Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan Jiwa adalah kondisi dimana proses fisiologik atau mental

individu kurang berfungsi dengan baik sehingga mengganggu fungsi

aktivitas sehari-hari (Alif, 2013). Menurut Alifatul (2015) Gangguan jiwa

merupakan sindrom atau pola perilaku atau psikologi seseorang yang

secara klinis cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan

sesuatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih fungsi

penting dari manusia.


Gangguan jiwa yang dialami oleh seseorang bisa memiliki

bermacam-macam gejala, baik yang tampak jelas maupun yang hanya

terdapat dalam pikirannya. Mulai dari perilaku menghindar dari

lingkungan, tidak mau berhubungan/berbicara dengan orang lain dan tidak

mau makan hingga yang mengamuk dengan tanpa sebab yang jelas. Mulai

dari yang diam saja hingga yang berbicara dengan tidak jelas. Adapula

yang dapat diajak bicara hingga yang tidak perhatian sama sekali dengan

lingkungannya (Alif, 2013).


Gangguan jiwa walaupun tidak langsung menyebabkan kematian,

namun akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan

beban berat bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita

menjadi kronis dan tidak lagi produktif (Budiman, 2010). Dampak

gangguan jiwa antara lain gangguan dalam aktivitas sehari-hari, gangguan

hubungan interpersonal dan gangguan fungsi dan peran sosial (Lestari,

2014).

1
2

Individu yang mengalami gangguan jiwa memiliki hubungan yang

tidak harmonis, bermusuhan dengan orang lain dan mengamcam

(agression) atau curiga yang berlebihan (paranoid). Individu yang

mengalami gangguan jiwa sering kali tidak produktif di masyarakat,

bahkan cendrung merugikan masyarakat misalnya mencuri (cleptomany),

malas (abulia) atau perilaku deviasi sosial lain seperti pemakaian zat

adaktif (Yosep & Sutini, 2014).


Sikap adalah kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif

terhadap suatu objek atau situasi secara konsisten (Sunaryo, 2009).

Sementara itu Notoatmodjo (2010) berpendapat, sikap seseorang terhadap

kesehatan adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan. Sikap merupakan respon

tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah

melibatkan faktor pendapatan dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak

senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya).


Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga

terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang

tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap

memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman ,1998

dalam Hermansyah, 2012).


Dukungan keluarga sangat diperlukan oleh penderita gangguan jiwa

dalam memotivasi mereka selama perawatan dan pengobatan

(Arfiandinata, 2013). Bagi klien gangguan jiwa, keluarga merupakan

tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan


3

lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi

individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan

perilaku. Salah satu faktor penyebab kekambuhan klien gangguan jiwa

adalah, keluarga yang tidak tahu cara menanggani perilaku klien dirumah

(Yosep, 2010).
Ironisnya penerimaan merupakan hal tersulit yang dapat diperoleh

seorang penderita gangguan jiwa. (Purba, 2012). Dukungan keluarga

selama ini kurang pada anggota keluarganya yang sedang sakit diakibatkan

keluarganya terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing, acuh tak acuh

karena tidak mengerti penyakit yang diderita klien (Mujiyono, 2008

dalamRismawan, 2013).

Stigma masyarakat terhadap mereka yang mengalami gangguan jiwa

kurang sejalan dengan program penyembuhan, dimana dukungan

lingkungan (stigma masyarakat) yang minimal dapat memperparah kondisi

ODGJ. Masayarakat masih mengganggap bahwa gangguan jiwa

merupakan aib bagi penderitanya maupun keluarganya. Perlakuan yang

terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa mereka

mengalami penyakit yang berhubungan dengan supranatural. Dampak

yang ditimbulkan adalah bahwa gangguan jiwa yang terjadi pada penderita

tersebut akan semakin parah tanpa pertolongan segera psikiater ataupun

psikiatri. Mereka tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan

jiwa tersebut keprofesional tetapi cenderung menyembunyikan atau

merahasiakan keadaan tersebut dari orang lain ataupun masyarakat. Hal ini
4

berdampak pada pengobatan yang terlambat dapat memperparah keadaan

ganguan jiwanya (Budiman, 2010).

Penelitian yang ada kaitanya dengan proses penyembuhan pada

ODGJ ini salah satunya adalah Muhammad Salahuddin yang meneliti

tentang Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Gangguan

Jiwa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam proses

penyembuhan klien gangguan jiwa, keluarga pada dasarnya tidak hanya

berperan membantu dalam aspek administratif dan keuangan yang harus

dikeluarkan selama proses pengobatan penderita. Akan tetapi hal yang

lebih penting adalah nilai dukungan dan kesediaan menerima apa yang

sedang dialami penderita. Sikap yang benar adalah menjadikan penderita

sebagai manusia normal seperti umumnya orang dan tidak berlebihan

menganggapnya sebagai penderita yang benar-benar harus dijauhi dan

dikucilkan. Dari penelitian tersebut, keluarga sangat berperan penting

terhadap proses penyembuhan pasien gangguan jiwa. Dan keluarga

berkontribusi terhadap cepat lambatnya kesembuhan pasien dengan

gangguan jiwa.

