b. Pemikiran Iqbal
Pemikiran Iqbal mengenai kemunduran dan kemajuan umat Islam
mempunyai pengaruh pada gerakan pembaharuan dalam Islam. Ia berpendapat
bahwa kemunduran umat Islam selama 500 tahun terakhir di sebabkan oleh
kebekuan dalam pemikiran. Sebab lain terletak pada pengaruh zuhud yang terdapat
dalam ajaran tasawuf. Menurut tasawuf yang mementingkan zuhud, perhatian
harus dipusatkan kepada Tuhan dan apa yang berada di balik alam materi. Hal itu
akhirnya membawa kepada keadaan umat kurang mementingkan soal
kemasyarakatan dalam Islam. Sebab terutama ialah hancurnya Baghdad, sebagai
pusat kemajuan pemikiran umat Islam di pertengahan abad ke-13.
Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa rasionalisme yang
ditimbulkan golongan muktazilah akan membawa kepada disintegrasi. Untuk itu
mereka menolak segala pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang teguh
pada hukum-hukum yang telah ditentukan ulama terdahulu. Pintu ijtihad mereka
tutup.
Hukum dalam Islam sebenarnya, demikian Iqbal, tidak bersifat statis, tetapi
dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah
tertutup. Pada zaman modern, ijtihad telah semenjak lama dijalankan di Turki yang
melepaskan diri dari belenggu dogmatism. Baru bangsa Turkilah yang
mempergunakan hak kebebasan berpikir yang terdapat dalam Islam.
Islam pada hakikatnya mengajarkan dinamisme demikian pendapat Iqbal.
Konsep Islam mengenai alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang.
Kemajuan serta kemunduran dibuat Tuhan silih berganti di antara bangsa-bangsa
yang mendiami bumi ini. Ini mengandung arti dinamisme.
Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya gerak dan
perubahan dalam hidup social manusia. Dan prinsip yang dipakai dalam soal gerak
dan perubahan itu ialah ijtihad.
Barat menurut penilaian Iqbal, amat banyak dipengaruhi oleh materialism
dan telah mulai meninggalkan agama. Yang di ambil umat Islam dari barat
hanyalah ilmu pengetahuannya. Kalau kapitalisme ia tolak, sosialisme barat dapat
ia terima. Ia bersikap simpatik terhadap gerakan sosialisme di Barat dan di Rusia.
Tapi Iqbal tidak begitu saja menerima apa yang datang dari barat.
Iqbal menentang nasionalisme, karena dalam nasionalisme seperti yang ia
jumpai di Eropa, ia melihat bibit materialism dan ateisme dan keduanya
merupakan ancaman besar bagi peri kemanusiaan.
Di India terdapat dua umat besar, demikian Iqbal dan dalam pelaksanaan
demokrasi Barat di India, kenyataan ini harus diperhatikan. Untuk itu, umat Islam
harus menuju pembentukan Negara tersendiri, terpisah dari Negara Hindu. Tjuan
membentuk Negara tersendiri ini, ia tegaskan dalam rapat tahunan Liga Muslimin
di tahun 1930. Ide dan tujuan membentuk Negara tersendiri diumumkan secara
resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam di India.
Ide Iqbal bahwa umat Islam India merupakan suatu bangsa dan oleh Karena
itu memerlukan satu Negara tersendiri tidaklah bertentangan dengan pendiriannya
tentang persaudaraan dan persatuan umat Islam. Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya
merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik dan Pakistan yang
akan dibentuk adalah salah satu Republik itu.
Sebelum pisah menjadi Pakistan, umat Islam India merupakan minoritas amat
lemah, di tengah mayoritas Hindu dan kekuasan politik serta militer Inggris. Islam
dan Hindu ibarat dua arus sungai yang mengalir dan bersumber dari muara yang
berbeda. Walaupun pemeluknya telah hidup berdampingan bersama selama
berabad-abad, namun pandangan mereka tentang hidup dan kehidupan merupakan
batas pemisah yang tidak bisa dijembatani. Maka muncullah gagasan membentuk
negara sendiri bagi umat Islam. Gagasan yang diprakarsai Sir Sayid Ahmad Khan
(l817-1898), kemudian berkembang luas menjadi cita-cita perjuangan, segera
dirumuskan oleh Sir Muhammad Iqbal (1873-1938) melalui organisasi "Liga
Muslim India". Akhirnya direalisasikan oleh Muhammad Ali Jinnah, yang dibaiat
menjadi Qaid-i Azam (Pemimpin Besar) sekaligus Presiden pertama Republik
Islam Pakistan. Dalam salah satu pidatonya ia (Ali Jinnah) mengatakan, "dari sudut
pandang apapun ummat Islam adalah satu bangsa, mereka berhak mendirikan
Negara sendiri dan menerapkan cara apapun untuk melindungi dan meningkatkan
kepentingan mereka dari dominasi India."
Aral tak henti menghadang pertumbuhan negara yang tengah berjuang menerapkan
syari'ah (hukum Islam), yang mengakomodasi demokrasi, HAM, toleransi, dan
keadilan sosial tersebut. Mayoritas negara-negara anggota PBB rata-rata "gerah"
menyaksikan kemajuan Pakistan di bidang penerapan syari'ah dan pengembangan
sains modern. Puncak kekhawatiran itu, berubah menjadi ketakutan dan berujung
kepada konspirasi untuk memecah belah.
