Anda di halaman 1dari 28

PORTOFOLIO KASUS INDIVIDU

SEORANG LAKI-LAKI 50 TAHUN


DENGAN KERATITIS OD
ET CAUSA SUSPEK BAKTERIAL

Disusun oleh :
dr. Devi Sarah Intan Permatasari

Pembimbing : dr. Christina Dewi R, Sp.M

DOKTER INTERNSIP PERIODE JUNI 2016-MEI 2015


RSUD BENDAN
KOTA PEKALONGAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS INDIVIDU
SEORANG LAKI-LAKI 50 TAHUN DENGAN KERATITIS OD
ET CAUSA SUSPEK BAKTERIAL

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Program Internsip

Pekalongan, April 2017

Pembimbing Pendamping

dr. Christina Dewi R, Sp.M dr. H.D. Paska

Borang portofolio

2
Nama Peserta dr. Devi Sarah Intan Permatasarri
Nama Wahana RSUD Bendan Kota Pekalongan
Topik Keratitis OD Et Causa Suspek Bakterial
Tanggal (kasus) 9 Desember 2016
Nama Pasien Tn. R No. RM 135485
dr.Christina Dewi,
Tanggal Presentasi 25 April 2017 Pendamping
Sp.M
Tempat Presentasi RSUD Bendan Kota Pekalongan
Objektif Presentasi

Keterampilan Tinjauan Pustaka
Keilmuan Penyegaran

Manajemen Masalah Istimewa
Diagnostik

Remaja Dewasa Bumil
Neonatus Bayi Anak Lansia
Laki-laki, usia 50 tahun dengan keluhan mata kanan ngganjel

sejak 1 minggu yang lalu disertai kemerahan, rasa nyeri, berair,
Deskripsi
pandangan kabur, dan silau bila melihat cahaya.
Menegakkan diagnosis dan menetapkan manajemen keratitis et
Tujuan
causa suspek bacterial

Bahan Tinjauan
Riset Audit
Bahasan Pustaka
Kasus
Cara
Membaha E-
Diskusi Presentasi dan Diskusi Pos
s mail
Data No.Registrasi :
Nama : Tn. R
Pasien 135485

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ ii

BORANG PORTOFOLIO.......................................................................... .. iii

DAFTAR ISI.................................................................................................. iv

BAB I LAPORAN KASUS............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 24

4
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. R
Umur : 50 tahun
Agama : Islam
Alamat : Pekalongan
Pekerjaan : wiraswasta
No CM : 135485

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis ( 9 Desember 2016 )
Keluhan Utama
Mata kanan terasa ngganjel

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli mata RSUD Bendan Pekalongan dengan keluhan mata kanan
terasa ngganjel sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan ngganjel dirasakan setelah mata
kanan pasien kemasukkan benda kecil semacam debu pasir, pasien kemudian
mengucek mata kanannya. Keesokan harinya pasien mengeluh mata kanan menjadi
ngganjel, merah, terasa nyeri, dan berair. Pasien tidak mengalami demam, batuk,
mauoun pilek. Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa. Untuk
meringankan keluhan pasien membeli obat tetes mata anti iritasi di apotek.
2 hari yang lalu pasien merasakan keluhan semakin berat dan muncul rasa silau
ketika melihat cahaya. Pasien juga merasa mata kanan menjadi kabur. Pasien
kemudian memeriksakan diri ke Puskesmas. Di Puskesmas dikatakan pasien
mengalami luka pada lapisan bening mata kanan dan kemudian dirujuk ke poli mata
RSUD Bendan Pekalongan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit darah tinggi disangkal
Riwayat sakit kencing manis disangkal

1
Riwayat trauma (+) : mata kanan kemasukkan debu pasir 1 minggu yang lalu
Riwayat sakit jantung (nyeri dada, sesak nafas) disangkal
Riwayat sakit ginjal disangkal
Riwayat asma (mengi) disangkal
Riwayat kelainan darah disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat operasi mata disangkal
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
Riwayat memakai kacamata plus/minus sebelumnya disangkal
Riwayat penggunaan lensa kontak disangkal
Riwayat penggunaan tetes mata antibiotik dalam jangka panjang disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat kencing manis dan darah tinggi

Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Biaya pengobatan dengan BPJS
Kesan sosial ekonomi cukup

III. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik ( 9 Desember 2016 )
Status Presens:
Keadaan umum : baik, mata kanan tampak merah
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital: TD : 130/80 mmHg suhu : afebris
nadi : 88x/menit RR : 20x/menit
Pemeriksaan fisik : kepala : mesosefal
thoraks : cor : tidak ada kelainan
paru : tidak ada kelainan
abdomen : tidak ada kelainan
ekstremitas : tidak ada kelainan

Status Oftalmologis

2
Injeksi silier (+) Infiltrate (+)

Injeksi konjungtiva (+)

Oculus Dextra Oculus Sinistra


6/10 VISUS 6/6
Tidak Dilakukan KOREKSI Tidak dilakukan
Tidak dilakukan SENSUS COLORIS Tidak dilakukan
Gerak bola mata ke segala PARASE/PARALYSE Gerak bola mata ke segala
arah baik arah baik
Tidak ada kelainan SUPERCILIA Tidak ada kelainan
Edema (-), spasme (-) PALPEBRA SUPERIOR Edema (-), spasme (-)
Edema (-), spasme (-) PALPEBRA INFERIOR Edema (-), spasme (-)
Hiperemis(-),sekret (-), CONJUNGTIVA hiperemis (-), sekret (-),
edema (-) PALPEBRALIS edema (-)
Hiperemis (-), sekret (-), CONJUNGTIVA hiperemis (-), sekret (-),
edema (-), corpus alienum (-) FORNICES edema(-)
Injeksi silier (+), injeksi CONJUNGTIVA BULBI Injeksi (-), sekret (-)
conjungtiva (+) sekret (-)
Tidak ada kelainan SCLERA Tidak ada kelainan
Edema (+), keruh (+), CORNEA Jernih
infiltrate (+) letak di superior
bentuk punctata, jaringan
nekrotik(-),
Kedalaman cukup, CAMERA OCULI Kedalaman cukup,
Tyndall Effect(-) ANTERIOR Tyndall Effect (-)
Kripte (+), sinekia (-) IRIS Kripte (+), sinekia (-)
Bulat, sentral, regular, PUPIL Bulat, sentral, regular,
3mm, Refleks cahaya (+) 3mm, Refleks cahaya (+)
Jernih LENSA Jernih
(+) suram FUNDUS REFLEKS (+) cemerlang
T(digital) normal TENSIO OCULI T(digital) normal
Tidak dilakukan SISTEMCANALIS Tidak dilakukan
LACRIMALIS
Tidak dilakukan Tes flouresensi Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Kultur mikroorganisme Tidak dilakukan

IV. RESUME

3
Seorang laki-laki 50 tahun datang ke poli mata RSUD Bendan Pekalongan
dengan keluhan mata kanan terasa ngganjel sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan
ngganjel dirasakan setelah mata kanan pasien kemasukkan benda kecil semacam debu
pasir, pasien kemudian mengucek mata kanannya. Keesokan harinya pasien mengeluh
mata kanan menjadi ngganjel, merah, terasa nyeri, dan berair. Pasien tidak mengalami
demam, batuk, maupun pilek. Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan
serupa. Untuk meringankan keluhan pasien membeli obat tetes mata anti iritasi di
apotek.
2 hari yang lalu pasien merasakan keluhan semakin berat dan muncul rasa
silau ketika melihat cahaya. Pasien juga merasa mata kanan menjadi kabur. Pasien
kemudian memeriksakan diri ke Puskesmas. Di Puskesmas dikatakan pasien
mengalami luka pada lapisan bening mata kanan dan kemudian dirujuk ke poli mata
RSUD Bendan Pekalongan.
Pada pemeriksaan status ophtalmologi didapatkan:
Oculus Dextra Oculus Sinistra
VISUS
6/10 6/6
Injeksi silier (+),
injeksi conjungtiva (+) CONJUNGTIVA BULBI Injeksi (-), sekret (-)
sekret (-)
Edema (+), keruh (+),
infiltrate (+) letak di
superior bentuk CORNEA Jernih
punctata, jaringan
nekrotik(-),
(+) suram FUNDUS REFLEKS (+) cemerlang

V. DIAGNOSIS
Keratitis OD et causa suspek bakterial
dd/ keratitis viral
keratitis fungal
keratokonjungtivitis sika
VI. TERAPI
Debridement epitel kornea
Vigamox ED 1 tetes/ 4 jam
Tobramycin ED 1 tetes/ 4 jam
Asam mefenamat 500 mg 2x1

