Anda di halaman 1dari 16

Proposal Skripsi

Analisis Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Gagal Ginjal


Kronis di Instalasi ICU Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

Disusun Oleh:

INDAH NILAWATI
NIM M0613023

USULAN PENELITIAN
Diajukan untuk menyusun skripsi sarjana farmasi
Program Studi S1 Farmasi

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Maret, 2017
PERSETUJUAN

Proposal Skripsi Mahasiswa:

INDAH NILAWATI
M0613023

Dengan Judul

Analisis Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Gagal Ginjal


Kronis di Instalasi ICU Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

Disetujui Oleh Pembimbing Untuk Dikerjakan

Surakarta, Maret 2017


Pembimbing I Pembimbing II

Vinci Mizranita, S. Pharm, M. Pharm NIP


NIP.
Mengetahui,
Koordinator Skripsi Ketua Program Studi S1 Farmasi

Anif Nur Artanti, M.Sc., Apt. Dr. Rer. Nat. Saptono Hadi, S.Si., M.Si.,
NIP. 18970427200140501 Apt.
NIP. 197604032005011001
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Penyakit gagal ginjal kronis (GGK) merupakan masalah kesehatan yang paling
banyak terjadi di dunia dan mempengaruhi kira-kira 26 juta orang di Amerika Serikat.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi gagal ginjal
kronis (GGK) di Indonesia adalah sebesar 0,2% . Dimana angka kejadian penyakit

gagal ginjal kronis (GGK) yang terus meningkat setiap tahunnya.

Di negara-negara berkembang, penyakit gagal ginjal kronis (GGK) ini pada


umumnya berkaitan erat dengan usia, diabetes, hipertensi, obesitas, dan penyakit
kardiovaskuler serta diagnosis yang sulit ditegakkan. Perkiraan akan beban pada
penyakit ginjal tahap awal juga sulit dan seringkali dapat dibiaskan dengan
terbatasnya tanda dan metode yang digunakan untuk memperkirakan GFR dan
kerusakan ginjalnya. Di Amerika Serikat, perkiraan akurat diperoleh berdasarkan
GFR dan albuminuria dari prevalensi penyakit gagal ginjal kronis (GGK) dari tahun
1999 hingga 2006 yaitu 11,5% dengan 4,8% tahap 1 hingga 2 dan 6,7% tahap 3
hingga 5 serta 47% pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun yang utamanya
disebabkan oleh penurunan GFR (Levey and Coresh, 2012).

Pasien dengan gagal ginjal kronis (GGK) awal cenderung tidak merasakan sakit
maupun gejala. Satu-satunya cara untuk memastikan apakah seseorang mengalami

gagal ginjal kronis (GGK) adalah melalui pemeriksaan darah dan urin spesifik .
Setelah terdeteksi maka gagal ginjal kronis (GGK) dapat diobati dengan obat-obatan
dan perubahan gaya hidup, termasuk perubahan asupan makanan dan minuman .
Pengobatan tersebut pada umumnya akan menurunkan progresivitas kerusakan ginjal
serta mencegah masalah kesehatan yang lainnya (SIGN, 2008).

Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis (GGK) berdasarkan wawancara yang


didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam
pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur
55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur 75 tahun (0,6%). Prevalensi
pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada
masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah
bawah masing-masing 0,3 persen (Riskesdas, 2013).

Gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai ketidaknormalan sruktur atau


fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan yang progresif ke arah gagal ginjal terminal .
Kriteria lain dari gagal ginjal kronis (GGK) adalah terdapat tanda kerusakan ginjal
seperti terjadinya albuminaria, adanya sedimen urin, abnormalitas elektrolit yang
diebabkan oleh penyakit tubular, kelainan yang dideteksi dengan histologi, riwayat
transplantasi ginjal serta penurunan nilai GFR hingga kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
(KDIGO, 2013).

