Anda di halaman 1dari 14

A.

Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Bronkopneumonia disebut
juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut
dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli. Pada keadaan normal,
alveolus terisi udara, namun pada pasien dengan bronkopneumonia, alveoli akan terisi
dengan pus dan cairan, sehingga menyebabkan nyeri dada, hambatan oksigenasi dan
sesak napas.

B. Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia
anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram
negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan
balita pneumonia sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.11
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-
40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan
adenovirus. Insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33,8 juta kasus baru di
seluruh dunia dengan 3,4 juta kasus pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan
tahun 2005 terjadi kematian 66.000-199.000 anak balita karena pneumonia RSV, 99% di
antaranya terjadi di negara berkembang. RSV adalah patogen yang menjadi etiologi
potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun
bersama dengan infeksi lain.11
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia12

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 minggu 3 Bakteri Bakteri
bulan Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza tipe B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan 5 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
5 tahun remaja Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus

C. Faktor Risiko
Faktor-dasar (fundamental) yang menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas
pneumonia anak-balita di negara berkembang adalah :
1. Kemiskinan yang luas
Kemiskinan yang luas berdampak besar dan menyebabkan derajat kesehatan rendah dan
status sosio-ekologi menjadi buruk.11
2. Derajat kesehatan rendah
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi termasuk infeksi kronis dan
infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid lain seperti malaria, campak, gizi
kurang, defisiensi vit A, defisiensi seng (Zn), tingginya prevalensi kolonisasi patogen di
nasofaring, tingginya kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak ada atau tidak
memberikan ASI dan imunisasi yang tidak adekuat memperburuk derajat kesehatan.11
3. Status sosio-ekologi buruk
Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya lingkungan, daerah
pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam-ruang akibat penggunaan biomass (bahan
bakar rumah tangga dari kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar-ruang. Ditambah
lagi dengan tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai serta adanya adat kebiasaan
dan kepercayaan lokal yang salah.11
4. Pembiayaan kesehatan sangat kecil
Di negara berpenghasilan rendah pembiayaan kesehatan sangat kurang. Pembiayaan
kesehatan yang tidak cukup menyebabkan fasilitas kesehatan seperti infrastruktur
kesehatan untuk diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan tidak memadai, tenaga
kesehatan yang terampil terbatas, di tambah lagi dengan akses ke fasilitas kesehatan
sangat kurang.11
5. Proporsi populasi anak lebih besar
Di negara berkembang yang umumnya berpenghasilan rendah proporsi populasi anak
37%, di negara berpenghasilan menengah 27% dan di negara berpenghasilan tinggi
hanya 18% dari total jumlah penduduk. Besarnya proporsi populasi anak akan
menambah tekanan pada pengendalian dan pencegahan pneumonia terutama pada aspek
pembiayaan.11

D. Patogenesis
Sebagian besar bronkopneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat
sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam
keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan
sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh
adanya mekanisme pertahanan paru.13
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
1. Filtrasi partikel di hidung
2. Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
3. Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
4. Pembersihan ke arah kranial oleh mukosiliar
5. Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
6. Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
7. Drainase melalui sistem limfatik.14
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh dan patogen dari luar, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat
timbulnya infeksi penyakit.15
Gangguan pertahanan tubuh akan menyebabkan mikroorganisme sampai ke alveoli
dan menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
1. Stadium Kongesti atau Hiperemis (4-12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru.16
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan
di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen haemoglobin.16,17
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.16,17

Gambar 2. Stasium hepatisasi merah. Tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel
inflamasi (neutrofil)17

3. Stadium Hepatisasi Kelabu (3-8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.16,17

Gambar 3. Stadium hepatisasi kelabu. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan
netrofil17
4. Stadium Resolusi (7-11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.16

E. Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas
(rhinitis atau faringitis). Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak,
kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada.
Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi kecil sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh sesak, nyeri kepala, nyeri abdomen disertai
muntah.18,19
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu.
Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, napas cuping hidung,
grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala
yang sering terlihat adalah takipneu, napas cuping hidung, retraksi, sianosis, batuk, panas,
dan iritabel.19 Tanda takipneu ditandai dengan napas cepat yang dihitung selama satu
menit dalam keadaan tenang. Frekuensi napas yang patut dicurigai pneumonia adalah :
a.
Anak usia kurang dari 2 bulan : lebih dari atau sama dengan 60 kali/ menit
b.
Anak 2-11 bulan : lebih dari atau sama dengan 50 kali/ menit
c.
Anak 12-59 bulan : lebih dari atau sama dengan 40 kali/ menit.1,20
WHO menyebutkan bahwa takipneu merupakan temuan yang sensitif dan spesifik untuk
pneumonia. Sensitivitasnya mencapai 61% dengan spesifisitas 79% pada pasien
malnutrisi. Pada pasien dengan gizi normal, nilai sensitivitas meningkat hingga 79% dan
spesivitasnya 65%.1
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif /
produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada
kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif /
produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.19
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah
Pada bronkpneumona virus jumah leukosit dapat normal atau menurun (leukopenia),
sedangkan mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau
sedikit meningkat. Pemeriksaan darah pada bronkopneumonia karena bakteri
umumnya didapatkan leukositosis hingga >15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan
dominasi polimorfonuklear (netrofil) pada hitung jenis. Trombositosis >500.000 khas
untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi
virus.22,23
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien
bayi. Pada bronkopneumonia ditemukan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai
dengan peningkatan corakan peribronkhial.18,24