4
Vit B complex 1x1
Vit C 500 mg 1x1

VII. PROGNOSIS
OD OS
Quo ad visam Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam
Quo ad sanam Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam
Quo ad vitam Ad bonam
Quo ad cosmeticam Ad bonam

VIII. EDUKASI

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa pasien menderita


infeksi pada kornea mata yang dicurigai karena bakteri diakibatkan karena pengusapan
terlalu keras pada mata sehingga terjadi luka pada mata pasien. Selain itu keadaan
tangan belum tentu higienis sehingga memungkinkan bakteri masuk.
2. Menjelaskan kepada pasien untuk menghindari pengusapan pada mata,
menjaga mata dari debu dan hindari pemakaian lensa kontak
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai terapi yang
diberikan

IX. USULAN PEMERIKSAAN

Tes flouresensi

Scrapping kornea

Kultur mikroorganisme

X. DISKUSI
Dari hasil anamnesis ditemukan bahwa keluhan utama pada pasien ini adalah
adanya sensasi benda asing di mata kanan sejak 1 minggu yang lalu , disertai rasa nyeri,
lakrimasi, hiperemis, penurunan visus, dan fotofobia. Pada pemeriksaan status

5
ophtalmologi OD didapatkan visus 6/10, injeksi silier dan injeksi konjungtiva pada
konjungtiva bulbi, kornea tampak oedem, keruh, dan ditemukan adanya infiltrat yang
terletak di superior berbentuk punctata tanpa adanya jaringan nekrotik, dan fundus reflek
pada OD kurang cemerlang. Sehingga pasien ini didiagnosis dengan kertitis OD et causa
suspek bacterial. Faktor prediposisi terjadianya keratitis pada pasien ini didahului akibat
trauma yaitu masuknya benda asing ke mata kemudian mata sering digosok-gosok
sehingga dapat menimbulkan abrasi pada permukaan kornea. Keadaan ini dapat
mempermudah masuknya kuman bakteri, virus atau jamur agen penyebab keratitis.
Keratitis ditandai dengan adanya sensasi benda asing, hiperemis, lakrimasi, penurunan
visus, fotofobia, serta blepharospasme ( kesulitan membuka mata ). Penderita juga akam
mengeluh rasa sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri. Karena
kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan
terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan
penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi
biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh
darah iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada
kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan pembentukan
kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen.
Penatalaksanaan dilakukan untuk mengeradikasi penyebab keratitis, menekan reaksi
peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat
penyembuhan, mengatasi komplikasi, dan memperbaiki ketajaman penglihatan. Selain itu
dilakukan juga debridement pada epitel kornea. Debridement epitel kornea selain
berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar
epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Untuk terapi eradikasi mikroorganisme
penyebab diberikan kombinasi tetes mata antibiotik vigamox dan tobramycin. Vigamox
mengandung moxifloxacin ( golongan fluoroquinolon ) merupakan antibiotik spectrum
luas yang memiliki daya penetrasi yang baik pada jaringan mata. Sedangkan tobramycin (
golongan aminoglikosida ) merupakan antibiotik spectrum sempit yang memiliki aktivitas
bakterisid terhadap organisme gram (-) seperti Pseudomonas aerogenes, Escheria coli,
Proteus, dan Klebsiella sp. Selain itu diberikan asam mefenamat tablet untuk mengurangi
keluhan nyeri dan vitamin B complex dan vitamin C sebagai terapi supportif.
Pemeriksaan penunjang yang diusulkan adalah pemeriksaan flouresensi, scrapping
kornea, dan kultur mikroorganisme. Pemeriksaan flouresensi bertujuan untuk
memperjelas lesi pada kornea. Sedangkan scrapping kornea dan kultur mikroorganisme
6
dilakukan untuk mengetahui organisme penyebab keratitis sehingga dapat diberikan terapi
definitif.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari media
refraksi. Kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas lima lapis yaitu epitel, membran
bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel
dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat
daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan
hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal
sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah
beregenerasi.1,2
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan
jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena seperti
keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis karena
berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi,
infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.2,3,4
Pada keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea bergesekan
dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan
merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata maka lesi pada
kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral
dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris yang meradang Keratitis dapat
memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa ada yang mengganjal atau
kelilipan.3,4
Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan dan
membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah satu faktor
yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan gangguan penglihatan
ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan
diobati secara memadai.5

