Disusun Oleh:
Ahmad Imam Santoso
( P27220014177 )
A. Defenisi
Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2001). Gangguan ini
biasanya dikenal dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit membran
hialin karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli.
B. Etiologi
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrome (RDS)
disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur,
yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang.
Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur.
C. Patofisiologi
RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang
disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas
disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan
mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%).
Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi
kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru
ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan
asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun > metabolisme anerobik dengan penimbunan asam
laktat asam organic > asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris > transudasi kedalam alveoli >
terbentuk fibrin> fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik > lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantung, penurunan aliran
darah ke paru, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode
perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi,
IUGR dan kehamilan kembar.
D. Pathway
Alveolus kolaps
Takipnea Edema
Kekurangan nutrisi
F. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1. Ruptur alveoli : bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS
yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau
adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan
invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler
terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan
ventilasi mekanik.
4 PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi
dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi
dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ
lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan
menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy premature: kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.
G. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk
mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila
bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 % .
Pantau selalu tanda vital .
Jaga patensi jalan nafas.
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal).
b. Jika bayi mengalami apneu.
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan.
Lakukan penilaian lanjut.
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah.
e. Pemberian nutrisi adekuat.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru.
Fenobarbital.
Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen.
Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari
pemakaian ventilasi mekanik.
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS
adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat
dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).
I. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pertukaran gas
menjadi normal.
KH :
- Jalan nafas bersih.
- Frekuensi jantung 120-160 x/menit.
- Pernapasan 40-60 x/menit.
- Takipneu atau apneu tidak ada.
- Sianosis tidak ada.
Intervensi
a. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang dengan
leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi mengendus.
R: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b. Hindari hiperekstensi leher.
R: karena akan mengurangi diameter trakea.
c. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali tanda-tanda distres
misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
R: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah terjadinya distres
pernafasan.
d. Lakukan penghisapan.
R: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan selang endotrakeal.
e. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan.
R: memastikan bahwa jalan napas bersih.
Evan. 2011. Asuhan Keperawatan Pasien Respiratory Distress Syndrome (RDS), diakses pada
tanggal 10 September 2011 <http://www.ilmukeperawatanku.com/asuhan-
keperawatan-pasien-respiratory-distress-syndrome-rds.html>
Indrasanto, Eriyanti., dkk. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obsetri Dan Neonatal
Emergensi Komprehensif (PONEK).
Kosim.M.S., 2010.Deteksi Dini Dan Manajemen Gangguan Napas Pada Neonatus Sebagai
Aplikasi P O N E K (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif). Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi/ FK UNDIP Semarang
Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
Jakarta, 1991, hal. 303-306.
Nur .A ., dkk. 2010. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress
Syndrome.Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor : Rusepno
Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985, hal.
Suriadi dan Yuliani, R. 2001.Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV Sagung
Seto