluran pancreas(ductus pankreticus). Dinding duodenum mempunyai lapisan
mucosa yang banyakmengandung kelenjar, kelenjar ini di sebut kelenjar-kelenjar
Brunner., berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
ABSORBSI
46
d. Sekresi cairan usus.
e. Menerima empedu, getah pancreas, dan absorpsi air, garam,dan vitamin.
c) Etiologi
d) Patofisiologi
46
PATHOFLOW
46
e) Manifestasi Klinis
a. Diare.
b. Muntah.
c. Demam.
d. Nyeri abdomen
e. Membran mukosa mulut dan bibir kering
f. Kehilangan berat badan
g. Tidak nafsu makan
h. Badan terasa lemah
f) Insiden
Insiden paling tinggi pada umur 1-5 tahun
g) Komplikasi
a. Dehidrasi
b. Renjatan hipovolemik
c. Kejang
d. Bakterimia
e. Mal nutrisi
f. Hipoglikemia
g. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus.
h) Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah
astrup, bila memungkinkan dengan menentukan PH keseimbangan
analisa gas darah atau astrup, bila memungkinkan.
Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui fungsi
ginjal.
b. Pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum
Untuk mengetahui jasad renik atau parasit secara kuantitatif, terutama
dilakukan pada klien diare kronik.
i) Penatalaksanaan medis
a. Pemberian cairan.
46
Pemberian cairan, pada klien Diare dengan memperhatikan derajat
dehidrasinya dan keadaan umum.
1. Dehidrasi ringan
Kehilangan cairan 2 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor
kulit kurang elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada keadaan syok.
2. Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit
jelek, suara serak, penderita jatuh pre syok nadi cepat dan dalam.
3. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 - 10 % dari bedrat badan dengan gambaran klinik seperti
tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai
koma, otot-otot kaku sampai sianosis.
b. Diatetik
adalah pemberian makan dan minum khusus kepada klien dengan tujuan
meringankan, menyembuhkan serta menjaga kesehatan klien.Adapun hal yang
perlu diperhatikan :
Memberikan asi.
Memberikan bahan makanan yang mengandung kalori, protein, vitamin,
mineral dan makanan yang bersih.
46
c. Obat-obatan.
Obat anti sekresi.
Obat anti spasmolitik.
Obat antibiotik.
a. Pengkajian
46
Pola hygiene : kebiasaan mandi setiap harinya.
Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya
nyeri akibat distensi abdomen.
6. Pemerikasaan fisik.
a. Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah, kesadaran
composmentis sampai koma, suhu tubuh tinggi, nadi cepat dan lemah,
pernapasan agak cepat.
b. Pemeriksaan sistematik :
Inspeksi : mata cekung, ubun-ubun besar, selaput lendir, mulut dan bibir
kering, berat badan menurun, anus kemerahan.
Perkusi : adanya distensi abdomen.
Palpasi : Turgor kulit kurang elastis
Auskultasi : terdengarnya bising usus.
c. Pemeriksaan tingkat tumbuh kembang.
d. Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi
sehingga berat badan menurun.
e. Pemeriksaan penunjang.
f.Pemeriksaan tinja, darah lengkap dan duodenum intubation yaitu untuk
mengetahui penyebab secara kuantitatip dan kualitatif.
b. Diagnosa Keperawatan
c. Intervensi
Diagnosa 1.
46
Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan output cairan yang berlebihan.
Tujuan :
Devisit cairan dan elektrolit teratasi
Kriteria hasil:
Tanda-tanda dehidrasi tidak ada, mukosa mulut dan bibir lembab, balan
cairan seimbang
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital. Observasi tanda-tanda dehidrasi. Ukur input
dan output cairan (balan cairan). Berikan dan anjurkan keluarga untuk
memberikan minum yang banyak kurang lebih 2000 2500 cc per hari.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan, pemeriksaan lab
elektrolit. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian cairan rendah sodium.
Diagnosa 2.
