Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Keracunan yang disengaja dengan menggunakan pestisida, herbisida atau


racun organik lainnya telah menyebabkan ratusan ribu kematian tiap tahunnya.
Diperkirakan, dari 873.000 hingga 1.181.200 kasus bunuh diri terlapor di dunia,
sekitar 35% atau 370.000 di antaranya merupakan bunuh diri akibat keracunan
yang disengaja. Dua pertiga dari kasus ini terjadi di negara berkembang, seperti
India, Afrika, dan Asia Tenggara. Kasus yang tidak terlapor diperkirakan sekitar 2
hingga3 kali lipat dari angka ini 1
Racun organik merupakan pilihan utama sebagai upaya bunuh diri karena
kemudahan untuk memperolehnya dan toksisitasnya yang tinggi. Terlebih lagi di
daerah rural di mana pestisida dan herbisida rutin digunakan dalam kegiatan
agrikultural.2
Parakuat atau N,N-dimethyl-4,4-bipyridinium dichloride merupakan
senyawa golongan dipirilium yang dipergunakan sebagai herbisida kontak non-
selektif dan merupakan herbisida yang paling banyak digunakan di dunia.3
Luasnya penggunaan parakuat dalam kapasitasnya sebagai herbisida
merupakan penyebab banyaknya kasus keracunan parakuat baik disengaja
maupun tidak disengaja, terutama di daerah rural, sementara di daerah urban
golongan racun organik yang digunakan umumnya adalah dari golongan
organofosfat atau karbamat. Angka kematian dari parakuat sangatlah tinggi karena
toksisitasnya yang tinggi dan ketiadaan terapi efektif.1
Akibat dari toksisitas ini, 32 negara dunia melarang penjualan
Gramoxone.4 Di Indonesia sendiri, parakuat dijual dengan nama dagang
Gramoxone, Herbaxone, Efoxone, Gemaxone, Tamaxone, Bravoxonedan dan lain-
lain, untuk keperluan opembasmian hama rumput dalam bidang pertanian dan
perkebunan.5
Dalam laporan kasus ini kami akan memaparkan laporan kasus mengenai
keracunan yang disengaja menggunakan parakuat dan penatalaksanaan
kegawatdaruratannya di lingkungan unit gawat darurat rumah sakit.

1
BAB 2
PRESENTASI KASUS

2.1. Identitas
Nama lengkap : Sdr. D
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Sebalo, Bengkayang
Pekerjaan : Pelajar
Status : Tidak Menikah
Jenis Suku : Dayak
Agama : Katolik
Tanggal dirawat : 25 Januari 2017

2.2. Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama :
Minum racun

2.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang :


Sekitar 10 menit SMRS os ditemukan oleh anggota keluarga meminum
racun rumput merek Gramoxone (Parakuat 256 mg/L setara dengan larutan
parakuat 20%) sebanyak satu tutup botol besar langsung tanpa pengenceran. Oleh
anggota keluarga os segera dilarikan ke rumah sakit.
Sewaktu tiba di rumah sakit os tidak mengeluhkan mual, muntah, pusing,
atau sesak. Os merasakan ketidaknyamanan di dalam rongga mulut dan perut,
namun tidak ada kesulitan dalam membuka mulut. Kencing terakhir sebelum
minum racun. Selain itu tidak ada keluhan khusus.

2.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu :


Os tidak memiliki riwayat minum racun atau melakukan percobaan bunuh
diri sebelumnya.

2
2.3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Komposmentis, GCS 15, Orientasi tempat
ruang dan waktu baik
Tanda vital :
Nadi : 75 x/menit
Tekanan Darah : 120/60
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 67,2 C
Saturasi : 98% (tanpa O2)

2.3.1. Pemeriksaan Kepala


a. Bentuk Kepala = Mesochepal, simetris
b. Mata = Pupil isokor, CA (-/-) SI (-/-), Reflek pupil
(+/+)
c. Hidung = Mucus discharge (-/-)
d. Telinga = Deformitas (-/-)
e. Mulut = Bibir sianosis (-), bibir pucat (-), ulserasi
mulut (-), jalan nafas bebas
f. Tenggorokan = Hiperemis, T1/T1

2.3.2.Pemeriksaan Leher
Edema laring (-), pembesaran limfonodi (-)

2.3.3. Pemeriksaan Thorax


Pulmo
- Inspeksi = Dada simetris statis dinamis , deformitas (-) retraksi (-)
- Palpasi = Nyeri tekan (-/-), ketinggalan gerak (-/-)
- Perkusi = Sonor (+/+)
- Auskultasi = Suara dasar vesicular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

