Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

A. PENGERTIAN

Halusinasi merupakan salah satu masalah yang mungkin ditemukan dari


masalah persepsual pada skizofrenia., dimana halusinasi tersebut didefenisikan
sebagai pengalaman atau kesan sensori yang salah terhadap stimulus sensori.
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada
rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca
indra tanpa stimulus eksteren :Persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana klien
mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi
terjadi tanpa adanya timulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan
sebagai sesutu yang nyata ada oleh klien.
Halusinasi sering diidentikkan dengan Schizofrenia. Dari seluruh klien
Schizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Klien skizofrenia dan psikotik
lain 20% mengalami campuran halusinasi pendengaran dan penglihatan.
Pada halusinasi dapat terjadi pada kelima indera sensoris utama yaitu :
1. Pendengaran terhadap suara : Klien mendengar suara dan bunyi yang
tidak berhubungan dengan stimulus nyata dan orang lain tidak mendengarnya.
2. Visual terhadap penglihatan : Klien melihat gambaran yang jelas atau
samar-samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak melihatnya.
3. Taktil terhadap sentuhan : Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa
stimulus yang nyata.
4. Pengecap terhadap rasa : Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata.
Biasanya merasakan rasa makanan yang tidak enak.
5. Penghidu terhadap bau : Klien mencium bau yang muncul dari sumber
tertentu tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak menciumnya.

1
B. RENTANG RESPON HALUSINASI

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada


dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi paling
maladaptif. Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indra ( pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan ), klien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya
stimulus itu tidak ada. Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang
karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan
stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika
interpretasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra tidak akurat sesuai
stimulus yang diterima.
Rentang respon :

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan pikir/delusi
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten dengan Reaksi emosi berlebihan Sulit berespon emosi
pengalaman atau kurang
Perilaku sesuai Perilaku aneh/tidak bias Perilaku disorganisasi
Berhubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial

2
C. JENIS JENIS HALUSINASI

JENIS
KARAKTERISTIK
HALUSINASI
Pendengaran Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang.
70 % Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata
yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada
percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami
halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu
kadang dapat membahayakan.
Penglihatan 20% Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar
geometris,gambar kartun,bayangan yang rumit atau kompleks.
Bayangan bias menyenangkan atau menakutkan seperti melihat
monster.
Penghidu Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses
umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi
penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.

D. FASE HALUSINASI.

Halusinasi yang dialami oleh klien biasanya berbeda intensitas dan


keparahannya. Fase halusinasi terbagi empat:
1. Fase Pertama
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian.
Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan
untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara.
Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal pikirannya, namun
intensitas persepsi meningkat.

3
2. Fase Kedua
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat listening pada halusinasi.
Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi
dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar
dan klien merasa tak mampu mengontrolnya.
Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan
seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.
3. Fase Ketiga
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan
tak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman
sementara.
4. Fase Keempat.
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.
Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam,
memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain
karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia yang
menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini
menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.

E. PENGKAJIAN KLIEN DENGAN HALUINASI

Halusinasi merupakan salah satu gejala yang ditampakkan oleh klien yang
mengalami psikotik, khususnya schizofrenia. Pengkajian klien dengan halusinasi
demikian merupakan proses identifikasi data yang melekat erat dengan pengkajian
respon neurobiologi lainnya seperti yang terdapat juga pada schizofrenia.
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologi seperti halusinasi antara lain:
a. Faktor Genetik

4
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson
tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi factor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga
letak gen schizoprenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi
genetik tambahan No.4,8,5 dan 22 (Buchanan dan Carpenter,2002). Anak
kembar identik memiliki kemungkinan mengalami schizofrenia sebesar 50%
jika salah satunya mengalami schizofrenia, sementara jika di zygote
peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya
mengalami schizofrenia berpeluang 15% mengalami schizofrenia, sementara
bila kedua orang tuanya schizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.
b. Faktor Neurobiologi.
Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbiks pada klien
schizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada klien
schizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang abnormal.
Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar serotin.
c. Studi neurotransmitter.
Schizofrenia diduga juga disebabkan oleh ketidak seimbangan
neurotransmitter dimana dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotin.
d. Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi faktor
predisposisi schizofrenia.
e. Psikologis.
Beberapa kondisi pikologis yang menjadi faktor predisposisi schizofrenia
antara lain anak yang di pelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu
melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.