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubuingan dengan
mual dan muntah.
Tujuan :
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi teratasi
Kriteria hasil :
Intake nutrisi klien meningkat, diet habis 1 porsi yang disediakan, mual,
muntah tidak ada.
Intervensi :
Kaji pola nutrisi klien dan perubahan yang terjadi. Timbang berat badan
klien. Kaji faktor penyebab gangguan pemenuhan nutrisi. Lakukan pemeriksaan
fisik abdomen (palpasi, perkusi, dan auskultasi). Berikan diet dalam kondisi
hangat dan porsi kecil tapi sering. Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan
diet klien.
Diagnosa 3.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.
Tujuan :
Nyeri dapat teratasi
46
Kriteria hasil :
Nyeri dapat berkurang / hilang, ekspresi wajah tenang
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital. Kaji tingkat rasa nyeri. Atur posisi yang
nyaman bagi klien. Beri kompres hangat pada daerah abdomen. Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian therapi analgetik sesuai indikasi.
Diagnosa 4.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit,
prognosis dan pengobatan.
Tujuan
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil :
Keluarga klien mengerti dengan proses penyakit klien, ekspresi wajah
tenang, keluarga tidak banyak bertanya lagi tentang proses penyakit klien.
Intervensi :
Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
tentang proses penyakit klien. Jelaskan tentang proses penyakit klien dengan
melalui pendidikan kesehatan. Berikan kesempatan pada keluarga bila ada yang
belum dimengertinya. Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
d. evaluasi
1. Volume cairan dan elektrolit kembali normal sesuai kebutuhan.
2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh.
3. Integritas kulit kembali normal.
4. Rasa nyaman terpenuhi.
5. Pengetahuan kelurga meningkat.
6. Cemas pada klien teratasi.
46
a. Pengertian
Typhoid
adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella.
( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid
adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella
type A. B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman
yang terkontaminasi.
b. Etiologi
Penyabab penyakit ini adalah Salmonella typhi, Salmonella para typhii A,
dan Salmonella paratyphiiB. Basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar,
tidak berspora, mempunyai 3 macam antigen yaitu antigen O, antigen H, dan
antigen VI. Dalam serum penderita terdapat zat (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut.
Kuman tumbuh pada suasan aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15
41C (optimum 37C) dan pH pertumbuhan 6 8.
c. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman
salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh
orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan
dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella
thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk
ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid.
Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran
46
darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini
kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan
oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan
bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses
inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang
PATHOFLOW
Terlampir
d. Manifestasi klinis
Masa inkubasi rata-rata 2 minggu gejalanya: cepat lelah, malaise,
anoreksia, sakit kepala, rasa tidak enak di perut, dan nyeri seluruh badan. Demam
berangsur-angsur naik selama minggu pertama. Demam terjadi terutama pada sore
dan malam hari (febris remitten). Pada minggu 2 dan 3 demam terus menerus
tinggi (febris kontinue) dan kemudian turun berangsur-angsur.
Gangguan gastrointestinal, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor-
berselaput putih dan pinggirnya hiperemis, perut agak kembung dan mungkin
nyeri tekan, bradikardi relatif, kenaikan denyut nadi tidak sesuai dengan kenaikan
suhu badan (Junadi, 1982).
e. Insiden
Di Indonesia, diperkirakan angka kejadian penyakit ini adalah 300 810
kasus per 100.000 penduduk/tahun. Insiden tertinggi didapatkan pada anak-anak.
Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan dan sembuh sendiri lalu menjadi
kebal. Insiden penderita berumur 12 tahun keatas adalah 70 80%, penderita
umur antara 12 dan 30 tahun adalah 10 20%, penderita antara 30 40 tahun
adalah 5 10%, dan hanya 5 10% diatas 40 tahun.
f. Komplikasi
46
1.)Komplikasi intestinal:
a.Perdarahan usus
b.Perforasi usus
c.Ileus paralitik
2)Komplikasi ekstra-intestinal:
a.Komplikasi kardiovaskuler
Kegagalan sirkulasi perifer ( Renjatan Sepsis ), miokarditis-trombosis dan
tromboflebitis.
b.Komplikasi darah
Anemia hemolitik, trombositopenia dan atau disseminated intravaskuler
coagulation ( DIC ) dan sindrom uremia hemolitik.
c.Komplikasi paru
Pneumonia, empiema dan pleuritis
d.Komplikasi hepar dan kandung empedu
Hepatitis dan kolesistis
e.Komplikasi ginjal
Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
f.Komplikasi tulang
Osteomilitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g.Komplikasi neuropsikiatrik
Delirium, meningismus, meningitis, poli neurotis perifer, sindrom
Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatoni (M. Sjaifoellah Noer)
g. Tes diagnostic
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
46
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat
leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
3. Pemeriksaan Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
( aglutinin ). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonela terdapat dalam serum
pasien demam tifoid, juga pada orang yang pernah ketulatan salmonela dan pada
orang yang pernah di vaksinasi terhadap demam tifoid.
Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspensi salmonela yang
sudah dimatikan dan diolah di labolatorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang di sangka menderita
demam typoid .
Akibat infeksi oleh S.typi, pasien membuat anti bodi ( aglutinin ), yaitu :
a.Aglutinin O, yang di buat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman ).
b.Aglutinin H, karena rangsangan antigen H ( berasal dari flagela kuman ).
c.Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi ( berasal dari simpai kuman ).
Dari ketiga Aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di tentukan titernya
untuk di diagnosis.
Pemeriksaan positif apabila terjadi reaksi aglutinasi. Apabila titer lebih
dari 1/80, 1/ 160, dst, semakin kecil titrasi menunjukkan semaki berat
penyakitnya.
4. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid . Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah
bergantung pada beberapa faktor, antara lain :
a.Teknik pemeriksaan labolatorium.
46
b.Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
c.Vaksinasi dimasa lampau.
d.Pengobatan dengan obat antimikroba
h. Penatalaksanaan medis
1)Pengobatan
a.Kloramfenikol
b.Tiamfenikol
c.Ko-trimoksazol
d.Ampisilin dan amoksisilin
e.Sefalosporin generasi ke tiga
f.Fluorokinolon
2)Perawatan
a. Penderita dirawat dengan tujuan untuk isolasi, observasi, dan
pengobatan. Klien harus tetap berbaring sampai minimal 7 hari bebas demam atau
14 hari untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi
usus.
b. Pada klien dengan kesadaran menurun, diperlukan perubahan2 posisi
berbaring untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
3)Diet
a. Pada mulanya klien diberikan bubur saring kemudian bubur kasar
untuk menghindari komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus.
b. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat secara
dini yaitu nasi, lauk pauk yang rendah sellulosa (pantang sayuran dengan serat
kasar) dapat diberikan dengan aman kepada klien
a. Pengkajian
1. Biodata
- Usia (sering terjadi pada anak-anak tetapi bisa juga pada semua usia)
- Jenis kelamin (tidak ada pebedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid
pada pria dan wanita)
- Pendidikan ( kebersihan makanan atau minuman)
46
2. Keluhan utama
Minggu pertama : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi/diare peraaan tidak enak di perut, batuk dan epitaksis.
Minggu kedua : pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara
berangsur-angsur pada minggu ketiga.
3. Riwayat penyakit sekarang.
Gejala yang timbul pada penyakit types/ tifoid.
Panas (suhu 38 oC pada hari pertama )
Pasien mengigil
Pada hari ketiga panas meningkat , pucat nyeri pada abdomen, tekanan darah
menurun , pemeriksaan laboratorium positif.
4. Riwayat penyakit dahulu.
Pasien sebelumnya pernah mengalami febris, DB, diare.