3
Cor
S1 S2 Reguler, murmur (-), gallop (-)
2.3.4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-)
2.3.5. Pemeriksaan Ekstremitas
- Superior = Edema (-/-)
- Inferior = Edema (-/-)

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin :
Leukosit : 9.000 (4.000-11.000)/mm3
Eritrosit : 4,41 (4,5-6,2) x106 /mL
Hemoglobin : 14,6 (13-18) g/dL
Hematokrit : 39,5 (40-54) %
Trombosit : 350.000 (150.000 450.000)/mm3
MCV : 89,6 (82-92) fL
MCH : 33,1 (27-31) pg
MCHC : 37,0 (32-37)

Kimia Darah:
GDS : 94 (70-180) mg/dL
Urea : 15,3 (10-50) mg/dL
Kreatinin : 1,5 (0,6-1,1) mg/dL
SGOT : 25 (<37) U/L
SGPT : 25 (<42) U/L
Natrium : 139 (135-153) mmol/L
Kalium : 3,4 (3,5-5,3) mmol/L
Klorida : 102 (98-106) mmol/L

4
2.5. Diagnosis Kerja
Intoksikasi Parakuat

2.6. Penatalaksanaan di IGD


- Pemberian Karbon Aktif 50 g (1g/kgBB)
- Kumbah lambung
- IVFD RL guyur 500 mL lanjut 20 tpm
- Furosemid 20 mg/IV/ekstra
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
- Methylprednisolone 125 mg/12 jam/IV
- Metoclopramid 10 mg/8 jam/IV
- Omeprazole 40 mg/12 jam/IV
- Antasida syrup 2 cth/8 jam/ PO
- Tidak boleh diberikan terapi O2 tambahan

2.7. Prognosis
Malam

2.8. Follow Up
26 Januari 2017:
S: Nyeri ulu hati (+)
O: Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Peristaltik usus baik
Edema tungkai (-)
A: Intoksikasi Parakuat
Akut kidney injury
Hipokalemi ringan
P: Stop intake oral - Balance cairan
IVFD NaCl 0,9% 500 cc/24 jam - Pantau produksi urin
Aminofluid 1000 cc/24 jam/IV
Methylprednisolone 125 mg/12 jam/IV
Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV

5
27 Januari 2017
Pasien pulang atas permintaan sendiri, karena ingin berobat ke RS
Vincentius Singkawang .

2 Februari 2017
Pasien datang ke IGD RS Bengkayang untuk cek darah karena diminta
oleh pihak RS Vincentius untuk memeriksakan darah 3 hari setelah
dirawat di RS Vincentius.
Keluhan: Sulit BAK, pusing, nyeri perut, dada rasa panas, sesak (-)
Hasil pemeriksaan
Darah Rutin :
Leukosit : 8.100 (4.000-11.000)/mm3
Eritrosit : 5,30 (4,5-6,2) x106 /mL
Hemoglobin : 17,3 (13-18) g/dL
Hematokrit : 47 (40-54) %
Trombosit : 331.000 (150.000 450.000)/mm3
MCV : 85,5 (82-92) fL
MCH : 31,1 (27-31) pg
MCHC : 36,8 (32-37)
Kimia Darah:
Urea : reagen habis GFR tidak bisa dihitung
Kreatinin : 9,4 (0,6-1,1) mg/dL RIFLE: Failure (SCr >3 baseline)
KDIGO: Stage 3 (SCr>3 baseline)
SGOT : 153 (<37) U/L Toxic hepatitis(?)
SGPT : 243 (<42) U/L Toxic hepatitis(?)
Natrium : 131 (135-153) mmol/L
Kalium : 3,0 (3,5-5,3) mmol/L
Klorida : 92 (98-106) mmol/L

