Document 3
Document 3
1. PENGERTIAN EPILEPSI
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Dychan, 2008).
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik
yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba,
terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori
(Anonim, 2008).
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh gangguan fungsi otak
yang bersifat sementara dan paroksismal, yang memberi manifestasi berupa gangguan, atau
kehilangan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta
bersifat episodik (Turana, 2007).
2. ETIOLOGI
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi
pada:
5. Tumor Otak
3. PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah,
talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,
termasuk yang berikut :
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf
motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas
kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada
faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium
dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
4. PATHWAY
5. TANDA DAN GEJALA
Manifestasi dari epilepsi, yaitu: (Turana, 2007)
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
1) Dengan gejala motorik:
- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke
daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana
yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
- Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
- Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
- Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.
6. KOMPLIKASI
Menurut (Pinzon, 2007) komplikasi yang mungkin timbul akibat epilepsi antara lain: cedera
kepala, cedera mulut, luka bakar dan fraktur.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal
tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah
kejang demam pertama pada bayi.
Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
Mengalami complex partial seizure
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam
setelah kejang demam adalah normal.
Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan
selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada
anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala
meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan
untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi
sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan
setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan
datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang
demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam
atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium,
atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium
harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama
kalinya.
5. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral
6. Magnetik resonance imaging (MRI)
7. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah
b. Penatalaksanaan keperawatan
Tindakan yang dapat dilakukan, antara lain: (Sri D, 2007)
Jangan panik karena serangan akan berhenti sendiri
Bebaskan jalan nafas, longgarkan baju
Bila mulut terbuka, masukkan bahan empuk diantara gigi
Bila mulut tertutup jangan dibuka paksa
Miringkan kepala agar ludah keluar
Jangan memberi minum sebelum klien benar-benar sadar
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Hal-hal yang perlu dikaji pada penderita epilepsi, yaitu: (Anonim, 2008)
ANAMNESA
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang
faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi
pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang?
Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja?
Mekanisme koping apa yang digunakan? Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang
akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
- Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
- Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
- Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
- Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-
klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
- Apakah pasien menggigit lidah.
- Apakah mulut berbuih.
- Apakah ada inkontinen urin.
- Apakah bibir atau muka berubah warna.
- Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
- Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau
keduanya.
2. Sesudah serangan
- Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
- Apakah ada perubahan dalam gerakan.
- Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan.
- Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.
- Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
- Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
- Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
- Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun
visual.
4. Riwayat Penyakit
- Sejak kapan serangan terjadi.
- Pada usia berapa serangan pertama.
- Frekuensi serangan.
- Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur,
keadaan emosional.
- Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan
gangguan kesadaran, kejang-kejang.
- Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
- Apakah makan obat-obat tertentu
- Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
- KU / kesadaran
- Tanda Vital : TD, RR, N
- Mata
- THT
- Leher
- Jantung
- Paru
- Abdomen
- Ekstremitas
2. Status Neurologis
- Reflek fisiologis
- Reflek patologis
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
1. CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal,
gangguan degeneratif serebral
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
3. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
J. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Resiko cedera b.d perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau
kerusakan mekanisme perlindungan diri.
2. Bersihan jalan napas/pola napas tidak efektif b.d penurunan energi/adanya benda asing di
jalan nafas saat kejang
3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan b.d keterbatasan kognitif,
kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi.
4. Gangguan harga diri b.d stigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang penyakit