Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN
Artritis reumatoid adalah penyakit multisistem kronis yang penyebabnya
tidak diketahui. Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini,
karakteristiknya adalah peradangan yang menetap pada cairan sendi (sinovitis),
biasanya menyerang area sekitar sendi dengan distribusi yang simetris. 1,2,3
Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat menyebabkan
kerusakan kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang lebih lanjut pada
integritas sendi sebagai tanda khas pada penyakit ini. Walaupun berpotensi
merusak, artritis reumatoid cukup bervariasi. Beberapa penderita hanya
menunjukkan penyakit oligoartikular yang ringan dengan durasi yang singkat
disertai dengan kerusakan sendi yang minimal, sedangkan pada penderita yang
lain dapat menunjukkan poliartritis progresif yang ditandai kerusakan fungsional.1
Beberapa penelitian mengatakan bahwa artritis reumatoid mengalami
penuruanan dalam hal frekuensi dan tingkat keberatannya. Sebagian besar, tanda
dari artritis reumatoid adalah homogen, dan pola dari perubahan sendi
dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor genetik. Artriris reumatoid dihubungkan
dengan penyakit ekstra-artikular yang secara konsisten lebih sedikit terjadi pada
orang Asia dan Afrika dibanding dengan orang Kaukasia.4

II. EPIDEMIOLOGI
Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki dibawah
umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70 tahun. Pada
wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan
konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75 tahun.4
Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi (kisaran 0,3
- 2,1%), wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki.
Prevalensi penyakit ini meningkat dengan umur, dan jenis kelamin, perbedaannya
dikurangi pada kelompok usia tua. Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh
dunia dari berbagai suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada dekade ke-
1
empat dan ke-lima dari kehidupan. 1,5,6
Faktor resiko genetik tidak sepenuhnya dihitung pada insiden terjadinya
artritis reumatoid, hanya menyatakan bahwa faktor lingkungan juga berperan
penting pada penyebab dari penyakit ini. Hal ini ditekankan pada penelitian
epidemiologi di Afrika yang mengindikasikan cuaca dan urbanisasi merupakan
pengaruh utama pada insiden dan tingkat keberatan dari artritis reumatoid pada
kelompok dengan latar belakang genetik yang serupa.1

III. ETIOLOGI
Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa
artritis reumatoid mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen
infeksius pada orang-orang yang rentan secara genetik. Karena distibusi artritis
reumatoid yang luas, hal ini menimbulkan hipotesis bahwa jika penyebabnya
adalah agen infeksius, maka organisme tersebut haruslah tersebar secara luas.
Beberapa kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk
mikoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus
rubella, tapi berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang
lain yang menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis
reumatoid.1
Walupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun nampaknya
multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan penelitian pada orang
kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%. Sebanyak 70% dari pasien
artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte antigen-DR4 (HLA-DR4),
sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan agen infeksius dikatakan
memiliki peranan penting pada etiologi, namun kontribusinya sampai saat ini
belum terdefinisikan.1,5,7

IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI


Sendi sinovial memiliki karakteristik sedemikian rupa sehingga

2
memungkinkan jangkauan gerakan yang luas. Sendi sinovial diklasifikasikan
berdasarkan jangkauan gerakan atau berdasarkan bentuk bagian sendi dari tulang
yang terlibat.8

Gambar 1 : Gambaran skematik dari sendi sinvial. (1) periosteum, (2) lapisan fibrous
terluar dari kapsul, (3) lapisan sinovial bagian dalam dari kapsul, (4) lemak dan jaringan
lunak longgar, (5) celah artikular, (6) kartilago, (7) tulang, (8) bare area. [dikutip dari
kepustakaan 5]

Setiap jenis sendi sinovial memiliki karakteristik yang sama, yaitu:8


a. Kartilago hialin
Bagian tulang yang bersentuhan pasti dilindungi oleh kartilago hialin yang
menyediakan permukaan yang lembut dan cukup kuat untuk menyerap gaya
tekan serta menahan berat tubuh. Lapisan kartilago memiliki ketebalan 7 mm
pada orang muda dan semakin tipis dan rentan terhadap tekanan seiring
dengan pertambahan usia. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan pada
struktur sendi. Kartilago tidak diperdarahi tetapi menerima nutrisi dari cairan
sinovial.