Saran : Hemodialisa
Terapi glukokortikoid rutin lanjut

6
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Parakuat
Parakuat merupakan senyawa herbisida golongan bipiridilium,
dengan nama lain 1,1-Dimethyl-4,4-bipyridinium dichloride, dapat larut
dalam air dan diinaktivasi oleh sinar matahari sehingga mempunyai
dampak kronik yang lebih rendah dan tidak mengkontaminasi produk
tanaman dibandingkan dengan herbisida golongan lainnya. Di Indonesia
dijual dengan berbagai nama dagang seperti Gramoxone produksi
Syngenta dan berbagai nama dagang lainnya yang umumnya berakhiran
xone atau berawalan Gram-.5
Parakuat umumnya dipergunakan sebagai herbisida untuk
mengontrol pertumbuhan gulma dan rumput di area pertanian/perkebunan
dan juga untuk area non-pertanian/perkebunan, seperti di bandara dan di
sekitar bangunan komersial.5
Parakuat umumnya dijual dalam kemasan larutan konsentrat
parakuat diklorida 256mg/dL yang setara dengan 200 mg ion parakuat atau
konsentrasi 20% per liter.6
Parakuat umumnya dipergunakan dengan cara mengencerkan
konsensentrat parakuat terlebih dahulu dengan rasio pengenceran 0.2% (2
bagian parakuat dalam 500 bagian air) dan pengenceran maksimal 2,5%
(2,5 bagian parakuat dalam 100 bagian air). Untuk satu hektare umumnya
memerlukan 3,5 liter parakuat dalam minimal 187 liter air. 6
Parakuat berkerja dengan cara menyerang kloropas tanaman
melalui interaksi dengan elektron bebas dari fotosistem I membran
kloropas dengan mengkatalisa produksi spesies oksigen reaktif (ROS)
terutama superoksida (O2-) yang kemudian menyerang asam lemak tidak
tersaturasi di membran sel yang pada akhirnya menyebaban kerusakan
membran sel dan kematian sel. Proses pembentukan radikal bebas akan
terus berlanjut selama ion parakuat masih ada dan hingga ketersediaan
elektron bebas berhenti.7

7
Akibat dari mekanisme ini parakuat sangat toksik bagi manusia
dan hewan , karena mitokondria manusia dan hewan juga memproduksi
elektron bebas yang dapat dikatalisa oleh ion parakuat menjadi
superoksida. Dan karena fungsinya sebagai katalis, hanya perlu dosis
parakuat yang sangat rendah untuk menghasilkan efek toksiknya pada
manusia.8
Pada manusia dewasa, dosis letal dari parakuat adalah sekitar 30
mg/kg atau sekitar 2-4 gram ion parakuat yang setara dengan 10-20 mL
larutan 20% (satu tutup botol).8
Parakuat dapat masuk ke dalam tubuh manusia baik secara sengaja
maupun tidak sengaja. Keracunan yang tidak sengaja umumnya
diakibatkan oleh paparan parakuat selama proses penggunaan parakuat di
mana pengguna tidak mempergunakan peralatan pengamanan diri yang
tidak memadai. Umumnya dalam kondisi ini parakuat akan berkontak
dengan mata atau kulit dan atau terhirup masuk ke dalam paru-paru.
Keracunan yang disengaja umumnya terjadi melalui konsumsi larutan
parakuat secara langsung. 1,8
Setelah konsumsi, parakuat diabsorbsi secara tidak sempurna.
Parakuat yang masuk ke dalam tubuh melalui pori kulit, paru, atau saluran
cerna, akan kemudian dieliminasi sebagian besar melalui urin dalam tempo
6 jam paska absorbsi dan dieliminasi secara hampir keseluruhan dalam 12-
24 jam paska absorbsi. Gejala klinis yang timbul dari parakuat merupakan
akibat dari produksi ROS dari proses elektron di mitokondria yang
mengakibatkan kerusakan sel melalui peroksidasi lipid, aktivasi faktor
nukleus kappa-B (NF-B), kerusakan mitokondria dan apoptosis sel di
berbagai organ. Akibat dari efek kerjanya yang tergantung pada
ketersediaan oksigen, parakuat secara umum terkonsentrasi dan
mengakibatkan kerusakan maksimal di pneumosit dan memicu fibrosis
paru. Selain it parakuat juga menyerang organ-organ yang sel-selnya
mempergunakan oksigen dalam jumlah besar seperti jantung, hati, kelenjar
adrenal, sistem saraf pusat, otot, dan limpa yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kegagalan multi organ yang berakhir pada kematian. Selain

8
itu ginjal sebagai tempat eliminasi parakuat juga dapat mengalami
kerusakan yang dapat menyebabkan gagal ginjal.9
Akibat dari proses dasar ini, umumnya gambaran klinis dari
keracunan parakuat menunjukkan proses peradangan dari organ-organ ini
seperti acute lung injury, hipertensi pulmoner, leukositosis, asidosis
metabolik, pembesaran jantung, gagal ginjal akut, edema generalisata dan
peningkatan kadar amilase dan kreatinin, dengan mortalitas mendekati
100%.9

