Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh
Kelompok 7
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino
esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk
meningkatkan konsumsi ikan, salah satunya dengan diversifikasi pengolahan hasil
perikanan. Pengolahan ikan merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan hasil panen
yang disertai dengan usaha peningkatan penerimaan konsumen melalui rasa, aroma,
penampakan produk. Pengolahan ikan juga bertujuan untuk menghambat kegiatan zat-zat
dan mikroorganisme yang dapat menimbulkan kemunduran mutu dan kerusakan
(Moeljanto, 1982).
Sektor perikanan Indonesia pada era globalisasi ini memiliki prospek pengembangan
yang sangat potensial. Hal ini dapat dilihat dari industri pangan hasil perikanan yang
semakin berkembang dan beragam jenisnya. Salah satu bahan pangan perikanan yang
pada saat ini sedang berkembang di Indonesia adalah surimi (Santoso, 2008). Surimi
dibuat dengan bahan dasar ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, berlemak
rendah. Surimi sampai saat ini merupakan jenis produk olahan ikan yang belum banyak
di kenal di Indonesia. Jepang yang merupakan negara asal surimi telah ratusan tahun
dikenal dan menjadi bagian industri yang penting. Dewasa ini surimi juga banyak
berkembang negara-negara barat.
Ikan cucut cukup banyak diminati sehingga tingkat penangkapan sangat tinggi. Ikan cucut
memiliki jenis tulang rawan (chondrichtyes) yang hidup dilaut. Ikan cucut memiliki nilai
ekonomis yang tinggi salah satunya bagian yang diminati adalah sirip. Ikan ini memiliki
pergerakan yang cukup cepat dan kuat untuk menangkap mangsanya. Hal inilah yang menjadi
faktor tubuh ikan cucut mampu mempunyai ukuran yang besar, tulang yang kuat, namun tetap
dinamis dalam bergerak. Sebagai salah satu sumber protein ikan, daging cucut tidak
berbeda jauh dengan daging jenis ikan lainnya mengandung protein sekitar 20%. Yang
sering menjadi keberatan dalam pemanfaatan daging cucut adalah terdapatnya senyawa
urea dalam daging, darah dan organ lainnya. Kandungan urea dalam daging cucut dapat
mencapai 2,5% yang dapat mempengaruhi rasa daging. Bila telah mengalami penurunan
mutu sebagian urea terurai menjadi amoniak yang berbau pesing. Maka dalam upaya
pemanfaatan daging cucut supaya dapat dikonsumsi layaknya daging ikan lainnya,
kandungan urea harus dikurangi dan penguraian sisa urea dalam daging harus dicegah
(Rahardjo, 2007).
Produk makanan seperti surimi merupakan salah satu jenis pengolahan hasil perikanan.
Surimi dapat dibuat dengan menggunakan bahan mentah hampir dari semua jenis ikan,
sehingga sangat bermanfaat dalam pengolahan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah.
Produk surimi belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia, padahal pembuatan
produk hasil laut ini, tidak terlalu sulit dan cukup sederhana sehingga bisa lebih
dikembangkan di masyarakat. Karena selain memiliki nilai gizi yang tinggi, juga mudah
mendapatkan bahan-bahan dalam pembuatannya (Suwandi, 1997).
I.2. Tujuan
II. ISI
2.1 Pengertian surimi
Menurut Pipatsattayanuwong et al. (1995) surimi adalah protein miofibril ikan
yang telah distabilisasikan dan diproduksi melalui tahap proses secara kontinu yang
meliputi penghilangan kepala, penghilangan tulang, pelumatan daging, pencucian,
penghilangan air, dan pembekuan dengan cryoprotectant, juga dapat diartikan sebagai
suatu proses pencucian dan penghilangan air pada daging lumat ikan dari protein
sarkoplasma, lemak, dan bahan- bahan yang tak diinginkan seperti kulit dan tulang.
Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk
menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses
yang diperlukan untuk mengawetkannya (Surimithailand 2005). Surimi adalah produk
antara, yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan (fish jelly product)
seperti: bakso ikan, sosis ikan, siomay, otak-otak, fish cake, kamaboko, dan sebagainya
yang spesifikasinya menuntut kelenturan (spinginess) yang merupakan kriteria mutu
utama produk tersebut.
Bahan utama pada pembuatan surimi ini adalah ikan cucut. Secara teknis semua jenis
ikan dapat dibuat surimi. Daging ikan cucut mempunyai kemampuan untuk
membentuk gel secara sempurna sehingga dapat menghasilkan tekstur yang elastis,
rasa enak dan penampakan putih. Namun demikian, ikan berdaging putih, tidak
berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta kemampuan membentuk gel yang bagus
akan menghasilkan surimi yang lebih baik. Jenis ikan yang ideal untuk surimi adalah
yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, karena akan
berpengaruh terhadap elastisitas produk, sehingga kesegaran ikan merupakan syarat
utama (Santoso 2008).