Pergeseran paradigma pelayanan kefarmasian dari drug orieted ke patient


oriented atau pharmaceutical care menuntut peran apoteker dalam memaksimalkan
terapi pasien. Pharmaceutical care merupakan pelayanan kefarmasian dimana
seorang apoteker memiliki tanggung jawab secara langsung untuk meningkatkan
kualitas kehidupan pasien. (Departemen Kesehatan RI, 2004). Apoteker tidak hanya
bertanggung jawab dalam menjamin terapi obat yang diberikan aman, tepat dan
terjangkau tetapi juga menjamin hasil terapi yang diinginkan oleh pasien . Hasil terapi
terbaik dari pasien dapat dicapai apabila apoteker melakukan identifikasi, dapat
mengatasi serta mencegah kejadiaan Drug Related Problems (DRPs). DRPs
merupakan bagian dari suatu medication error yang dihadapi hampir semua negara di
dunia (Cipolle et al., 2004).

Drug Related Problems (DRPs) pada dasarnya berbeda dengan medication error.
Dimana medication error merupakan kejadian yang dapat dicegah yang dapat
menyebabkan pengobatan yang tidak sesuai ataupun membahayakan pasien yang
masih dalam kontrol tenaga kesehatan. Medication error lebih terorientasikan pada

proses dibandingkan dengan hasilnya. Apabila terjadi suatu kesalahan dalam


meresepkan atau proses dispensing, maka secara otomatis disebut sebagai medication
error, baik itu berdampak atau tidak pada pasien (Mill, 2005).

Drug related problems (DRPs) merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang
menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat sehingga kenyataannya
potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Kategori DRPs
meliputi indikasi yang tidak diterapi, obat dengan indikasi yang tidak sesuai, obat
salah, interaksi obat, overdosis (dosis lebih), dosis subterapi, Adverse Drug Reactions
dan kegagalan dalam menerima obat (Cipolle et al, 1998).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Luntungan et al pada tahun 2016 di
sebuah rumah sakit di Manado, menunjukkan persentase Drug Related Problems
(DRPs) pada pasien dengan gagal ginjal kronis (GGK) yaitu indikasi tanpa terapi
(3,6%), terapi tanpa indikasi (0%), pemilihan obat yang tidak tepat (0%), dosis sub
terapi (36,9%), dosis obat berlebih (3,3%) dan penerima gagal menerima obat
(56,2%).
Penanganan pada pasien gagal ginjal kronis (GGK) harus dilakukan dengan tepat
agar dapat menurunkan persentase kejadian atau prevalensinya di Indonesia . Hal ini
dapat tercapai apabila diagnosis yang diberikan oleh dokter tepat dan pengobatannya
sesuai dengan kondisi pasien. Pemberian obat yang rasional akan dapat

mengoptimalkan tujuan klinis untuk pasien dengan gagal ginjal kronis (GGK).
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pola penggunaan obat pada pasien gagal ginjal kronis (GGK)
di instalasi ICU RSUD dr. Moewardi?
2. Bagaimanakah profil Drug Related Problems (DRPs) pada pasien gagal ginjal
kronis di instalasi ICU RSUD dr. Moewardi?

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah, yaitu:
1. Mengetahui pola penggunaan obat pada pasien gagalginjal kronis (GGK)
di instalasi ICU RSUD dr. Moewardi.
2. Mengetahui profil Drug Related Problems (DRPs) pada pasien gagal
ginjal kronis (GGK) di instalasi ICU RSUD dr. Moewardi.

4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui persentase angka kejadian dan profil Drug Related
Problems (DRPs) pada pasien gagal ginjal kronis (GGK) di instalasi ICU
RSUD dr. Moewardi sehingga tenaga kesehatan dapat mengantisipasi dan

mencari solusi terhadap Drug Related Problems yang terjadi.