3.2. Mekanisme Toksisitas Parakuat


Parakuat mempunyai kemampuan untuk mengakibatkan siklus-
redoks dan produksi dari ROS. Parakuat dimetabolisme oleh beberapa
sistem enzim utama seperti NADPH-sitokrom p450 reduktase, xantin
oksidase, NADH-ubikuinon oksidoreduktase dan nitrat oksida sintase.
Dalam proses metabolisme ini ion parakuat akan dimetabolisme menjadi
radikal parakuat mono kation (Pq.+), yang kemudian direoksidasi menjadi
Pq2+ yang memproduksi superoksida (O2-) . Oksigen bertindak sebagai
akseptor elektron dan NADP sebagai donor elektronnya. Hal ini kemudian
juga mengakibatkan produksi radikal bebas hidroksil (HO .) melalui
katalisator besi via reaksi Fenton. Radikal nitrit oksida (NO) kemudian
akan berkombinasi dengan superoksida untuk membentuk peroksinitrit
(ONOO-) yang merupakan oksidan kuat dan agen nitrasasi yang berpotensi
dapat merusak protein melalui interaksinya dengan rantai cabang asam
amino. Parakuat secata langsung atau tidak menginduksi NO sintase dan
oleh karena itu meningkatkan produksi radikal nitrit oksida (NOS).
Gabungan antara produksi ROS dan NOS menyebabkan reaksi toksik
pada berbagai organ, namun reaksi ini paling kentara terlihat di paru, di
mana parakuat dapat terkonsentrasi dalam jumlah besar.9
ROS dan NOS dapat menarik atom hidrogen dari asam lemak tidak
jenuh dan menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid dari membran
sel dapat mengganggu kerja membran sel dan memicu apoptosis.9

9
Parakuat dapat direduksi oleh kompleks I (NADH-ubikuinon
oksidoreduktase) dalam mitokrondia dan proses ini akan menyebabkan
produksi ROS. Hal ini kemudian akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran mitokondria tergantung ion Ca2+ akibat dari
peroksidase lipid. Hal ini akan menyebabkan depolarisasi membran dan
pembengkakan matriks mitokondria. Efek ini terutama dapat terlihat pada
sel dengan jumlah mitokondria yang tinggi seperti di otak, hati dan paru.10
Siklus redoks dari parakuat dengan cepat mengoksidasi NADPH
dan oleh karena itu menghabiskan NADPH yang diperlukan oleh sel untuk
proses pertahanan terhadap ROS yang diakibatkan oleh parakuat dan
proses sel normal.10
ROS yang diproduksi parakuat akan mengaktivasi NF-B yang
kmudian akan bertranslokasi ke dalam nukleus dan berikatan ke regio
promoter dari gen-gen target yang terlibat dalam proses inflamasi. Sebagai
akibatnya NF-B menginduksi transkripsi dari enzim, stiokin dan kemokin
proses inflamasi. Hal ini menyebbkan agregasi trombosit, fibrogenesis dan
pengaktivan dari sel-sel imun yang terlibat dalam proses inflamasi. ROS
dan aktivasi dari NF-B ini kemudian dapat memicu apoptosis dari sel.11
Kesemua mekanisme di atas tidaklah eksklusivistik dan terjadi
secara sinergistik di semua organ target utama dari parakuat. Keberadaan
mekanisme multipel dari keracunan parakuat dapat menjadi penyebab
mengapa tidak ada zat atau agen tertentu yang secara spesifik dapat
dipergunakan sebagai antidotum/penawar untuk mengatasi keracunan
parakuat secara signifikan. Sebagian besar penatalaksaan untuk keracunan
parakuat umumnya lebih ditujukan untuk penanganan proses patologis
sekunder non-spesifik.9
Secara spesifik di paru, parakuat dapat memicu alveolitis, dan
akibatnya kolaps alveolar difus, kongesti vaskuler dan leukositosis dan
trombosis pada endotelium vaskuler yang dapat memicu proses
peradangan dan edema paru, yang diikuti dengan proliferasi dari fibroblas
dalam htungan minggu hingga bulan yang mengakibatkan fibrosis paru.9
3.3. Perjalanan Klinis