b. Ligamentum kapsuler
Sendi dikelilingi dan ditutupi oleh jaringan fibrosa yang mengikat tulang-
3
tulang yang berkaitan. Jaringan tersebut cukup regang sehingga pergerakan
dapat dilakukan tapi juga cukup kuat untuk dapat melindungi dari jejas.
c. Membran sinovial
Membran sinovial disusun oleh sel epitel dan berfungsi:
- Melapisi kapsul
- Menutupi bagian tulang di dalam sendi yang tidak ditutupi oleh kartilago
sendi
- Menutupi seluruh struktur intrakapsuler yang tidak menyokong berat
tubuh
d. Cairan sinovial
Cairan sinovial merupakan cairan kental dengan konsistensi menyerupai putih
telur dan disekresikan oleh membran sinovial kedalam kavitas sinovial, dan
berfungsi:
- Menyediakan nutrisi untuk struktur di dalam kavitas sinovial
- Mengandung fagosit yang mengeliminasi mikroba dan debris seluler
- Berfungsi sebagai lubrikan
- Mempertahankan stabilitas sendi
- Mencegah terpisahnya kedua ujung tulang yang berlengketan, seperti
sedikit air yang terdapat diantara dua permukaan kaca
e. Struktur intrakapsular lainnya
Beberapa sendi memiliki struktur-struktur yang terdapat di dalam kapsul,
tetapi berada di luar membran sinovial yang membantu mempertahankan
stabilitas, contohnya bantalan lemak dan meniskus pada sendi lutut. Jika
struktur tersebut tidak menyokong berat tubuh, biasanya struktur tersebut
tidak ditutupi oleh membran sinovial
f. Struktur ekstrakapsular
- Ligamentum, yang bergabung dengan kapsul memberikan stabilitas lebih
lagi pada kebanyakan sendi
- Otot atau tendon, juga menyediakan stabilitas. Selain itu otot dan tendon
juga meregang melintasi sendi ketika terjadi pergerakan. Jika otot

4
berkontraksi, otot tersebut akan memendek dan menarik dua tulang
sehingga semakin berdekatan.
g. Suplai darah dan persarafan
Saraf dan pembuluh darah yang melintasi sendi biasanya bertugas menyuplai
kapsul dan otot yang menggerakkannya.

V. PATOFISIOLOGI
Artritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang merupakan hasil
reaksi dari berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan proliferasi dari
fibroblas sinovial. Respon inflamasi ini menyerang cairan sinovial pada
persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain di seluruh tubuh. Orang-orang
yang menderita penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinik yang bermacam-
macam dan distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam jaringan sinovial, proses
inflamasi terjadi secara jelas, menimbulkan edema dan proliferasi kapiler dan sel
mesenkim. Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari leukosit
yang menghasilkan enzim lisosom dan proinflamasi lain, serta mediator-mediator
toksik. Kemudian, dengan teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial,
mediator ini dapat merusak kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses ini
terus berlanjut dan tidak dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara
bertahap terjadi fibrosis pada jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringan
sendi atau terlihat ankilosis pada tulang.9
Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi
akibat proses pencernaan oleh karena produksi protease, kolagenase dan enzim-
enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon
dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama dengan radikal oksigen dan
metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial.
Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang
diproduksi secara lokal. Kedua adalah, destruksi jaringan juga terjadi melalui
kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang
terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi.