2. Faktor presipitasi

5
Faktor faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :
a. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang
menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu ( mekanisme
gateing abnormal)
c. Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan
perilaku seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini :

Kesehatan Nutrisi Kurang


Kurang tidur
Ketidak siembangan irama sirkardian
Kelelahan infeksi
Obat-obatan system syaraf pusat
Kurangnya latihan
Hambatan unutk menjangkau pelayanan kesehatan
Lingkungan Lingkungan yang memusuhi, kritis
Masalah di rumah tangga
Kehilangan kebebasan hidup, pola aktivitas sehari-hari
Kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain
Isoalsi sosial
Kurangnya dukungan sosial
Tekanan kerja ( kurang keterampilan dalam bekerja)
Stigmasasi
Kemiskinan
Kurangnya alat transportasi
Ktidak mamapuan mendapat pekerjaan
Sikap/Perilaku Merasa tidak mampu ( harga diri rendah)
Putus asa (tidak percaya diri )
Merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan
keterampilan diri

6
Kehilangan kendali diri (demoralisasi)
Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala
tersebut.
Merasa malang (tidak mampu memenuhi kebutuhan
spiritual)
Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun
kebudayaan
Rendahnya kemampuan sosialisasi
Perilaku agresif
Perilaku kekerasan
Ketidak adekuatan pengobatan
Ketidak adekuatan penanganan gejala.

3. Mekanisme Koping.
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi adalah:
Register, menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.
Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien.

4. Perilaku
Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalaminya,
seperti mimpi saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk menentukan
persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti seseorang mendengarkan suara-
suara dan tidak lagi meragukan orang yang berbicara tentang suara tersebut.
Ketidakmampuannya mempersepsikan stimulus secara riil dapat menyulitkan
kehidupan klien. Karenanya halusinasi harus menjadi prioritas untuk segera

7
diatasi. Untuk memfasilitasinya klien perlu dibuat nyaman untuk menceritakan
perihal haluinasinya.
Klien yang mengalami halusinasi sering kecewa karena mendapatkan
respon negatif ketika mencoba menceritakan halusinasinya kepada orang
lain.Karenanya banyak klien enggan untuk menceritakan pengalaman
pengalaman aneh halusinasinya. Pengalaman halusinasi menjadi masalah untuk
dibicarakan dengan orang lain. Kemampuan untuk memperbincangkan tentang
halusinasi yang dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan dan
memvalidasi pengalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki ketulusan
dan perhatian untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang halusinasi.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis
halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda tanda dan
perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya
sekedar mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi
yang diperlukan meliputi :
Isi Halusinasi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang
dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang
dilihat oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi
penghidu, rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan,dan apa yang
dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi perabaan.
Waktu dan Frekuensi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman
halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman
halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi
pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu perhatian saat
mengalami halusinasi.

Situasi Pencetus Halusinasi.

8
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi
muncul. Selain itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien
menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa
dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman
halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau
sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Selain data tentang halusinasinya, peraweat juga dapat mengkaji data yang
terkait dengan halusinasi, yaitu :
Bicara, senyum dan tertawa sendiri.
Menarik diri dan menghindar dari orang lain.
Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata.
Tidak dapat memusatkan perhatian/konsentrasi.
Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungan)
dan takut.
Ekspresi muka tegang dan mudah tersinggung.

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Klien yang mengalmi halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga


bias membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan Hal ini terjadi jika
halusinasi sudah sampai pada fase IV, dimana klien mengalami panik dan
perilakunya di kendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan
kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat
melakukan bunuh diri ( suicide), membunuh orang lain (homocide) dan merusak
lingkungan.
Selain masalah yang diakibatkan oleh halusinasi, klien biasanya juga
mengalami masalah-masalah keperawatan yang menjadi penyebab munculnya
halusinasi. Masalah itu antara lain harga diri rendah dan isolasi social (stuart dan

9
laria,2001). Akibat harga diri rendah dan kurangnya keterampilan berhubungan
sosial, klien menjadi menarik diri dari lingkungan. Dampak selanjutnya lebih
dominan di bandingkan stimulus eksternal. Klien selanjutnya kehilangan
kemampuan membedakan stimulus internal dengan stimulus eksternal. Ini memicu
timbulnya halusinasi.
Dari masalah tersebut diatas dapat disusun pohon maslah sebagai berikut :