2. Sebagai salah satu acuan untuk meningkatkan mutu pelayanan medik.
3. Sebagai salah satu acuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
4. Sebagai pembanding terhadap penelitian sebelumnya.
BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Gagal Ginjal Kronis
1.1. Definisi
Gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai ketidaknormalan sruktur atau
fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan yang progresif ke arah gagal ginjal terminal .
Kriteria lain dari gagal ginjal kronis (GGK) adalah terdapat tanda kerusakan ginjal
seperti terjadinya albuminaria, adanya sedimen urin, abnormalitas elektrolit yang
diebabkan oleh penyakit tubular, kelainan yang dideteksi dengan histologi, riwayat
transplantasi ginjal serta penurunan nilai GFR hingga kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
(KDIGO, 2013).
Penyakit ginjal kronis merupakan istilah umum untuk gangguan heterogen yang
mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. Secara tradisional, gagal ginjal dianggap
sebagai akibat yang serius dari penyakit gagal ginjal kronis (GGK) dan gejala yang
timbul pada umumnya disebabkan oleh komplikasi penurunan fungsi ginjal. Ketika
pasien telah mengalami gejala berat, kemudian hanya dapat diobati dengan dialisis
dan transplantasi maka disebut dengan gagal ginjal tahap akhir . Gagal ginjal
didefinisikan sebagai keadaan dimana GFR kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2
ataupun kebutuhan untuk melakukan dialisis maupun transplantasi (Levey and
Coresh, 2012).
Penyakit gagal ginjal kronis (GGK) seringkali dikaitkan dengan hilangnya
sejumlah besar fungsi nefron yang irreversibel dan progresif, dimana gejala klinis
biasanya tidak akan timbul hingga fungsi nefron menurun setidaknya 70 hingga 75
persen di bawah normal. Faktanya, secara relatif konsentrasi darah normal pada
elektrolit dan volume cairan tubuh normal masih dapat dipertahankan hingga jumlah
nefron yang berfungsi menurun di bawah 20 hingga 25 persen dari normal (Hall,
2016).
1.2. Klasifikasi
Gagal ginjal kronis (GGK) diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori
GFR, dan kategori albuminuria (KDIGO, 2013).
Distribusi penyebab gagal ginjal kronis (GGK) di seluruh dunia yaitu: diabetes,
hipertensi, glomerulonefritis kronis, interstitial nefritis kronis, penyakit renovaskuler,
keturunan, dan penyebab lain yang tidak diketahui (Jha et al, 2013).

Tabel 1. Penyebab Utama Gagal Ginjal Kronis (GGK) (Alfrey, ).


Glomerulonepati
Penyakit sistemik
Diabetes
Amiloidosis
Penyakit ginjal yang diwariskan
Hipertensi
Uropati obstruktif
Infeksi
Nefritis interstitial

Rata rata 10 hingga 15% pasien dengan gagal ginjal kronis (GGK)
berkesempatan memiliki bentuk herediter penyakit ginjal seperti sindrom Alport,
penyakit Fabry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polisistik, penyakit
medulari sistik dan amiloidosis familial (Alfrey, ).
a. Kategori Glomerular Filtration Rate (GFR) dalam gagal ginjal kronis (GGK):
(KDIGO, 2013).

Tabel 2. Kategori GFR dalam Gagal Ginjal Kronis (GGK)


Kategori GFR GFR (mL/menit/1,73 m2) Keterangan
G1 90 Normal atau tinggi
G2 60 89 Sedikit menurun
G3a 45 59 Sedikit hingga cukup menurun
G3b 30 44 Cukup hingga sangat menurun
G4 15 29 Sangat menurun
G5 15 Gagal ginjal
b. Kategori Albuminuria dalam Gagal Ginjal Kronis (GGK): (KDIGO, 2013).

Tabel 3. Kategori Albuminuria dalam Gagal Ginjal Kronis (GGK)


Kecepatan Eksresi Rasio Albumin Kreatinin
Kategor
Albumin (mg/24 (mg/mmol (mg/g) Keterangan
i
jam) )
A1 < 30 < 30 < 300 Normal hingga menurun
sedikit
A2 30 300 3 30 30 300 Cukup menurun
A3 > 300 > 30 > 300 Sangat menurun

c. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis (GGK) atas Dasar Derajat Penyakit


Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/menit/1,73m) = (140-umur) x berat badan / 72 x kreatinin plasma


(mg/dl)
*)
Pada perempuan dikalikan 0,85 (Suwitra, 2009)

Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronis atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

d. Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronis atas Dasar Diagnosis Etiologi