10
Manifestasi klinis setelah meminum parakuat tergantung pada
jumlah parakuat yang tertelan. Jika dalam jumlah besar (>50 ml parakuat
20%) makan akan mengakibatkan kegagalan organ fulminan: edema paru,
gagal jantung, gagal ginjal dan gagal hati, disertai kejang akibat kerusakan
sistem saraf pusat. Umumnya pasien akan menunjukkan gejala hipoksia,
syok dan asidosis metabolik. Mortalitas 100% dan pada umumnya pasien
meninggal dalam hitungan jam atau dalam beberapa hari.8
Meminum parakuat dalam jumlah kecil umumnya akan
menyebabkan keracunan pada dua organ target utama yakni paru dan
ginjal, dengan angka kematian di atas 50%. Kegagalan pada ginjal terjadi
dengan cepat dan ditandai dengan peningkatan kreatinin dan sistatin-C dan
peningkatan selama 24 jam pertama dapat memprediksi prognosis jangka
panjang. Akan tetapi efek utama dari parakuat dalam dosis ini adalah
akumulasi di paru dan kerusakan pneumosit susulan yang mengakibatkan
berkurangnya pertukaran gas dan gangguan pernafasan. Gangguan ini
terjadi dalam 2 fase: fase akut alveolitis selama 1 hingga 3 hari yang
kemudian diikuti dengan fibrosis sekunder dan fase lanjutan setelah 3-7
hari yang ditandai dengan fibrosis progresif hingga 5 minggu kemudian di
mana pasien rawan mengalami anoksia berat yang berujung pada
kematian. Toksisitas hati (ikterik, kenaikan transaminase serum) umum
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut dan fibrosis paru. Akan tetapi
kematian jarang diakibatkan oleh gagal ginjal atau hati secara langsung,
dan pasien yang tidak menunjukkan adanya hepatitis mempunyai
prognosis yang lebih baik.9
Efek toksik parakuat pada sistem gastrointestinal adalah hal yang
umum terjadi pada pasien yang menelan cairan parakuat. Setelah
meminum parakuat dapat terjadi lesi di mulut dan lidah (lidah parakuat)
dalam jangka waktu satu hingga tiga hari yang ditandai dengan ulkus
mkosa disertai dengan perdarahan. Hal ini tidaklah secara pasti menandai
bahwa pasien meminum parakuat karena larutan parakuat yang dijual
bebas telah dicampur dengan agen pewarna, pembau dan pemahit rasa
yang ditujukan untuk membuat peminum parakuat memuntahkan isinya

11
keluar. Pada pemeriksaan endoskopi dapat terlihat lesi mukosa di faring,
esofagus dan lambung. Keberadaan ulkus di saluran cerna umumny
memiliki prognostik yang kurang baik karena dapat menuju pada perforasi,
mediastinitis dan atau pneumonia mediastinum. yang dapat menyebabkan
kematian secara langsung dan tidak langsung.9

Gambar 3.1. Lidah Parakuat. A. 24 jam paska konsumsi. B. 2 minggu


paska konsumsi dengan ulserasi ekstensif.9

Gambar 3.2. Foto Thorax 7 hari paskakonsumsi. Menunjukkan adanya


perkabutan alveolar difus. 9

12
Gambar 3.3. CT Scan paru 11 hari paskakonsumsi. Menunjukkan adanya
fibosis paru bilateral. 9

3.4. Penanganan Keracunan Parakuat


Pasien yang mengkonsumsi parakuat dalam jumlah besar tidak
mempunyai kemungkinan untuk sembuh dengan ilmu kedokteran yang
dipunyai dunia saat ini. Penatalaksanaan untuk pasien seperti ini umumnya
berupa terapi paliatif setelah diagnosis keracunan ditegakkan. Jalan nafas
dapat terganggu akibat adanya vomitus, dan dapat terjadi takipnu dan
hipoksia akibat dari asidosis metabolik, aspirasi, dan/atau alveolitis akut.
Analisa gas darah dan radiografi dada dapat membantu untuk
mendiagnosis penyebanya. Akan tetapi terapi oksigen hanya boleh
diberikan jika terjadi hipoksia yang mengancam nyawa, karena akan
memperburuk stress oksidatif dan meningkatkan resiko kematian pada
penelitian binatang.8
Pasien dapat datang dengan hipotensi yang umumnya disebabkan
oleh hipovolemia dan sebaiknya ditangani dengan pemberian bolus cairan
(15-20 ml/kgBB) dalam 15-30 menit yang dapat diulang sebanyak yang
diperlukan untuk meningkatkan jumlah urin. Akan tetapi karena resiko
tinggi terjadinya gagal ginjal dalam 24 jam pertama sangat tinggi, maka
balans cairan dan jumlah urin perlu untuk diawasi secara ketat.8,9
Pasien umumnya datang dalam keadaan sadar penuh dengan
orientasi baik. Gangguan kesadaran dapat diakibatkan oleh konsumsi zat
penyerta (misalnya alkohol) atau hipoksia, hipovolemia atau asidosis berat