5. Riwayat penyakit keluarga
Dalam salah satu anggota keluarga tersebut ada yang menderita types, diare, DB,
pada waktu bersamaan atau sebelum pasien mengalami penyakit tersebut (Arief
Mansjoer, M Sjaifoellah Noer, Nursalam).
6. Pola fungsi kesehatan
a.Pola manejemen kesehatan
Tindakan pertama kali dilakukan yaitu mengukur suhu tubuh, kompres,
mengkonsumsi banyak cairan.
b. Pola nutrisi kesehatan
Memperbanyak volume pemasukan cairan
Memberikan makanan yang halus seperti bubur halus
Pemberian vitamin dan mineral juga mendukung untuk mrmperbaiki keadaan
umum pada pasien.
Makana tinggi serat bisa diberikan bila perlu.
c. Pola istirahat tidur
Pasien harus tirah baring mulai hari pertama sampai minimal hari ketujuh.
Mobilisasi dilakukan secara bertahap karena keadaan pasien berubah-ubah(mual,
muntah, konstipasi, diare, nyeri kepala, lemah) dan untuk menghindari dekubitus .
46
Pasien tidak dapat tidur dengan nyenyak karna ada rasa tidak enak pada perut,
pusing, mual.
d. Pola aktivitas
Pasien tidak dapat melaksanakan aktivitas seperti biasa karena tirah baring
(bedrast) selama fase pertama.
Mobilisasi dilakukan secara bertahap karena keadaan pasien lemah.
e. Pola eliminasi
Pasien thypes ini biasanya mengalami dua macam penyakit yaitu konstipasi dan
diare.
Retensi urine juga bisa terjadi pada pasien thypes.
Intake dan output cairan dan nutrisi dalam tubuh harus seimbang.
f. Pola hubungan dan peran
Pasien tidak bisa berisolasi dengan keadaan sekitar sehubungan dengan
penyakitnya.
Keluarga juga ikut aktif dalam upaya penyembuhan pasien (Pola Gordon).
b Diagnosa Keperawatan
46
c. Intervensi
Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan
keperawatan pada klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut :
Diagnosa. 1
Resti gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari
kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah.
Tujuan :
Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil :
Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas
normal, tanda-tanda dehidrasi tidak ada
Intervensi :
Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis
dan peningkatan suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam 24 jam, ukur
BB tiap hari pada waktu dan jam yang sama, catat laporan atau hal-hal seperti
mual, muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan klien minum banyak kira-kira
2000-2500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, K,
Na, Cl) dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan melalui
parenteral sesuai indikasi.
Diagnosa. 2
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat
Tujuan :
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
Kriteria hasil :
Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising
usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal,
konjungtiva dan membran mukosa bibir tidak pucat.
Intervensi :
Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien, anjurkan
tirah baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap hari.
Anjurkan klien makan sedikit tapi sering, catat laporan atau hal-hal seperti mual,
46
muntah, nyeri dan distensi lambung, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian
diet, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin dan
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetik seperti (ranitidine).
Diagnosa 3
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi
Tujuan :
Hipertermi teratasi
Kriteria hasil :
Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak
terjadi komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid.
Intervensi :
Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien,
beri kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal
bila terjadi panas, anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat
menyerap keringat seperti katun, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
anti piretik.
Diagnosa 4
Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan
kelemahan fisik
Tujuan :
Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
Kriteria hasil :
Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan
otot.
Intervensi :
Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu kebutuhan
sehari-hari klien seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien mobilisasi secara
bertahap, dekatkan barang-barang yang selalu di butuhkan ke meja klien, dan
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin sesuai indikasi.
46
Diagnosa 5
Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan :
Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil :
Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi
purulen/drainase serta febris.
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan
infus, monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan
infus, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai
indikasi.
Diagnosa 6
Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau
informasi yang tidak adekuat
Tujuan :
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil :
Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup
dan ikut serta dalam pengobatan.