Tabel 5. Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronis atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit otoimun, infeksi sistemik,obat, neoplasia
Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit Tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik
(Ginjal Polisiklik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi Kronik
Keracunan obat
(siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
(Suwitra, 2009).
1.3. Epidemiologi
Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis (GGK) secara signifikan memiliki
tingkat morbiditas, mortalitas, rawat inap, dan pemanfaatan kesehatan yang lebih
tinggi. Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis pada tahap 2 hingga 5 terus meningkat
sejak 1988. Perkiraan saat ini bahwa 26 juta orang di Amerika Serikat yang berusia
lebih dari 20 tahun memiliki penyakit gagal ginjal kronis (GGK) . Namun, perkiraan
prevalensi yang terbaru berdasarkan data NHANES tahun 2003 2006 yaitu dewasa
yang berusia 20 tahun menurun menjadi 15,2% dari 15,9% yang dikutip dari
kumpulan data NHANES tahun 1999-2000. Penurunan ini terjadi pada kelompok
penyakit gagal ginjal kronis (GGK) tahap 1, sedangkan pada kelompok tahap 3
meningkat hingga 6,5% dari 2003 2006. Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis
(GGK) tahap 4 dan 5 meningkat dua kali lipatnya sejak 1988 1999 . Namun tetap

stabil 0,6% sejak tahun 2002 (Henry Ford Health System, 2011).

1.4. Patofisiologi
Beberapa susceptibility factor dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan
ginjal, namun tidak semua faktor tersebut menyebabkan kerusakan ginjal . Faktor
faktor tersebut diantaranya usia lanjut, penurunan massa ginjal dan kelahiran dengan
bobot rendah (low birth weight), ras dan etnik minoritas, riwayat keluarga,
pendidikan atau pendapatan rendah, inflamasi sistemik, serta dislipidemia . Faktor
inisiasi (initiation factors) yang mengawali kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi
melalui terapi obat. Faktor inisiasi tersebut diantaranya diabetes melitus, hipertensi,

penyakit autoimun, penyakit ginjal polycystic, dan toksisitas obat. Sedangkan faktor
progresif (progression factors) dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah
inisiasi gagal ginjal. Faktor faktor tersebut diantaranya glikemia pada diabetes,

hipertensi, proteinuria, dan merokok. Kebanyakan nefropati progresif berakhir pada

jalur umum menuju kerusakan parenkimal renal ireversibel dan ESRD . Elemen
utamanya adalah kehilangan massa nefron, hipertensi kapilari glomerular, dan
proteinuria (Sukandar et al, 2011).
Mekanisme yang dapat menyebabkan CKD adalah glomerulosklerosis, parut
tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular (Wilson, 1999).
Glomerulosklerosis
Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis progresif glomeruli
yang dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel ekstraglomerular . Kerusakan sel
intraglomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium,
sel epitel) dan ekstrinsik (trombosit, limfosit, monosit/makrofag) . Sel endotel dapat
mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik, metabolik dan imunologis.
Kerusakan ini berhubungan dengan reduksi fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi
sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta pembentukan
mikrotrombus pada kapiler glomerulus serta munculnya mikroinflamasi. Akibat
mikroinflamasi, monosit menstimulasi proliferasi sel mesangium sedangkan faktor
pertumbuhan dapat mempengaruhi sel mesangium yang berproliferasi menjadi sel
miofibroblas sehingga mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena podosit tidak
mampu bereplikasi terhadap jejas sehingga terjadi peregangan di sepanjang
membrana basalis glomerulus dan menarik sel inflamasi yang berinteraksi dengan sel
epitel parietal menyebabkan formasi adesi kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya
terjadi akumulasi material amorf di celah paraglomerular dan kerusakan taut
glomerulo-tubular sehingga pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan fibrosis
interstisial.
Parut tubulointerstisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi, proliferasi
fibroblas interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular berlebihan. Gangguan
keseimbangan produksi dan pemecahan matriks ekstra selular mengakibatkan fibrosis
ireversibel.
Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular mengeksaserbasi
iskemi interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia pembuluh darah merupakan sumber

miofibroblas yang berperan dalam berkembangnya fibrosis interstisial ginjal.


1.5. Kriteria
Kriteria penyakit gagal ginjal kronis: (Levey and Coresh, 2012).
1. Durasi lebih dari 3 bulan sejak dilakukanya dokumentasi atau interferensi
Durasi dibutuhkan untuk membandingkan penyakit gagal ginjal kronis dengan gagal
ginjal akut. Penilaian klinis akan menunjukkan durasi. Dokumentasi durasi tidak
selalu tersedia pada penelitian epidemiologi.
2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2
GFR merupakan indeks keseluruhan terbaik untuk menggambarkan fungsi ginjal
dalam kesehatan dan penyakit. Dimana GFR normal pada orang dewasa muda yang
berkisar 125 mL/menit/1,73 m2 sedangkan GFR yang < 15 mL/menit/1,73 m 2
dikategorikan sebagai gagal ginjal. Penurunan GFR dapat dideteksi dengan

persamaan untuk memperkirakan GFR yang didasarkan pada serum kreatinin.

