Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Kejahatan korporasi ditinjau dari bentu subjek dan motifnya, dapat dikategorikan dalam White Collar
Crime dan merupakan tindak pidana atau kejahatan yang bersifat organisatoris. Selain itu kejahatan
korporasi juga merupakan kejahatan yang bersifat kompleks dan bersifat ekonomis(Herlan, 2008).
Untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria
pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan korporasi tersebut. Korporasi diperlakukan
sebagai pelaku jika terbukti tindakan bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas
dan/atau pencapaian tujuan badan hukum/korporasi, juga termasuk dalam hal orang (karyawan
perusahaan) yang secara faktual melakukan tindakan bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif
sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal ini tidak menutup
kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya
(Syahrin, 2003 : 12).
Untuk menetapkan suatu badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan
yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang
mengatur/menguasai dan/atau pemerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang.
Dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, badan hukum mempunyai kewajiban untuk membuat
kebijaka/langkah-langkah yang harus diambilnya, yaitu :
Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan
baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa badan hukum kurang berupaya
atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang (Syahrin, 2003 :
14).
Agar suatu badan hukum dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa
faktor yang harus diperhatikan, yaitu :
1. apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap
kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tidank pidana;
2. norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang menggangu lingkungan;
3. sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tesebut (Syahrin, 2003 : 14-15).
Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum
pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip
pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP ini dikarenakan subjek tindak pidana yang dikenal
dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu,
KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak
dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum
(rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana (Rusmana, 2008).
Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas lebih dahulu
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan
sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana
yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang
bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban
pidananya (Muladi dan Prayitno, 1991 : 66-67).
Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana terdapat
beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang, yaitu:
Menurut Muladi (1997 : 17-18) bahwa berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan
memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang
maupun kecendrungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana
lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal :
1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti
organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik
(public entity);
4. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a
statutory or regulatory provision;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali
pidana mati dan pidana penjara.
Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan
pencemaran. Selanjutnya, pada Pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti
melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap
mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut.
Untuk menentukan siapa-siapa yang bertanggungjawab di antara pengurus suatu badan hukum yang
harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL,
Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada badan hukum
(korporasi) yang bersangkutan. Penelusurab dan dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan
data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan
dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari
dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus
perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan
perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian (Husein, 1993 : 180-181).
Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat
mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum
dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan
hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-
sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup (Syahrin, 2003 : 17-18).
Korporasi dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari,
dengan cara :
1. memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan
pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan bisanya
memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah
dilakukannya.
3. mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang
melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.
5. membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbang B3 yang handal dan
kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang.
6. menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain
mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan
pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencagahan
dari penggunaan B3. perusahaan mengatur, mengukur, meningkatkan dan
mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari oeprasi kegiatannya dengan cara yang
sistematis (Syahrin, 2003 : 17-18).
Direktur perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal
perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan. Hal ini merupakan
konsekuensi dari ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
menyatakan bahwa direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan. Dalam melakukan
tugas dan kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab (Sjahdeini, 2002 : 425).
Dari ketentuan pasal tersebut jelas terlihat adanya duty of care (tugas mempedulikan) dari direksi
terhadap perusahaan. Dalam hal ini duty of care adalah antara lain :
1. direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad baik good faith)
dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan
perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-
hati;
2. kewajiban atas standar kehati-hatiab ditentukan oleh kewajiban seorang direktur ssuai
dengan penyelidikan yang rasional (Syahrin, 2003 : 21).
Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran
terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut sebenernya menimbulkan
kerugian pada pemberi fiducia, oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan
standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan
doktrin constructive fraud untuk pelanggaran fiduciary duty (Syahrin, 2003 : 21).Dengan demikian
direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan direksi memiliki kemampuan dan
kewajiban untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian
fungsi lingkungan hidup (Syahrin, 2003 : 21).