Intervensinya :
Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya,
Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan
keluaga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti, beri reinforcement positif
jika klien menjawab dengan tepat, pilih berbagai strategi belajar seperti teknik
ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa yang tidak di ketahui
klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien
d Evaluasi
46
tanda vital stabil, kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak
terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri,
infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang penyakitnya.
2.3 APPENDIKSITIS
1. Konsep Penyakit Appendiksitis
a. Pengertian
Apendisitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Smeltzer, 2001).
Apendisitis
adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat,
angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai
cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendisitis
adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah
parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang
ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum).
Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah.
Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung
kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu
sudah bertumpuk nanah.
46
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks
miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
b. Anatomi Fisiologi
Gbr.2.Appendix
Letak apendiks.
Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum,
bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga
taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak
pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias
kanan dengan pusat.
46
Posisi apendiks.
Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di
dinding abdomen. Pelvis minor.
c. Etiologi
Appendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi
atau penyumbatan akibat :
1. Hiperplasia dari folikel limfoid
2. Adanya fekalit dalam lumen appendiks
3. Tumor appendiks
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis
5. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica.
Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan
makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan
appendiksitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga
timbul sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman
flora pada kolon.
d. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
46
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi
waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
PATHOFLOW (terlampir)
e. Manifestasi Klinis
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual,
muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara
mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan
muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut
kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri
tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam.
46
Demam bisa mencapai 37,8-38,8 Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut.
Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini
nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa
menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok. (Anonim,
Apendisitis, 2007)
f. Insiden
g. Komplikasi
h. Tes Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang
lainnya.
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting
adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri viseral.
Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit,
menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
46
Pemeriksaan yang lain Lokalisasi.
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi
paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi
juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada
tumor di titik Mc. Burney.
Test rektal.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita
merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
Pemeriksaan radiologi
Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis
akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran
sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan
cairan. Kadang ada fecalit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya
udara bebas dalam diafragma.
i. Penatalaksanan Medis
46
insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru
yang sangat efektif. Konsep Asuhan Keperawatan Sebelum operasi dilakukan
klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu juga klien perlu
diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan
diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk
digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien
merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan
anastesi.
a) Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Keperawatan
1. riwayat kesehatan saat ini ; keluhan nyeri pada luka post operasi
apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
2. Riwayat kesehatan masa lalu
3. pemeriksaan fisik:
a. Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada
tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.
b. Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan
c. Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan
keluhan sakit pinggang.
d. Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan
dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
e. Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran
kelenjar getah bening.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.
2. Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi
pasca pembedahan.
b) Diagnosa Keperawatan
Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan
muntah.
46
Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
tubuh.
Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal dan proses inflamasi.
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan
informasi kurang.
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan
c) Intervensi
kriteria : Klien tidak diare. Nafsu makan baik. Klien tidak mual dan
muntah.
46
kriteria : Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif (tidak lagi panas,
kemerahan).
Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.
Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat
lancar. Sedangkan klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga
dapat mengakibatkan ruptura apendiks.
46
Anjurkan pernapasan dalam.
Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga
otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
Beri analgetik.
Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila
sudah mengetahui gejala pasti).
46
Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat
mempercepat proses penyembuhan.
46
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang
dirasakan. Kuku nampak kotor Kulit kepala kotor Klien nampak kotor
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
d) Evaluasi
Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh.
Klien dapat terhidar dari bahaya infeksi.
Rasa nyeri akan dapat teratasi.
Nutrisi terpenuhi
Klien sudah mendapat informasi tentang perawatan dan pengobatannya. .
Klien dapat merawat diri
46
2.4 AMOEBIASIS
Walaupun penyakit ini lebih banyak terjadi di Negara tropis, namun dapat
pula terjadi dimana saja apabila sanitasi kurang diperhatikan. Kista dapat bertahan
hidup untuk waktu yang lama di luar tubuh.