5
Disepanjang pinggir panus, terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui
produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.10
Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan patogenesis
artritis reumatoid yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh produksi dari
berbagai sitokin, contohnya tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-1
(IL-1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF- dan IL-1 juga memiliki
peranan penting dalam destruksi tulang.5,7

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis dari artritis reumatoid dengan anamnesis dan pemeriksaan yang
dikorelasikan dengan data laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Karakteristik
pasien, termasuk umur, jenis kelamin dan etnis, sangat penting, karena hal
tersebut berhubungan dengan resiko dan tingkat keberatan dari penyakit.2
VI.1 Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi.10
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya
2. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi
di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda
dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam
4. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang.
5. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan

6
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak
ekstensi.
6. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-
nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini
biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih
berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis
reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987

Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the


Classification of Rheumatoid Arthritis
[dikutip dari kepustakaan 2]
Kriteria Definisi
1.
Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,
Kekakuan pagi
lamanya setidaknya 1 jam
hari
2. Artrit Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan
is pada tiga atau peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
lebih area sendi kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri

7
proksimal interfalangs (PIP), metakarpofalangs (MCP),
pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metatarsofalangs (MTP)
3. Artrit
Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
is pada sendi
sendi MCP atau sendi PIP
tangan
4. Artrit Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama
is simetris pada kedua bagian tubuh
5. Nodu Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau
l-nodul reumatoid permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular
6. Seru Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor
m faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
reumatoid positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal
Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada
7. Perub radiografik tangan dan pergelangan tangan
ahan radiografik posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi
terlokalisasi yang tegas pada tulang.
Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien
memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.

VI.2 Pemeriksaan Fisis


Pemeriksaan fisis pada pasien dengan artritis reumatoid adalah penilaian
standar untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selain
itu, pada pemeriksaan fisis juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra-
artikular seperti skleritis, nodul-nodul, garukan perikardial, efusi pleura,
splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah.2

Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan


deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs
(DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain

8
merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck,
dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika
sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk
menggantinya dengan protesa silikon.11

Gambar 2 : Gambaran skematik dari deformitas swan-neck dan deformitas boutonniere,


sering telihat pada artritis reumatoid lanjut.
[dikutip dari kepustakaan 9]

VI.3 Pemeriksaan Laboratorium


Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis
artritis reumatoid. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid
memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid.
Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M (IgM) yang beraksi terhadap perubahan
imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor reumatoid bukan merupakan hal
yang spesifik pada penderita artritis reumatoid. Faktor reumatoid ditemukan
sekitar 5% pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan pertambahan
usia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif memiliki
faktro reumatoid dalam titer yang rendah.1,10
Laju endap darah (LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan yang tidak
spesifik. Pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau
lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa LED dapat dipakai untuk memantau
aktivitas penyakit.10
Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita dengan

9
artritis rematoid yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini
tidak berespon pada pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat seseorang
merasa kelelahan.1.10
Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi,
walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk artritis
reumatoid. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun,
peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit
penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/L
dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan
pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis artritis
reumatoid.1

VI.4 Pemeriksaan Radiologi


VI.4.1 Foto Polos
Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah
sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang
sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi
dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel.10

10
Gambar 3 : Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi
metakarpofalangs. [dikutip dari kepustakaan 12]

Gambar 4: A. Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B. Erosi komplit pada
pergelangan tangan. [dikutip dari kepustakaan 13]

11
Gambar 5: C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul subkutaneus multipel pada
tangan [dikutip dari kepustakaan 13]

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan
periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi
dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan
lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar
pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas
prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang
sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain,
sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.6

VI.4.2 CT Scan
Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam
mendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam
memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang
sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI.14

12
CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki
kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan
letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada
pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang.5

VI.4.3 Ultrasonografi (USG)


Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi
digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusi
dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih
ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi area
kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai
irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti
tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan
ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan
sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya
yang tidak rata dan lokasinya yang dalam.14

Gambar 6 : Erosi (tanda panah) pada sendi metakarpofalangs pada penderita artritis
reumatoid (A) bidang longitudinal (B) bidang transverse. M, kaput metakarpal dan P,
falangs [dikutip dari kepustakaan 15]

13
Gambar 7 : (A) Gambaran normal bagian longitudinal dari sendi metakarpofalangs.
(B) Sendi metakarpofalangs pada pasien artritis reumatoid. FP, bantalan lemak; M dan
MC,kaput metakarpal; P, falangs; S, sinovitis.
[dikutip dari kepustakaan 15]

Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis artritis reumatoid dengan


tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional.
Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude color doppler (ACD)
Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang berguna untuk dugaan artritis
reumatoid. ACD imaging telah diaplikasikan untuk artritis reumatoid dengan
tujuan mengevaluasi manifestasi dari hiperemia pada peradangan jaringan sendi.
Hiperemia sinovial merupakan ciri patofisiologi yang fundamental untuk artritis
reumatoid.14

VI.4.4 MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik
dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan
kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid.14

14
Gambar 8: koronal T1-weighted pada sendi metakarpofalangs 2-4,
memperlihatkan erosi radial yang luas pada kaput metakarpal 2 dan 3.
[dikutip dari kepustakaan 15]

Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada


artritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam
mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema
tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk mendiagnosis
awal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran yang berbeda
pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edema
tulang, sinovitis, dan tenosinovitis.15

VII. TATALAKSANA REHABILITASI MEDIK


Tujuan dari rehabilitasi pasien RA (rheumatoid arthritis) secara umum
mengembalikan kemampuan pasien seperti semula, secara khusus:18
o Mengurangi rasa nyeri
o Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
o Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
o Mencegah terjadinya deformitas
o Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
o Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada

15
orang lain.
Beberapa cara dilakukan untuk mencapai tujuan dari rehabilitasi ini
i) Istirahat dan latihan : Orang dengan RA membutuhkan istirahat dan
latihan dalam jumlah yang seimbang, dengan istirahat lebih ketika RA
aktif dan banyak latihan ketika RA tidak aktif. Istirahat berguna untuk
meredakan inflamasi dan melawan kelelahan. Lama istirahat
dianjurkan tidak terlalu lama. Latihan berguna untuk menjaga
kesehatan dan kekuatan otot, menjaga mobilitas sendi dan juga
fleksibilitas. Latihan juga dapat membantu pasien tidur nyenyak,
mengurangi rasa nyeri, dan menjaga keoptimisan dan menurunkan
berat badan.
ii) Perawatan sendi : Beberapa orang menggunakan splint untuk waktu
yang singkat di sekitar sendi yang nyeri dengan mendukung sendi
tersebut dan membiarkannya istirahat. Splint banyak digunakan di
daerah pergelangan tangan dan tangan, akan tetapi ada juga di bagian
lutut dan pergelangan kaki. Cara untuk mereduksi stress di sendi
termasuk alat bantu mandiri (penarik resleting, dll)) alat bantu naik dan
turun dari kursi, tempat duduk toilet, dan kasur.
iii) Reduksi stres : Orang dengan RA biasanya mengalami stres emosional
seperti pada penyakit lainnya. Emosi yang mereka rasakan karena
ketakutan, kemarahan, dan frustasi terhadap penyakit yang dideritanya
ditambah dengan kecacatan yang dia derita. Stres akan berpengaruh
pada rasa nyeri atau sakit yang dirasakan. Berbagai teknik dilakukan
untuk mengatasi stress ini, misalnya relaksasi, distraksi, dan latihan
visualisasi. Partisipasi di kelompok pendukung, komunikasi yang baik
dapat mengurangi stress.
iv) Diet sehat : Sejauh ini peneliti belum menemukan kejadian untuk
makanan yang dapat membantu atau memperparah kondisi RA ini,
kecuali pada beberapa tipe minyak. Akan tetapi, asupan makanan yang
cukup (meliputi kalori, protein, dan kalsium) ini penting. Beberapa

16
pasien dengan obat tertentu untuk RA dilarang mengkonsumsi alkohol,
seperti methrotexat yang berefek jangka panjang pada kerusakan hati.
v) Cuaca/Iklim : Beberapa orang menyadari RA makin parah bila terjadi
perubahan iklim atau cuaca. Akan tetapi efek cuaca terhadap kondisi
RA belum diteliti secara spesifik. Pindah ke tempat dengan iklim yang
berbeda dalam jangka waku yang lama tidak berpengaruh banyak pada
kondisi RA.

VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi dari artritis reumatoid adalah (1) mengurangi nyeri, (2)
mengurangi inflamasi, (3) menjaga struktur persendian, (4) mempertahankan
fungsi sendi, dan (5) mengontrol perkembangan sistemik.1,10
Adapun penatalaksanaan dari artritis reumatoid adalah sebagai berikut:
1. Obat-obatan
a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)
Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses
produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase
prostaglandin atau siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam
lemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi prostaglandin,
prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar yang
sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin.10
Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan artritis
reumatoid. Produksi dari prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan ini
memberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan anti-piretik.1
b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD)
Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, D-
penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki
kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini
memberikan beberapa karakteristik.1
Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapat

17
mengendalikan artritis reumatoid. Beberapa obat-obatan yang telah
disebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs
Administration untuk dipakai sebagai obat artritis reumatoid. Tujuan
pengobatan dengan obat-obat kerja lambat ini adalah untuk
mengendalikan manifestasi klinis dan menghentikan atau memperlambat
kemajuan penyakit.10
2. Terapi glukokortikoid
Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi
simptomatik pada penderita artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5
mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol gejala.
Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi
glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi tulang.1
3. Operasi
Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritis
reumatoid dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplasti dan
penggantian total sendi dapat dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang
paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan bahu. Tujuan realistik
dari prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi disabilitas.1

IX. PROGNOSIS
Beberapa tampakan klinis pada pasien artritis reumatoid nampaknya
memiliki nilai prognostik. Remisi dari aktivitas penyakit cenderung lebih banyak
terjadi pada tahun pertama. Jika aktivitas penyakit berlangsung lebih dari satu
tahun biasanya prognosis buruk. Wanita kulit putih cenderung memiliki sinovitis
yang lebih persisten dan lebih erosif dibanding pria.1
Harapan hidup rata-rata orang dengan artritis reumatoid memendek 3-7
tahun dari orang normal. Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada
pasien dengan penyakit sendi yang lebih berat, sehubungan dengan infeksi dan
perdarahan gasrointestinal. Faktor yang dihubungkan dengan kematian dini
mencakup disabilitas, durasi dan tingkat keparahan penyakit, penggunaan

18
glukokortikoid, umur onset, serta rendahnya status sosio-ekonomi dan
pendidikan.1

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrisons Principles
of Internal Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76
2. Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential
Diagnosis. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid
Arthritis 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23
3. Calleja, Michele. Rheumatoid Arthritis, Spine. [Online]. 2009. [cited 2011
March 3]:[2 screens]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/398955-overview
4. Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books;
2004.p.50-5
5. Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal
S. Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging,
Image Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics;
2005.p.381-398
6. Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic
Pathology 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5
7. Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and
Orthopaedics 1st ed. New York : Mosby; 2004.p.51-9
8. Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology
in Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5
9. Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair
EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1 st ed. New
York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.80-9
10. Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dalam: Price, SA and Wilson LM,
editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1385-91
11. Mettler , Fred A. Essentials of Radiology 2nd ed. New York: Elsevier
Saunders; 2004.p.310-1

20
12. Brant WE and Helms CA, editors. Fundamentals of Diagnostic Radiology
2nd ed. New York: Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.1135
13. Berquist, Thomash H. Musculoskeletal Imaging Companion 2nd ed. New
York: Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.803-6
14. Tsou, Ian YY. Rheumatoid Arthritis, Hands. [Online]. 20010. [cited 2011
March 3]:[3 screens]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/401271-overview
15. Wakefield RJ, Conaghan PG, and Emery P, editors. Ultrasonography and
Magnetic Resonance Imaging for Diagnosis and Managenet. In: St.Clair EW,
Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1 st ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.98-104
16. Carter, Michael A. Gout Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors.
Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1402-6
17. Carter, Michael A. Osteoarthritis. Dalam: Price, SA and Wilson LM,
editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1380-3
18. Saladin K.2003. Artritis and Artificial Joints. Saladin: Anatomy and
Physiology The Unity and Form Function 3rd ed [E-Book]. Jakarta: The
McGraw Hil Companies, p. 320-1

21

Anda mungkin juga menyukai