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang

baru saja disahkan pada 8 Agustus 2014 lalu, Diharapkan dapat mengatasi

masalah-masalah tentang kesehatan jiwa yang ada di Indonesia.

Pemerintah dan masyarakat dalam hal ini melakukan upaya-upaya, antara

lain: (1) Menerapkan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif,

terintegrasi, dan berkesinambungan di masyarakat; (2) Menyediakan


5

sarana, prasarana, dan sumberdaya yang diperlukan untuk pelayanan

kesehatan jiwa di seluruh wilayah Indonesia, termasuk obat, alat

kesehatan, dan tenaga kesehatan dan non-kesehatan terlatih; (3)

Menggerakkan masyarakat untuk melakukan upaya preventif dan promotif

serta deteksi dini gangguan jiwa dan melakukan upaya rehabilitasi serta

reintegrasi OGDJ kemasyarakat. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014

tentang Kesehatan Jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang agar dapat

mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan

secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.


Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO) dalam Yosep

(2013), ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan

jiwa. Prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia mencapai 13% dari

penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi

25% di tahun 2030 (WHO, 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental

emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan

adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang.

Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah

1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Gangguan jiwa berat

terbanyak di Aceh, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa

Tengah. Prevalensi anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa

berat (psikosis) di propinsi aceh adalah 2,7 per mil, nasional (1,7 per mil),

terbanyak terdapat di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Bireun. Terendah


6

pada Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya. Prevalensi

orang yang mengalami gangguan emosional tercatat sebesar 6,0 persen di

Provinsi Aceh (Rikesdas, 2013).


Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Langsa jumlah

penderita gangguan jiwa pada tahun 2014 sebanyak 512 orang, sedangkan

di tahun 2015 menurun menjadi 387 orang. Di Kota Langsa dari 5

Puskesmas yang ada, Puskesmas Langsa Barat menduduki peringkat

pertama dengan jumlah penderita gangguan jiwa sebanyak 117 orang,

Sedangkan, Langsa kota 84 orang, Langsa Timur 69 orang, Langsa lama

68 orang dan Langsa Baro 49 orang (Dinkes, 2015).


Berdasarkan uraian diatas peneliti merasa tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Hubungan sikap dan dukungan keluarga terhadap proses

penyembuhan pada anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan

Gangguan Jiwa) diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini, bagaimana hubungan sikap

dan dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan pada anggota

keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) diwilayah kerja

Puskesmas Langsa Barat.


1.3 Hipotesa Penelitian
Ho : Tidak ada hubungan sikap keluarga terhadap proses penyembuhan

pada anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)

diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.


Ha : Ada hubungan sikap keluarga terhadap proses penyembuhan pada

anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)

diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.


7

Ho : Tidak ada hubungan dukungan keluarga terhadap proses

penyembuhan pada anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan

Gangguan Jiwa) diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.


Ha : Ada hubungan dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan

pada anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)

diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.


Ho : Tidak ada hubungan sikap dan dukungan keluarga terhadap proses

penyembuhan pada anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan

Gangguan Jiwa) diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.


Ha : Ada hubungan sikap dan dukungan keluarga terhadap proses

penyembuhan pada anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan

Gangguan Jiwa) diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.


1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sikap dan

dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan pada anggota keluarga

dengan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) diwilayah kerja Puskesmas

Langsa Barat.
1.4.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi sikap keluarga terhadap proses penyembuhan pada

anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)

diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.

1.3.2.2 Mengidentifikasi dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan pada

anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)

diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.


8

1.3.2.3 Mengidentifikasi hubungan sikap dan dukungan keluarga terhadap proses

penyembuhan pada anggota keluarga dengan ODGJ (Orang Dengan

Gangguan Jiwa) diwilayah kerja Puskesmas Langsa Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Keluarga

Sebagai bahan informasi bagi keluarga untuk meningkatkan

pengetahuan keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa, sehingga keluarga dapat bersikap dan memberikan

dukungan yang positif terhadap proses penyembuhan anggota keluarga

yang mengalami gangguan jiwa.

1.4.2 Institusi Pendidikan ( Stikes Cut Nyak Dhien )

Penelitian ini bermanfaat bagi institusi sebagai bahan referensi

dalam pengembangan kurikulum dan pelaksanaan kegiatan pengabdian

masyarakat, Sehingga meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.

1.4.3 Lahan Penelitian ( Puskesmas Langsa Barat )

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian untuk

meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa sehingga pelayanan untuk klien

dengan gangguan jiwa dapat lebih optimal.

1.4.4 Penelitian

Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan acuan bagi peneliti

berikutnya, untuk dikembangkan lebih luas lagi mencari faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi proses penyembuhan klien gangguan jiwa.

Anda mungkin juga menyukai