13
yang menyebabkan gangguan kesadaran. Pada umumnya, intubasi dan
ventilasi mekanik tidak berguna dalam kasus keracunan parakuat.9
Uji diagnosistik dari keracuna parakuat dapat dilakukan secara
semi-kuantitatif dengan memeriksakan urin pasien dengan natrium
bikarbonat dan natrium ditionit, parakuat akan direduksi oleh natrium
ditionit dan memberikan warna biru. Jika positif, maka menandakan
keracunan parakuat berat dengan prognosis yang sangat rendah. Parakuat
juga dapat diukur secara langsung dalam serum darah atau urin melalui
pengukuran kalorimetrik.12
Proses penatalaksanaan keracunan parakuat dapat dibagi menjadi
beberapa poin penting:8,9
o Dekontaminasi (jika dalam waktu 2-4 jam paska konsumsi)
menggunakan karbon aktif atau serbuk aluminium silikat (tanah liat).
Jumlah karbon aktif yang digunakan adalah sebanyak 0.5-1 g/kgBB
dengan dosis dewasa 50-100 gram (200-400 tablet 250 gram).
Pemberian karbon aktif bertujuan untuk mengurangi jumlah parakuat
yang diabsorbsi. Pemberian karbon aktif sebaiknya dilakukan sebelum
kumbah lambung.
o Pemasangan nasigastric tube (NGT) selain untuk membuang cairan
parakuat yang belum terserap dari dalam saluran cerna, juga bertujuan
sebagai profilaksis karena terdapat kemungkinan pasien akan sulit
menelan setelah edema laring.
o Tes urin ditionit yang diulang setiap 24 jam jika tes pertama. Hasil
negatif menunjukkan prognosis selamat yang lebih tinggi.12
o Cek parakuat plasma. Kadar dalam plasma berkorelasi dengan
prognosis.
o Balans cairan. Awasi tanda-tanda berkurangnya produksi urin yang
dapat menandakan keberadaan gagal ginjal akut.
o Hemoperfusi/hemodialisis dalam jangka waktu 2 jam paska konsumsi
dan atau keberadaan gagal ginjal akut tanpa pneumonitis. Tidak
berguna jika keracunan sudah terjadi lama.

14
o Berikan cairan intravena untuk meningkatkan buangan urin untuk
meningkatkan buangan parakuat dalam darah, hati-hati terhadap
kelebihan cairan dan imbalans elektrolit.
o Awasi laju pernafasan dan saturasi oksigen. Tidak boleh memberikan
oksigen kepada pasien. Obati pasien untuk mencegah infeksi paru
dengan pemberian antibiotik dan pencegahan aspirasi dengan
memberikan antiemetik seperti ondansentron atau proklorperazin,
hindari metoklopramid karena dapat berinteraksi dengan terapi
dopamin. Jika terdapat gangguan paru yang dapat diobati seperti
pneumothorax maka sebaiknya ditangani segera sebelum terjad
fibrosis paru. Adanya pneumonitis dan fibrosis menunjukkan prognosis
yang sangat buruk.
o Awasi tanda-tanda kardiovaskular. Adanya hipotensi yang tidak
merespon terhadap pemberian cairan menunjukkan adanya kegagalan
multiorgan dan mempunyai prognosis yang sangat rendah.
o Awasi kesadaran. Adanya gangguan atau penurunan kesadaran akibat
dari hipoksia atau asidosis menunjukkan prognosis yang sangat
rendah.
o Atasi nyeri. Nyeri setelah konsumsi parakuat dapat terjadi dari efek
korosifnya terhadap saluran cerna dan nafas. Pasien dapat diberikan
opiat dan benzodiazepin sebanyak yang diperlukan terutama untuk
terapi paliatif pada pasien dengan keracunan masif.
o Intubasi dan ventilasi mekanis dapat dipertimbangakn diberikan pada
pasien namun pada pasien dengan pneumonitis dan fibrosis paru atau
pasien dengan konsumsi parakuat dalam jumlah besar, hal ini tidaklah
berguna.
o Terapi eksperimental:
Imunosupresi. Hal ini didasarkan pada teori bahwa parakuat
menyebabkan respon inflamasi akut yang mengakibatkan fibrosis
paru dan kematian. Pencegahan reaksi respon inflamasi akut ini
dapat mencegah atau mengurangi derajat dari fibrosis paru.
dexamethasone 24 mg/24 jam telah ditunjukkan menurunkan angka