EFEK Resiko mencedrai diri sendiri,


Orang lain, dan lingkungan

C.P Perubahan persepsi sensori : Defisit perawatan diri :


Halusinasi pendengaran Mandi/Kebersihan
diri,berpakaian/berhias

ETIOLOGI Kerusakan interaksi sosial : Intoleransi aktifitas


Menarik diri

Gangguan konsep diri :


Harga diri rendah

Dari pohon masalah diatas dapat dirumuskan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
berhubungan dengan halusinasi audiotorik.
2. Perubahan persepsi sensorik : Audiotorik berhubungan
dengan menarik diri
3. Kerusakan interaksi sosial : Menarik diri berhubungan
dengan Harga diri rendah
4. Defisit perawatan diri: mandi/kebersihan,
berpakaian/berhias berhubungan dengan intoleransi aktifitas.

10
G. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN

Tujuan umum :
Klien dapat mengenal, dan mengontrol halusinasi
Tujuan itu dapat dirinci sebagai berikut :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya.
4. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya.
5. Klien dapat memanfaatkan obat untuk mengatasi halusinasinya.

H. TINDAKAN KEPERAWATAN

Tindakan keperawatan untuk membantu klien mengatasi masalahnya di


mulai dengan membina hubungan saling percaya dengan klien.
Setelah hubungan saling percaya terbina , intervensi keperawatan
selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya.
Setelah klien mengenal halusinasinya selanjutnya klien dilatih bagaimana
cara yang biasa terbukti efektif mengatasi atau mengontrol halusinasi.
Obeservasi tanda halusinasi pada klien.
Hindari untuk menyentuh pasien sebelum memberi isyarat kepadanya
bahwa anda menerima diperlakukan yang sama.
Suatu sikap menerima akan mendorong klien membagikan isi
halusinasinya dengan anda.
Jangan menguatkan halusinasi. Gunakan kata-kata suara tersebut dari
pada kata-kata seperti mereka yang menyatakan validasi secara tidak langsung.
Cobalah untuk menghubungkan waktu-waktu terjadinya kesaahan
persepsi dengan waktu-waktu terjadinya ansietas.
Cobalah untuk mengalihkan pasien dari kesalahan persepsi.
Adapun cara yang efektif dalam memutuskan halusinasi adalah :
1. Menghardik halusinasi.

11
2. Berinteraksi dengan orang lain.
3. Beraktivitas secara teratur dengan
menyusun kegiatan harian.
4. Memanfaatkan obat dengan baik.
Keluarga perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang
mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting karena
keluarga adalah sebuah system dimana klien berasal dan halusinasi sebagai salah
satu gejala psikosis dapat berlangsung lama (kronis) sehingga keluarga perlu
mengetahu cara perawatan klien halusinasi dirumah.
Dalam mengendalikan halusinasi diberikan psikofarmaka oleh tim medis
sehingga perawat juga perlu memfasilitasi klien untuk dapat menggunakan obat
secara tepat. Prinsip lima benar harus menjadi focus utama dalam pemberian obat.

I. EVALUASI

Asuhan keperawatan klien dengan halusinasi berhasil jika :


1. Klien mampu memisahkan antara kejadian-kejadian atau situasi-siatuasi
realita dan tidak realita.
2. Klien mampu tidak berespon terhadap persepsi sensori yang salah.
3. Klien menunjukkan kemampuan mandiri untuk mengontrol halusinasi
4. Mampu melaksanakan program pengobatan berkelanjutan
5. Keluarga mampu menjadi sebuah sistem pendukung yang efektif dalam
membantu klien mengatasi masalahnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,L.J., Buku saku diagnosa keperawatan, EGC, Jakarta, 1995.

Keliata,B.A. SKp, M.App, Sc, Proses keperawatan kesehatan jiwa, EGC Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta 1999.

Kumpulan bahan kuliah, Ilmu Keperawatan Jiwa, tidak diterbitkan.

Rasmun, SKp, Keperawatan kesehatan mental psikiatri terintegrasi dengan keluarga,


tidak diterbitkan.

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J.,Principles and practice of psychiatric nursing (5th ed) St
louis :Mosby Year Book, 1995.

Stuart, G.W. dan Laraia, M.T.,Principles and practice of psychiatric nursing (6th ed) St
louis :Mosby Year Book, 1998.

Townsend, M.C., Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri: pedoman untuk


pembuatan rencana keperawatan, EGC, Jakarta, 1998.

13

Anda mungkin juga menyukai