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA

8
2.1 ANATOMI KORNEA

Kornea adalah jaringan transparan tembus cahaya, menutupi bola mata bagian
depan. Kornea menempati 1/6 dari jaringan fibrosa bagian depan dari bola mata. Bagian
anterior dari kornea berbentuk elips dengan diameter horizontal 11,7 mm dan diameter
vertikal 11 mm. Bagian posterior berbentuk sirkular dengan diameter rata-rata 11,5 mm.
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,52 mm di bagian tengah dan 0,65 mm di
bagian perifer. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-
beda : lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descment dan lapisan endotel. 2

Lapisan kornea2,6
1. Epitel
- Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih yang terdiri dari satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berkaitan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden.Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier.
- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman
- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedangkan di bagian perifer serat
kolagen ini bercabang; terbentuknya serat kolagen memakan waktu lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.

9
4. Membran Descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.

5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, besar 20-40 m.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.

A B
Gambar 1. (A) Anatomi mata (B) Lapisan kornea
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya.
Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit
yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga
dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya
regenerasi. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50
dioptri pembiasan sinar masuk dilakukan oleh kornea.4

2.2 FISIOLOGI KORNEA

10
Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan untuk
memproteksi lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini dengan cara
mempertahankan sifat transparansi kornea dan pergantian dari jaringannya. Transparansi
kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang
sifat deturgescence nya. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari
komponen komponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari masing masing fibril
kolagen berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang kecil (300 A) dari fibril dan jarak
yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang
menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan dengan inhomogenitas optikalnya.
Sifat deturgescence di jaga dengan pompa bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barrier
dari epitel dan endotel. Kornea di jaga agar tetap berada pada keadaan basah dengan
kadar air sebanyak 78%.6,7
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang sangatlah
penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25 dioptri dari total
58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari seluruh kekuatan
dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea dapat memberikan
pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus seseorang. Kornea merupakan struktur
vital dari mata dan oleh karenanya kornea sangat sensitif. Saraf saraf kornea masuk dari
stroma kornea melalui membran bowman dan berakhir secara bebas diantara sel sel
epithelial serta tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 3 mm dari limbus ke
sentral kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.7
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi
taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan
pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet)
mengekspose ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan
refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan
mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu
mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea.8
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti penyembuhannya
juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber,
yaitu :7,8
Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya
Difusi dari humor aquous

11
Difusi dari film air mata
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan pasien
akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air mata juga
melindungi mata dari infeksi.8

3. KERATITIS
3.1 DEFINISI
Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan oedema kornea, infiltrasi
seluler dan kongesti siliar. 8

3.2 EPIDEMIOLOGI
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan
mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara 5,9-20,7 per
100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000
penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu bermakna
pada angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain
terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang
buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus
lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang
tidak baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.8

3.3 PATOFISIOLOGI KERATITIS


Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes),
penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan
preparat imunosupresif topical maupun sistemik. Kornea mendapatkan pemaparan konstan
dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea
memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk
refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang
membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara
cepat dan lengkap.9

12
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam
kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman
menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk
bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia merupakan pathogen kornea
bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host
yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.Ketika
patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa rantai
kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:9
Lesi pada kornea
Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen
Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan
membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
Patogen akan menginvasi seluruh kornea.
Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana descement yang
relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana hanya membaran
descement yang intak.
Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi dan
humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan
indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan
visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.

