Anda di halaman 1dari 26

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM

PEMBERIAN OBAT SECARA ORAL DAN

INTRAPERITONEAL

Oleh :

NAMA : Getruida Natasha Amelia Efraim


NIM : 15.022.AF
KELAS : REGULAR A
KELOMPOK : 1 (SATU)
INSTRUKTUR : ANANDA RAMADANI S.Farm.,M.si

AKADEMI FARMASI

YAYASAN MABULO SIBATANG

MAKASSAR

2017
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Farmakologi merupakan ilmu yang mengintegrasikan ilmu

kedokteran dasar dan menjembatani ilmu praklinik dan klinik.

Farmakologi sebagai ilmu yang berbeda dari ilmu lain secara umum

pada keterkaitannya yang erat dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik

sangat sulit mengerti farmakologi tanpa pengetahuan tentang fisiologi

tubuh, biokimia, dan ilmu kedokteran klinik. Pada uji farmakologi suatu

sediaan dilakukan uji praklinis dan uji klinik. dimana uji praklinik

melibatkan penggunaan hewan coba seperti mencit (Mus musculus)

dan kelinci (Oryctogal uscuniculus) dan untuk uji klinik dilakukan pada

manusia. Uji praklinik ini bertujuan untuk menguji produk pada hewan

dan mengamati efeknya pada kesehatan hewan yang jika tidak

berbahaya maka dilanjutkan dengan pengujian pada manusia (uji

klinik).

Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah

telah berjalan sejak puluhan tahun lalu. Agar mengetahui bagaimana

cara kita sebagai mahasiswa maupun sebagai seorang peneliti dalam

hal ini mengetahui tentang kemampuan obat pada seluruh aspeknya

yang berhubungan dengan efek toksiknya maupun efek sampingnya

tentunya kita membutuhkan hewan uji atau hewan percobaan


Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita

mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat, baik dari segi

farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi

farmakologi dan toksikologinya. Hal yang dipelajari dan sebagai dasar

dari praktikum farmakologi adalah cara-cara pemberian obat dan faktor

yang mempengaruhi pemberian obat.

Cara pemberian obat sangat penting artinya karena setiap jenis

obat berbeda penyerapannya (absorpsi) oleh tubuh dan sangat

bergantung pada lokasi pemberian. Sedangkan faktor yang

mempengaruhi pemberian obat ini juga sangat penting bergantung

pada kondisi individu, jenis kelamin dan spesies hewan laboratorium.

I.2 Maksud dan Tujuan

I.2.1 Maksud Percobaan

Mengetahui dan memahami teknik pemberian obat atau

sediaan secara oral dan secara parenteral (Intraperitoneal)

terhadap hewan uji mencit (Mus musculus)

I.2.2 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaan ini adalah:

1. Untuk mengetahui teknik cara pemberian oral terhadap

hewan uji.
2. Untuk mengetahui dengan tepat obat telah sampai di saluran

pencernaan hewan uji.


3. Untuk mengetahui teknik cara pemberian parenteral

(Intraperitoneal) terhadap hewan uji.


4. Untuk mengetahui dengan tepat obat telah masuk kedalam

pembuluh atau site target injeksi organ hewan uji.

I.3 Prinsip Percobaan

I.3.1 Secara oral

Memberikan aquadest sesuai dengan dari perhitungan

dosis bobot badan masing-masing hewan uji (mencit) dengan

menggunakan spuit oral,

I.3.2 Secara Intraperitonial

Menyuntikkan aqua pro injeksi sesuai dengan dosis

bobot badan ke dalam rongga perut hewan uji dengan kemiringan

spoit 200.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum


Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis,

mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit

pada manusia atau hewan (Ansel 1985).