15
kematian pada model tikus Wistar.13 Selain itu dapat dipergunakan
terapi kombinasi dexamethasone 20mg/hari yang dikombinasikan
dengan regimen Siklofosfamid 15 mg/kgBB dan metilprednisolone
1g/hari dalam bentuk pulse theraphy.14

Tabel 1: Pulse Theraphy DM, SF dan MP


Pulse theraphy
H H H H H H H
1 2 3 4 5 6 7
Deksametasone 20 mg^ ^
Siklofosfamide 15 mg/kg* *
Metilprednisolon 1g* *
^ Hingga PaO2. >11.5 Kpa (80 mmg)
* Jika PaO2. <8.64 kPa (60 mmHg) ulangi regimen SF (1 day) dan MP (3
day)
Tabel dimodifikasi dari Li et.al 14

Antioksidan : Mengingat bahwa mekanisme toksisitas utama dari


parakuat adalah produksi dari ROS. Maka pemberian antioksidan
untuk mengatasi ROS ini diajukan sebagai antidotum untuk
keracunan parakuat. Hanya saja penelitian ada manusia tidak
menunjukkan hasil yang bermakna. Vitamin E secara teoritis dapat
mengurangi peroksidasi lipid dan telah dibuktikan pada tikus,
namun efek pada manusia belumlah dapat dikatakan sebagai
signifikan. Dosis yang disarankan: 200-4000 mg/hari. Vitamin C
dapat bertindak sebagai antioksidan dalam memberikan elektron
dan oleh karena itu menetralisasikan ROS. Namun Vitamin C
berpotensi menyebabkan peningkatan toksisitas dari parakuat
karena meningkatkan reaksi Fenton.
N-Asetilsistein (NAC) menyediakan sistein yang diperlukan dalam
sintesis glutation yang merupakan komponen penting dalam sistem
pertahanan oksidatif tubuh. Pada tikus NAC meningkatkan dosis
letal parakuat pada tikus. NAC bertindak dengan beberapa
mekanisme, pertama NAC mengikat ROS, kedua NAC
meningkatkan glutation dan mengurangi peradangan, peroksidase

16
lipid dan apoptosis. Namun belum ada studi khusus pada manusia
mengenai penggunaan NAC pada manusia untuk kasus keracunan
parakuat.
Deferoxamine : Karena ion besi merupakan komponen penting
dalam reaksi Fenton untuk pembentukan ROS, maka pemberian
agen kelasi besi seperti deferoxamine dapat menurunkan resiko ini.
Namun belum ada studi pada tikus dan manusia yang menunjukkan
kebergunaan deferoxamine dalam penanganan keracunan parakuat.
Asam salisilat : Tidak hanya mempunyai efek untuk menekan
inflamasi, asam salisilatjuga mempunyai efek antioksidan dengan
mengurangi ion hidroksil yang berpartisipasi dalam reaksi Fenton
dan oleh karena itu mengurangi stress oksidatif dan mencegah
aktivasi dari NF-B, melalui inhibisi TNF-. Pemberian salisilat
200mg/kgBB dalam waktu 2 jam ditunjukkan menurunkan angka
mortalitas tikus yang diberikan parakuat dengan dosis toksik.

Gambar 3.4. Rangkuman mekanisme toksisitas parakuat dan penatalaksanaannya.


1. Karbon aktif; 2. Hemodialisis/hemofiltrasi; 3,4,6, dan 8: Salisilat;
4 : imunosupresi (siklofosfamid, metilprednisonol); 5, 8 :asetilsistein;

17
7 : dexamethasone; SOD, superoksida dismutase; CAT, katalase; Gred, glutation
reduktase; Gpx, glutatione peroksidase; FR, reaksi Fenton; HWR, reaksi Haber-
Weiss. Gambar diambil dan dimodifikasi dari Gawarammana dan Buckley, 20119

Gambar 3.5. Flowchart penanganan Parakuat di Ruang Emergensi8

3.5. Prognosis

Keracunan parakuat mempunyai porgnosis yang buruk. Angka


kematian bagi pasien yang meminum lebih dari 20 mL larutan parakuat
20% mendekati 100%. Sementara pasien yang mengkonsumsi dosis di
bawah itu masih dapat mengalami resiko fibrosis paru, gagal ginjal akut,
dan gangguan sistem gastrointestinal yang berpotensi fatal setelah 2-3
minggu paska keracunan akibat dari fibrosis paru.8,9,12