1.6. Faktor Resiko


Penyakit gagal ginjal kronis (GGK) memiliki resiko kematian tiga kali lipat lebih
tinggi. Oleh karena itu, faktor resiko klinik dan atau faktor progresi harus dipastikan

setiap pengecekan kesehatan rutin dan berkala. Individu dengan resiko tinggi
mengalami gagal ginjal kronis (GGK) harus dicek kerusakan ginjal dan GFR nya
secara berkala. Dimana hipertensi dan diabetes dengan prevalensinya masing
masing sebesar 74,5 juta dan 23,6 juta merupakan faktor resiko paling penting dalam
penyakit gagal ginjal kronis (GGK). Faktor resiko lainnya seperti: riwayat cedera
ginjal akut/kronis, obstruksi saluran kemih, batu ginjal, penurunan massa ginjal,
nefrotoksin (analgesik, aminoglikosida, amfoterisin, dan radiokontras), penyakit
autoimun, low birth weight, pre-eklampsia, sosiodemografi (lanjut usia, jenis
kelamin, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, rendahnya tingkat
pendapatan/pendidikan, senyawa kimia berbahaya atau paparan lingkungan) dan etnis
(Henry Ford Health System, 2011).
Tabel 6. Faktor Resiko Penyakit Gagal Ginjal Kronis (GGK)
Diabetes
Hipertensi
Penyakit Kardiovaskuler
Riwayat gagal ginjal
Obesitas (BMI 30 kg/m2)

Perokok
Berusia 60 tahun atau lebih
Riwayat cedera ginjal akut
(Kidney Health Australia, 2015).
1.7. Tata Laksana Gagal Ginjal Kronis
Daftar pustaka
Cipolle RJ, Strand LM, Morley PC. 1998. Pharmaceutical Care Practice. New York:

The McGraw-Hill Companies, Inc.


Cipolle, RJ., Strand, LM., and Morley., PC. 2004. Drug Therapy Problem: In

Pharmaceutical Care Practie The Clinician's Guide second edition . New York:

The McGraw-Hill Companies.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 1027/MMENKES/SKI/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek. Jakarta: Direktoral Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat

Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Hall, John E. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology: Thirteenth

Edition. Philadelphia: Elsevier.


Henry Ford Health System. 2011. Chronic Kidney Disease: Clinical Practice

Recommedations for Primary Care Physicians and Healthcare Providers.

Detroit: HFHS.
Jha, Vivekanand., Guillermo Garcia-Garcia, Kunitoshi Iseki, Zuo Li, Saraladevi

Naicker, Brett Plattner, Rajiv Saran, Angela Yee-Moon Wang, Chih-Wei Yang .

2013. Chronic Kidney Disease: Global Dimension and Perspectives . Lancet.

Vol. 382.
Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) . 2013. Clinical Practice

Guideline for The Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease .

Kidney Int Suppl.3: 1150.


Kidney Health Australia. 2015. Chronic Kidney Disease (CKD):Management in
General Practice Guidance and Clinical Tips to Help Identify, Manage and
Refer Patients with CKD in Your Practice Third Edition. Australia: The
Australian Kidney Foundation.
Levey, Andrew S and Josef Coresh. 2012. Chronic Kidney Disease. Lancet. Vol.
(379):
Mill, Foppe van. 2005. Drug Related Problems: a Cornerstone for Pharmaceutical

Care. Journal of The Malta College for Pharmacy Practice. Issue 10 Summer
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesa.


SIGN. 2008. Diagnosis and Management of Chronic Kidney Disease: A National

Clinical Guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network.


Sukandar, Elin Yulinah., Retnosari Andrajati, Joseph I. Sigit, I Ketut Adnyana, Adji

Prayitno Setiadi, dan Kusnandar. 2011. ISO Farmakoterapi 2. Jakarta: Penerbit

ISFI.
Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.

Jakarta: Pusat Penerbitan Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Halaman 1035-
1037.

Anda mungkin juga menyukai