GEJALA
Kebanyakan penderita, terutama yang tinggal di daerah beriklim sedang,
tidak menunjukkan gejala.Kadang-kadang gejalanya samar-samar, sehingga
hampir tidak diketahui.Gejalanya bisa berupa diare yang hilang-timbul dan
sembelit, banyak buang gas (flatulensi) dan kram perut.Bila disentuh perut akan
terasa nyeri dan tinja bisa mengandung darah serta lendir.
Bisa terjadi demam ringan.Diantara serangan, gejala-gejala tersebut
berkurang menjadi kram berulang dan tinja menjadi sangat lunak.Sering terjadi
penurunan berat badan dan anemia.Bila trofozoit menyusup ke dalam dinding
usus akan terbentuk suatu benjolan besar (ameboma).Ameboma bisa menyumbat
usus dan sering disalah-artikan sebagai kanker. Kadang trofozoit menyebabkan
perlubangan pada dinding usus. Jika isi usus sampai masuk ke dalam rongga perut
akan terjadi nyeri perut yang hebat dan infeksi perut (peritonitis).
Invasi trofozoit ke usus buntu dan usus di sekelilingnya bisa menyebabkan
apendisitis (peradangan usus buntu) ringan.Pembedahan yang dilakukan untuk
mengatasi apendisitis bisa menyebarkan trofozoit ke seluruh perut. Oleh karena
itu, pembedahan bisa ditunda sampai 48-72 jam dan selama itu diberikan obat-
obatan untuk membunuh trofozoit.
46
Di dalam hati bisa terbentuk suatu abses yang berisi trofozoit.
Gejalanya adalah nyeri atau rasa tidak nyaman di daerah hati, demam yang
hilang-timbul, berkeringat, menggigil, mual, muntah, kelemahan, penurunan berat
badan dan kadang sakit kuning (jaundice) ringan.
Kadang-kadang trofozoit menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan
infeksi di paru-paru, otak serta organ lainnya.Kulit juga bisa terinfeksi, terutama
kulit di sekitar bokong dan alat kelamin. Selain itu infeksi juga bisa terjadi pada
luka karena pembedahan atau luka karena cedera.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan ditemukannya amuba pada contoh tinja
penderita.Amuba penyebab amebiasis tidak selalu ditemukan pada setiap contoh
tinja, karena itu biasanya diperlukan pemeriksaan tinja sebanyak 3-6 kali.
Suatu protoskop bisa digunakan untuk melihat bagian dalam rektum dan untuk
mengambil contoh jaringan ulkus (luka terbuka) yang ditemukan disana.
Pada abses hati, kadar antibodi terhadap parasit hampir selalu tinggi.
Antibodi ini bisa tetap berada dalam darah selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun, karena itu kadar antibodi yang tinggi tidak selalu menunjukkan adanya
abses pada saat ini.Jika diduga telah terbentuk abses hati, diberikan obat
pemusnah amuba.
INSIDEN
Hampir 10% penduduk dunia terutama di negara berkembang terinfeksi E.
histolytica, tetapi hanya sepersepuluh yang memperlihatkan gejala. Insiden
amoebiasis hati di RS di Indonesia berkisar antara 5-15 pasien pertahun.
Penelitian epidemiologi diIndonesia menunjukkan perbandingan pria :
wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada decade IV. Penularan pada
umumnya melaluijalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan
amoebiasis hati yang dikenai adalah pria. Usia yang dikenai berkisar antara 20-50
tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak..
PENGOBATAN
46
Diberikan obat pembasmi amuba per-oral (melalui mulut), seperti
iodokuinol, paromomisin dan diloksanid, yang akan membunuh parasit di dalam
usus.Untuk penyakit yang berat dan penyakit di luar usus, diberikan metronidazol
atau desidroemetin.Tinja diperiksa ulang dalam waktu 1,3 dan 6 bulan setelah
pengobatan, untuk memastikan bahwa penderita telah sembuh.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
46
DAFTAR PUSTAKA
46