Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC MYELOID LEUKEIA (CML)

DI RUANG 24B RSUD Dr.SAIFUL ANWAR


MALANG

OLEH
FERIS NOVELA
NIM. (14.1.083)

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN RS dr. SOEPRAOEN
MALANG 2016/2017

LEMBAR PENGESAHAN
CHRONIC MYELOID LEUKEIA (CML)
Telah Disetujui Dan Disahkan Oleh :
Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

Mengetahui
KAUR IRNA 24B
I. KONSEP DASAR
1. Pengertian Chronic Myeloid Leukemia (CML)
Leukemia adalah keganasan yang berasal dari sel-sel induk system
hematopoetik yang mengakibatkan proliferasi sel-sel darah putih tidak
terkontrol dimana sel-sel darah tersebut dibentuk dan ditandai dengan
proliferasi sel-sel imatur abnormal. Keberadaan sel-sel ini mempengaruhi
produksi sel-sel darah normal lainnya. (Gale.1999).
Chronic myeloid Leukemia adalah gangguan pda sum-sum tulang dimana
terjadi proliferasi dari granulosit yang matur (neutrofil, eosinofil, dan basofil).
CML merupakan leukemia kronik dengan gejala yang timbul perlahan
lahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk myeloid. CML
termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem cell dan
tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif (myeloproliferative
disorders) (Bakta, 2007).

2. Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)
Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan. Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang
menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik
(lingkungan).
a. Faktor Instrinsik
1) Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat
pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada
suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson
(1982) yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi
insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak
yang terserang dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar
identik (monozigot), (Agung ,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas
kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom
yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan
sindrom turner.

2) Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang

Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi


sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat
menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi
hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin
sebagai penyebab leukemia (Agung ,2010).

b. Faktor Ekstrinsik
1) Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat
pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing
spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi.
Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar belakang
radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi
mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar (Agung ,2010).
2) Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan
leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam
jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia.
Penelitian Akroy et al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik
sepatu di Turki yang kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang
menderita LMA . Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan
anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia,
demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif (Agung ,2010).

3) Infeksi Virus
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada
binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis
kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan
sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa
penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada
beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab
leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah
penderita leukemia (Agung ,2010).

3. Klasifikasi Leukimia Myelostik Kronik


Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010) dibagi
menjadi beberapa fase, yaitu:
a. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional. Lama waktu fase kronik umumnya 3 tahun.
b. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini
leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil
dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari
satu (selain Philadelphia kromosom).

c. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast
pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan
organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia
Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.
Gejala klinik pada fase ini sama dengan leukemia akut dan jika sel blas mencapai
lebih dari 100 000 per mm3 maka penderita memiliki resiko terjadinya sindroma
hiperleukositosis.

4. Patofisiologi
Pada orang normal, tubuh mempunyai tiga jenis sel darah yang matur
a. Sel darah merah, yang berfunsi untuk mengangkut O2 masuk ke dalam
tubuh dan mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh keluar lewat paru.
b. Sel darah putih, yang berfungsi untuk melawan infeksi dan sebagai
pertahanan tubuh
c. Trombosit, yang befungsi untuk mengontrol faktor pembekuan di dalam
darah
Sel-sel darah yang belum menjadi matur (matang) disebut sel-sel induk
(stemcells) dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam
sumsum tulang dan kemudian bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah.
Darah yang mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah dan jantung disebut
peripheral blood (Sherwood, 2001).
Tetapi pada orang dengan Chronic Myelogenous Leukemia(CML), proses
terbentuknya sel darah terutama sel darah putih disumsum tulang mengalami
kelainan atau mutasi. Hal ini disebabkan karena kromosom 9 dan kromosom
22 (Hoffbrand, 2005).
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan kromosom 22
abnormal yang disebabkan oleh
translokasi sebagian materi genetik
pada bagian lengan panjang (q)
kromosom 22 ke kromosom 9, dan
translokasi resiprokal bagian
kromosom 9, termasuk onkogen
ABL, ke region klaster breakpoint
(breakpoint cluster region, BCR)
yang merupakan titik pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara
spesifik terdapat pada kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar
onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi
(bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22. Titik
putus pada ABL adalah antara ekson 1 dan 2. Titik putus BCR adalah salah
satu di antara dua titik di region kelompok titik putus utama (M-BCR) pada
CML atau pada beberapa kasus ALL Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini akan
mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein
(protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi
sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan
dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini
menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I Made, 2006; Atul & Victor,
2005; Victor et al., 2005).
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat
cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur
sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel
tersebut terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang
membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi
karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun
herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam
sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai
organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih
yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam
sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi
kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka
akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada
kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda
(bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan
kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibentuk
pada banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat
diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus
onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut
dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme
proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen
manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur antigen individu
tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya.
Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai alat tubuh,
terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A
(Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan menurut hukum
genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat kaitannya dengan faktor
herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen
darah yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses
metabolisme (terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia
juga menginvasi tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan
cenderung mudah patah tulang.

5. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al., (2005)
tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
a. Fase kronik terdiri atas :
1) Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
2) Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3) Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4) Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
5) Gangguan penglihatan dan priapismus.
6) Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran
pucat, dispneu dan takikardi.
7) Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
b. Fase transformasi akut terdiri atas :
Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah, nyeri tulang (sternum)
yang semakin progresif. Lekositosis meningkat dan trombosit menurun
(trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di berbagai
tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).
c. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa
didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis).
Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.

6. Pemeriksaan Penunjang
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,
yaitu :
a. Laboratorium (Darah rutin)
1) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase
transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
2) Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
b. Gambaran darah tepi :
1) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian
biasanya lebih dari 100.000/mm3.
2) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast
sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil
(hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast
juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel darah merah bernukleus.
3) Jumlah basofil dalam darah meningkat.
4) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih
sering meningkat.
5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu
rendah.
c. Gambaran sumsum tulang
1) Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip
dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri
myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit.
Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase kronik normal atau
meningkat.
2) Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 %
kasus.
3) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
4) Kadar asam urat serum meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi
adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).

Gambar 2.1 Gambar 2.2

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.

Gambar 2.3 Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi, dengan
perbesaran 400x menunjukkan berbagai perbesaran 1000x menunjukkan tahapan
tahap granulopoiesis termasuk promielosit, granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.
mielosit, metamielosit, dan netrofil batang
serta segmen.
Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain :
1) Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau
lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast,
dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
2) Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan.
3) David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk
mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

7. Komplikasi
a. Lelah. Ketika terjadi peningkatan jumlah sel darah putih, maka sel darah
merah akan terganggu dan dapat menyebabkan anemia. Anemia dapat
menyebabkan tubuh lelah dan lemas. Sementara itu, pengobatan CML juga
dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang mana dapat memperparah
anemia.
b. Perdarahan berat. Trombositopenia dapat menyebabkan mudah berdarah
dan lebam. Perdarahan bisa merupakan perdarahan hidung, gusi, maupun
pada kulit (petechiae).
c. Nyeri. CML dapat menyebabkan nyeri sendi karena sumsum tulang
berkembang ketika terdapat peningkatan sel darah putih.
d. Splenomegali. Sel darah berlebih yang diproduksi pada CML banyak
disimpan dalam limpa. Hal ini menyebabkan limpa membesar dan
bengkak. Adanya perbesaran limpa ini juga dapat menimbulkan rasa
penuh pada perut setelah makan atau menyebabkan nyeri pada sisi kiri di
bawah tulang rusuk.
e. Stroke atau pembekuan berlebihan. Pada beberapa orang yang menderita
CML terdapat juga kelebihan produksi platelet. Tanpa adanya pengobatan,
trombositosis ini dapat menyebabkan pembekuan darah berlebihan dan
menyebabkan stroke.
f. Infeksi. Meskipun terdapat sel darah putih dalam jumlah yang tinggi,
namun fungsi mereka dalam pertahanan tubuh menurum sehingga
imunitas tubuh menurun dan rentan terkena infeksi. Selain itu, obat-obatan
CML juga dapat menurunkan jumlah sel darah putih (neutropenia)
sehingga memudahkan pula infeksi terjadi.
g. Kematian. Terutama jika tidak diobati secara adekuat, dapat menimbulkan
kematian.