Dua unsur utama yang harus diperhatikan untuk menghasilkan surimi berkualitas baik
yaitu bahan baku berasal dari daging berwarna putih dan berkadar lemak rendah
dengan tingkat kesegaran tinggi. Selain itu faktor biologis seperti fase bertelur,
musim dan ukuran juga dapat mempengaruhi kualitas surimi yang dihasilkan. Selama
proses pembuatan surimi faktor utama yang perlu diperhatikan adalah suhu air pencuci
dan penggilingan daging. Jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian
tergantung pada suhu air pencuci yang akan berpengaruh terhadap kekuatan
gel. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut air.
Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air
bersuhu 10-15C (Schawrz dan Lee, 1988)
Faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi :
- cara penyiangan,
- besarnya partikel daging lumat,
- kualitas air,
- suhu ikan,
- peralatan yang digunakan,
- cara pencucian.
Kekuatan surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari surimi tersebut. Surimi
yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel.
Pengolahan surimi yang telah umum dilakukan terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: persiapan
bahan baku, pencucian, penghilangan tulang, pencucian daging lumat, pengurangan kadar air,
penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan. Diagram alir
pengolahan surimi yang umum dilakukan dapat dilihat yaitu sebagai berikut:
Ikan cucut
Pencucian
Pemfiletan
Daging Lumat
Pertama: air dingin
Pencucian Kedua: air dingin
Ketiga: air dingin + NaCl 0,2-0,3 %
Surimi beku
Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan yang ideal
untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik,
sebab kemampuan pembentukan gel ini akan mempengaruhi elastisitas tekstur. Untuk
mendapatkan kualitas surimi yang baik, sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar, karena
elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar. Kualitas dari surimi beku dinilai
dari kekuatan gelnya dan warna dari surimi tersebut. Menurut Winarno (1993) kualitas surimi
yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel.
Faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi yang berkualitas baik antara lain
adalah: cara penyiangan (pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel dari daging lumat,
kualitas air, temperatur ikan, peralatan yang digunakan, dan cara pencucian. Menurut
faktor utama yang harus diperhatikan selama proses pembuatan surimi adalah suhu air
pencuci dan penggilingan daging ikan. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak
melarutkan protein larut garam. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika daging ikan dicuci dengan
air yang bersuhu 10-15 C. Menurut Benjakul et al. (1996) pencucian adalah tahap kritis dalam
proses pembuatan surimi. Pencucian dapat menghilangkan materi yang dapat larut air, seperti
darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik, dan senyawa organik berberat
molekul rendah seperti trimetilamin oksida. Pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna
dan aroma, serta meningkatkan kekuatan gel surimi.
komponen utama yang dapat larut dalam air akan hilang dalam jumlah yang banyak
pada siklus pencucian pertama kali. Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali
pencucian untuk pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai
cukup. Lin et al. (1996) diacu dalam Benjakul et al. (1996) melaporkan bahwa 27 % dan
38 % protein hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali dalam proses
pengolahan surimi.
2. 3.1 Garam
Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl. Garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan
sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Garam memiliki tekanan osmosis yang tinggi
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya proses osmosis dengan sel daging ikan dan sel-sel
mikroorganisme. Akibat plasmolisis sel mikroorganisme akan turun kadar airnya sehingga
mikroorganisme akan mati karena kekurangan air sebagai media untuk hidup. Pada pembuatan
surimi penambahan garam sebanyak 0,2-0,3 % selama proses pencucian akan
memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan. Menurut KIFTC
(1992) bahwa dalam pembuatan produk fish jelly, NaCl
digunakan lebih utama sebagai agen pelarut bagi protein miofibril daripada sebagai penambah
cita rasa. Penambahan NaCl pada konsentrasi dibawah 2 % akan menyebabkan protein
miofibril tidak dapat larut, namun penambahan NaCl pada konsentrasi diatas 12 % akan
menyebabkan daging terdehidrasi dan menyebabkan efek salting-out dari NaCl. Penambahan
NaCl terbaik dalam pembentukan ashi adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi (5-10
%), tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies dan produk, karena
untuk menghindari rasa asinnya .
Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun
(Lee 1984). Penambahan cryoprotectant juga dapat meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari
350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya
sama dengan meningkatkan nilai pelipatan. Jenis polifosfat yang digunakan sebagai bahan
tambahan makanan antara lain adalah dinatrium fosfat, natrium heksametafosfat dan natrium
tripolifosfat (STPP). Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992) fosfat digunakan pertama kali
oleh Nishiyas Group (industri surimi di Jepang). Pirofosfat dan tripolifosfat dilaporkan
memiliki efek untuk melindungi protein. Nishiyas Group melaporkan bahwa pirofosfat dan
tripolifosfat adalah lebih efektif dibandingkan dengan tetrapolifosfat dan heksametafosfat.