Tahun 1971 timbul perang saudara antara Pakistan Barat yang dipimpin
Presiden Yahya Khan dan Pakistan Timur yang dipimpin Mujibur Rahman.
Dengan bantuan penuh India, serta kelompok konspirasi lainnya, Pakistan Timur
berhasil melepaskan diri dari Republik Islam Pakistan. Berdirilah Republik
Bangladesh. Republik Islam Pakistan kehilangan satu sayap terpenting, berupa
penyusutan wilayah geografis. Setelah tragedi pisahnya Pakistan Barat-Pakistan
Timur, Republik Islam Pakistan senantiasa dililit masalah. Selain ketegangan abadi
dengan India, baik mengenai perbatasan maupun "kepemilikan" Khasmir, juga
ketengangan internal yang selalu meruntuhkan kewibawaan pemerintahan.
Tahun 1974, Jenderal Yahya Khan dikudeta oleh Jenderal Zulfikar Ali
Butho. Juli 1977, Jenderal Ziaul Haq mengambil alih kekuasaan. Ali Butho
dihukum gantung (4 April 1979). Pemerintah Ziaul Haq memberi dukungan penuh
kepada Mujahidin Afganistan, yang sedang berjuang melawan invasi militer Uni
Soviet (1979-1989). Namun tahun 1988, Ziaul Haq tewas, ketika helikopter yang
ditumpanginya bersama Dubes Amerika Serikat di Pakistan, meledak. Kekuasan
berpindah. Hingga muncul Benazir Butho, putri mendiang Zulfikar Ali Butho,
merebut takhta Perdana Menteri. Hanya bertahan dua tahun.
Tahun 1990, Benazir lengser karena dituduh korupsi. Digantikan Nawaz
Sharif, seorang pengikut panatik Ziaul Haq. Sejak itu, pemerintahan Pakistan tak
pernah stabil.
Serangan AS ke Afganistan awal 2002, membawa pengaruh luar biasa terhadap
Pakistan. Peran Pakistan membesarkan Milisi Thaliban, hingga mampu mendirikan
pemerintahan Islam di Afganistan tahun 1996, berubah drastis setelah mendapat
tekanan keras AS. Pakistan balik membantu AS menghancurkan Milisi Thaliban.
Presiden Pervez Musharraf berperan besar dalam perubahan sikap itu. Seorang
Presiden yang berhasil naik tahta dengan aksi kudeta militer tak berdarah ini,
merupakan kata kunci bagi perkembangan politik dan ekonomi Pakistan
kontemporer.
In the Line of Fire karya Peresiden Musharraf terbaru (2006), adalah buku
yang cukup kontroversial untuk dekade akhir ini. Banyak hal yang ia paparkan
dalam buku tersebut, mulai dari perbaikan ekonomi Pakistan, pemulihan
demokratisasi, pengentasan kemiskinan, peningkatan taraf pendidikan, emansipasi
wanita, sampai kepada perang terhadap terorisme.
Dengan langkah-langkah reformasinya ini, seolah ia tengah bermain api, baik
kepada kalangan yang memiliki dendam sejarah atasnya, atau kepada kalangan
yang "emoh" terhadap ide demokrasi liberal. Kalangan oposisi pemerintah, sampai
kalangan fundamentalis pun selalu memberikan catatan-catatan kritis terhadap
perjalanan rezim Musyharaf ini.
Nampaknya ideologi Negara Syariat yang sejak awal dirancang, tengah
menhadapi ujian, khususnya di saat negara-negara Barat menemukan
momentumnya dalam setting perang melawan terorisme. Maka tak heran jika
sekarang mulai muncul kembali wacana, bahwa benarkah Pakistan lahir atas dasar
kepentingan mendirikan Negara Islam, ataukah sebatas membela kepentingan
pemeluk Islam dari ketertindasan bangsa India saja. Entah akan ke mana akhir dari
firksi ini akan bermuara, yang jelas bola api itu masih terus bergulir sampai saat
ini.
V. Kesimpulan
Muhammad Iqbal, lahir 9 November 1877. Dia adalah seorang filsuf,
pemikir, cendekiawan, ahli perundangan, reformis, politikus, dan yang terutama:
penyair. Dia berjuang untuk kemahuan umat Islam dan menjadi bapa spiritual
Pakistan. Iqbal berjuang di India Muslim Leage di awal 1930-an. Bersama
Muhammad Ali Jinnah, dia merumuskan konsep Negara bagi Muslim India, dan
tak pernah melihat berdirinya Pakistan tahun 1947 kerana sudah wafat pada 1938.
Muhammad Ali Jinnah adalah anak seorang saudagar dan lahir di Karachi
pada tanggal 25 Desember 1876. Di masa remaja ia telah pergi ke London untuk
meneruskan studi dan di sanalah ia memperoleh kesarjanaannya dalam
bidanghukum di tahun 1896. Pada tahun itu juga ia kembali ke India dan bekerja
sebagai pengacara di Bombay. Tiada lama sesudah itu ia menggabungkan diri
dengan Partai Kongres.
Maududi lahir di Aurangabad India Selatan, pada 25 September 1903 (3
Rajab 1321). Dia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh Muslim India Utara)
dari Delhi, yang bermukim di Deccan. Keluarga ini keturunan wali sufi besar
tarikat Chishti yang membantu menanamkan benih Islam di bumi India.