Obat yang diberikan pada pasien akan banyak mengalami

proses sebelum tiba pada tempat tujuannya dalam tubuh, yaitu tempat

kerjanya atau reseptor, obat harus mengalami beberapa proses. Obat

yang masuk kedalam tubuh melalui berbagai cara pemberian

umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk

sampai ditempat kerja dan menimbulkan efek. Kerja suatu obat

merupakan hasil dari banyak sekali proses dan umumnya ini didasari

suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga fase (Ganiswara,

Sulistia G, 1995) :

1. Fase Farmasetik

Fase ini meliputi proses fabrikasi, pengaturan dosis,

formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan

terlarutnya obat aktif. Karena itu fase ini utamanya ditentukan oleh

sifat-sifat galenik obat. Fase ini berperan dalam ketersediaan obat

untuk diabsorpsi ke dalam tubuh (ketersediaan farmasetik).

2. Fase Farmakokinetik
Fase ini meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme,

dan ekskresi. Fase ini berperan dalam menentukan ketersediaan

obat dalam plasma (ketersediaan hayati) sehingga dapat

menimbulkan efek. Fase ini termasuk bagian proses invasi dan

eliminasi. Yang dimaksud dengan invasi adalah proses-proses

yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat dalam

organisme, sedangkan eliminasi merupakan proses-proses yang

menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme.

3. Fase Farmakodinamik

Fase terjadinya interaksi obat-reseptor dalam target aksi

obat. Fase ini berperan dalam menentukan seberapa besar efek

obat dalam tubuh. Suatu obat mungkin lebih efektif jika diberikan

melalui salah satu cara pemberian, tetapi tidak atau kurang efektif

melalui cara pemberian yang lain. Perbedaan ini salah satunya

dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kecepatan absorpsi dari

berbagai cara pemberian tersebut. Konsekuensinya, efek

farmakologi yang ditimbulkan juga berbeda untuk masing-masing

pemberian.

Obat dalam tubuh mengalami fase farmakokinetik, yaitu

ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi) (Ganiswara,

Sulistia G, 1995) :

1. Absorpsi
Absorpsi adalah proses perpindahan obat dari tempat

pemberian/aplikasi menuju ke sirkulasi/peredaran darah yang

selanjutnya mencapai target aksi obat. Hal ini menyangkut

kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan

dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tapi

secara klinik yang paling penting adalah bioavailibilitas. Istilah ini

menyatakan jumlah obat dalam persen yang mencapai sirkulasi

sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena obat-obat

tertentu tidak semua diabsorpsi dari tempat pemberian akan

mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh

enzim di dinding usus pada pemberian per oral atau

dimetabolisme dihati pada first pass metabolism. Obat demikian

memiliki bioavailibilitas rendah.

Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Sifat fisika-kimia obat

b. Bentuk sediaan obat

c. Dosis obat

d. Rute dan cara pemberian

e. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi

f. Luas permukaan tempat absorpsi

g. Nilai PH cairan pada tempat absorpsi

h. Integritas membrane

i. Aliran darah pada tempat absorpsi


2. Distribusi

Setelah obat diabsorpsi kedalam aliran darah, untuk

mencapai tepat pada letak dari aksi harus melalui membrane sel

yang kemudian dalam peredaran, kebanyakan obat-obatan

didistribusikan melalui cairan badan. Distribusi merupakan transfer

obat yang reversible antara letak jaringan dan plasma. Pola

distribusi menggambarkan permainan dalam tubuh oleh beberapa

factor yang berhubungan dengan permeabilitas, kelarutan dalam

lipid dan ikatan pada makromolekul. Distribusi obat dibedakan

menjadi dua fase berdasarkan penyebarannya dalam tubuh. Fase

pertama terjadi segera setelah penyerapan yaitu kedalam organ

yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan

otak. Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas, yaitu

mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik jaringan diatas

yang meliputi otot, visera, kulit dan jaringan lemak.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan distribusi obat dalam

badan adalah:

a. Perfusi darah melalui jaringan


b. Kadar gradient, PH, dan ikatan zat dengan makromolekul
c. Partisi kedalam lemak
d. Transport aktif
e. Sawar
f. Ikatan obat dengan protein plasma

3. Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme adalah proses perubahan

struktur kimia obat didalam tubuh yang dikatalisis oleh enzim.