3.3 KLASIFIKASI
Terdapat bermacam-macam pembagian dari keratitis yaitu:10
1. Menurut penyebabnya :
a. Keratitis bakterial
Bakteri-bakteri yang biasa menyebabkan keratitis bakterialis, yaitu :
Streptokokus pneumonia
Pseudomonas aeroginosa
Streptokokus hemolitikus
Moraxella liquefaciens
Klebsiella pneumoniae
b. Keratitis viral
13
Virus lain yang dapat menyebabkan keratitis, yaitu :
Herpes simpleks
Herpes zoster
Variola (jarang)
Vacinia (jarang)
c. Keratitis jamur
Jamur - jamur yang biasa ditemukan pada keratitis, diantaranya :
Candida
Aspergilin
Nocardia
Cephalosporum
d. Keratitis lagoftalmus
Keratitis yang terjadi akibat adanya lagoftalmus dimana kelopak mata tidak dapat
menutup dengan sempurna sehingga mata terpapar dan terjadi kekeringan pada kornea
dan konjungtiva yang memudahkan terjadinya infeksi. Dapat dikarenakan parese
Nervus VII.
e. Keratitis neuroparalitik akibat kerusakan Nervus V
Keratitis neuroparalitik merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus,
sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea.
Gangguan saraf ke-5 ini dapat terjadi akibat Herpes zoster, tumor fosa posterior
kranium dan keadaan lainnya. Pada keadaan anestesi kornea kehilangan daya
pertahanannya terhadap iritasi dari luar. Hal ini dapat menyebabkan kornea mudah
terjadi infeksi sehingga mengakibatkan terbentuknya ulkus kornea.
f. Keratokonjungtivitis sika
Suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Kelainan ini terjadi
pada penyakit yang mengakibatkan:
a. Defisiensi komponen lemak air mata, misalnya blefaritis menahun
b. Defisiensi kelenjar air mata, misalnya sindrom Sjorgen, alakrimal kongenital,
obat diuretik, atropin, dan usia tua.
c. Defisiensi komponen musin: defisiensi vitamin A, trauma kimia, sindrom
Stevens Johnson.

14
d. Penguapan yang berlebihan, misalnya pada keratitis neuroparalitik, hidup di
padang gurun, keratitis lagoftalmus.
e. Karena parut pada kornea.

2. Menurut tempatnya :
a. Keratitis superfisial
Keratitis epitelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis serta pada
kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang terlibat (misalnya: pada
keratitis punctata superficialis). Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema
biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembentukan filament, keratinisasi
partial dan lain-lain. Lesi-lesi ini juga bervariasi pada lokasinya di kornea. Semua
variasi ini mempunyai makna diagnostik yang penting
Keratitis subepitelial
Lesi-lesi ini sering terjadi karena keratitis epithelial (misal infiltrat subepitelial
pada keratokonjungtivitis epidemika, yang disebabkan adenovirus 8 dan 19). Umunya
lesi ini dapat diamati dengan mata telanjang namun dapat juga dikenali pada
pemeriksaan biomikroskopik terhadap keratitis epitelia.
Keratitis stromal
Respons stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang menunjukkan
akumulasi sel-sel radang; edema muncul sebagai penebalan kornea, pengkeruhan, atau
parut; penipisan dan perlunakan yang dapat berakibat perforasi; dan vaskularisasi.
b. Keratitis profunda
Keratitis interstitial
Merupakan keratitis yang ditemukan pada jaringan yang lebih dalam, yaitu
keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan neovaskularisasi. Terjadi akibat alergi,
infeksi lues, dan tuberkulosis.
Keratitis sklerotikans
Merupakan kekeruhan berbentuk segitiga pada kornea, terlokalisasi, berbatas tegas
unilateral yang menyertai radang sklera atau skleritis. Kadang-kadang mengenai
seluruh limbus. Kornea terlihat putih menyerupai sklera. Diduga terjadi karena
perubahan susunan serat kolagen yang menetap.
Keratitis disiformis

15
Disebut juga keratitis sawah karena banyak mengenai petani. Keratitis
memberikan kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong di jaringan kornea. Diduga
merupakan reaksi alergi ataupun imunologik terhadap virus Herpes simpleks.