Peranginangin et al. (1999) melaporkan bahwa polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan
berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral
dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu
menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat
menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan
kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan
memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi. Matsumoto dan
Noguchi (1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama polifosfat adalah untuk
meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari polifosfat pada pH otot
dan dengan mengkelatkan ion metal. Ditetapkan bahwa penggunaan sodium tripolifosfat yang
diizinkan adalah 3 g/kg daging ikan, Apabila ditinjau dari komposisinya ternyata sodium
tripolifosfat terdiri dari natrium dan fosfat yang keduanya tidak mengganggu kesehatan bahkan
fosfat dapat digunakan sebagai sumber mineral. Surimi bebas fosfat dapat diproduksi dengan
maksud menyingkirkan masalah konsumen yang kawatir terhadap keseimbangan nutrisi dari
kalsium dan fosfat.
Mutu surimi yang baik ditentukan oleh kemampuan dari surimi tersebut untuk membentuk gel.
Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk lanjutan yang
diolah dari surimi tersebut. Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada
kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi
antara protein-protein dan protein-air. Interaksi ini berlangsung cepat pada kandungan protein
yang tinggi karena akan sering terjadi kontak intermolekul. Air berfungsi untuk mencegah
hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak. Pembentukan gel adalah hasil
dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen disulfida. Gelasi adalah hasil dari
denaturasi protein, yang dimulai dengan interaksi intermolekul dan intramolekul kovalen dan
non- kovalen, termasuk ikatan disulfida (SS) dan interaksi hidrofobik.
Menurut Baier dan Mc Clements (2005) karakteristik fisikokimia dari pembentukan gel adalah
hasil akhir dari interaksi antara pelarut, zat terlarut dan protein yang membentuk jaringan.
Kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer penyusun protein
untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein.
Kombinasi yang unik ikatan kovalen pada umumnya adalah ikatan disulfida, ikatan
intermolekul non-kovalen oleh ikatan hidrogen dan elektrostatik dan interaksi
hidrofobik secara signifikan dapat mempengaruhi terbentuknya gel. Besarnya interaksi non-
kovalen dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti pH dan konsentrasi zat terlarut. Sedangkan
ikatan hidrogen dan kekuatan hidrofobik tergantung kepada jumlah air sebagai zat pelarut .
AM A M
NaCl
Keterangan: A = aktin
M = miosin
Garam tidak hanya berpengaruh terhadap kelarutan protein miofibril, tetapi juga dapat
menstabilisasikan molekulnya terhadap denaturasi panas. Keduanya dari miosin dan aktomiosin
memiliki peranan yang penting dalam gelasi surimi. Massa ini disebut dengan sol yang bersifat
sangat adesif.
2. Proses pengolahan surimi memanfaatkan kandungan protein pada ikan, antara lain
kemampuan pembentukan gel, sehingga tekstur surimi menjadi kenyal.
3. Jenis ikan yang ideal untuk surimi adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel
yang baik, karena akan berpengaruh terhadap elastisitas produk, sehingga kesegaran ikan
merupakan syarat utama.
4. Faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi, adalah sebagai berikut :cara
penyiangan, besarnya partikel daging lumat, kualitas air, suhu ikan, peralatan yang
digunakan,
Dan cara pencucian.
5. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam pembuatan surimi, yaitu: persiapan bahan baku,
pencucian, penghilangan tulang, pencucian daging lumat, pengurangan kadar air, penambahan
bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan.
6. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam dan
cryoprotectant (gula dan polifosfat).
7. Garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet.
Hal tersebut dapat terjadi karena garam memiliki tekanan osmosis yang tinggi sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya proses osmosis dengan sel daging ikan dan sel-sel mikroorganisme.
Akibat plasmolisis sel mikroorganisme akan turun kadar airnya sehingga mikroorganisme akan
mati karena kekurangan air sebagai media untuk hidup.
Baier KS, McClements DJ. 2005. Influence of cosovalent systems on the gelation mechanism
of globular protein: thermodynamic, kinetic, and structural aspects of globular
protein gelation. Comperhesive Reviews in Food Science and Food Safety 4: 43-54.
Benjakul S, Seymour TA, Morrissey MT, Haejung AN. 1996. Proteinase in pacific whiting
surimi wash water: identification and characterization. J. Food Sci. 61 (6): 1165-
1170.
Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Di dalam. Lanier TC, Lee CM, Editor. Surimi
Technology. New York: Marcel Dekker Inc.
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Balai
Penelitian Perikanan Laut Slipi.
Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morrissey MT. 1995. Functional properties and shelf life of fresh
surimi from pacific whitting. J. Food Sci. 60(6): 1241-1244.
Rahardjo, P. 2007. Pemanfaatan dan Pengelolaan Perikanan Cucut dan Pari (Elasmobranchii) DiLaut
Jawa. [Skripsi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santoso, J., Yasin, A.W.N., and Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut dan pari
akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat. Jurnal Teknologi
dan Industri Pangan. 19(1): 57-66.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat mutu bahan baku surimi. 01-2693-1992.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Suwandi. 1997. Ikan Cucut dan Pemanfaatannya. Bogor. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Waterlow JC, Stephen JML. 1981. Nitrogen Methods in Man. London: Applied Science
Publish.
Winarno FG., Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.