Pada proses ini molekul obat diubah menjadi bentuk yang lebih

polar atau lebih mudah larut didalam air dan sukar larut didalam

lemak sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain intu pada

umumnya obat diubah menjadi bentuk inaktif, sehingga proses

biotransformasi menentukan dalam mengakhiri kerja obat.

4. Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi

dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk

asalnya. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting.

Ekskresi pada ginjal merupakan resultan dari tiga proses yaitu

filtrasi diglomerulus, sekresi aktif di tubulus proximal dan

reabsorpsi pasif di tubulus proximal dan distal. Ekskresi obat selain

pada ginjal juga dapat terjadi melalui air liur, keringat, air mata, air

susu dan rambut.

Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik

lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah

kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai

darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang

terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan

bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu
tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug,

B.G, 1989).

Rute pemberian obat, dapat diberikan secara peroral,

subkutan, intramuscular, intravena dan intraperitonial. Rute peroral

dapat diberikan dengan mencampurkan obat bersama makanan, bisa

pula dengan jarum khusus ukuran 20 dan panjang kira-kira 5cm untuk

memasukkan senyawa langsung ke dalam lambung melalui

esophagus, jarum ini ujungnya bulat dan berlubang ke samping. Cara

intraperitoneal hampir sama dengan Intramuscular, suntikkan

dilakukan di daerah abdomen diantara cartilage xiphoidea dan

symphysis pubis (Priyanto, 2008).

1. Per Oral (p.o)

Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan

dan pemberian melalui mulut. Cara ini merupakan cara pemberian

obat yang paling umum karena mudah digunakan, relative aman,

murah dan praktis (dapat dilakukan sendiri tanpa keahlian dan alat

khusus). Kerugian dari pemberian obat secara peroral adalah

efeknya lama, mengiritasi saluran pencernaan, absorpsi obat tidak

teratur, tidak 100% obat diserap. Tidak diserapnya obat secara

100% dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:


a. Jumlah makanan dalam lambung
b. Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau

enzim gastrointestinal, misalnya insulin yang harus diberikan


secara peroral akan dirusak oleh enzim proteolitik dari saluran

gastrointestinal.
c. Pada keadaan pasien muntah-muntah sehingga obat tidak

dapat diabsorpsi.
d. Dikehendaki kerja awal yang cepat.

e. Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi

tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk

memberi efek terapeutik.

Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk

memperoleh efek sistemik, yaitu obat masuk melalui pembuluh

darah dan beredar ke seluruh tubuh setelah terjadi absorpsi obat

dari bermacam-macam permukaan sepanjang saluran

gastrointestinal. Tetapi ada obat yang memberi efek lokal dalam

usus atau lambung karena obat yang tidak larut, misalnya obat

yang digunakan untuk membunuh cacing dan antasida yang

digunakan untuk menetralkan asam lambung.

2. Intra peritoneal (i.p)

Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus

atau terkena hati, karena dapat menyebabkan kematian. Di dalam

rongga perut ini, obat diabsorpsi secara cepat karena pada

mesentrium banyak mengandung pembuluh darah. Dengan

demikian absorpsinya lebih cepat dibandingkan peroral dan

intramuscular. Obat yang diberikan secara i.p akan diabsorpsi pada


sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam hati sebelum

mencapai sirkulasi sistemik.

Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah

lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui

intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan

proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara

parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal

dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung

masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor

(receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui

hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses

penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis

obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan

akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan

pengobatan ( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).

II.2 Uraian bahan

II.2.1 Aquadest (Farmakope Indonesia Edisi III, 1979 : 96)

Nama resmi : AQUADESTILLATA

Nama lain : Air suling, Aquadest

Rumus kimia : H2O

Berat molekul : 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,

tidak mempunyai rasa.


Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

II.2.2 Aqua Pro Injeksi (Farmakope Indonesia Edisi III, 1979 : 97)

Nama Resmi : AQUA PRO INJECTION

Nama Lain : Aqua pro injeksi

Rumus Molekul : H2O

Berat Molekul : 18,02

Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berbau, tidak

berasa

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup kedap, disimpan dalam

wadah tertutup kapas berlemak, harus

digunakan dalam waktu 30 hari setalah

pembuatan

II.2.3 Etanol (Farmakope Indonesia Edisi III, 1979 : 65)

Nama resmi : AETHANOLUM

Nama lain : Alkohol, Etanol

Rumus molekul : C2H6OH

Berat molekul : 46,068 g/mol

Rumus struktur : CH3 CH2 OH

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah

menguap, dan mudah bergerak, bau khas,


rasa panas, mudah terbakar dengan

memberikan nyala biruyang tidak berasap

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam

kloroform P, dan dalam eter P

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

II.3 Uraian Hewan Uji

II.3.1 Mencit (Mus musculus) (Muliani,2011)

a. Klasifikasi ilmiah

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

b. Karakteristik Mencit

Lama Hidup : 1- 2 tahun, bisa sampai 3 tahun

Lama Bunting : 19 - 21 hari

Umur Disapih : 21 hari

Umur Dewasa : 35 hari

Siklus Kelamin : poliestrus

Siklus Estrus : 4-5 hari

Lama Estrus : 12-24 jam


Berat Dewasa : 20-40 g jantan;18-35 g betina

Berat Lahir : 0,5-1,0 gram

Jumlah anak : rata-rata 6, bisa 15

Suhu (rektal) : 35-39C (rata-rata 37,4C)

Perkawinan Kelompok : 4 betina dengan 1 jantan

Aktivitas : Nokturnal (malam)

Sifat sifat mencit :

1. Pembauannya sangat peka yang memiliki fungsi untuk

mendeteksi akan, deteksi predator dan deteksi signal

(feromon).
2. Penglihatan jelek karena sel konus sedikit sehingga tidak

dapat melihat warna.


3. Sistem sosial: berkelompok

4. Tingkah laku:

* jantan dewasa + jantan dewasa akan berkelahi

* Betina dewasa + jantan dewasa damai

* Betina dewasa + betina dewasa damai

c. Morfologi

Ukuran lebih kecil, bulu berwarna putih, dan warna kulit lebih

pucat, mata berwarna hitm dan kulit berpigmen.

BAB III

METODE KERJA

III.1 Alat dan Bahan yang Digunakan


III.1.1 Alat

a. Baskom
b. Rang besi
c. Spidol
d. Spuit
e. Spuit oral

f. Timbangan

III.1.2 Bahan

a. Alkohol
b. Aquadest
c. Aqua pro injeksi
d. Kapas
e. Masker

f. Sarung tangan

III.1.3 Hewan percobaan

Mencit (Mus musculus)

III.2 Prosedur Kerja

III.2.1 Per Oral

a. Diambil hewan uji mencit.


b. Ditimbang berat badan hewan uji.
c. Diberi tanda hewan uji pada ekor hewan uji dengan

spidol.
d. Mencit yang telah ditimbang kemudian dihitung dosis

pemberian obat.
e. Disiapkan dosis pemberian hewan uji.
f. Diangkat ujung ekor mencit dengan tangan kanan,

dibiarkan mencit mencengkeram rang sehingga tertahan

ditempat. Dijepit tengkuk mencit seerat mungkin dengan

ibu jari dan jari telunjuk, pastikan kepala mencit tidak


menoleh kebelakang, kemudian kelingking dan jari manis

menjepit ekor dan tangan kanan memegang spuit oral

(sonde) untuk dimasukkan ke dalam mulut hewan uji.


g. Dimasukkan ke dalam mulut hewan uji spuit oral.

Pastikan obat masuk ke dalam saluran pencernaan

(lambung). Setelah obat sudah masuk tarik perlahan-

lahan spuit.
h. Setelah diberikan perlakuan, hewan uji dimasukkan ke

dalam kandang atau tempat terpisah, dari kandang

semula, untuk memudahkan pengamatan.