8. Penatalaksaan
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa
tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun
setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai
jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping dapat berupa aplasia
sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia
akut (I Made, 2006).
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi
biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005). Dosis mulai
dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis
pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3 (I Made,
2006).
3) Interferon juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat
menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi
1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). Tujuannya adalah untuk mempertahankan
jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua pasien
menderita gejala penyakit mirip flu pada beberapa hari pertama
pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi, dan
sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi
jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik
walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor
et al., 2005).
4) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT)
sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang
pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
b. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia
akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat
diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar
pengobatan yang dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat
memperlambat perkembangan penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made,
2006).
c. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar tenaga
tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-
gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum transplantasi
sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).

II. ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Fokus pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1) Pucat
2) Kelemahan
3) Sesak
4) Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1) Demam
2) Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1) Ptechiae
2) Purpura
3) Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1) Limfadenopati
2) Hepatomegali
3) Splenomegali
f. Kaji adanya :
1) Hematuria
2) Hipertensi
3) Gagal ginjal
4) Inflamasi disekitar rectal
5) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani, 2001)
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan
tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko terhadap cedera: perdarahan berhubungan dengan penurunan
jumlah trombosit
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan
muntah
5. Perubahan membran mukosa mulut: stomatitis berhubungan dengan
efek samping , agen kemoterapi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan
atau stomatitis
7. Nyeri berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens
kemoterapi, radioterapi, imobilitas.
2. DIAGNOS
1.
A 3. TUJUAN
N 4. INTERVENSI (NIC)
KEPERAW (NOC)
ATAN
5. 6. Resiko 8. NOC : 15. NIC :
1 infeksi b/d 9. Immun 16. Infection Control
menurunnya e Status (Kontrol infeksi)
sistem 10. Bersihkan lingkungan
pertahanan Knowledge : setelah dipakai pasien lain
tubuh Infection Pertahankan teknik isolasi
7. control Batasi pengunjung bila perlu
11. Risk Instruksikan pada
control pengunjung untuk mencuci
12. tangan saat berkunjung dan
13. Kriteria setelah berkunjung
Hasil : meninggalkan pasien
Klien bebas dari Gunakan sabun antimikrobia
tanda dan gejala untuk cuci tangan
infeksi Cuci tangan setiap sebelum
Mendeskripsika dan sesudah tindakan
n proses kperawtan
penularan Gunakan baju, sarung
penyakit, factor tangan sebagai alat
yang pelindung
mempengaruhi Pertahankan lingkungan
penularan serta aseptik selama pemasangan
penatalaksanaan alat
nya, Ganti letak IV perifer dan
Menunjukkan line central dan dressing
kemampuan sesuai dengan petunjuk
untuk mencegah umum
timbulnya Gunakan kateter intermiten
infeksi untuk menurunkan infeksi
Jumlah leukosit kandung kencing
dalam batas Tingktkan intake nutrisi
normal Berikan terapi antibiotik bila
Menunjukkan
perlu
perilaku hidup 17.
sehat 18. Infection Protection
14. (proteksi terhadap
infeksi)
Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
Monitor hitung granulosit,
WBC
Monitor kerentanan terhadap
infeksi
Batasi pengunjung
Saring pengunjung terhadap
penyakit menular
Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
Pertahankan teknik isolasi
k/p
Berikan perawatan kuliat
pada area epidema
Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
10.
11.
12. DAFTAR PUSTAKA
13.
14.
15. Bakta, I.M. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
16.
17. Druker et.al. 2006. Five-Year Follow-up of Patients Receiving Imatinib for
Chronic Myeloid Leukemia. The New England Journal Medicine 2006 :
355:2408-17.
18.
19. Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H. 2005. Kapita Selekta
Hematologi. Jakarta: EGC
20.
21. Bangun, Meidiana. 2012.Analisis Faktor Kejadian Relapse Pada Anak
Dengan Leukimia.Depok
22.
23. Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M.
2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Elsevier
24.
25. Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. 2013. Nursin
Outcomes Classification (NOC): Measurement of Health Outcomes.
Elsevier
26.
27. Wiley, A. J., & Sons. 2009. Nursing Diagnoses: Definitions and
Classification. Wiley-Blackwell
28.

Anda mungkin juga menyukai