Selain keratitis yang dijelaskan di atas, masih terdapat beberapa jenis keratitis lainnya:
a. Keratitis pungtata superfisial
Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran infiltrat halus bertitik-titik
pada permukaan kornea, memberikan hasil positif pada tes fluorescein. Etiologinya
adalah sindrom dry eye, blefaritis, keratopati, lagoftalmus, keracunan obat topikal
(neomycin, tobramycin), sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa
kontak.
b. Keratitis numularis atau dimmer
Keratitis numularis merupakan bentuk keratitis dengan ditemukannya infiltrat yang
bundar berkelompok dan tepinya berbatas tegas sehingga memberikan gambaran halo.
Keratitis ini berjalan lambat dan sering ditemukan pada petani sawah.
c. Keratokonjungtivitis epidemika
Keratitis ini terjadi akibat peradangan kornea dan konjungtiva yang disebabkan
oleh reaksi alergi adenovirus tipe 8. Penyakit ini dapat timbul sebagai suatu epidemik.
d. Keratitis marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus akibat
infeksi lokal konjungtiva. Bila tidak diobati dapat menyebabkan ulkus kornea.
e. Keratokonjungtivitis flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva yang merupakan reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Terdapat
daerah berwarna keputihan yang merupakan degenerasi hialin. Terjadi pengelupasan
lapis sel tanduk epitel kornea.
f. Keratokonjungtivitis vernal
Merupakan penyakit rekuren, dengan peradangan tarsus dan konjungtiva bilateral.
Penyebab belum diketahui, namun terutama terjadi pada musim panas mengenai anak
sebelum berumur 14 tahun. Mengenai kelopak atas dan konjungtiva pada daerah
limbus berupa hipertrofi papil yang kadang-kadang berbentuk Cobble stone.
g. Gonore
Kuman diplokokus gonore menyebabkan konjungtivitis purulenta yang akut
disertai blefarospasme. Adanya blefarospasme menyebabkan sekret yang purulen dan
16
penuh dengan gonokok tertumpuk di bawah konjungtiva palpebra superior, ditambah
lagi gonokok mempunyai enzim proteolitik dan hidupnya intra seluler, sehingga dapat
menimbulkan kerusakan kornea yang hebat tanpa harus didahului dengan kerusakan
epitel. Ulkus yang dibentuk dalam dan dapat menimbulkan perforasi yang juga dapat
berakhir dengan kebutaan.
h.
Ulkus Mooren

Etiologinya belum diketahui, tetapi diduga autoimun. Ulkus ini termasuk ulkus
marginal. Pada 60-80% kasus unilateral dan ditandai ekstravasasi limbus dan kornea
perifer, yang sakit dan progresif, yang sering berakibat kerusakan mata.

3.4 GEJALA KLINIS


Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya
sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan
silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan
mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga
amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam
menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea
bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi
sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi
pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi
terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh
kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena
refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya
juga berair mata namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak
kecuali pada ulkus kornea yang purulen.11

3.5 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adnya
riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes
simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan keratitis herpetic
tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Anamnesis mengenai
pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang

17
dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis
herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit
sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi
khusus.12,13
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah
tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan
kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda
dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab
dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan
morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada
epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan
di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi
perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan.14
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi hingga
erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis stromal, respon
struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi kepada
edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea. Pemeriksaan
fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada keratitis dilakukan melalui
inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat menggambarkan lesi
epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan inspeksi biasa.
Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan kornea, apabila
tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan iluminasi yang terang.
Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya
dengan hati hati ke seluruh kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi
dari defek kornea dapat terlihat. Berikut ini merupakan jenis keratitis dan bentuknya:10

No. Jenis keratitis Bentuk keratitis


1. Keratitis stafilokok Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama
sepertiga bawah kornea
2. Keratitis herpetik Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau
lonjong) dengan edema dan degenerasi
3. Keratitis varicella- Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang

18
zoster linear (pseudosendrit)
4. Keratitis adenovirus Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus
namun paling mencolok di daerah pupil
5. Keratitis sindrom Epitel rusak dan erosi kecil-kecil, pleomorfik,
Sjorgen terpulas fluorescein; filament epithelial dan
mukosa khas; terutama belahan bawah kornea
6. Keratitis terpapar Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas
akibat lagoftalmus atau fluorescein; terutama di belahan bawah kornea
eksoftalmus
7. Keratokonjungtuvitis Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan
vernal berbercak-bercak kelabu, paling mencolok di
daerah pupil atas. Kadang-kadang membentuk
bercak epithelium opak
8. Keratitis trofik-sekuele Edema epitel berbercak-bercak; difus namun
HS, HZ dan destruksi terutama di fissure palpebrae, pukul 9-3
ganglion gaseri
9. Keratitis karena obat- Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan
terutama antibiotika edema seluler berbintik-bintik; lingkaran epitel
spectrum luas
10. Keratitis superficial Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau
punctata (SPK) lonjong; menimbul bila penyakit aktif
11. Keratokonjungtivitis Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di
limbic superior sepertiga atas kornea; filament selama
eksaserbasi; hiperemi bulbar, limbus
berkeratin menebal, mikropanus
12. Keratitis rubeola, Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah
rubella dan parotitis pupil
epidemika
13. Trachoma Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein
pada sepertiga atas kornea
14. Keratitis defisiensi Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel
vitamin A akibat keratinisasi partial; berhubungan
dengan bintik-bintik bitot