III.2.1 Intraperitoneal

a. Diambil hewan uji mencit.


b. Ditimbang berat badan hewan uji.
c. Diberi tanda hewan uji pada ekor hewan uji dengan

spidol.
d. Diangkat ujung ekor mencit dengan tangan kanan,

dibiarkan mencit mencengkeram ras sehingga tertahan

ditempat. Dijepit tengkuk mencit seerat mungkin dengan

ibu jari dan jari telunjuk, pastikan kepala mencit tidak

menoleh kebelakang, kemudian kelingking dan jari manis

menjepit ekor.
e. Dibersihkan disekitar rongga perut dengan alkohol

(antiseptik).
f. Dilakukan penyuntikan injeksi secara intraperitoneal

disekitar rongga perut hewan uji dengan sudut

kemiringan jarum 20o.


g. Ditutup dengan kapas bagian yang telah disuntik.
h. Setelah diberikan perlakuan, hewan uji dimasukkan ke

dalam kandang atau tempat terpisah, dari kandang

semula, untuk memudahkan pengamatan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Data Pengamatan

IV.1.1 Oral

a. Kelompok 1

Replikasi Berat badan


No Dosis (ml) Keterangan
hewan uji (gram)
1 Mencit 1 22 1,1 Betina
2 Mencit 2 24 1,2 Jantan
3 Mencit 3 21 1,05 Betina

b. Kelompok 2

Replikasi Berat badan


No Dosis (ml) Keterangan
hewan uji (gram)
1 Mencit 1 16 0,8 Betina
2 Mencit 2 23 1,2 Jantan
3 Mencit 3 22 1,1 Jantan

c. Kelompok 3

Replikasi Berat badan


No Dosis (ml) Keterangan
hewan uji (gram)
1 Mencit 1 25 1,25 Jantan
2 Mencit 2 24 1,2 Betina
3 Mencit 3 24 1,2 Betina

d. Kelompok 4

Replikasi Berat badan


No Dosis (ml) Keterangan
hewan uji (gram)
1 Mencit 1 30 1,3 Jantan
2 Mencit 2 25 1,05 Betina
3 Mencit 3 22 0,9 Jantan

IV.1.2 Intraperitoneal

a. Kelompok 1

Replikasi Berat badan


No Dosis (ml) Keterangan
hewan uji (gram)
1 Mencit 1 22 1,1 Betina
b. Kelompok 2

Replikasi Berat badan


No Dosis (ml) Keterangan
hewan uji (gram)
1 Mencit 1 22 1,1 Jantan

c. Kelompok 3

Replikasi Berat badan


No Dosis (ml) Keterangan
hewan uji (gram)
1 Mencit 1 24 1,2 Betina

d. Kelompok 4

Replikasi Berat badan


No Dosis (ml) Keterangan
hewan uji (gram)
1 Mencit 1 33 1,65 Betina

IV.2 Gambar

IV.2.1 Pemberian Secara Oral


IV.2.2 Pemberian Secara Intraperitonial

IV.3 Pembahasan
Praktikum kali ini mempelajari tentang teknik pemberian oral

dan intraperitoneal serta ketepatan obat masuk di saluran

pencernaan atau di pembuluh organ hewan uji. Pada dasarnya rute

pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk

kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi

atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Dalam hal ini, alat

uji yang digunakan adalah tubuh hewan (uji in vivo). Mencit dipilih

sebagai hewan uji karena metabolisme dalam tubuhnya berlangsung

cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek

pengamatan.

Pemberian cara oral (pemberian obat melalui mulut masuk

kesaluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul

agar tidak membahayakan bagi hewan uji. Pemberian obat secara

oral merupakan cara pemberian obat yang umum dilakukan karena

mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor

yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya sehingga waktu onset

yang didapat cukup lama. Sedangkan rute pemberian intra peritoneal

cukup efektif karena memberikan hasil kedua paling cepat setelah

intravena. Namun suntikan i.p tidak dilakukan pada manusia karena

bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar.

Pertama-tama mencit diberi perlakuan dengan cara dielus-

elus bagian kepala sampai bagian belakang tubuhnya. Hal ini

bertujuan agar mencit tidak stres sehingga mencit tenang dan mudah
di pegang. Untuk memegang mencit yang akan digunakan diperlukan

cara-cara yang khusus sehingga mempermudah cara perlakuannya.