18
BAB 4
MEKANISME KASUS

Sdr. D, 19 th

A. Datang dibawa keluarga karena minum racun


B. Racun jenis Gramoxone (parakuat)
C. Jumlah yang diminum satu tutup botol

Diagnosis Kerja: Intoksikasi Awasi TTV


Parakuat Tidak diberikan oksigen!
Cek DR, UR,CR, SGOT,SGPT
cito
Penanganan Darurat:
Karbon aktif dan kumbah
lambung
HD tidak tersedia Terapi supportif
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
- Methylprednisolone 125
Evaluasi: mg/12 jam/IV
Urin output dan balans cairan - Metoclopramid 10 mg/8
Laju nafas dan SpO2 jam/IV
- Omeprazole 40 mg/12
jam/IV
- Antasida syrup 2 cth/8 jam/
PO

19
BAB 5
PENUTUP

Parakuat merupakan salah satu herbisida yang umum digunakan. Parakuat


juga merupakan salah satu racun yang digunakan dalam percobaan bunuh diri.
Meminum lebih dari 20mL (satu tutup botol) cairan konsentrat parakuat
berpotensi fatal karena tidak ada terapi definitif dari keracunan parakuat akibat
dari mekanisme multipelnya dalam meningkatkan produksi ROS yang menyerang
multiorgan. Penatalaksanaan parakuat lebih ditujukan untuk penanganan suportif
dan atau terapi paliatif. Prognosis keracunan parakuat tidalah baik pada mereka
yang mengkonsumsi lebih dari 10 mL larutan konsentrat atau setara dengan 3
gram parakuat. Akibat dari bahaya ini, perlu adanya sosialisasi kepada masyaraat
mengenai bahaya yang ditimbulkan dari keracunan parakuat.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunnel D, Eddleston M, Philips MR, Konra F. The global distribution of


fatal pesticide self-poisoning: Systematic review. BMC Public Health.
2007; 7: 357.
2. Gunnel D, Eddleston M. Suicide by intentional ingestion of pesticides: a
continuing tragedy in developing countries. Int J Epidemiol. 2003 Dec;
32(6): 902909.
3. CDC. Paraquat fact. Diambil dari: https://emergency.cdc.gov/agent/
paraquat/basics/facts.asp
4. Anonym. Paraquat Regulation. Diambil dari: http://paraquat.com/
safety/regulation.html
5. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Sentra Informasi
Keracunan Nasional. Parakuat Diklorida. Diambil dari http://ik.pom.go.id/
v2016/katalog/PARAKUAT%20DIKLORIDA.pdf
6. Sysgenta. Gramoxone Brochure. Diambil dari https://www.syngenta.ca/
pdf/labels/GRAMOXONE_8661_en_pamphlet.pdf
7. Anonym. The science of Paraquat. diambil dari http://paraquat.com/
english/knowledge-bank/chemistry-and-biochemistry/the-science-of-
paraquat
8. Sysgenta. Paraquate Poisoning Revision 8. Sygenta: 2016.
9. Gawarammana IB, Buckley NA. Medical management of paraquat
ingestion. Br J Clin Pharmacol. 2011 Nov; 72(5): 745757.
10. Keeling PL, Smith LL. Relevance of NADPH depletion and mixed
disulphide formation in rat lung to the mechanism of cell damage
following paraquat administration. Biochem Pharmacol 1982; 31: 32439.
11. Chang X, Lu W, Dou T, Wang X, Lou D, Sun X, Zhou Z. Paraquat inhibits
cell viability via enhanced oxidative stress and apoptosis in human neural
progenitor cells. Chem Biol Interact. 2013 Nov 25;206(2):248-55.
12. Seok S, Kim Y, Gil H, Song H, Hong S. The Time between Paraquat
Ingestion and a Negative Dithionite Urine Test in an Independent Risk
Factor for Death and Organ Failure in Acute Paraquat Intoxication. Journal

21
of Korean Medical Science. 2012;27(9):993-998. doi:10.3346/
jkms.2012.27.9.993.
13. Dinis-Oliveira RJ, Duarte JA, Remio F, Snchez-Navarro A, Bastos ML,
Carvalho F. Single high dose dexamethasone treatment decreases the
pathological score and increases the survival rate of paraquat-intoxicated
rats. Toxicology. 2006 Oct 3;227(1-2):73-85.
14. Lin JL, Lin-Tan DT, Chen KH, Huang WH, Hsu CW, Hsu HH, Yen TH.
Improved survival in severe paraquat poisoning with repeated pulse
therapy of cyclophosphamide and steroids. Intensive Care Med. 2011
Jun;37(6):1006-13

22

Anda mungkin juga menyukai