Gambar 4. Foto toraks PA pada bronkopneumonia25


c. C-reaktif Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi
atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6
(IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai
diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah
pada infeksi virus dibandingkan pada infeksi bakteri. CRP kadang-kadang digunakan
untuk evaluasi respon terapi antibiotik.26
d. Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.26
e. Pemeriksaan Mikrobiologi
Bila pasien dalam keadaan kritis, atau pengobatan antibiotik belum dapat
memperbaiki kondisi klinis, perlu dipikirkan pemeriksaan mikrobiologi. Namun
pemeriksaan tersebut juga sulit dilakukan karena anak-anak sulit mengeluarkan
dahak, pemeriksaan dengan darah juga sulit karena kurang dari 10% kasus yang
berhubungan dengan bakteriemia. Pemeriksaan terbaik biasanya dilakukan dengan
sekret yang diaspirasi dari nasofaring.27
f. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat kontak
dengan TBC dewasa. Pada setiap anak dirawat inap dengan bronkopneumonia,
seharusnya dilakukan pemeriksaan pulse oxymetry.26
4. Dasar Diagnosis
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan dasar diagnosis
bronkopneumonia secara ringkas adalah sebagai berikut :
a. Anamnesis
Pada alloanamnesis ditemukan : demam, batuk, dan sesak napas yang timbul tidak
mendadak.18,19
b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum pasien tampak sesak atau sianosis
2) Pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan peningkatan suhu, takipneu, dan dapat
diikuti dengan takikardi
3) Pada hidung dapat ditemukan napas cuping hidung
4) Pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda :
Inspeksi : gerakan paru simetris, dan ditemukan retraksi
Palpasi : vokal fremitus paru kanan = kiri
Perkusi : bisa sonor atau redup, tergantung jumlah konsolidasi
Auskultasi: suara dasar vesikuler meningkat, ronkhi basah halus di seluruh
lapang paru, dan krepitasi.19,20
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan darah yang khas adalah ditemukannya leukositosis dengan dominasi
leukosit polimorfonuklear pada infeksi bakteri, sedangkan pada infeksi virus
dapat ditemukan leukopenia
2) Pemeriksaan foto thorak posisi akan ditemukan bercak-bercak infiltrat homogen
di seluruh lapang paru
3) Pemeriksaan penunjang lain jarang digunakan sebagai dasar diagnosis.22,23,24
5. Differensial Diagnosis
Pada penegakan diagnosis bronkopneumonia, perlu diperhatikan diagnosis banding
penyakit ini, sehingga anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan dapat terarah.
a. Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi kurang
dari 2 tahun. Kondisi penyakit mirip dengan bronkopneumonia, yaitu adanya batuk,
demam, dan sesak yang tidak mendadak. Perbedaannya adalah pada temuan
pemeriksaan fisik. Pada bronkiolitis terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirium
memanjang disertai dengan mengi. Foto thoraks ditemukan adanya hiperaerasi dan
diameter antero-posterior yang membesar.28
b. Asma bronkhial
Asma adalah mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut : timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari (noktural),
musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien dan/atau keluarganya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penyingkiran diagnosis asma sudah dapat dilakukan
dengan anamnesis yang teliti. Pada pemeriksaan fisik, biasanya terdapat mengi, dan
tidak ditemukan ronkhi. Untuk mendukung diagnosis, dapat dilakukan nebulisasi
dengan bronkodilator, anak dengan asma akan memberikan respon terhadap
pengobatan, sedangkan anak dengan bronkopneumonia tidak.28
c. Tuberkulosis (tb) paru
Pada tb paru, gejalanya adalah batuk lama (lebih dari 3 minggu), demam lama (lebih
dari 2 minggu), dan adanya penurunan berat badan atau status gizi kurang.
Pemeriksaan dengan skoring tb termasuk uji tuberkulin di dalamnya dapat dilakukan
untuk menyingkirkan kecurigaan tb paru.29

F. Tata Laksana
1. Kriteria Rawat Inap
Neonatus hingga usia 20 hari dengan gejala dan tanda curiga bronkpneumonia sebaiknya
dirawat inap untuk monitoring dan mencegah komplikasi

Bayi
- Saturasi oksigen 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 60 x/menit
- Distress pernapasan, apnea intermitten, atau grunting
- Tidak mau minum/ menetek
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah.
Anak
- Saturasi oksigen < 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 50 x/menit
- Distress pernapasan
- Grunting
- Terdapat tanda dehidradi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah.
2. Tatalaksana Umum
- Pasien dengan saturasi oksigen 92%, berikan terapi oksigen dengan kanul nasal,
head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat
- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk
- Nebulisasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucociliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya 4 jam sekali,
termasuk saturasi oksigen.5