Secara alamiah mencit cenderung menggigit bila mendapat sedikit

perlakuan kasar. Mencit diambil dengan memegang ekornya

kemudian mencit diletakkan di bagian atas kandang dengan ekornya

yang masih dipegang. Kulit bagian belakang kepala mencit dicubit

dengan menggunakan tangan kanan dan jepit ekornya diantara jari

kelingking dan jari manis. Selanjutnya mencit diberi perlakuan yakni

dilakukan pemberian obat melalui per oral dan intra peritonial.

Pemberian secara oral kepada hewan uji (mencit 1-3)

dilakukan dengan cara memasukkan kedalam mulut hewan uji

menggunakan spuit oral secara perlahan-lahan dengan memastikan

aquadest telah masuk kedalam saluran pencernaan (bukan di dalam

paru-paru). Setelah aquadest telah masuk, Spuit oral ditarik keluar

secara perlahan-lahan. Mencit kode 1 berjenis kelamin betina dan

memiliki berat badan 16 g, mencit kode 2 berjenis kelamin jantan dan

memiliki berat badan 23 g, mencit kode 3 berjenis kelamin jantan dan

memiliki berat badan 22 g. dimana berat badan tersebut telah

memenuhi syarat sebagai hewan uji.

Pemberian secara parenteral (Intraperitoneal) kepada hewan

uji mencit dilakukan dengan cara menyuntikkan aqua pro injeksi

dengan menggunakan spuit 1 ml secara perlahan-lahan dan

dipastikan dilakukan pada rongga perut hewan uji dengan sudut


kemiringan spuit 200, mencit memiliki jenis kelamin jantan yang

ditandai dengan berat badan 22 gram dimana berat badan tersebut

telah memenuhi syarat sebagai hewan uji.

Hal hal yg harus di perhatikan bila ingin memegang hewan

- hewan percobaan ini adalah harus menggunakan sarung tangan

dan masker. Tujuan menggunakan sarung tangan adalah untuk

mengurangi kontaminasi langsung dengan mencit. Karena

ditakutkan adanya bakteri pada tubuh hewan tersebut, kemudian

untuk menjaga agar bila mencit menggigit tidak langsung terkena

kulit tangan kita, akan tetapi terkena sarung tangannya lebih

dahulu.

Jadi tujuan dilakukan atau dipelajari pemberian oral dan

intraperitoneal dalam praktikum farmakologi yaitu agar mengetahui

teknik cara pemberian melalui rute oral dengan tepat di esofagus

masuk ke lambung dan cara pemberian parenteral (intraperitoneal)

masuk kedalam pembuluh darah.

BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil data praktikum kelompok 2, dapat disimpulkan

bahwa :

1 Pemberian oral pada mencit dilakukan dengan memasukkan spuit

oral ke dalam mulut mencit dengan perlakuan khusus agar spuit

oral tersebut tepat di esofagus dan masuk ke lambung


2 Pemberian secara intraperitoneal dilakukan disekitar rongga perut

dengan kemiringan spuit 200.


3 Pemberian dosis pada mencit masing-masing berbeda, sesuai

dengan berat badan mencit.

V.2 Saran

Sebaiknya praktikan harus lebih hati-hati dalam memberikan

suatu sediaan terhadap hewan uji.

DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1985. Pengantar bentuk sediaan Farmasi, Edisi IV. UI Press:

Jakarta

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia:Jakarta.

Ganiswara, Sulistia G (Ed). 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai
Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Katzung, Bertram. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi III. EGC:

Jakarta

Muliani, Hirawati. 2011.Pertumbuhan Mencit (Mus Musculus L.) Setelah

Pemberian Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L) UNDIP: Semarang

(PDF. pada jumat, 7 april 2017. Pukul 09.46 wita)

Priyanto. 2008. Farmakologi Dasar Edisi II. Leskonfi: Depok

Siswandono dan Soekardjo, B, 1995, Kimia Medisinal, Airlangga Press:

Surabaya

Anda mungkin juga menyukai