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya
akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan
menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan
periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam
penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.3,10

19
3.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki
ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi
keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal,
ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Sebagian besar pakar menganjurkan
melakukan debridement sebelumnya.Debridement epitel kornea selain berperan untuk
pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga
obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial
"ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik.
Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial jika
penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.14,15
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir.
Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau
vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau
polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret
mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur
pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat
membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada
keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan
rasa nyaman dan mengatasi keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata
buatan, sikloplegik dan kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung
metilselulosa dan gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan
viskositas, dan memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga
menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada
pemberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat
memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah
virus.15
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi
dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat
20
memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya
katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur,
menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat menyembunyikan
gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa jurnal
dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian
tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien
dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari
steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang
terinduksi steroid.15
Pemberian siklopegik mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga
terjadi dilatasi pupil dan mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan
akomodasi. Terdapat beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan
tropikamida.15
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga
bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis
tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan bila
telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2 minggu
setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi cepat, demam,
merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih cepat dibanding
dengan atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan akomodasi normal
kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan trokamida (0,5%-1%) memberikan
efek setelah 15-20 menit, dengan efek maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan
hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering dipakai untuk melebarkan pupil pada
pemeriksaan fundus okuli.15
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan lem
cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal,
harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap
konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah terjadi
descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik
lamellar.3,10
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan
juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlalu
sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada
21
konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara
panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki riwayat atopi
sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat memperberat
lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur
sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan
menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu
tangan, dan tissue.15

3.8 KOMPLIKASI & PROGNOSIS


Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik dapat
sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan berakhir dengan
pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula, leukoma, leukoma
adherens dan stafiloma kornea.3
a. Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan
hanya dapat dilihat dengan menggunakan kaca pembesar atau
menggunakan slit lamp.

b. Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat
dilihat tanpa menggunakan kaca pembesar.

c. Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat


dari jarak yang agak jauh sekalipun.

d. Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh


ketebalan kornea, terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea
(sinekia anterior).

e.
Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai
perforasi, maka pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut
kornea yang disertai dengan sinekia anterior.

Bila ulkusnya lebih dalam dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat
membahayakan mata, oleh karena timbulnya hubungan langsung dari bagian dalam
mata dengan dunia luar, sehingga kuman dapat masuk ke dalam mata dan
menyebabkan endoftalmitis atau panoftalmitis. Dengan adanya perforasi, iris dapat

22
menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris. Saat terjadi perforasi,
tekanan intraokular menurun.3

Bagan 1: Perjalanan Keratitis

23
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Opthalmology A Short Textbook Atlas. 2 ndedition.
Stuttgart ; theme ; 2007. P . 426-466.
2. Ilyas, S.Anatomi dan Fisiologi MataEdisi Ketiga.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. h. 1-3
3. Ilyas, S.Ilmu Penyakit MataEdisi Ketiga.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. p. 147-
148
4. PERDAMI, Panduan Menejemen Klinis PERDAMI, Jakarta : PP PERDAMI, 2006.
5. Ilyas, S., 2004.Ilmu Penyakit MataEdisi Ketiga.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
6. Wijaya,C., Terabunan, J., Perwira, D.,2012. Referat keratitis.Bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran UniversitasKristen Maranatha Rumah Sakit Immanuel.
Bandung
7. Eroschenko, V.P., 2003. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9. Jakarta: EGC.
8. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6381/1/10E00180.pdf
9. Hartanto, H., et al, 2002. Kamus Kedokteran Dorland Ed. 29. Jakarta: EGC.
10. Kanski, J.J., 2005. Clinical Ophtalmology a Synopsis. London: Oxford.
11. Biswell, R., 2010. Kornea. In: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC.
12. Ilyas, S., 1998.Ilmu Penyakit MataEdisi Kedua.Jakarta: Balai Penerbit FKUI
13. Susetio, B., 1993. Penatalaksaan Infeksi Jamur pada Mata. In: Cermin Dunia
Kedokteran No 87
14. Vaughan D.2000. Opthalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika : Jakarta
15. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eye Fourth Edition. BMJ Books. P. 17-19

24

Anda mungkin juga menyukai