3. Pemberian Antibiotik
- Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun
karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia pada
anak, ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, cefaclor,
eritromisin, dan azitromisin
- M. Pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik golongan
makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak 5 tahun
- Makrolid diberikan jika M. Pneumoniae atau C. Pneumoniae dicurigai sebagai
penyebab
- Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae sangat mungkin
sebagai penyebab
- Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi
flucioxacillin dengan amoksisilin
- Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat
per oral (misalnya karena muntah) atau termasuk dalam pneumonia berat
- Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah : ampisilin dan kloramfenikol, co-
amoxiclav, cefuriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime
- Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah
mendapatkan antibiotik intravena
- Rekomendasi untuk community acquired pneumonia adalah sebagai berikut :
Neonatus 2 bulan : ampisilin dan gentamisin
Lebih dari 2 bulan : lini pertama ampisilin, jika dalam 3 hari tidak ada perbaikan
ditambahkan kloramfenikol. Lini kedua sefriakson.
Bila klinis perbaikan, antibiotik intravena dapat diganti dengan preparat oral dengan
antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.

Tabel 2. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia5


Antibiotik Dosis Frekuensi Keterangan
Penisilin G 50.000 unit/ kg/ Tiap 4 jam S. pneumonia
kali, dosis
tunggal max
4.000.000 unit
Ampisillin 100 mg/ kg/ hari Tiap 6 jam
Kloramfenico 100 mg/ kg/ hari Tiap 6 jam
l
Cefriaxone 50 mg/ kg/ hari, 1 x/ hari S. pneumonia, H. influenza
dosis tunggal
max 2 gram
Cefuroxime 50 mg/ kg/ hari, Tiap 8 jam S. pneumonia, H. influenza
dosis tunggal
max 2 gram
Clindamycin 10 mg/ kg/ kali, Tiap 6 jam Group A. Streptococcus, S.
dosis tunggal Aureus, S. Pneumoniae
max 1,2 gram (alternatif jika alergi beta
laktam)
Eritromisin 10 mg/ kg/ kali, Tiap 6 jam S. pneumoniae, Chlamydia
dosis tunggal pneumonia, Mycoplasma
maks 1 gram pneumonia

4. Nutrisi
- Pada anak dengan distress pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus
dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau itravena.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami
overhidrasi, karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon
antidiuretik.
5. Fisioterapi Dada/ Postural Drainase
Postural drainase (PD) adalah cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan
mempergunakan gaya berat dari sekret itu sendiri. Mengingat kelainan pada paru bisa
terjadi pada berbagai lokasi, maka PD dilakukan pada berbagai posisi disesuaikan dengan
kelainan parunya. PD dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam
saluran napas, tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi
atelektasis.
6. Kriteria Pulang
- Gejala dan tanda pneumonia hilang
- Asupan per oral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
- Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.

G. Pencegahan
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan pneumonia pada
anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi terhadap
patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan strategi pencegahan
spesifik. Pencegahan non-imunisasi merupakan pencegahan non-spesifik misalnya
mengatasi berbagai faktor risiko seperti polusi udara dalam-ruang, merokok, kebiasaan
perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan dan lain-lain.
1. Imunisasi
Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan campak adalah imunisasi
DPT dan campak dengan angka cakupan yang menggembirakan; DPT berkisar 89,6 %-
94,6 % dan campak 87,8 %-93,5 %.
Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin pneumokokus konjungat
dapat mencegah penyakit dan kematian 20-35% kasus pneumonia pneumokokus dan
vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian 15-30% kasus pneumonia Hib. Pada saat ini
di banyak negara berkembang direkomendasikan vaksin Hib untuk diintegrasikan ke
dalam program imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus konjugat direkomendasikan
sebagai vaksin yang dianjurkan.
2. Non Imunisasi
Di samping imunisasi sebagai pencegahan spesifik pencegahan non-imunisasi sebagai
upaya pencegahan non-spesifik merupakan komponen yang masih sangat strategis.
Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai
komponen masyarakat, terutama pada ibu anak dan balita tentang besarnya masalah
pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana
misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola
makanan sehat. Penurunan faktor risiko lain seperti mencegah berat badan lahir rendah,
menerapkan ASI eksklusif, mencegah polusi udara dalam ruang yang berasal dari bahan
bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah dan pencegahan serta
tatalaksana infeksi HIV.
Suplementasi zinc dan vitamin A juga merupakan salah satu metode strategis untuk
mencegah pneumonia. Zinc dan vitamin A merupakan mikronutrien penting dalam fungsi
imunitas, defisiensi zinc dapat menyebabkan regenerasi sel dan gangguan fungsi epitel.
Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi zinc dan vitamin A berhubungan dengan
penurunan insidensi dan prevalensi pneumonia, sehingga menurunkan angka kematian
anak.32,33

H. Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis puruenta,
pneumothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis
merupakan kompliasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.
Ilten et al. (2004) melaporkan komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan
meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak usia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal, maka
dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan
pemeriksaan enzim.

Anda mungkin juga menyukai